Kamis, 16 Mei 2013

BAGIAN 5



BAGIAN 5

AHAD


Bab  XXIV

SEMESTA ALAM
Sebagai Perwujudan ALLAHU AKBAR
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....”
(QS 41:53)
A
da banyak cara dalam mengenal Allah, malahan tak terhitung banyaknya, sebanyak wujud-wujud di semesta alam raya ini, yang sesungguhnya adalah merupakan perwujudan Dia Yang Maha Akbar. Alam raya adalah tanda-tanda kekuasaan-Nya, dan segala macam kesempurnaan tanpa cacat dari ciptaan-Nya tersebut adalah sebagai bukti Maha Sempurna-Nya Dia sebagai Sang Khalik.
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang (kecacatan). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang (cacat).”   (QS 67:3)
“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan yang payah.”  (QS 67:4)
Pernah suatu kali, ketika sedang asyik menggambar, keponakan kecil datang menghampiri dan bertanya, “sedang gambar apa Om?” Dan ketika dijawab, “rumah...” Sambil kebingungan dia pun berkomentar, “mana rumahnya... Kok gambar rumah seperti itu?!” Karena yang dia lihat hanya gambar denah lantainya.
Seperti itu pulalah kita ketika berusaha memahami semesta alam ini ketika berusaha memahami makna ayat 115 surah al Baqarah (2),
“Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.”  (QS 2:115)
Maka kebingungan sendiri mencari-cari dimana wajah Allah, seperti keponakan kecil tadi kebingungan mencari-cari wajah (gambar) rumah. Semesta alam ini yang kita lihat melalui mata kita adalah sebagian kecil dari perwujudan Allahu Akbar. Bila dikatakan adanya buku ini membuktikan bahwa sudah pastilah ada penulisnya, tentu tidak membingungkan lagi. Dan buku ini bukanlah penulis itu sendiri, tentunya.
Perwujudan-Nya yang begitu Akbar meliputi langit dan bumi dan apa-apa yang berada diantara keduanya, menunjukkan ke-tidak berhinggaan termasuk wujud-Nya sehingga kesulitan dalam mendefinisikan keberadaan-Nya, apalagi wujud atau wajah-Nya.
Allah meliputi segala sesuatu, baik yang nyata terlihat maupun yang nyata tak terlihat, itulah mengapa Dia tak terjangkau oleh keterbatasan manusia, sebab manusia bagian dari perwujudan-Nya. Satu saja, yaitu satu atau seseorang yang juga merupakan perwujudan-Nya, hitunglah jumlah yang telah dianugerahkan kepadanya, baik itu ucapnya, perbuatannya, geraknya, yang didengarnya, yang dilihatnya, pikirnya, karyanya, dan juga penyusun tubuhnya seperti rambut dan sel tubuhnya. Sungguh tak berhingga jumlahnya, hanya dari satu perwujudan-Nya saja. Maka Dia-lah Yang Maha Akbar untuk dapat diketahui ataupun didefinisikan melalui sifat keterbatasan makhluk.
Allah  bersifat Qidam, yaitu pendahulu. Dia-lah sebagai pendahulu segala sesuatu, dan mendahului segala sesuatu. Sedangkan segala sesuatu selain Dia, termasuk kemanusiaan, adalah baru (hadist). Dia-lah awalu wa akhiru, yang mengawali dan mengakhiri, akan tetapi Dia sendiri bukanlah yang awal maupun bukanlah yang akhir. Dan segala sesuatu yang ada selain Dia adalah merupakan ciptaan-Nya, tentunya sudah pasti memiliki awal dan juga memiliki akhir.
Dia mendahului segala sesuatu yang ada sebelum kita ada, dan Dia-pun mendahului segala sesuatu yang akan ada setelah kita tiada. Dan Dia pulalah yang mengakhiri segala sesuatu, bahkan yang belum ada sekarang. Akan tetapi, Dia tidak berakhir. Segala sesuatu, termasuk diri kita, berakhir karena diakhiri oleh-Nya, bagaimana mungkin dari segala sesuatu tersebut dapat mengetahui kapan Dia berakhir. Bagaimana mungkin yang diakhiri oleh-Nya dapat mengetahui Dia berakhir? Maka kesimpulannya, Dia tidak berakhir.
Dengan begitu pula maka Dia adalah Yang Kekal Abadi tak tersentuh kematian. Maka Dia pun menjadi berbeda dengan makhluk, karena Dia-lah sesungguhnya Yang Maha Pencipta segala sesuatu atau makhluk dan kemudian memelihara dengan rahmat-Nya. Maka Dia menjadi Yang Maha Mandiri, karena selain Dia adalah bergantung kepada-Nya. Jadilah Dia Yang Maha Esa, satu-satunya Yang Maha Tunggal. Ketunggalan-Nya membuat Dia sebagai Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha berkehendak. Sehingga membawa kepada pemahaman, bahwa Dia-lah sebagai satu-satunya eksistensi sejati. Eksistensi Tunggal.
Begitulah sebagian kecil yang dapat diketahui tentang-Nya dari ketidak berhinggaan pengetahuan tentang Dia. Itupun karena diberitahukan oleh-Nya melalui Al Qur’an.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”  (QS 7:172)
Kali ini, kita akan berusaha lebih mengenal-Nya melalui surah al Fatihah, karena selain surah ini sebagai inti sari Al Qu’an yang sungguh amat luas makna yang terkandung di dalamnya. Juga, al Fatihah ini sebagai surah yang telah banyak dihafal dan diketahui kemanusiaan, karena sebagai surah yang paling banyak dibaca setiap harinya secara berulang-ulang. Bahkan tak sedikit mereka yang di luar muslimin telah mengetahui surah ini, sekalipun tanpa memahami maknanya.
Makna-makna yang terkandung, atau dapat dikatakan pula sebagai penafsiran, sesungguhnya amat luas dan takkan cukup bila kita hendak membahasnya secara lengkap dan mendetail. Sekalipun apa yang akan kita urai tak lengkap dan mendetail, akan tetapi paling tidak, dapat mengarahkan pemahaman kita untuk lebih dekat lagi kepada kebenaran-Nya. Dan semoga Allah melapangkan dada kita dalam menerima setiap hikmah petunjuk-Nya.
Nama-Nama Allah
“Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Kasih Sayang.”
 (QS 1:1)
Begitu banyak nama-nama yang ditujukan dalam setiap penyebutan kepada-Nya, seperti, ilah, god, lord, gusti, gusti pangeran, gusti allah, dan lain-lainnya berdasarkan bahasa tempat disebutkannya. Kemudian nama-nama terbaik-Nya, seperti ar Raahman, al Ghafuur, al Aziz, dan lain sebagainya. Allah adalah nama tunggal Tuhan, berasal dari al-ilah (dua suku kata al dan ilah yang dilebur pengucapannya menjadi Allah). Kata al yang menunjuk kemutlakkan kata berikutnya, yaitu ilah (tuhan), sehingga bermakna tuhan yang mutlak. Mutlak sebagai yang Maha Kuasa, mutlak sebagai Maha Pengasih dan Penyayang.
Di dalam al Qur’an pun begitu banyak tercantum nama dan sebutan yang ditujukan kepada-Nya, yang merupakan nama-nama terbaik (asma al husna), juga merupakan sebutan-sebutan kepada sifat-sifat Dia yang Akbar-nya sungguh tak terhitung. Maka itulah Dia menetapkan “Allah” sebagai nama dan sebutan tunggal-Nya, sehingga lebih mudah dalam memahami makna-makna pada setiap ayat-ayat yang merupakan petunjuk-Nya.
Katakanlah, serulah Allah atau serulah Ar Rahman (Yang Maha Pmurah), dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai al asma al husna (nama-nam terbaik).......  (QS 17:110)
Akan tetapi setiap ‘nama’ dan ‘sebutan’, termasuk nama dan sebutan kepada-Nya, adalah makhluk, yang juga merupakan ciptaan-Nya. Tidak dapat berbicara, mendengar, ataupun melihat, bila tidak diberi anugerah oleh Dia. Nama adalah nama atau sebutan, bukan Dia. Nama tidak dapat berinteraksi, seperti tidak dapat mendengar, tidak dapat melihat, tidak dapat merasa, apalagi membalas atau berreaksi. Tetapi Dia yang memiliki nama-lah yang sesungguhnya beraksi dan bereaksi. Nama hanyalah sekedar sarana untuk memudahkan dalam penyebutan identitas suatu keberadaan (eksistensi).
1.        Menyebut Nama-Nya sebagai Yang Mengingat DIA
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”
 (QS 2:152)
Basmallah, adalah istilah yang dipakai untuk menyebut nama Allah dalam setiap hendak melakukan aktivitas gerak pekerjaan atau gerak amal perbuatan. Bahkan dipercaya, bahwa setiap perbuatan yang tidak didahului oleh basmallah, akan mengalami kecacatan atau tak mencapai kesempurnaan pada hasilnya. Sekalipun telah melalui perencanaan dan persiapan segala sesuatunya dengan matang, maka tetaplah akan mengalami kecacatan pada hasilnya. Mengapa dapat seperti itu?
Sebenarnya, kita sempat mengulas panjang lebar (pada kitab-kitab sebelumnya, pada kitab Keimanan, Agama, Berserah Diri, Lahir & Bathin, serta Kitab Hikmah) mengenai bahayanya pengakuan (ego) sebagai yang menyelimuti dan menutupi pandangan mata hati kita kepada petunjuk Tuhan, yaitu kebenaran. Dengan begitu, jangankan hendak mendapatkan hasil yang sempurna, dalam perjalanan pelaksanaannya pun tentu akan menemui dan mengalami kesalahan-kesalahan yang dianggapnya sebagai kebenaran.
Pengakuan (ego)-nya adalah kotoran hati, yang karena dengannya diri kemanusiaan menjadi lupa kepada siapa sesungguhnya yang bekerja, yang memberi kekuatan tenaga,  ilmu dan rizki kepadanya, yang memberikan pengetahuan untuk merencanakan. Dan karenanya pula semakin lagi dapat disesatkan kepada keserakahan dan ketamakan yang hendak mendapatkan hasil sebesar-besarnya, melupakan andil yang lainnya yang telah ikut membantunya bekerja.
“...... Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (QS 29:45)
Basmallah, paling tidak dapat mengingatkan jiwanya akan keterikatan dan kebergantungan dirinya kepada Tuhannya sebagai Penguasa alam, Penguasa segala sesuatu, dan Penguasa hari kemudian yang menentukan hasil gerak pekerjaannya. Bila telah selalu ingat kepada Tuhannya, maka kesadarannya akan selalu terjaga.
Bukan takut kepada balasan azab Tuhannya, bukan pula takut neraka dan menjadi mengharap surga, tidak pula untuk dipandang baik dan mulia oleh orang lain, melainkan lebih menjaga kesadarannya pada fitrah diri-nya sebagai wakil Tuhannya di bumi, sebagai yang mewujudkan sifat-sifat Tuhannya yang saling menebarkan rahmat kepada sesama makhluk-Nya. Rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Hanya Allah-lah pemilik nama-nama terbaik, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama terbaik-Nya tersebut dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.  (QS 7:180)
Sebuah nama menjadi begitu sakral dan ditempatkan di tempat tertinggi, adalah karena pengaruh dari predikat pemilik nama tersebut yang tentunya sebagai predikat yang bukan sembarangan. Semakin unik dan tingginya predikat-nya, maka semakin besar dan agung pula nama-nya.
Mengingat adalah selalu menjaga kesadaran jiwa bahwa sesungguhnya Allah mengawasi dan menguasai diri-diri kita di setiap saat, termasuk di waktu-waktu sibuk dengan pekerjaan maupun di waktu senggang, atau bahkan sekalipun di waktu setelah shalatnya. Karena kuasa Dia tak terbatasi oleh ruang dan waktu, begitupun dengan rahmat-Nya. Setiap geraknya pun karena rahmat Tuhannya yang memberikan kekuatan. Ingatnya pun karena rahmat petunjuk-Nya.
Mereka yang telah menyadari ini, tentu akan memahami dan menjaga setiap gerak amal perbuatannya agar tidak lepas dari nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, dan tidak akan berani melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Sehingga amal perbuatannya adalah refleksi atau cerminan dari ingatnya kepada Tuhannya. Amal perbuatan yang merefleksikan fitrah diri-nya sebagai wakil Allah di muka bumi yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Kesadaran adalah suatu kondisi dalam keadaan ingat. Dan kesadaran pun dapat dilatih agar dapat peka terhadap segala sesuatu bentuk kejadian ataupun keadaan, sehingga akalnya dapat lebih jauh menjelajahi tahap demi tahap dari apa-apa yang sebelumnya tidak diketahuinya (sebagai yang ghaib) dengan demikian hatinya menjadi hidup dan jelas dalam melihat. Bila mata yang melihat, maka segala yang dilihat adalah bentuk-bentuk (wujud) lahir. Sedang yang dilihat oleh hati adalah sisi bathinnya, makna dibalik wujud lahir pun akan terlihat, tetapi tentunya sesuai dengan tingkat tahapan akalnya.
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (mengingat) Allah, dzikir (ingat) yang sebanyak-banyaknya.”  (QS 33:41)
...... Dan berdzikirlah (mengingat) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.”  (QS 2:198)
Kesadaran dan akal menjadi dua unsur penting yang dapat menghidupkan hati setiap diri kemanusiaan dengan kepekaan-nya dalam menerima segala sesuatu yang dilihat, didengar, dan dirasa oleh inderanya menjadi sebagai sebuah petunjuk yang bermanfaat. Begitu banyaknya kejadian setiap detiknya di alam, dan sungguh, karena kesadaran dan akal yang terbatas, membuat kepekaan hati tak setajam, yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa dahsyat dalam pemanfaatannya.
“.....sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)
Pada hati yang sedang sibuk, sedang galau, dan sedang tak keruan, maka bagaimana kesadarannya dapat berkembang, sedangkan informasi yang seharusnya dapat masuk malah tidak diacuhkannya. Informasi yang masih perlu diolah dan diproses lagi saja tidak dapat masuk, maka pemahamannya pun menjadi “jauh panggang dari api”. Menjadi hal yang tak mungkin.
Kesadarannya ini tergugah karena rasa kekerdilan dirinya setelah menghadapi kenyataan-kenyataan yang justru setelah banyaknya pemahaman yang masuk dan baru disadarinya. Bahwa dirinya bagaikan sebutir pasir diatas gurun pasir yang luas, yang sewaktu-waktu hilang entah kemana hanya oleh tiupan angin.  Atau bagaikan setetes air di dalam luasnya samudera. Sungguh sesuatu yang bisa tak dianggap keberadaannya.
Bagaimana tidak, dia hidup di permukaan bumi yang berisi milyaran manusia, belum termasuk pepohonan, hewan, atau benda-benda lainnya. Sedangkan bumi sebagai tempat hidupnya adalah salah satu planet pada matahari, dan ternyata terdapat milyaran (bahkan tak berhingga jumlahnya) matahari-matahari lainnya sebagai yang disebut bintang-bintang, bertaburan di jagat raya.
Bumi yang bisa tak dianggap keberadaanya saja, bila membandingkannya dengan luasnya jagat raya ini, ternyata banyak wilayah di bumi itu yang belum pernah didatangi untuk dapat dikenalnya. Jangankan mengenal pelosok-pelosok bumi, wilayah kelurahannya saja belum semua sempat ia datangi dan kenali seluruhnya. Begitulah diri-diri kemanusiaan, yang dengan segala keterbatasannya, selalu saja terus berusaha memahami banyak hal yang sungguh amat teramat luas jangkauannya.
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang (kecacatan). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang (cacat)?.”  (QS 67:3)
Maka hatinya yang terpesona pun bertanya-tanya, tentulah ada eksistensi Yang Maha Sempurna, yang dengan kecerdasan, kuasa, dan kemurahan dari Yang Maha Sempurna-lah yang dapat mewujudkan semesta alam dengan segala isinya ini. Sungguh ciptaan yang amat sempurna pada bentuk lahir-nya sehingga terlihat indah menakjubkan setiap mata yang memandangnya, dan sempurna pula bentuk bathin-nya hingga terjaga keseimbangannya bahkan terpelihara – tumbuh dan berkembang serta terjamin hidup kehidupannya. Jumlah isinya yang tak terhitung, besar-kecilnya pun tak terukur, kapan mulai ada dan kapan berakhir tak ada yang dapat mengetahuinya.
“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan yang payah.”  (QS 67:4)
Menyadari kekerdilan dan keterbatasannya-lah yang dapat membuat atau mengarahkan  jiwanya kepada rasa berserah diri (islam) kepada wujud tersembunyi Yang Maha Sempurna yang sesungguhnya mencipta, menguasai, serta memelihara semesta alam ini berikut isi di dalamnya secara amat sempurna dan menakjubkan.
Keterbatasannya yang membuatnya hampir-hampir merasa putus asa dalam mencari wujud tersembunyi yang sesungguhnya mencipta, menguasai, serta memelihara segala sesuatu tersebut. Maka terasa asing-lah dirinya di dalam keramaian segala sesuatu.
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.”  (QS 84:6)
Begitulah kemurahan Tuhannya Yang Maha Pemurah, melapangkan dada mereka yang selalu berusaha mencari keberadaan realitas sejati Yang Maha Tunggal, yang sesungguhnya berkuasa, mengurus dan memelihara segala sesuatu di semesta alam ini.
2.        Nama sebagai Sifat Allah
Katakanlah, serulah Allah atau serulah Ar Rahman (Yang Maha Pmurah), dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai al asma al husna (nama-nam terbaik).......
(QS 17:110)
Ar Rahman, Yang Maha Pemurah, dari sifat Maha Pemurah-Nya ini maka sifat-sifat terbaik lainnya menjadi ada untuk di alam, yaitu bagi seluruh makhluk-Nya. Dia Maha Pemurah, maka Dia pun menjadi bersifat kasih-sayang (ar rahiiym). Dia Maha Pemurah, maka Dia pun menjadi bersifat menguasai (al malik). Dia Maha Pemurah, maka Dia pun menjadi bersifat suci atau bersih (al qudus). Dia Maha Pemurah, maka Dia pun menjadi bersifat tidak kekurangan (as salaam). Dan selanjutnya pada sifat-sifat lain-Nya yang masih banyak lagi.
Nama-nama terbaik (asma’ul husna)-Nya adalah penisbahan kepada sifat-sifat Allah, sesungguhnya dapat dijadikan indikator oleh kita, telah sejauh mana sifat-sifat ketuhanan tersebut mewujud pada kemanusiaan kita. Naluri ketuhanan inilah sebagai tingkat kesalehan dan ketakwaan seseorang. Sesungguhnya yang mulia di sisi (di mata) Allah adalah mereka yang takwa.
Bila diri kita hendak menyadari dan hendak mencapai kesalehan serta ketakwaan, yaitu yang dimuliakan oleh Allah Yang Maha Mulia, maka awalilah oleh diri kita dengan mewujudkan sifat sebagai menjadi yang pemurah dengan ikhlas, sehingga sifat-sifat terbaik dan terpuji lainnya akan mengalir dengan sendirinya karena rahmat petunjuk Allah Yang Maha Pemurah, Ar Raahman.
Kemurahan-Nya sungguh adalah rahmat-rahmat yang tak terhitung jumlah dan luas-nya, seluas langit dan bumi. Begitulah sesungguhnya rahmat Allah sebagai perwujudan sifat-Nya, sehingga Dia disebut Akbar, Yang Maha Besar dan Maha Luas, serta Maha Agung dengan segala sifat-Nya. 
Sifat-Nya sebagai Yang Maha Pemurah, maka timbullah sifat penyayang-Nya, dan Dia-lah Yang Maha Penyayang (Ar Rahiiym). Kemurahan-Nya pula maka timbullah sifat kuasa sebagai Yang Maha Kuasa (Al Malik), kekuasaan-Nya harus ada untuk menyampaikan segala kemurahan-Nya kepada seluruh makhluk-Nya. Timbul pula sifat suci Dia sebagai Yang Maha Suci (Al Quddus) dari kekuasaan yang tidak adil dan tidak bijaksana. Karena itu pulalah maka timbul pula sifat Dia Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana (Al ‘Adl dan Al Hakiym). Karena Maha Adil dan Maha Bijaksana-Nya maka Dia haruslah memiliki pengetahuan sebagai Yang Maha Mengetahui (Al ‘Aliym). Begitulah seterusnya seluruh nama-nama yang dinisbahkan kepada seluruh sifat-Nya, hingga tak terhitung banyak dan luasnya sesuai dengan tak terhitung luas dan banyaknya anugerah kemurahan-Nya.
Nama dan sifat adalah seperti satu sisi dari dua sisi mata uang logam, sementara Dzat-Nya ada pada sisi lainnya, keduanya sebagai yang selalu berlekatan tanpa pernah terpisah. Nama dan sifat merupakan sisi zhahir-Nya sebagai yang mewujud di alam, sedangkan Dzat-Nya merupakan sisi bathin-Nya yang tak terlihat oleh seluruh penglihatan mata makhluk-Nya.
3.        Seluruh Nama-Nya adalah Ilmu & Pengetahuan
Nama-nama Dia juga selain sebagai menunujkkan sifat-sifat Allah, ternyata juga adalah merupakan ilmu dan pengetahuan baik yang telah diketahui (zhahir) maupun yang belum diketahui (bathin atau ghaib).
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya,....  (QS 2:31)
Mereka (para malaikat) menjawab: Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa-apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.  (QS 2:32)
Adam pun takkan dapat memiliki ilmu dan pengetahuan bila tidak diajarkan oleh-Nya, maka, seperti yang dijelaskan dalam ayat tersebut, bahwa segala sesuatu ilmu dan pengetahuan adalah datangnya dari Allah. Maka dengan mengucapkan dan menyatakan basmallah dalam setiap gerak perbuatan adalah wujud mengakui kekuasaan Dia sebagai Yang Maha Pemurah lagi Maha Kasih Sayang, yang sesungguhnya memberikan kekuatan dan menentukan baik atau buruk akan hasil dari perbuatannya tersebut.
Rahmat Allah, termasuk di dalamnya petunjuk-Nya, yang juga merupakan ilmu dan pengetahuan yang sesungguhnya telah dibentangkan di alam raya ini, dan juga yang sebenarnya telah ditanamkan ke dalam dada setiap diri kemanusiaan sebagai kitab mubiiyn, tidak menyentuhnya kecuali mereka yang telah mensucikan hatinya.
Pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.  (QS 56:78-79)
“Sebenarnya Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.(QS 29:49)
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena, dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) setelah (keringnya), niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”  (QS 31:27)
Ilmu dan pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu, tiada yang luput dari pengetahuan Allah. Oleh sebab Dia-lah sesungguhnya sebagai pemilik seluruh penglihatan, maka bagaimana mungkin yang diberi penglihatan dan yang diberi pengetahuan dapat melihat-Nya, atau dapat memiliki pengetahuan tentang-Nya, jika Allah tak memberikan-nya? Dia memberikan petunjuk atau pengajaran-Nya melalui segala sesuatu, yaitu para aparat-Nya, baik yang nyata terlihat maupun yang nyata tak terlihat.  
“......... melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 10:61)
Ilmu dan pengetahuan Allah meliputi langit dan bumi serta seluruh apa yang berada pada keduanya. Segala sesuatu tersebut amat bergantung kepada rahmat-Nya, sedangkan Dia Maha Kaya dan tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Sebab Dia-lah sesungguhnya mencipta, menguasai dan memelihara serta memberi rizki kepada segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi.
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.(QS 22:46)
Rahmat rizki-Nya sampai kepada segala sesuatu, termasuk segala sesuatu yang tidak diketahui makhluk-Nya dan diri-diri kita. Siapakah yang memberi makan sel-sel yang berada di dalam tubuh? Dia ataukah kita? Bisakah kita pastikan makanan yang kita kirim masuk melalui mulut kita, telah sampai dengan adil kepada yang berhak (sel-sel tersebut)? Maka sesungguhnya, Dia-lah yang memberi, kemudian mengatur dan memelihara. Tidaklah diri-diri kita sendiri memiliki kekuasaan sampai seperti itu.
Jangankan kekuasaan seperti itu, hidupnya sendiri adalah karena dihidupkan oleh Dia Yang Maha Hidup. Adakah dirinya yang menghendaki kelahiran untuk mengalami kehidupan ini? Jangankan kehendak hidup, nafasnya saja diberikan-Nya. Oksigen-nya disediakan dan berlimpah di alam ini, paru-parunya menghisap dengan normal, kerongkongannya terbuka memperlancar aliran yang masuk, dan hidungnya tak tersumbat. Andaikan penyakit datang kepadanya, pilek misalnya, maka tersumbatlah hidungnya. Dan nafasnya pun menjadi sedikit terganggu, hilanglah satu nikmat Allah yang tak dapat dirasakannya untuk sementara. Tidakkah kita sadari, bahwa masih banyak lagi yang tidak kita ketahui yang sesungguhnya adalah rahmat-Nya kepada diri-diri kita?
Maka merasakan sakit, sesungguhnya adalah menyadari peringatan Tuhannya untuk selalu bersyukur atas kelapangan yang telah diterima selama ini sebagai rahmat dari sekian banyak nikmat-Nya. Umumnya kita, setelah mengalami kesempitan atau musibah, baru teringat kepada-Nya dan menyesali telah menyia-nyiakan kesempatan anugerah yang telah diberikan kepadanya.
Jangan sepelekan peringatan Allah tersebut, jika tak ingin datang menyerangnya penyakit-penyakit lainnya yang merupakan akibat dari penyakit yang pertama. Nafas yang tak normal, tak membawa oksigen yang cukup bagi pembakaran makanan-makanan, sehingga suplay makanan kepada seluruh sel tubuhnya pun tak normal seperti biasanya. Hal ini menyebabkan metabolisme sel pun terganggu, maka bukan tidak mungkin pula menimbulkan penyakit-penyakit susulan pada tubuhnya.
Dari nama-Nya lah maka segala nama dan sebutan menjadi ada, dan dengan demikian seluruh nama dan sebutan itu merupakan rahmat-Nya yang sampai dan nyata sebagai ilmu dan pengetahuan yang amat bermanfaat bagi kehidupan setiap diri kemanusiaan.
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak bernilai, adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.”  (QS 13:17)
Begitu pula segala sesuatu yang diterima setiap diri kemanusiaan yang selalu dinilainya sebagai kebaikan dan keburukan yang merupakan pasangan segala sesuatu, yang sesungguhnya adalah hanya rahmat kebaikan yang tunggal dari Tuhannya, keburukannya akan hilang seperti buih yang dijelaskan oleh ayat di atas. Seperti itulah rasa yang diterima dari malam dan siang, gelap dan terang, sedih dan bahagia, sempit dan lapang, sukar dan mudah, serta neraka dan surga  yang dinilainya sebagai kebagai kebaikan dan keburukan.
Bersyukur
Segala puja dan puji (hanya) milik (atau bagi) Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Kasih Sayang.
 (QS 1:2-3)
PUJA-PUJIAN ADALAH UNGKAPAN RASA SYUKUR
Mereka yang telah peka mata hati bathin-nya, karena telah bersih dari kekotoran yang menyelimuti hatinya, maka tentu segala puja dan pujian atas kekagumannya terhadap segala sesuatu sebagai yang pasti akan kembali dan berakhir kepada Tuhannya, sebagai yang mencipta, menguasai dan memelihara segala sesuatu yang berada dan tersebar sampai diseluruh penjuru langit dan bumi. Tidak ada segala sesuatu, sekecil atau sebesar apapun yang luput dari rahmat-Nya. Begitulah wujud rasa syukur dari setiap puja-puji atas kekaguman terhadap nikmat yang sesungguhnya hanyalah Allah pemberinya sebagaai Yang Maha Pemurah, pemberi sejati. Melalui seluruh aparat-Nya, maka Dia sebarkan rahmat-Nya kepada seluruh makhluk.
Seluruh aparat-Nya pun merupakan makhluk-Nya, adalah ciptaan-Nya. Maka bersahabatlah dengan seluruh makhluk-Nya karena sesungguhnya Allah menebarkan rahmat-Nya dengan melalui seluruh makhluk yang dijadikan-Nya sebagai pembawa atau penyampai (aparat) segala bentuk rahmat-Nya yang luas dan tak terhitung banyaknya. Sehingga bila dirinya yang menjadi tujuan pujian, maka segera jiwanya mengembalikan pujian tersebut kepada Allah sebagai satu-satunya yang berhak menerimanya. Maka dirinya akan terlepas dari kesesatan akibat kesombongan, rasa riya, takabur, dan pengakuan (ego)-nya.
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”  (QS 31:20)
Begitupun bagi yang memberikan pujian, janganlah menjadi tersesat karena tak menyadari siapa sesungguhnya pemberi rahmat yang sampai kepadanya, sehinga jiwa-nya menjadi hanya berketergantungan kepada makhluk yang dipujinya tersebut. Perhatiannya menjadi hanya tertuju kepada dia, dan menafikan (menyingkirkan) selain-nya. Sehingga, secara tak sadar, telah  menutup pintu-pintu rahmat Allah yang lainnya, yang sesungguhnya masih banyak lagi untuk diterimanya.
Ingatlah segala sesuatu memiliki pasangan-nya, sebagai yang akan datang menyusulnya kemudian. Berpasang-pasangan adalah sifat makhluk sebagai ketetapan mutlak-Nya, juga sebagai perwujudan Akbarnya Dia di semesta alam beserta isi atau makhluk ciptaan-Nya yang begitu luasnya tak terukur dan tak terbilang.
Selain wujud nyata yang terlihat seperti makhluk, baik yang terlihat ataupun yang tak terlihat, dan benda tak hidup (anggapan sementara secara umum), baik yang nyata dan tak nyata, semuanya memiliki pasangannya. Begitu pula kepada rasa dan sifat yang dialami makhluk atau benda tersebut memiliki pasangannya pula. Sebagai makhluk, maka menilai semua pasangan yang dirasakan atau dialami bathinnya terangkum sebagai kebaikan atau keburukan. Bila kebaikan, maka diterimanya bahkan diharapkannya. Dan bila keburukan, maka ditolak atau dihindarinya.
Padahal keduanya, yaitu kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang pasti dan harus dialami sebagai ketetapan mutlak kehidupan dari yang memiliki sejatinya kehidupan yang mutlak, yaitu Dia. Dan bagi makhluk yang sebagai penerima, yang dapat atau harus menerima. Dan segala sesuatu yang diterimanya sebenarnya adalah rahmat Allahu Rahmaanur-rahiiym. Bagaimana mungkin Dia yang Maha Pemurah lagi Penyayang memberikan keburukan? Carilah hikmahnya, maka kelak diri akan bersyukur sekalipun yang sebelumnya dianggap sebagai keburukan, kemudian ternyata membawa manfaat yang merupakan kebaikan.
“Karena sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Keburukan, adalah ibarat bungkus yang menyelimuti kebaikan (rahmat Allah) yang berada didalamnya. Hanya karena berada di dalam sebagai yang tak terlihat (masih ghaib), maka diperlukan usaha mebuka bungkus yang menyelimutinya tersebut. Begitulah hati kita memahami segala sesuatu yang datang kepada diri kita, apakah sebagai yang kita nilai kebaikan atau keburukan pada awalnya, yang kelak akan diketahui hikmahnya bahwa, sesungguhnya Allah hanya memberi kebaikan, yaitu rahmat-Nya. Hanya dengan hati yang bersih dari kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego), maka cahaya Allah dapat menerangi, bahwa yang datang dan diterimanya adalah rahmat Allah, yang seluruhnya adalah kebaikan.
Layaknya malam yang berganti fajar, dan terang kemudian datang menyambutnya. Atau kelelahan sehingga merasa harus beristirahat, dan segar kembali setelah bangunnya. Atau juga kebelet, hingga harus terbirit-birit lari kebelakang untuk (maaf) buang air, dan setelahnya akan merasa lega. Adakah pada semua itu merupakan keburukan? Seperti itu pula-lah hati kita seharusnya membuka kesadarannya untuk mendapatkan hikmah terhadap apa-apa yang datang dan dinilainya sebagai keburukan, yang ternyata adalah kebaikan.
Kita telah dapat menerima lapar setelah kenyang, menerima malam setelah siang, bahkan, maaf, menerima ‘buang air’ setelah masuknya makanan dan minuman. Menerima itu sebagai ketetapan yang harus diterima, akan tetapi cobalah pikirkan dan renungkan bila datang pula ketetapan lain dari-Nya. Seperti, saat lapar tetapi tidak ada makanan atau uang untuk membelinya, kelaparan yang terjadi. Atau, saat tiba malam datang tetapi pas terkena giliran pemadaman listrik, merana yang terjadi. Serta, susah ‘buang air’ setelah banyak makanan yang masuk.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Padahal, sekalipun ketetapan-Nya, ternyata diri kita sendirilah yang menyebabkan itu semua terjadi. Segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya. Layaknya siang dan malam, pagi dan sore, serta fajar dan petang. Cahaya dan bayang-bayang, panjang dan pendek, serta lurus dan bengkok. Begitu pula bahagia dan sedih, mudah dan sukar, serta nikmat dan sengsara. Segala sesuatunya tersebut dinilai sebagai kebaikan dan keburukan oleh makhluk. Ketetapan yang mutlak diterima makhluk, sedangkan baik-buruknya adalah penilaiannya sendiri yang justru dapat menjerumuskannya.
Dikatakan menjerumuskan, bila diri terhanyut dan terlena oleh kebaikan, atau menolak keburukan yang datang yang ternyata  akibat dari perbuatannya. Lupa bersyukur bila menerima kebaikan karena hanyut dan terlena pada kenikmatannya, dan akan menyebabkan datangnya pasangannya (keburukan) yang semakin besar keburukannya akibat sebelumnya diri yang hanyut dan terlena. Keburukan yang pasti datang setelah kebaikan, adalah mutlak, akan tetapi hanyut dan terlena rupanya ikut menambahkan akibat-akibat baru yang semakin memperburuk keadaan dirinya. Bila tidak diputus ‘rantai’ hanyut dan terlenanya, maka akan terus berlanjutlah keburukan-keburukan yang akan timbul.
Seperti efek domino. Sekalipun hadir sesekali kebaikan sebagai rahmat-Nya, tapi terasa tak mencukupi untuk menutupi keburukan akibat hanyut dan terlena pada masa sebelum-belumnya, sebagai akibat yang satu per satu yang harus dituai, kelak sebagai hari kemudian-nya. Diperlukan sikap tegas dan mental yang kuat untuk beralih, setelah menyadari, dan mulai mengambil jalan lurus-Nya (taubatan nassuha).
Begitupun sebaliknya, kebaikan yang pasti datang setelah keburukan. Keduanya adalah sebagai yang pasti datang dan harus diterima diri-diri kemanusiaan sebagai rahmat-Nya. Sekalipun sekaliber nabi, tetap harus menerima keduanya. Hanya mereka yang mulia dan berakhlak terpuji sajalah yang dapat rela dan ikhlas menerima keburukan seperti menerima kebaikan, dan menganggap keduanya adalah rahmat dari Tuhannya.
Begitulah pasangan segala sesuatu tersebut sebagai yang akan datang secara bergantian. Dengan demikian, kesulitan yang sedang melanda dirinya, dihadapi dengan kesabaran sebagai wujud keberserah dirian (islam) kepada Tuhannya. Dan mereka yang telah berserah diri (islam) tentunya meyakini kemudahan yang akan datang dari Tuhannya dengan bersyukur.
Bila sabar dan bersyukur adalah dua hal yang merupakan pasangan, maka sabar-nya adalah merupakan tindakan atau upaya pertahanan terhadap keburukan yang menimpa dirinya. Sedangkan rasa bersyukur-nya adalah wujud puja-puji kepada yang memberi kekuatan (yaitu Allah) untuk dapat melewati keburukan, dan kemudian sebagai menerima lagi kebaikan setelah keburukan itu berlalu.
Akan tetapi, ternyata, kesabaran bukan saja hanya pada keburukan yang diterima, melainkan pula pada kebaikan sebagai anugerah dari-Nya. Karena anugerah kebaikan yang datang dan diterima, bila tidak disertai pengelolaan yang baik dalam kelurusan-Nya, pada akhirnya akan membawa bencana keburukan. Segala sesuatu datang dan hadir pasti bersama pasangannya.
Dan pada orang-orang yang telah memahami makna kadar baik dan buruk sebagai sesuatu yang alami (sunathullah), yaitu menghadapi keburukan seperti melalui malam sebagai sesuatu yang memang pasti dihadapi. Seperti pula, maaf, harus ‘buang air’ bila tak mau dihinggapi penyakit. Maka diri ini telah menerima hidup sebagai makhluk Allah, bahwa dia adalah hanya wadah kosong yang telah siap diisi oleh kehendak-Nya.
Adalah sifat makhluk, menerima segala sesuatunya, baik itu wujudnya yang merupakan perwujudan-Nya, hidupnya adalah hidup-Nya, penglihatannya juga merupakan penglihatan-Nya, bahkan pendengarannya adalah karena karunia dari-Nya. Dan kepada hal yang lebih kita ketahui dan sadari bahwa bukanlah diri kita yang memerintahkan, seperti kepada bertumbuh panjangnya kuku-kuku pada jari-jemari dan bertumbuh panjangnya rambut. Dan juga, perintah kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan untuk menyebarkan saripati makanan, serta memberi perintah kepada paru-paru untuk memisahkan oksigen dari gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan untuk mengubah suplay makanan tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan. Belum lagi mengenai kehidupan milyaran sel-sel tubuh yang hidup dan mati kemudian berkembang biak pula pada setiap jaringan pembentuk organ tubuh, yang menciptakan sistem kehidupan di dalam alam tubuh atau jasad diri kita, yang pula kita tidak menyadarinya.
Tiada sedikitpun peran serta diri kita terhadap semua hal tersebut. Diri hanya ikut menyaksikan dan merasakan, dan bukanlah operator-nya. Lantas mengapa ada dosa dan menanggung dosa?
Karena di alam maka keterbatasan menjadi ada, serta mengurungnya dalam kesempitan pandangan atau pemahaman, dan segala sesuatu ciptaan-Nya menjadi berpasang-pasangan, termasuk keinginan diri. Bila keinginan diri lebih cenderung kepada menyaksikan dan merasakan keburukan, maka dosalah yang dihadapinya. Dan iblispun dengan siasatnya dapat ikut berperan, mengemas keburukan agar dipandang indah sebagai kebaikan oleh diri supaya tersesat. Itulah tipu daya iblis. Pada diri seperti ini, malaikat telah berubah menjadi iblis yang membangkang perintah Tuhannya, dan tidak mau tunduk (sujud) kepada keturunan Adam (lihat dan pahami kembali uraian keimanan kepada malaikat).
Pada diri, menerima keburukan untuk mengetahui kebaikan, yang sesungguhnya adalah tujuan utama sebenarnya. Maka, menerima dosa untuk segera mengejar pahala kebaikan yang masih banyak tersebar menunggu untuk diraih, merupakan yang perlu disadarinya. Adalah hal yang tak wajar bila menyeimbangkan keburukan dengan kebaikan. Minimalkanlah keburukan sekecil mungkin, dan maksimalkan sebesar-besarnya kebaikan.
Segala sesuatu selalu bergerak menuju kepada kesempurnaan, yaitu kebaikan. Itulah yang sesungguhnya hidup menerima. Menerima ketetapan dan kehendak-Nya, yaitu mencapai kesempurnaan sebagai khalifah di muka bumi yang saling berbagi rahmat kepada sesama (sebagai makhluk) semesta alam.
Hanya Tuhan yang Maha Esa atau Allah yang Maha Tunggal yang hidup, dan selainnya, segala sesuatu termasuk diri kemanusiaan, yang merupakan ciptaan-Nya, yang dapat hidup karena menerima kehidupan dari Dia yang juga Maha Hidup. Dan dengan kehidupan tersebutlah, maka menyebabkan segala sesuatu menjadi memiliki arti atau nilai. Insan kemanusiaan yang menerima anugerah seluruh ke-20 (dua puluh) sifat Allah, dari wujud sampai mutakalimaan, adalah merupakan fitrah-nya sebagai ketetapan-Nya yang takkan pernah berubah.
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)
Bila pada hidup-nya saja, diri kemanusiaan hanya menerima, maka tentu apapun itu yang berada di dalam kehidupan-nya juga seharusnya dapat diterima, sekalipun adalah sebuah keburukan. Sehingga hanya yang tidak tahu diri-lah sesungguhnya yang tidak dapat atau tidak mau menerima apa-apa yang diberikan kepadanya, termasuk keburukan.
Kita, sebagai diri-diri kemanusiaan, telah diberi dan telah pula menerima dari-Nya indera-indera seperti pendengaran, penglihatan dan pengucapan adalah agar dapat berharmonisasi dengan hati bersama kesadaran dan akal supaya dapat meraskan nikmat-nikmat lainnya yang sungguh bertebaran di bumi dan di langit.  Yang dengan pendengaran, penglihatan dan ucap tersebut untuk bersyukur dan mengembalikan kepada-Nya dalam bentuk rahmatan lil ‘aalamiiyn, yaitu sebagai yang saling menebarkan rahmat Tuhan kepada sesama makhluk-Nya.
Penguasa Semesta (Seluruh) Alam
“Yang menguasai hari-hari agama.
(QS 1:4)
Pada umumnya, kebanyakan orang menafsirkan ‘yawmid-diyn, adalah hanya sebagai hari pembalasan setelah hancurnya semesta alam ini (kiamat). Sehingga maknanya hanya terbatas pada hari atau alam itu saja, yaitu hari-hari di alam surga atau neraka-nya saja. Jika di kembalikan kepada terjemahannya sebagai hari-hari agama, maka maknanya menjadi luas tidak hanya pada hari pembalasan saja.
Bila yang ditujunya adalah penekanan akan adanya pembalasan pun, maka di alam dunia sekarang, masih dalam kehidupan ini, balasan dari setiap amal perbuatannya pun dapat kita rasakan. Tidak usah menunggu lama hingga kiamat terjadi, yang kita tak tau kapan terjadinya. Dengan demikian, bila pemahaman ini telah dipahami dan disadari, maka tiada ada lagi keberanian meremehkan amal perbuatan buruk, akibat hawa nafsunya yang membisikkan kepada jiwanya, “bagaimana nanti saja balasan terhadap kita, yang penting sekarang, adalah menikmati kenikmatan yang ada di depan mata dulu.”
Dalam kehidupannya, segala sesuatu makhluk-Nya, memiliki atau mengalami suasana yang berganti-ganti dan berulang-ulang (siklus) sebagai alam tempat rasa yang dominan mempengaruhi jiwa-nya. Seperti suasana-suasana di sekolah, di kantor, di rumah, di jalan, dan di tempat-tempat mana saja dalam kehidupannya berlangsung. Maka, sesungguhnya, suasana di alam-alam tersebut tidaklah lepas dari kuasa aturan hidup (agama)-Nya. Suasana di alam-alam tersebut sebagai suasana hari-hari (dalam naungan) agama Allah. Dan Dia-lah Penguasanya.
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”  (QS 67:2)
Dan dalam skala kehidupan jangka panjangnya, jiwa mengalami siklus-nya pula pada suasana-suasana lainnya sebagai yang masih ghaib. Yaitu setelah kematiannya, mengalami suasana alam kubur sebagai alam penantiannya sebelum dibangkitan. Alam inipun termasuk di dalam hari-hari dalam naungan agama Allah, tidak lepas dari kuasa, aturan dan pemeliharaan Tuhannya. Suasana penantian ini pun merupakan sebagi yang memiliki kehidupan pula. Layaknya kehidupan ketika masih di dunia yang merupakan kehidupan yang menanti kematiannya, maka di alam kubur pun adalah kehidupan yang menanti kebangkitan-nya kembali. Tentu pula ada dengan amal-amal perbuatan pula yang tetap dibawah atau dinaungi aturan jalan lurus (agama)- Nya, selain tetap pula membawa beban-beban amal perbuatan di kehidupan sebelumnya sebagai yang malah akan memberatkan jiwa-nya. Sebagai yang harus dituai untuk surga dan neraka-nya.
Setelah itu, masih dalam skala kehidupan jangka panjangnya, mengalami dibangkikan untuk mengalami pula kehidupannya kembali dengan suasana alam yang baru tetapi tetap berada dibawah atau dinaungi aturan jalan lurus (agama)-Nya. Juga tetap membawa beban-beban amal perbuatan di kehidupan sebelumnya sebagai yang memberatkan atau meringankan jiwa-nya. Sebagai yang harus dituai sebagai surga dan neraka-nya pula.
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2:28)
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”       (QS 29:19)
Bila kita fokus kepada ‘hari-hari agama’, maka itu jelas mengarahkan makna kepada, bahwa kehidupan ini dan kehidupan nanti akan selalu dibawah naungan Dia yang maha menunjuki, merahmati dan menguasai-nya.  Sehingga  tidak tepatlah, anggapan sebelumnya, di alam akhirat setelah kematian,  bahwa telah terputus-nya segala amalan.
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.”  (QS 3:169)
Sebagaimana kita diajarkan untuk selalu mendoakan orangtua, para salihin, muslimin dan dan muslimat, serta bershalawat kepada nabi Muhammad SAW. Karena ternyata secara tegas disebutkan agama masih tetap berperan, sekalipun pada kehidupan di hari kemudian. Renungkanlah firman-Nya pada ayat berikut ini.
“ya Tuhan Kami, dan masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Kejahatan pada hari itu, maka makna ayat tersebut adalah, bahwa di surga pun ternyata masih ada kejahatan yang mengganggu jiwa-jiwa kemanusiaan penghuninya. Oleh sebab itulah hari-hari tersebut, di alam surga itu, tetap berada dalam naungan agama Allah, termasuk sebagai di dalam hari-hari agama. Tetaplah penghuninya masih membutuhkan perlindungan kuasa-Nya terhadap kejahatan atau keburukan yang dapat saja datang menghampirinya.
Bila telah memahami surga dan neraka adalah rasa bathin di dalam suasana-suasana alam-nya hari kemudian atau hari-hari agama, maka tidak diperlukan lagi alam yang seperti dibayangkan pada umumnya. Dihancurkannya terlebih dahulu semesta alam ini, temasuk langit dan bumi, kemudian diganti dengan yang baru, maka barulah mengalami surga dan neraka sebagai pembalasannya.
Cukup di semesta alam ini saja. Toh, begitu banyak contoh mereka yang mengalami surga dan nerakanya masih di alam ini juga tanpa harus menunggu kematian, sebagai balasan langsungnya akibat amal perbuatan sebelumnya. Bahkan diri kita sendiri pun pasti pernah mengalaminya, dan tidak hanya sekali dua kali saja.
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain).......”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Ayat tersebut jelas menjelaskan neraka dan surga sebagai hari pembalasan yang termasuk di dalam alam akhirat  adalah berada di alam ini pula, yang kekal selama masih adanya langit dan bumi. Jadi cukuplah alam ini pula sebagai tempat pembalasan bagi jiwa-jiwa untuk merasakan surga dan neraka-nya, akibat amal perbuatan di kehidupan sebelumnya. Maka, penafsiran dari ketiga ayat di atas lebih mengarah kepada pengertian bahwa alam ini adalah tempat bagi kehidupan dunia maupun sekaligus tempat bagi kehidupan akhirat.
Yang jelas kehidupan ini adalah merupakan lanjutan kehidupan sebelumnya, serta amat sangat mempengaruhi pada kehidupan selanjutnya. Hari ini adalah karena hari kemarin, dan hari ini menjadi penentu hari esok. Begitu seterusnya baik dilihat ke belakang maupun dilihat ke depan, sampai pada akhirnya, kembali pulang kepada Tuhannya.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”    (QS 21:35)
Hati yang diselimuti kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya adalah bagaikan fatamorgana yang timbul membiaskan penglihatan aslinya, maka bukan tidak mungkin kesadarannya akan tujuan utama untuk dapat kembali pulang pun menjadi sirna, tertutup oleh bayang-bayang maya kenikmatan dunia yang dibiaskan iblis penggoda. Sehingga bersiaplah untuk menghadapi hari kemudian-nya, bersiap pula menerima balasan di hari pembalasan-nya.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”  (QS 17:72)
Ketika kehidupan di dunia, setiap diri yang baik tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pula setiap diri yang buruk tidak lepas dari kebaikan. Jadi, kebaikan dan keburukan seberat zarrah pun akan menerima balasannya. Maka di alam akhirat kelak, setiap diri yang baik (di dalam surga) akan terancam nerakanya pula dari keburukan seberat zarrah akibat kelalaiannya yang diperbuat sebelumnya. Dan setiap diri yang buruk mendapat harapan pula merasakan surganya dari kebaikan seberat zarrah yang pernah dilakukannya. Allah Maha Adil lagi tidak lalai sedikitpun dari pengetahuan-Nya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (titik), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (titik), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya”. (QS 99:7-8)
Begitulah keadilan Tuhan Yang Maha Bijasana. Janganlah kita menyangka mereka yang menikmati kemegahan dunia, hidup bergelimang kemewahan di kehidupan sekarang ini, selalu merasakan nikmat saja dan tak pernah sekalipun mengalami kesedihan, kesempitan, kesulitan, maupun kepayahan dalam sakitnya. Tentu mereka pun pernah mengalaminya, dan itulah bagian dari pembalasan atau nerakanya sebagai selingan kehidupan surganya, yang harus dialaminya, sebagai balasan yang sekarang dituai akibat amal perbuatan buruk di kehidupan sebelumnya.
Begitu pula sebaiknya, mereka yang hidup dalam kekurangan dan kesempitan, pasti mereka pernah mengalami sesekali kenikmatan, kelapangan, kemudahan, kebahagiaan, ataupun nikmat yang yang tak pernah disangka-sangkanya. Dan itulah surganya sebagai selingan dari kehidupan nerakanya yang merupakan balasan yang sekarang dituai dari amal perbuatan baik di kehidupan sebelumnya. Seperti itulah makna ayat di atas.
Dia-lah penguasa semesta (seluruh) alam, termasuk alam dunia sekarang sebelum kematian, setelah kematian adalah alam kubur menanti kebangkitan, kemudian setelah kebangkitan adalah alam pembalasan. Dibangkitkannya pun di alam dunia ini pula, yaitu sebagai mengalami siklus hidup-mati dan dibangkitkan, seperti siklus tidur-bangun hanya saja dalam skala yang panjang waktunya.
Sumber & Tujuan Segala Sesuatu
Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan.
(QS 1:5)
Bila menafsirkan menyembah hanyalah pada saat-saat melaksanakan ritual dalam shalat, yaitu ruku’ dan sujud,  maka maknanya menjadi sempit, tidak akan mampu mencapai kepada tujuan shalat itu sendiri sebagai yang mencegah perbuatan keji dan mungkar, sehingga menghasilkan manusia-manusia berakhlak mulia dan terpuji.
Maka akan lebih tepat, bila menafsirkannya sebagai beribadah. Dengan begitu, maknanya menjadi lebih meluas kepada amal perbuatan. Karena beribadah, tidak hanya melaksanakan shalat sebagai bagian dari mengingat (menjaga kesadaran) kepada Tuhannya, melainkan pula mewujudkan ingat-nya tersebut kepada bentuk-bentuk amal perbuatan yang mencerminkan shalat atau ingat-nya, yaitu kebajikan.
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)
Setelah ayat-ayat tersebut di atas direnungkan secara mendalam, maka maknanya semakin khusus mengarah pada amal perbuatan yang menyentuh kepada orang lain, sebagai perwujudan shalat-nya. Yaitu amal perbuatan yang merupakan rahmat kepada sesama makhluk Tuhannya.
Shalat sebagai pengingat dan penyadar bahwa diri-nya adalah perwujudan dari Yang Maha Terpuji, Allahu raahmanur-rahiiym, dan mengarahkan amal perbuatan yang terpuji, yaitu yang suka menolong dan kasih sayang terhadap sesama makhluk Tuhan. Dan akan celaka, bila shalat-nya tidak berwujud pada amal perbuatan terpuji seperti disebut ayat-ayat di atas, yaitu amal perbuatan yang malah tidak terpuji, seperti tidak suka menolong, perbuatan keji, dan merusak atau zhalim.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
 Dan dengan selalu mengingat Allah, akan menyadarkan diri-nya, bahwa dengan mewujudkan kehendak-Nya menjadi kehendak-nya yang mewujud di alam sebagai amal perbuatan-nya. Maka, itulah yang disebut manusia yang berketuhanan, yang mewujudkan shalat-nya dalam setiap gerak amal perbuatan-nya. Menjadikan kehendak-nya dengan mensucikan-nya, karena sebagai perwujudan dari kehendak Dia sebagai Yang Maha Suci. Juga sebagai bentuk telah berserah diri seutuhnya secara ikhlas bersatu atau manunggal bersama Tuhannya dalam mewujudkan setiap kehendak-Nya di alam, sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Orientasi shalat, ibadah, bahkan hidup dan matinya hanya kepada Tuhannya, adalah mengarahkan kesadaran jiwa untuk menyadari kembali, bahwa Dia-lah sesungguhnya segala sesuatu berasal, dan segala sesuatu tersebut kembali menuju.
Maka segala sesuatu tersebut haruslah murni (suci) dari kekotoran pengakuan (ego), agar dapat kembali kepada pemilik sesungguhnya (yaitu Allah, pemilik segala sesuatu dan Yang Maha Suci). Bila tidak, dan diaku oleh ego, maka akan kembali menuju kepada yang mengaku, sebagai yang harus dipertanggung jawabkan. Logikanya, jika telah dikembalikan kepada pemilik yang sesungguhnya, maka tiada perlu lagi ada pertanggung jawabannya. Jadi, selama diri merasa memiliki setiap yang dianugerahkan kepadanya, maka tetap memiliki pula tanggung jawabnya.
“..... Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (QS 29:45)
Amal perbuatan yang tak merefleksikan shalat-nya malah sebagai yang dibenci Allah. Karena, amal perbuatan tersebut justru yang meruntuhkan agama Allah, sebagai yang mengingkari kebenaran petunjuk jalan lurus-Nya. Jelas, dengan shalat yang seharusnya dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, tetapi malah diingkari dengan melakukan  amal perbuatan sebaliknya, yaitu perbuatan yang dimurkai-Nya. Maka celakalah mereka yang seperti itu.
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan.”  (QS 107:1-7)
Setelah ayat-ayat tersebut di atas direnungkan secara mendalam, maka maknanya semakin khusus mengarah pada amal perbuatan yang menyentuh kepada orang lain, sebagai perwujudan shalat-nya. Yaitu amal perbuatan yang merupakan rahmat dari Tuhannya kepada sesama makhluk. Shalat sebagai pengingat dan penyadar bahwa diri-nya adalah perwujudan dari Yang Maha Terpuji, Allahu raahmanur-rahiiym, dan mengarahkan amal perbuatan yang terpuji, yaitu yang suka menolong dan kasih sayang terhadap sesama makhluk Tuhan. Dan akan celaka, bila shalat-nya tidak berwujud pada amal perbuatan terpuji seperti disebut ayat-ayat di atas, yaitu amal perbuatan yang malah tidak terpuji, seperti tidak suka menolong, perbuatan keji, dan merusak atau zhalim.
Shalat seharusnya sebagai yang menjaga kesadarannya bahwa Tuhannya selalu bersama dalam gerak amal perbuatannya di setiap waktu, tanpa pernah dirinya lepas dari kuasa pengawasan dan kuasa pemeliharaan-Nya.
“..... Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
Dia-lah sebagai pendahulu segala sesuatu, yang mendahului segala sesuatu keberadaan. Sedangkan segala sesuatu selain Dia, termasuk kemanusiaan, adalah sebagai keberadaan yang  baru. Dia-lah awalu wa akhiru, yang mengawali dan yang mengakhiri, akan tetapi Dia sendiri bukanlah yang awal maupun bukanlah yang akhir. Dan segala sesuatu yang ada selain Dia adalah merupakan ciptaan-Nya, tentunya sudah pasti memiliki awal dan juga memiliki akhir.
Dia mendahului segala sesuatu yang ada sebelum kita ada, dan Dia-pun mendahului segala sesuatu yang akan ada setelah kita tiada. Dan Dia pulalah yang mengakhiri segala sesuatu, bahkan segala sesuatu yang belum ada sekarang. Akan tetapi, Dia sendiri tidak berawal dan tidak berakhir. Segala sesuatu, termasuk diri kita, berakhir karena diakhiri oleh-Nya, bagaimana mungkin dari segala sesuatu tersebut dapat mengetahui kapan Dia berakhir. Bagaimana mungkin yang diakhiri oleh-Nya dapat mengetahui Dia berakhir? Maka kesimpulannya, Dia tidak berakhir, karena Di-lah yang mengakhiri segala sesuatu selain diri-Nya.
Dengan begitu pula maka Dia adalah Yang Kekal Abadi tak tersentuh kematian. Maka Dia pun menjadi berbeda dengan makhluk, karena Dia-lah sesungguhnya Yang Maha Pencipta segala sesuatu atau makhluk dan kemudian memelihara dengan rahmat-Nya. Maka Dia menjadi Yang Maha Mandiri, karena selain Dia adalah bergantung kepada-Nya. Jadilah Dia Yang Maha Esa, satu-satunya Yang Maha Tunggal. Ketunggalan-Nya membuat Dia sebagai Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha berkehendak. Sehingga membawa kepada pemahaman, bahwa Dia-lah sebagai satu-satunya eksistensi sejati. Eksistensi Tunggal sebagai sumber dan tujuan segala sesuatu.
“... Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).”  (QS 5:18)
“... Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”  (QS 21:35)
........ Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih hati”. (QS 2:112)
Rasa takut dapat timbul karena disebabkan beberapa faktor pemicu. Seperti rasa takut yang timbul karena ketakutan akan kemiskinan, ketakutan akan mengalami kesulitan, ketakutan jatuh bangkrut atau mengalami kerugian, ketakutan turun dari jabatan, serta banyak ketakutan lainnya yang amat mempengaruhi niat serta amal perbuatan-nya, sehingga timbullah keinginan-keinginan yang dapat menyesatkan jiwa-nya, bahkan sampai kepada menggadaikan keimanan-nya, merontokkan kembali keimanan yang sebelumnya telah diperkokoh-nya. Bagaimana mungkin seseorang yang telah kokoh keimanan (keyakinan)-nya masih memiliki rasa takut?
Tidak pula bersedih hati, bagi mereka-mereka yang telah dapat melepaskan segala bentuk keinginan. Umumnya, mereka-mereka yang bersedih hati adalah kecewa karena tidak tercapai keinginan-nya. Sehingga, apabila mereka hendak lepas dari kesedihan-nya, maka mereka dengan segera mengorbankan atau melepas keinginan-nya tersebut. Sayangnya, masih saja terjebak dengan mencoba keinginan-keinginan lainnya yang masih menggiurkan angan-angannya.
Tuhan kita adalah Allahu raahmanur-rahiiym, sebagai Yang Maha Pemurah dan Maha Kasih Sayang. Kokohnya keimanan kepada-Nya seharusnya membawa kepada keyakinan setiap diri, bahwa Dia telah menganugerahkan seluruh rahmat-Nya baik berupa anugerah yang telah kita terima, maupun yang belum kita terima (sebagai hari kemudian).
Artinya, segala macam anugerah yang belum diterima, apakah itu kebaikan atau keburukan, adalah ditentukan berdasarkan usaha (upaya) jerih payah kita pada setiap kebaikan atau keburukan amal perbuatan pada saat ini. Tentunya ada pula anugerah kebaikan atau keburukan yang belum diterima (dituai) saat ini dari amal perbuatan sebelumnya.
Sedangkan kebaikan atau keburukan amal perbuatan dinilai dari rasa ikhlas-nya berserah diri (islam) kepada apa-apa yang telah diyakini (iman)-nya. Dan rasa ikhlas-nya berserah diri (islam) ini sebenarnya adalah sebagai usaha memelihara kekokohan keimanan-nya, sebagai pemandu arah kepada jalan lurus-Nya yang menuju keselamatan dan kenikmatan hidup, baik hidup di kehidupan saat ini (dunia) maupun kehidupan di hari kemudian (akhirat).
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)
Adalah nyata-nya ketiadaan sesungguhnya insan kemanusiaan. Karena hanya Dia yang wujud, sedangkan selain-Nya adalah fana (berubah-ubah), menerima wujud-Nya, serta merupakan perwujudan-Nya, bahkan hidup-nya adalah karena diberi kehidupan oleh-Nya. Dari ujung kaki hingga ujung rambut adalah anugerah wujud dari perwujudan-Nya, dan tidak secuilpun yang dimiliki serta dikuasai oleh dirinya sendiri.
Jangankan memiliki, memberikan rizkinya pun bukanlah dirinya yang sebagai pemberinya, melainkan Allah-lah pemberinya. Bukan pula dirinya yang memerintahkan kepada kuku-kukunya untuk bertumbuh panjang, kepada rambut untuk bertumbuh panjang, kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya ke seluruh tubuh, bukan pula dirinya yang memerintahkan sel-sel tubuhnya untuk membelah diri sebagai pengganti sel-sel lainnya yang telah mati.
Diri ini hanya menerima saja semua itu berlangsung tanpa pernah, bahkan merasa ikut berperan. Maka sungguh naif, tidak layak dan pantas, merasa mengaku sebagai pemilik, penguasa, dan pemerintah dari rakyat yang berupa milyaran sel yang membentuk organ dan jaringan seperti, jantung, paru-paru, mata, telinga, mulut, kulit, tulang, otot, dan lain sebagainya.
Itu seluruhnya adalah anugerah yang dititipkan, yang suatu saat, kelak, pasti akan diminta pertanggung jawabannya. Hanya rasa yang sampai kepada diri, yaitu nikmat bila seluruh rakyat-nya sehat, dan sengsara bila salah satu rakyat-nya sakit. Pengakuan (ego)-lah yang menyebabkan rasa menjadi dominan hingga tak terkendali, nikmat dapat menyebabkan keangkuhan atau riya, dan sengsara yang dapat menyebabkan kekufuran. Itulah akibat pengakuan (ego) yang mengaku-aku sebagai pemiliknya.
“.....sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)
Kebanyakan diri terlena dan memanjakan keinginan-keinginan jiwa-nya, sehingga mau berbuat untuk orang lain bila ada keuntungan bagi diri-nya. Dan bila sedikit keuntungan yang didapat-nya, maka dia melakukannya dengan setengah hati atau malas, tidak berusaha sebaik bila besar keuntungan yang akan diterima-nya. Kemurnian atau keikhlasan dalam berbuat pun menjadi tidak ada, maka rasa yang diterima-nya pun akan kembali kepada diri-nya. Seperti masakan yang kurang bumbu dan garam, menjadi hambar tiada rasa.
Ketiadaan diri sebenarnya adalah telah hilangnya pengakuan (ego), dan mengakui yang ada (wujud) hanya milik Allah. Bahkan nafsu (nafs) pun adalah milik-Nya, karena itu selalu luruskan dan ingatilah Dia. Kemudian sucikanlah sebelum dipertanggung jawabkan kelak. Hidup dan kehidupan pada kemanusiaan, sesungguhnya, hanyalah menerima. Yaitu, menerima segala sesuatu baik disadari maupun tidak, juga baik sukarela maupun terpaksa.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”   (QS 17:72)
Bila dirinya lebih memaksakan kehendak atau lebih memaksakan keinginan buruknya, maka menerima akibat atau balasannya pun akan secara terpaksa. Memaksakan dan keterpaksaan itulah sebagai dosa yang ditanam dan yang akan dituai-nya. Hilangnya pengakuan (ego) adalah usaha mencapai kesabaran dan bersyukur dalam menerima apapun yang diberikan kepadanya. Dengan demikian, secara tak langsung, dirinya telah berusaha melenyapkan aku-nya, dan lebih menghidupkan Aku-nya, maka setiap gerak laku (amal perbuatan)-nya adalah perwujudan sifat-sifat Dia yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia.
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”  (QS 2:45-46)
Amal perbuatan yang merefleksikan shalat-nya, tentu akan membuat jiwanya lebih matang, termasuk juga mencapai kesadaran betapa pentingnya bersabar dan bersyukur di dalam kehidupannya. Kehidupan yang sesungguhnya dibawah naungan kuasa dan pemeliharaan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Kasih Sayang.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Begitulah sebagai yang berserah diri (islam), yaitu yang mengorientasikan segalanya hanya kepada Allah, karena Dia-lah sumber sekaligus tujuan segala sesuatu. Dari-Nya lah segala sesuatu berasal, dan kepada-Nya lah segala sesuatu tersebut kembali pulang.
Petunjuk
Tunjukilah kami jalan yang lurus.
(QS 1:6)
Ar Raahmanur-rahiiym, Dia sebagai Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang kepada seluruh makhluk-Nya. Segala sesuatu di semesta alam ini, tanpa terkecuali, sesungguhnya berada dalam naungan rahmat dan kasih sayang-Nya. Dan dengan kuasa-Nya, Dia tundukkan segala sesuatu seluruhnya yang berada di langit dan di bumi bagi kepentingan kemanusiaan. Dan sempurna-Nya adalah tanpa mengurangi rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka selain kemanusiaan.
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”  (QS 31:20)
Begitulah konsep dan sistem-Nya bagi keseluruhan makhluk-Nya, sebagai yang saling berbagi dan saling menebarkan rahmat Tuhannya, rahmatan lil ‘aalamiiyn. Tanpa terkecuali, semuanya pun sebagai aparat Allah. Yaitu sebagai pembawa dan penyampai rahmat-Nya.
Dan seluruh makhluk-Nya, termasuk kemanusiaan, sesungguhnya sedang menuju kesempurnaannya agar dapat kembali pulang kepada-Nya dengan kemurnian dan kesucian. Maka bila telah tiba batas waktunya tersebut, untuk kembali pulang, maka seluruhnya dengan sukarela atau terpaksa tetap bergerak menuju kepada-Nya.
Bila masih ada yang melekat padanya kekotoran atau kesesatan, sebagai yang tidak murni dan tidak suci, terpaksa mengalami peleburan untuk pembersihannya. Seperti melebur logam emas untuk memisahkannya dari kekotoran yang melekat. Atau seperti orang yang hendak membersihkan tatto di kulit tubuhnya dengan menggunakan soda api atau seterika panas. Rasanya, mungkin, seperti orang yang masih ingin hidup seribu tahun lagi, namun apa daya malaikat maut telah di depan mata.
Rahmat dan karunia telah selalu dan selalu diberikan-Nya, juga waktu dan kesempatan diberikan selalu beriringan dengan anugerah-anugerah-Nya, tetapi mengapa masih pula membawa kotoran yang melekat kuat pada jiwanya. Perjanjiannya adalah, ketika berangkat dalam keadaan suci dan murni, maka kembali pulang-nya pun harus pula dengan keadaan suci dan murni. Begitulah hukum-Nya.
“..... Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil.....” (QS 13:17)
Allah yaitu Tuhan semesta alam, yang telah memberikan rahmat-Nya tanpa batas, termasuk pula rahmat petunjuk-Nya, baik yang tersebar merata di semesta alam, di dalam dada, dan melalui kitab-kitab suci-Nya, serta yang sesekali datang sebagai rahmat petunjuk yang menjelaskan dan ditanamkan ke dalam dada diri-diri kemanusiaan yang berserah diri (islam).
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ”, (QS 6:125)
Tiada yang lepas dari kehendak-Nya, sekalipun petunjuk-petunjuknya yang telah tersebar di alam ini, bila tanpa dikehendakinya, maka tiada seorang atau makhlukpun yang dapat menerimanya sebagai pengetahuan yang dipahami, apalagi diterimanya sebagai logika yang masuk di akal-nya. Kehendak Allah-lah kepada siapa Dia hendak memberikannya, dan kepada siapa Dia hendak menutupi dadanya sekalipun matanya melihat dengan terang dan jelas.
Bahkan pada Kitab Suci, yang berisi firman-firman Tuhan dengan kebenaran, yang diturunkan melalui aparat-Nya yang benar dan suci (ruhul kudus) kepada orang yang benar dan terpercaya (al amin), bila Dia belum berkehendak memberikan petunjuk-Nya, maka siapapun yang membacanya takkan mendapatkan petunjuk. Malah pula bagi mereka yang tertutup hatinya, justru kesesatan-lah yang mereka dapatkan, bukannya petunjuk.
Kemanusiaan adalah sebagai wakil-Nya, dan merupakan perwujudan Tuhan di alam yang raahmanur-rahiim bagi sesama makhluk. Itulah makna iblis secara positifnya. Dan menjadi negatif bila diri atau nafs kitapun cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa nafs kita yang sesungguhnya harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan pemeliharaan cahaya-Nya.
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.”  (QS 29:49)
Maka lindungilah pula ‘cahaya-cahaya’ yang datang membanjiri bumi dengan melihara-nya sebagai teman sejawat yang selalu menemani diri kita untuk keluar dari kesulitan menuju kemudahan-Nya, keluar dari kegelapan menuju terang benderang-Nya, serta keluar dari gelapnya kebodohan menuju kepada cahaya pengetahuan-Nya. Pahamilah, bila kita tak melindungi dan memelihara mereka, maka mereka akan berubah menjadi musuh kita yang nyata. Begitu pulalah makna bunyi ayat,
“.....dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir.” (QS 13:22)
Segala macam petunjuk yang datang adalah merupakan kebaikan dan kebenaran, diri atau nafs-lah yang menjadikannya apakah tetap dalam kebaikan dan kebenaran, kemudian mengembangkan lagi menjadi lebih bermanfaat bagi sesama makhluk-Nya. Bila menjadikannya sebagai keburukan dan kesalahan, maka kelak, akan kembali kepada dirinya sebagai yang dituai.
Renungkanlah, semoga Allah membuka dada kita kepada pemahaman yang tidak sia-sia belaka. Karena iblis juga dekat, berada dan bermain-main di sekitar permukaan bagian luar kalbu kita. Berbisik dan menggoda dengan bujuk rayunya, bahkan mengemas hasutannya agar terbayangkan indah dan mempesona khayalan nafs (jiwa) setiap diri. Iblis tiada pernah akan rela membiarkan kemanusiaan menuju atau bahkan dekat dengan Tuhannya, bila diri kemanusiaan itu sendiri tidak memiliki keikhlasan kepada Tuhannya.
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”.  (QS 15:39)
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Menyadari kuasa Allah kepada para aparat-Nya, malaikat dan rasul yang ternyata adalah meliputi diri setiap kemanusiaan ini pula, yang sesungguhnya untuk disadari dengan memperbesar perannya pada diri kita agar terjaga dari hawa-hawa nafs pada keserakahan, ketamakan, dan kesombongan agar tidak terperosok kepada bencana di hari kemudiannya. Dengan membaca tanda-tanda alam sebagai petunjuk yang mengarahkan kepada kebaikan dan kemaslahatan bersama sebagai rahmat Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang.
Begitupun pada setiap diri kemanusiaan, ada kitab yang telah ditanamkan di dalam dada, dan di dalamnya telah tertulis segala sesuatunya sebagai naluri ketuhanan. Dan akan dibenarkan kelak ketika diri mendapatkan petunjuk dari-Nya satu per satu sebagai ketetapan yang nyata. Maka beruntunglah jiwa yang telah dibukakan dadanya untuk menerima petunjuk-Nya, kemudian mengakui kebenarannya dan mengeluarkannya sebagai amal perbuatan yang bermanfaat bagi sesama sebagai rahmat dari Allaahu rahmaanur-rahiim, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Kasih Sayang.
“.........melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 10:61)
Sebagai contoh, segala sesuatu yang tidak disadari sebelumnya, seperti pekerjaan organ-organ tubuh yang dikiranya  bekerja dengan sendirinya, yaitu pada jantung yang memompa darah, paru-paru yang mengatur suplay oksigen, usus yang mencerna makanan, dan lain sebagainya yang bukanlah kita yang menetapkannya untuk bekerja seperti itu, ternyata adalah ketetapan yang telah tertulis di dalam dada dan dikerjakan oleh para aparat-Nya, kemudian setelah datang ilmu sebagai petunjuk, maka kita mengakui kebenarannya.
Dan bagi orang-orang yang bersyukur, mereka akan menghargai peran dari kerja aparat-aparat Allah tersebut pada organ jasadnya yang menghasilkan energi baru, yaitu amal perbuatan, apakah itu gerak ucap, gerak tekad atau niat, maupun gerak amal perbuatan yang tidak diridhai-Nya.
Disinilah tahap jiwa berusaha mengenali jati dirinya, bila telah menyadari, bahwa ternyata bukan dirinyalah yang membutuhkan energi dan bukan pula yang menghasilkan energi untuk amal perbuatan yang ternyata pula sempat diakui sebagai amal perbuatannya sendiri. Itulah memahami makna laa hawla wa laa quwwataa illa billaahi, bahwa tiada kekuatan selain kekuatan Allah.
“.....dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.....” (QS 8:17)
Gerak langkah, gerak melihat, gerak mendengar, dan gerak lain-lainnya sampai kepada gerak pikir, atau bahkan gerak refleks yang tidak disadarinya, adalah membutuhkan energi. Diri hanya tau lapar dan haus, maka makan-minumlah sebagai obatnya, sementara menyadari bahwa dengan makan-minum maka dia akan mendapatkan energi adalah hal kemudiannya, apalagi menyadari sampai kepada bagaimana proses makanannya dapat dirubah menjadi energi dan menyadari pula peran siapakah sesungguhnya yang mengubah makanan hingga menghasilkan energi, tentu tidaklah diperdulikannya. Mungkin karena kesibukannya yang hanyut akan kebutuhan dunianya.
Bila kita melangkah lebih jauh kepada ilmu biologi molekuler, akan semakin terungkap maksud “kitab yang telah ditanamkan” pada setiap diri kemanusiaan. Yaitu bagaimana DNA-RNA dan kromosom sebagai penentu sifat bawaan diri setiap kemanusiaan (kitab yang terjaga).  Atau pada jaringan permukaan kulit di jari tangan sebagai sidik jari dan lapisan optik kornea mata sebagai identitas diri setiap kemanusiaan yang berbeda satu sama lainnya.
Sifat bawaan itulah yang akan sangat besar mempengaruhi pola hidup setiap diri. Bagi yang bersifat pemarah, dan pola hidupnya pun tidak menyesuaikan sifatnya tersebut, maka penyakitnya pun dapat diketahui, seperti darah tinggi atau stroke. Dan pada yang bersifat serakah atau rakus, juga pola hidupnya yang tidak disesuaikan akan menyebabkan penyakit gula atau diabetes. Apalagi bila pola hidupnya malah menjerumuskannya, sampai kapan kematiannya pun dapat ditebak atau diketahui. Itulah makna bahwa segala sesuatunya telah tertulis, ada pada dirinya sendiri.
“Sesungguhnya dahulu mereka tidak pernah mengharapkan perhitungan, dan mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat Kami. Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu Kitab”. (QS 78:27-29)
Tubuh atau jasad setiap diri kemanusiaan yang terdiri dari milyaran sel yang hidup dan sibuk bekerja setiap saatnya oleh cahaya hidup para aparat (malaikat). Pada uraian sebelumnya, yang menyebutkan para malaikat adalah juga merupakan energi bagi setiap gerak tubuh atau jasad baik yang disadari maupun yang tidak disadari, dan energi tersebut tidaklah habis atau musnah, melainkan berubah bentuk (ber-reinkarnasi pula) serta meninggalkan catatan-catatan sejarah kerjanya sebagai pertanggung jawaban kepada yang memberikan perintah kepadanya, yaitu Dia yang Maha Tunggal. Juga ternyata, catatan-catatan tersebut merupakan catatan amal diri kemanusiaannya yang pula akan harus dipertanggung jawabkan pada hari penghakimannya, kelak. Catatan-catatan itulah yang akan menentukan arah gerak kehidupan-kehidupan selanjutnya.
Semesta alam beserta keseluruhan isinya, termasuk diri kemanausiaan, selain sebagai kitab besar yang menyimpan segala petunjuk dan ketetapan dari setiap kehendak-Nya, ternyata merupakan pula sebagai ‘hard disk’ atau rekaman besar, kitab yang berisi catatan amal seluruh makhluk-Nya. Sebagai kitab yang terjaga.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Bila sebelumnya, kehendak dan keinginan adalah merupakan gerak dari kehendak dan keinginan alami yang murni atau sunathullah, sesuai kodrat dan iradat-Nya, tetapi kini setelah jiwa melekat pada jasadnya, kehendak dan keinginan telah berkembang dipengaruhi dan terkontaminasi oleh kebutuhan serta angan-angannya. Kini dihadapkan kepada dua pilihan, kebaikan atau keburukan, manfaat atau mudharat (merugikan), kefasikan atau ketakwaan, yang keduanya harus dipertanggung jawabkan sebagai hari kemudian-nya, kelak.
“Kemudia Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali bersyukur”  (QS 32:9)
Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati setelah ditiupkan-Nya Ruh-Nya, adalah jiwa yang dapat me-rasa-kan seluruh inderawi yang berada pada jasadnya. Telinga untuk dapat merasakan pendengaran, mata untuk merasakan penglihatan, hidung untuk merasakan bau, kulit untuk merasakan rabaan, dan lain-lainya yang kesemuanya terhubung dengan akal dan kesadaran yang hidup dan berkembang dengannya agar bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun selainnya sebagai wujud rasa syukur kepada-Nya.
Jiwa inilah yang menjadikan rasa begitu dominan mempengaruhi kualitasnya. Nikmat kebaikan atau sekalipun nikmat keburukan, sesungguhnya adalah rasa yang menilainya dan akan berbekas di hatinya. Begitu pula pada nikmat kesenangan ataupun sengsara, kebahagiaan dan kesedihan, ketentraman dan kegelisahan, dan lainnya adalah merupakan pasangan yang dinilai oleh rasa dan amat mempengaruhi kejiwaan.
Pada diri atau jiwa yang hanya terpaku oleh pandangan mata saja, hanya tertarik kepada yang nyata-nyata saja, atau dengan kata lain perhatiannya hanya pada materi (materialisme) belaka, maka tidak akan pernah menemukan esensi kehidupan  sejati. Tiada pernah memahami mengapa dadanya selalu menarik dan menghembuskan nafas, mengapa jantungnya selalu berdetak, mengapa rambut-rambut dan kuku-kukunya selalu bertumbuh panjang sekalipun sering dipotongnya. Mengapa pula putih atau hitam kulitnya, mancung atau pesek hidungnya, besar kecil ukuran tubuhnya, dan lain sebagainya yang bukan diri atau jiwanya menghendaki atau bahkan memerintahkannya. Juga tidak memahami kenapa bisa timbulnya keresahan pikiran, pencarian solusi, penganalisaan permasalahan, dan hingga kepada penyimpulan untuk mendapatkan pemahaman.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat  tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS 3:190-191)
Kelak setiap diri akan memahami mengapa hal-hal tersebut terjadi pada dirinya, dan mengarahkannya kepada mengenal Tuhannya sebagai realitas sejati, sehingga dapat berserah diri (islam) secara kaffah (total) murni dan ikhlas. Tidak sekedar tunduk patuh, mengabdi, menyembah, dan berserah diri kepada tuhan yang dia sendiri tidak mengenalnya. Bisa-bisa, ternyata, hawa nafsu (ego)-nya sendiri yang dianggap tuhannya (QS 45:23).
Segala sesuatu yang tersebar di semesta alam ini, termasuk diri-diri kemanusiaan, sesungguhnya selain sebagai yang menerima rahmat petunjuk-Nya, adalah pula merupakan sebagai pembawa dan penyampai rahmat petunjuk-Nya. Mereka yang membawa dan menyampaikan itulah yang disebut rasul. Dan Allah memilihnya dari malaikat dan manusia.
“Allah memilih utusan-utusan (rasul) dari malaikat dan menusia, ...... (QS 22:75)
Lalu cobalah akal dan kesadaran kita untuk melakukan perjalanan dan berinteraksi dengan alam sekitar, mencoba memahami satu per satu apa yang dilihat, apa yang didengar dan apa yang dirasa dengan hati yang jernih tanpa membawa kesibukan perhatian lainnya. Apakah sesungguhnya yang dikehendaki Allah maka semua ini ada untuk memudahkan kehidupan kita? Tentu Dia tak sekedar mencipta serta memelihara demi kemanusiaan. Pastilah ada tujuan utama-Nya maka Dia melakukan semua ini dan nanti.
“.....Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) benar dan waktu yang ditentukan......” (QS 30:8)
“Sucikanlah nama Tuhan-mu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan, dan menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar dan memberi petunjuk.” (QS 87:1-3)
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”  (QS 31:20)
“...... dan malaikat dalam naungan awan.........  (QS 2:210)
“Dia-lah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)
Kita berusaha memahami kehendak-Nya dan mengenal-Nya, agar jiwa kita bisa selalu tetap berada dalam jalan lurus-Nya, dan justru menjadi tak tersesat dalam rahmat nikmat dari setiap anugerah-Nya yang luas dan tak terhitung.
“.... Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”  (QS 21:35)
Tidak hanya pada merasakan kenikmatan hidup yang selalu terpenuhi, bahkan berlebihan dan bergelimang kemewahan saja yang dapat menghanyutkan jiwa pada kesesatan, akan tetapi kesulitan akan kebutuhan yang tak kunjung tercukupi dan bahkan menyengsarakan pun sebagai yang dapat menjerumuskan jiwa kepada kesesatan dari berserah diri secara ikhlas kepada-Nya. Keduanya adalah disebabkan tak pernah terpenuhinya kepuasan. Jiwanya selalu merasa haus pada dunia.
Tidak hanya berhenti di situ, demi memenuhi kepuasan, bathin yang telah terikat kepada kehidupan akhirat pun dapat tergoda. Ya, mereka yang jiwa-jiwanya hendak menuju kepada kebersihan pun tak luput dari usaha penyesatan iblis yang seakan tak pernah berhenti pada tujuannya, yaitu sebagai yang hendak menyesatkan jiwa-jiwa dari tujuan kepada Tuhannya. Sekalipun kepada jiwa-jiwa terbaik yang hendak mencapai kesempurnaannya.
“.... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.”  (QS 38:26)
Bukanlah hal yang mustahil, diri-diri yang telah berusaha  hendak mencapai kesempurnaannya pun dapat tergoda dan tertipu kedalam kesesatan. Banyak pula kasus ulama atau pendeta, atau mereka yang telah dianggap suci malah mengalami terperosok kedalam bujuk rayu hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya.
Bila dikembalikan kedalam, ternyata segala sesuatu ada pada rasa, rasa-lah yang membuat segala sesuatu bernilai. Baik dan buruk, susah dan senang, manis dan pahit, kaya dan miskin, semuanya rasa-lah yang mempengaruhi nilainya. Dan semua rasa ada dan berdiam di hati atau kalbu. Sebab itulah kepekaan rasa pun menjadi hal yang penting untuk dapat menggugah kesadaran jiwa, agar selalu melunturkan kekotoran-kekotoran yang telah melekat di hatinya.
Begitu pula kejernihan dan kebersihan hati yang akan sangat mempengaruhi penilaian rasa, semakin jernih atau bersih hati dari kekotoran hawa nafs keburukan maka penilaian terhadap rasa akan menjadi terang, menjadi jelas dalam menyikapinya. Keburukan yang datang diterimanya dengan ikhlas, seperti menerima datangnya malam setelah siang, karena bersama keburukan akan datang kebaikan sebagai suatu pasangannya. Dibalik kesulitan ada kemudahan, seperti bayangan yang selalu ada di belakang cahaya.
Hati yang tenang dan mudah dikendalikan akan pula mengendalikan dengan sehat kepada jiwa dan jasad (raga). Dan sebaliknya, pada hati yang resah karena tersesat oleh kekotoran hawa nafs keduniawian, maka akan menyesatkan jiwa dan merusak jasad-nya dengan penyakit. Adalah hati yang telah bersih dari pengakuan (kesombongan ego) akan membawa jiwa kepada ketenangan dan ketentraman sebagai nafs al mutma’innah yang terkendali.
Jadilah diri yang tunduk patuh atas setiap perintah dan larangan-Nya, atau berserah diri (islam) dengan ikhlas atas setiap amal perbuatan,  maka sang iblis pun menyerah, dan akan kembali kepada wujud asalnya, yaitu sebagai wujud malaikat yang tunduk patuh kepada Tuhannya, dan mau pula bersujud kepada diri kemanusiaan, sebagai teman sejawat penjaga, pembawa dan penyampai kehendak Tuhan. Jadilah diri-nya sebagai sebenar-benarnya perwujudan Tuhan di alam yang saling menebarkan rahmat dan kasih-sayang bagi sesama makhluk. Itulah makna iblis secara positifnya.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS 12:53)
Dan menjadi negatif bila diri atau nafs kitapun cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa nafs kita yang sesungguhnya harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan pemeliharaan cahaya-Nya. Dengan demikian, keikhlasan akan membawanya kepada jalan (agama) yang lurus, yang mengarahkan kepada seluruh arah tujuan kehidupan sesungguhnya yang haqq, kebenaran dan keselamatan.
Melunturkan sedikit demi sedikit pengakuan (ego) melalui cara pengenalan terhadap diri-nya sendiri dan mengenal para aparat (malaikat)-Nya, para rasul-Nya, segenap kitab-Nya, hari akhir-Nya, serta kadar baik dan buruk-Nya. Mengenal seluruhnya tersebut adalah pula merupakan mengakui keberadaan dan kuasa Allah yang sesungguhnya menggerakkan dan memerintahkan atas segala sesuatu. Kehendak-Nya meliputi segala sesuatu tersebut.
Menyadari, betapa sebenarnya diri-nya adalah perwujudan Yang Maha Terpuji di alam yang saling menebarkan rahmat kepada sesama makhluk-Nya, adalah usaha memposisikan dirinya untuk siap menerima petunjuk-petunjuk-Nya. Memposisikan diri dengan membersihkan hati dari kekotoran hawa nafsu yang membawa kepada amal perbuatan yang selain merugikan orang lain dan tidak pula merugikan dirinya sendiri.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama-Mu? Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS 30:30)
Itulah fitrah kemanusiaan yang dikehendaki Allah, dan merupakan ketetapan-Nya yang takkan berubah. Kemanusian sebagai khalifah adalah merupakan perwujudan Dia Ar Raahmanur-rahiiym (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) di muka bumi, sebagai wakilnya di muka bumi yang saling menebarkan rahmat Tuhannya kepada sesama makhluk-Nya, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Nikmat & Siksa (Azab)
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
(QS 1:7)
Mengapa Allah memakai kata nikmat, dan bukanlah surga? Padahal yang Allah maksudkan adalah orang-orang terdahulu, yang telah lama tiada. Jika jawabannya, karena bila memakai kata surga, masih menunggu kiamat qubra dahulu. Bila pemahamannya seperti itu, surga dan neraka adalah menunggu kiamat qubra, itu jelas pemahaman yang salah. Allah menegaskan seperti firman-Nya di bawah ini.
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain)....”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Jelas sekali firman-Nya ini menerangkan keberadaan surga dan neraka yang kekal selama masih adanya langit dan bumi, bukan setelah kiamat dan tidak adanya lagi langit dan bumi. Dan berarti pula, ayat ini menegaskan bahwa surga dan neraka pun berada di alam dunia ini pula. Di kehidupan ini. Sekarang inilah kita pun sedang berada di dalam surga sekaligus neraka-nya.
Nikmat dan siksa adalah alam rasa, begitu pula surga dan neraka adalah alam rasa, bukan alam tempat. Jika kehidupan ini adalah balasan dari kehidupan sebelumnya, mengapa diri kita ingat pernah mengalami kehidupan sebelumnya?
Hal tersebut disebabkan oleh sunathullah(-Nya), bahwa masa-masa di dalam kandungan dan masa-masa balita adalah masa pembentukan memori (ingatan) pada jaringaan sel-sel otak, begitupun masa-masa tua-nya hingga kematiannya adalah masa-masa peluruhan atau kehancuran memori (ingatan)-nya.
“Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu, dan diantara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”       (QS 16:70)
Ingatan (memori) sebagai yang tersimpan dan berada di jasad (sel-sel otak), maka saat jiwa berpisah dengan jasad maka terpisah pula dengan memori ingatannya. Dan ketika dibangkitkan, sebagai bayi kembali dengan jasad yang baru, dan dengan membawa garis takdir baik dan buruk-nya sebagai neraka dan surga-nya.
Begitulah kita pun diwajibkan beriman kepada takdir baik dan takdir buruk. Diajarkan-Nya kita untuk dapat berserah diri (islam) dengan ikhlas menerima takdir tersebut yang merupakan surga dan neraka kita sebagai akibat perbuatan kita di kehidupan sebelumnya, dan tidak lagi membuat beban-beban baru bagi kehidupan kemudian.
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2:28)

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”  (QS 67:2)
Itulah ayat yang menegaskan kejadian kebangkitan yang berulang-ulang yang merupakan siklus mati-hidup, seperti siklus tidur-bangun tetapi dalam skala panjang waktunya, atau siklus proses terjadinya hujan sebagai air yang menguap naik-turun kembali kebumi, atau pada makhluk-makhluk Allah lainnya. Sampai pada akhirnya kepada-Nya lah kemudian diri-diri (jiwa) dikembalikan sebagai murni, suci dan bersih .
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”       (QS 29:19)
Jadi, ini adalah siklus perubahan bentuk atau wujud karena terurai kembali sebab dari yang telah ditetapkan oleh kehendak-Nya atau lebih dikenal dengan sebutan sunathullah. Termasuk siklus perubahan bentuk pada jasad dan wajah dari waktu ke waktu yang semakin keriput dan rambut yang memutih, sekalipun tanpa menghilangkan atau merubah identitasnya. Dan dengan siklus kematian dan dibangkitkan sebagai tujuan penyucian jiwa agar bisa kembali berpulang dalam kesucian kepada-Nya sebagai Yang Tunggal. Suci dari segala macam pengakuan (ego)-nya yang mengotori jiwa-nya, sehingga menghambat jiwa-nya untuk dapat kembali kepada Yang Tunggal, karena harus mengalami dibangkitkan atau dihidupkan kembali untuk membersihkan kekotoran yang masih melekat di ekhidupan sebelumnya.
“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur).”  (QS 30:19)
Bila kebangkitan adalah hal yang harus dan pasti terjadi setelah hari perhitungan atau penghakiman, yaitu untuk menjalani kembali kehidupan yang berisi balasan atas setiap amal perbuatan di kehidupan sebelumnya, maka berarti, kehidupan sekarang ini adalah merupakan balasan dari amal perbuatan pada kehidupan kita sebelumnya.
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)
Dengan demikian, menjadi pentingkah surga untuk dituju dan neraka untuk dihindari? Jika tujuannya adalah Dia, mengapa pula kita disibukkan untuk menghindari neraka dan terlena akan kenikmatan surga bila jalan telah terang? Hanya mereka yang buta akan tujuan akhir yang sejati sajalah yang dapat tersesat akibat terlena, baik karena tersesat kepada neraka maupun hendak menggapai nikmatnya surga. Padahal telah terang jalan menuju tujuan akhir yang sejati, yaitu kembali kepada Dia Yang Maha Tunggal, ilayhi raji’un.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua makhluk yang dapat melaknati.”
 (QS 2:159)
Betapa banyak pemahaman yang menjadi berbelok atau berbias hanya dikarenakan kesalahan dalam memaknai. Dan ini dapat saja berakibat kepada melemahnya keimanan bahkan kepada rasa berserah diri (islam)-nya. Maka hidup dan kehidupan menjadi tak tentu arah, karena jiwa yang seharusnya hanya melihat satu jalan, menjadi melihat banyaknya jalan yang terbias bagai fatamorgananya. Maka timbullah rasa semu yang mengatakan banyak pilihan. Timbul pula merasa pentingnya menghindari neraka. Juga menjadi timbul  rasa ingin menikmati surga.
Padahal, keduanya adalah godaan. Ya, godaan yang menghambat tujuan utama kita sebagai diri-diri kemanusiaan yang hendak kembali pulang kepada-Nya, yaitu Dia Yang Maha Tunggal. Godaan yang membuat kita merasa harus mampir sejenak untuk beristirahat dan merasakan nikmatnya surga,  sedang tujuan utama kita belumlah sampai. Jangan-jangan, ternyata, bukanlah nikmat surga yang kita dapati, melainkan panasnya neraka yang kita rasakan.
Layaknya seorang yang keluar rumah untuk mencari nafkah bagi anak dan istrinya, sehingga dia tahu dan sadar bahwa dirinya sangat dinanti kepulangan-nya. Akan tetapi tentunya diperjalanan pulangnya pun menjadi banyak godaan, seperti teman yang mengajak mengobrol santai di cafe atau warung kopi, atau tempat-tempat hiburan malam yang dapat menggiurkannya setelah rasa lelah bekerja seharian, bahkan hal-hal lain yang sungguh dapat menyesatkannya lebih jauh lagi dari tujuan utamanya, yaitu pulang ke rumah karena telah dinanti anak dan istrinya. Begitulah jalan kehidupan yang sungguh rentan dengan banyaknya godaan yang hadir silih berganti.
Bila tujuan utama telah hilang makna asalnya, dan fatamorgana yang timbul membias dari penglihatan aslinya, maka bukan tidak mungkin kesadarannya akan tujuan utama untuk dapat kembali pulang pun menjadi sirna, tertutup oleh bayang-bayang maya kenikmatan dunia yang dibiaskan iblis penggoda. Sehingga bersiaplah untuk menghadapi hari kemudian-nya, bersiap pula menerima balasan di hari pembalasan-nya.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”   (QS 17:72)
Nikmat dan siksa sebagai pasangan yang menggoda, yaitu pasangan yang dapat menjerumuskan mereka yang hanyut oleh keduanya. Lihatlah mereka yang dilalaikan kemegahan dan kemewahan kehidupan dunia, serta mereka yang tak sabar dalam penderitaan dan kesempitan.
Mereka ini yang keyakinan atau iman-nya telah tergerus oleh ketakutan yang berada dalam hatinya. Ketakutan berkurangnya atau kehilangan nikmat yang sedang melenakannya. Atau juga mereka yang ketakutan hidupnya akan selamanya terus sebagai yang menyiksanya.
Kedua ketakutan tersebut adalah angan-angan yang menyelimuti dan menutupi hatinya dalam melihat kebenaran-kebenaran dari cahaya petunjuk Tuhannya, sehingga jiwanya bisa semakin tersesat oleh angan-angan yang membawanya terus terperosok semakin dalam. Yang terlena kemewahan dan kemegahan dunia, semakin ingin lebih menikmati segala hawa nafsunya, maka semakin berkembang pulalah hawa nafsu lainnya. Dan mereka yang ketakutan hidupnya akan terus menderita, menjadi semakin tak sabar untuk dapat lepas dari penderitaannya, dan diambillah jalan singkat untuk merubah hidupnya. Dan mereka berdua pun semakin terlena dengan kesesatannya yang semakin dalam dan semakin menjeratnya.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”    (QS 21:35)
Secara tak sadar mereka telah menciptakan kehidupan yang tak sehat yang dapat menyebar kepada selain diri mereka sendiri. Telah terjadi hubungan dua arah, yang mereka kira adalah saling menguntungkan mereka, semacam simbiosis mutualisme. Dan hal ini akan terus menyebar bagai wabah penyakit. Seperti pencuri dan penadah, atau juga penyuap dan yang disuap.
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (je jalan yang benar).” (QS 16:113)
Ketika hal ini telah membudaya, maka biaya hidup semakin tinggi, semakin lagi memaksa pada kehidupan yang jauh lebih tak sehat lagi, hingga kronis. Terciptalah krisis multidimensi, di semua sektor kehidupan dan di semua kalangan profesi, semakin merembet kepada krisis moral dan keagamaan. Maka para anak-anak, remaja, dan pemuda pun bukan hanya menjadi korbannya, malah telah ikut-ikutan sebagai pelaku. Ya, telah menyebar ke seluruh kehidupan.
..... dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)
Adalah fungsi kesadaran manusia yang membuatnya tertarik memahami yang lahir (nyata), berinteraksi dan saling mengambil manfaat darinya. Kemudian meningkat kepada kesadaran untuk pula dapat memahami makna dari yang lahir (nyata), yaitu bathin
Di saat itulah diri kemanusiaannya, sekalipun pada masa-masa perkembangan kejiwaan ini, yaitu hati dan akalnya sedang pula terkontaminasi oleh keinginan dan kebutuhan, merasa tertuntut pula untuk dapat memahami makna-makna yang bathin yang sesungguhnya, dapat saja atau malah akan menimbulkan kontradiksi dengan keinginan dan kebutuhannya. Sehingga kini, telah tercipta dua kutub kekuatan tarik menarik yang sangat akan mempengaruhi kejiwaan serta arah kehidupannya.
Di saat itu pulalah terciptanya keragaman pada setiap diri kemanusiaan, yang menimbulkan berbagai macam perbedaan. Yang masing-masingnya membawa kebenaran, sekalipun sayangnya, masing-masing merasa dirinyalah yang benar dan baginya yang lain adalah salah. Disebabkan sudut pandang yang mendasari kebenaran, merekapun yang beraneka ragam. Akan tetapi, justru, disitulah bukti keaneka ragaman kebenaran di dalam kebenaran tunggal. Sebagai bukti ke-akbar-an Dia Yang Maha Tunggal.
Segala sesuatu di alam ini adalah rahmat-Nya, dan tak ada rahmat-Nya yang mengandung kesalahan atau kecacatan, juga keburukan. Karena keinginan dan kebutuhan-lah, maka manusia menilainya menjadi baik atau buruk. Itulah sebagai keterbatasan makhluk. Bila sesuai keinginan yang didasari kebutuhannya, maka dianggapnya kebaikan, telah menerima nikmat-Nya. Sedangkan, bila tak sesuai keinginan yang didasarkan kebutuhannya, maka dianggapnya sebagai keburukan, sebagai yang sedang menerima cobaan dari-Nya. Sesungguhnya, kemanusiaan itu hanya hidup menerima. Menerima segala rahmat-Nya.
Itulah kadar baik dan kadar buruk yang harus diterimanya, dan bila kesadrannya telah matang, maka hatinya lebih memahami bahwa Tuhannya tak memberikan kadar buruk kepadanya, hanya kebaikan dalam setiap pemberian-Nya.
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang akhirat adalah lalai.” (QS 30:7)
“Karena sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Jangankan kebenarannya, diri-dirinya pun beraneka ragam. Ya, diri-diri yang akbar didalam wujud kemanusiaan. Yang pada satu diri saja, kita takkan pernah mampu menentukan berapa jumlah sel yang membangun struktur tubuhnya, maka ragam kerja dan fungsinya pun berbeda-beda satu sama lainnya. Belum lagi keragaman pemikiran dan keinginan-nya yang tak pernah terpuaskan.
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan yang kafir).......” (QS 3:140)
Padahal, sekalipun ketetapan-Nya, ternyata diri kita sendirilah yang menyebabkan itu semua terjadi. Segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya. Layaknya siang dan malam, pagi dan sore, serta fajar dan petang. Cahaya dan bayang-bayang, panjang dan pendek, serta lurus dan bengkok. Begitu pula bahagia dan sedih, mudah dan sukar, serta nikmat dan sengsara. Segala sesuatunya tersebut dinilai sebagai kebaikan dan keburukan oleh makhluk. Ketetapan yang mutlak diterima makhluk, sedangkan baik-buruknya adalah penilaiannya sendiri yang justru yang dapat menjerumuskannya.
Semakin banyak kesadaran-kesadaran yang mengarahkan pemahaman terhadap segala sesuatu yang ditemuinya, maka mata hatinya menjadi hidup dalam menangkap setiap makna yang memberikan hikmah yang tiada ternilai. Hati yang hidup adalah kehidupan yang sempurna sebagai sejatinya kehidupan, karena tiada lagi rasa takut, gelisah, bingung, dan tak tahu arah. Sekalipun masih banyak yang belum diketahuinya secara lahir dan bathin, namun pemahamannya menyatakan keyakinannya untuk tetap dalam keberserah dirian (islam)-nya dengan murni dan ikhlas tertuju hanya semata kepada-Nya, Dia Yang Maha Tunggal.
Keburukan, adalah ibarat bungkus yang menyelimuti kebaikan (rahmat Allah) yang berada didalamnya. Hanya karena berada di dalam sebagai yang tak terlihat (masih ghaib), maka diperlukan usaha mebuka bungkus yang menyelimutinya tersebut. Begitulah hati kita memahami segala sesuatu yang datang kepada diri kita, apakah sebagai yang kita nilai kebaikan atau keburukan pada awalnya, yang kelak akan diketahui hikmahnya bahwa, sesungguhnya Allah hanya memberi kebaikan, yaitu rahmat-Nya. Hanya dengan hati yang bersih dari kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego), maka cahaya Allah dapat menerangi, bahwa yang datang dan diterimanya adalah rahmat Allah, yang seluruhnya adalah kebaikan.
Layaknya malam yang berganti fajar, dan terang kemudian datang menyambutnya. Atau kelelahan sehingga merasa harus beristirahat, dan segar kembali setelah bangunnya. Atau juga kebelet, hingga harus terbirit-birit lari kebelakang untuk (maaf) buang air, dan setelahnya akan merasa lega. Adakah pada semua itu merupakan keburukan? Seperti itu pula-lah hati kita seharusnya membuka kesadarannya untuk mendapatkan hikmah terhadap apa-apa yang datang dan dinilainya sebagai keburukan, yang ternyata adalah kebaikan.
Bila pada hidup-nya saja, diri kemanusiaan hanya menerima, maka tentu apapun itu yang berada di dalam kehidupan-nya juga seharusnya dapat diterima, sekalipun adalah sebuah keburukan. Sehingga hanya yang tidak tahu diri-lah sesungguhnya yang tidak dapat atau tidak mau menerima apa-apa yang diberikan kepadanya, termasuk keburukan.
Bila yang lahir (zhahir) yang menjadi tujuan dan melupakan yang bathin, maka sesungguhnya dia hanya mendapatkan kulit, tidak isi-nya. Tetapi jika hanya menginginkan yang bathin, maka dia akan membuang kulit. Oleh sebab itu, hilangkanlah segala keinginan agar menerima keduanya. Sebab mereka yang hanya menginginkan yang bathin akan membuang shalat dan puasa-nya, karena hanya mengambil makna-nya saja.
Padahal mereka yang telah mencapai pemahaman yang bathin tentu telah menyadari pula, adalah ketetapan-Nya bahwa kemanusiaan menjadi wakil-Nya di bumi sebagai yang mewujudkan segala sifat-Nya. Itulah fitrah kemanusiaan-nya yang tak pernah akan berubah. Semesta alam ini-pun diwujudkan-Nya untuk menyatakan keberadaan-Nya yang bathin, yang takkan mungkin dipahami oleh keterbatasan makhluk-Nya bila tak ada wujud-wujud sebagai perwujudan (perwakilan wujud)-Nya.
Kenalilah diri sendiri, yaitu dengan berusaha mengenal Tuhan-nya. Atau kenalilah Tuhan-nya, yaitu dengan berusaha mengenali diri-nya sendiri. Keduanya adalah cara untuk dapat menerima segala sesuatu dengan ikhlas, baik itu anugerah dan bencana, kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan, kemudahan dan kesulitan, kelebihan dan kekurangan, kekayaan dan kemiskinan, dan segala sesuatu yang lainnya yang merupakan isi dalam hidup yang pula diterima dari Tuhannya. Sehingga mencapai puncak kesadaran, bahwa sesungguhnya diri-nya lah yang tidak ada (gaib). Wujud-nya adalah karena diwujudkan, hidup-nya adalah karena dihidupkan, kekuatan-nya adalah karena diberikan kekuatan, bahkan nafas-nya pun karena diberikan, kematian-nya pun adalah karena diberikan oleh Dia sesungguhnya Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Tiada yang luput dari kuasa-Nya.
Maka keikhlasan adalah mutlak wajar sebagai perwujudan rasa menerima-nya sebagai sebuah kemurnian ibadah (amal perbuatan)-nya sebagai insan kemanusiaan yang ada dan bernilai hanya karena dan kehendak Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang. Dia-lah Allah yang memiliki dan menguasai segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi serta yang berada diantara keduanya. Tidaklah segala sesuatu tersebut yang terlepas dari pengawasan dan pemeliharaan-Nya.
Mereka yang memiliki kelapangan dada untuk berserah diri (islam), tentu seharusnya memiliki pula kesabaran. Sebab, mereka yang melapangkan dadanya akan lebih membuka hatinya terhadap masuknya limpahan cahaya petunjuk dari Tuhannya.
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ”  (QS 6:125)
Siapapun diri itu, yang telah memiliki kesabaran dan kelapangan dada untuk mencapai keberserahan diri (islam)-nya kepada Yang Maha Kuasa, apapun alasan penolakan terhadap ini, sesungguhnya dia telah memiliki iman dan keyakinan-nya, hanya tinggal tahapan pencapaian kebenarannya untuk mendapatkan yang haqq yang, mungkin saja, belum tercapai. Karena sartu per satu tahapan-tahapan (maqam) harus dilalui oleh jiwa dalam perjalanannya, seperti terbukanya selaput hijab-hijab yang menyelimuti kesadaran mata hatinya. Bahkan diri-diri yang merasa telah mencapai kebenaran pun, sesungguhnya belumlah mencapai kebenaran yang haqq, hanya sedang mengarah kesana. Maka, adalah naif, bila kita telah berani menetapkan bahwa dia belum islam (berserah diri), apalagi bila mengatakan belum ber-iman. Jadi, hanya pada tingkatan keikhlasannya-lah yang membedakan kedudukan seseorang di mata Tuhannya, bukan di mata manusia.



Bab XXV
ANTARA
PEMAHAMAN & ANGAN
 “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....”
(QS 41:53)
D
ia-lah Yang Zhahir dan Yang Bathin, Dia zhahir (nyata) melalui perwujudan-Nya pada wujud seluruh makhluk ciptaan-Nya di alam, dan Dia bathin karena keterbatasan makhluk memahami apalagi mendefinisikan Dzat-Nya. Dan pada diri kemanusiaan pun tak terlepas dan menjadi terjebak oleh pemahamannya sendiri. Mereka terjebak dengan memisahkan antara Allah yang zhahir (nyata) dengan Allah yang bathin. Padahal, kedua sifat Allah tersebut adalah tak dapat dipisahkan bagi pemahaman makhluk. Bahayanya, adalah bila menjadi taqlid terhadap pemahamannya tersebut, sehingga menimbulkan saling pertentangan, bahkan saling menuduh sesat.
Bagi mereka yang taqlid, maka tak heran bila menjadi semakin tersesat, sehingga lebih menyukai pertentangan hingga menumpahkan darah. Mereka lebih menuruti hawa nafsunya ketimbang mempertimbangkannya dengan akal dan hati yang lapang dan lebih memungkinkan petunjuk Allah datang. Seperti yang selalu diulang-ulang pada bab-bab sebelumnya, bahwa apa yang diberikan-Nya adalah rahmat yang tunggal, yaitu kebaikan. Begitupun Dia yang memberikan, adalah Dia Yang Maha Tunggal termasuk ketunggalan sifat-sifat Dia yaitu Ar Raahman sebagai Yang Maha Pemurah. Tetapi karena makhluk menerima rahmat-Nya selalu menilai bersama pasangannya, maka Dia-pun menyebut Diri-Nya sebagai Yang Zhahir dan Yang Bathin, tanpa terpisah, dan jangan dipisahkan selama dirinya merasa masih dalam keterbatasan. Sadarilah, keterbatasan adalah sifat makhluk, maka dekatilah kebenaran yang sejati (haqq), yaitu Dia Yang Maha Benar (Al Haqq).
“.... Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang (cacat). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat? (QS 67:3)
“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun (kembali kepadamu) dalam keadaan yang payah.”  (QS 67:4)
Dia-lah Dzat Yang Maha Halus dan Lembut, yang sesungguhnya maha meliputi seluruh makhluk-Nya, sehingga menjadi tak nyata terasa oleh keterbatasan makhluk-Nya, karena Maha halus dan lembut-Nya. Bahkan makhluk-Nya menjadi merasa memiliki pilihan. Padahal sesungguhnya, pilihan menjadi ada karena keterbatasan diri-nya dalam memahami. Bila telah memahami, maka tak ada pilihan, yang ada hanya tujuan yang satu dan terarah. Yaitu, kembali pulang kepada Dia Yang Maha Suci lagi Maha Tunggal, Ar Raahman. Jadi, memahami Yang Zhahir dan Yang Bathin adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, karena keterbatasan sifat makhluk dalam memahami-Nya.
Penglihatannya menjadi jelas dan nyata, karena segala sesuatunya telah dilimpahi cahaya Tuhannya sebagai Yang menunjukkannya, maka tiada lagi terang atau gelap, tiada lagi baik atau buruk, tiada lagi sedih atau bahagia, tiada lagi sulit atau mudah, tiada lagi kurang atau cukup, tiada lagi hina atau mulia, tiada lagi takut atau berani, serta telah tiada lagi segala sesuatu yang berpasangan lainnya. Segala sesuatu di semesta alam raya ini adalah rahmat karena kemurahan Dia Yang Maha Pemurah, Ar Raahman. Dan segala sesuatu tersebut berasal serta tujuannya mengarah kepada Dia Yang Maha Tunggal.
Semesta alam ini sebagai alam tunggal tempat alam-alam dimana sebagai hari-hari agama (Maliikiyawmid-diiyn) berlangsung. Dan Dia-lah Allah SWT sebagai penguasanya. Mata hatinya telah terbuka lebar melihat keakbaran semesta alam ini berikut dengan segala sesuatu isinya yang akbar tak terhitung dan terdefinisikan, akan tetapi jelas dan nyata mengarahkan pandangannya, sehingga tiada lagi yang bathin dan ghaib dalam penglihatannya, bahwa segala sesuatu tersebut mengarah pada satu tujuan sebagai tempat kembali. Sumber dari segala sesuatu berasal, yaitu Allah Yang Maha Pemurah (Ar Raahman), dan Dia-lah Yang Maha Tunggal.
Matanya melihat begitu banyaknya bentuk segala sesuatu dengan keaneka ragaman wujud, keaneka ragaman warna, keaneka ragaman sifat, serta keaneka ragaman rasa yang menyentuh dirinya. Di matanya, segala sesuatu tersebut merupakan perbedaan-perbedaan yang nyata dan terasa, bahkan tak jarang saling bertentangan. Timbul dan menghilang, ada dan tiada, terang dan gelap, panas dan dingin, hitam dan putih, maupun apa-apa yang berada diantaranya. Seperti gradasi warna-warna dari terang ke gelap, atau temperatur yang dari titik beku (es) sampai ke titik didih. Tetapi hatinya mengatakan, mereka  adalah seperti dirinya, merupakan bagian yang satu. Sebagai yang akbar perwujudan dari sifat-sifat Dia Yang Maha Tunggal. Segala sesuatu tersebut merupakan perwujudan dari ketunggalan rahmat-Nya sebagai Ar Raahman, Yang Maha Pemurah.
Karena di alam, maka diri kemanusiaan, dengan keterbatasannya, tak kuasa mendefinisikan Dzat-Nya, karena tak terjangkaunya pengetahuan tentang Dia sebagai keterbatasan makhluk. Dan sedangkan Dia yang Maha Mengetahui, yang memberi pengetahuan. Bagaimana mungkin yang diberi pengetahuan dapat mengetahui Yang Maha Mengetahui, kecuali bila telah diberi pengetahuan atas kehendak-Nya? Sedangkan Dia mutlak meliputi segala sesuatu ciptaan-Nya yang tak terhitung jumlahnya, maka Dia disebut Akbar, Allahu Akbar.
Dan adalah sifat dasar manusia menghendaki pengetahuan terhadap segala sesuatu untuk lebih mengenalinya, bahkan kepada Tuhannya. Oleh sebab itulah Dia menegaskan sebagai Yang Maha Tunggal (Allaahu ahad), agar setiap diri kemanusiaan tidak terjerumus menyekutukan kepada selain Dia.
Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala perwujudan dari dzat atau wujud-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala nama-nama sebutan atau panggilan yang ditujukan kepada-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) aktivitas yang dikerjakan-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala apa-apa yang telah diciptakan-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala sifat-Nya, dan Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala tempat keberadaan-Nya.
Dia takkan pernah dapat didekati, bahkan takkan dapat dikenali, tanpa terlebih dahulu membersihkan atau mensucikan hati dari segala macam kekotoran yang melekatinya. Kekotoran-kekotoran yang membuat kesadaran jiwa tak merasakan keberadaan-Nya yang sungguh amat dekat, bahkan lebih dekat dari urat lehernya sendiri.
Pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.  (QS 56:78-79)
Jika pada ayat-ayat (tanda-tanda) kekuasaan-Nya saja, kita tak dapat menyentuh atau memahami-nya bila tak mensucikan diri terlebih dahulu, maka apalagi kepada usaha mendekati-Nya. Kekotoran tersebutlah yang menjadi hijab-hijab keterbatasan jiwa kemanusiaan dalam menerima dan kemudian memahami petunjuk Tuhannya yang amat luas tak berhingga. Ibarat mata yang melihat keluar jendela kaca yang dipenuhi kotoran, sehingga pandangannya menjadi buram dan tak jelas, atau sempit terhadap apapun sejatinya yang berada di luar jendela. Maka hatinya pun menyimpulkan yang bukan kebenaran, yaitu kesalahan.
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit.....”  (QS 6:125)
Mereka yang lapang dada-nya, tentu jiwanya lebih terbuka dan berserah diri (islam), yang akan pula menjadikan-nya lebih sabar serta lebih dapat mensyukuri apapun yang diterima dari Tuhannya. Maka ketahuilah, dengan begitu, sungguh jiwanya telah berada dekat denagn Tuhannya, seperti tanpa ada hijab yang membatasinya.
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepadaAllah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”  (QS 2:153)
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”  (QS 2:45-46)
Demi masa (waktu). Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.”  (QS 103:1-3)
Di dalam sejarahnya, kemanusiaan mendekati Tuhannya dengan beragam cara. Kebanyakan dengan melakukan ritual upacara-upacara tertentu yang melibatkan banyak orang, atau memperbanyak shalat sunah tambahan, juga melatih diri melawan hawa nafsu dengan berpuasa tidak makan dan minum, dan ada pula yang mengasingkan diri dan mencari keheningan berusaha menyatu dengan alam.
Rasul Allah, nabi kita Muhammad SAW pun, sebelum kenabiannya, selalu menyempatkan dirinya bertahanuts (mendekatkan diri kepada Tuhan) di gua Hira sampai beliau mendapatkan wahyu pertamanya. Begitu pula nabi-nabi lainnya, seperti Ibrahim, Musa, Zakaria, dan Isa. Juga mereka,
yaitu pribadi-pribadi yang hendak mensucikan jiwanya, banyak yang mengambil jalan seperti para nabi untuk mendapatkan pencerahan demi menentramkan hatinya yang galau.
Keresahan hatinya bukanlah disebabkan oleh keinginan dari kebutuhan akan kemegahan dan kenikmatan kehidupan dunia, dan bukanlah pula karena hendak menurutkan ambisi sesaat pada kehidupan sekarangnya. Melainkan disebabkan pandangan mata hatinya yang jauh menelusuri kehidupan panjang jiwanya, menembus batas-batas keterbatasan manusia pada umumnya.
Dada mereka yang lapang, selapang luasnya semesta alam ini, menyebabkan jiwanya merasa kesepian dalam hiruk pikuknya kehidupan dunia. Seakan membutuhkan teman baru yang mengerti, memahami dan dapat menjawab segala keresahan yang memenuhi hatinya. Mereka seperti hidup di dua alam.
Alam pertama-nya, sekalipun nyata di kelopak matanya yang selalu meminta dan menuntut lebih tanpa pernah terpuaskan, sehingga dianggapnya-lah malah sebagai alam yang maya. Alam penuh godaan yang dapat menipu dan menyesatkan. Sekalipun banyak kenikmatan yang telah dirasakannya, tetapi tak pernah memuaskan keresahan sesungguhnya yang berkecamuk di dalam bathinnya.
Sedangkan alam kedua-nya adalah, yang sekalipun tak nyata oleh kelopak matanya, namun mata hati, akal dan kesadaran jiwa-nya percaya dan yakin, bahkan amat menaruh harapan sebagai yang suatu saat, kelak, akan dapat memuaskan dan menjawab segala apa yang memenuhi di dalam dadanya. Jiwanya amat meyakini kekuatan tersembunyi yang berada di dalam segala sesuatu yang ada dan terlihat oleh kelopak matanya, sebagai kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan di balik kehidupan. Kehidupan tak terlihat, halus lembut tak terasa, kecuali oleh jiwa yang terkendali, dalam sistem kuasa tunggal dari Yang Maha Tunggal. Kehidupan alam kepatuhan, yaitu alam kehidupan jiwa-jiwa yang telah berserah diri (islam).
Langit yang tujuh, bumi  dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS 17:44)
Alam bathin ini pun tak kalah menghanyutkan dari alam nyata kita, hanya saja perbedaan menghanyutkan-nya adalah lebih membawa jiwa kepada ketenangan dan ketentraman. hidup lebih terasa enjoy dan damai, tidak lagi tergesa-gesa. Inti yang menjadi spiritnya adalah keikhlasan berserah diri (islam) kepada Yang Maha Memelihara segala sesuatu.
Apapun yang datang kepadanya sebagai yang dinilai orang baik atau buruk, baginya adalah nikmat rahmat dari Tuhannya Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Diterima segala sesuatunya seperti menerima malam setelah siang, yang merupakan kebaikan bagi dirinya pula. Hatinya pun semakin luas dan lapang, seakan-akan tujuh langit beserta gugusan-gugusan bintangnya, juga matahari, bulan dan bumi seluruhnya pun termuat di dalamnya, dan setiap saat selalu saja ada yang masuk sebagai penghuni barunya yang datang dari Tuhannya.
Bathinnya semakin kepada kesadaran merajut kembali tali-tali yang sempat putus sebelumnya, sebagai persiapan demi kehidupan yang akan datang kemudian, sehingga bila telah tiba waktunya, maka tak ada lagi pekerjaannya yang  masih sebagai beban yang kelak merepotkannya. Dia hanya ingin, kelak, di kehidupan selanjutnya sebagai yang mengalami segala yang baru, tanpa membawa luka lama yang akan menyengsarakannya.
Perjalanan Malam (Isra’)
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS 17:1)
Mencari suatu malam yang Allah berkehendak memperjalankan hamba-Nya di dalam malam-malam yang selalu dilaluinya dalam hening dan senyap. Setiap malam dilaluinya dengan melakukan perjalanan malam menuju Tuhannya. Dan di setiap malam itu pula, langkah demi langkah, sekalipun berjalan perlahan, sesungguhnya hatinya sedang mengalami pembersihannya. Dan setiap malam, selalu dijadikan sebagai isra’-nya.
Ya, dalam perjalanan-nya tersebut, jiwanya melalui kembali masa-masa kelamnya yang dipenuhi kekotoran dunia yang membebaninya. Tak terasa air mata menetes jatuh membasahi, tidak kering pipi, malah terus mengalir jatuh kebawah. Baju dan sarungnya pun terasa basah, hidung tersumbat sesenggukkan di kesepian malam yang hening.
Jiwa-nya kini membawa akal dan kesadaran-nya demi mensucikan kembali hidup dan kehidupannya. Ketiganya
sebagai yang saling mengingatkan kepada kebenaran dan saling menasehati kepada kesabaran. Akal tidak lagi berfungsi untuk mengakali, dan kesadaran-nya pun tidak lagi untuk merasakan hanya nikmat dunia saja, melainkan keduanya sebagai yang ikut bersama jiwa-nya mengembara jauh menembus alam-alam yang sebelumnya tak pernah dialami dan dirasakannya, menemui keragaman kebenaran yang kelak membawanya kepada kebenaran tunggal dari Yang Maha Tunggal.
Pencapaian tahap hati yang telah peka terhadap segala hal, tidak pula mudah melakukan kecerobohan yang merugikan siapapun, termasuk kepada dirinya. Telah terang dan jelas semua jalan, bahkan yang menyesatkan pun menjadi terang akan penyesatannya. Jika sebelumnya itu dianggapnya sebagai tantangan yang hendak ditaklukannya, kini jiwanya tak merasa lagi tertantang. Jiwa yang lebih lembut dan melembutkan, melunakkan segala keinginan dan kebutuhan hawa dunianya yang keras menggebu.
Persoalan hidup di dunia adalah, kemanusiaan yang cenderung terpesona kepada keindahan bentuk atau wujud, sehingga menafikan hakikat yang berada di dalamnya yang tak kelihatan. Sifat dasarnya, keterbatasan, dimana kesadaran inderawi-lah yang terlebih dahulu berperan melihat kemudian menyimpulkan segala sesuatu berdasarkan rupa, bukan makna. Itulah yang sebenaranya dapat saja menyesatkannya.
Sesungguhnya, segala sesuatu yang dicari para pencari dan para pejalan telah ada di dalam diri-nya.
Fitrah-nya telah tetap, karena kemanusiaan dicipta berdasarkan fitrah-Nya tersebut, dan tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Dan kemanusiaan pun diberikan anugerah sifat-sifat Allah, sekalipun terpenjara oleh sifat utama keterbatasan-nya sebagai makhluk, tetapi jelas telah dianugerahkan oleh-Nya. Maka, hanya dirinya sendirilah yang dapat meningkatkan kadar dari setiap sifat tersebut menuju kesempurnanan hakikat-nya sebagai makhluk Tuhan.
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS 30:30)
Dengan isra’-nya, maka di setiap malamnya terbukalah satu pintu kesempurnan hakikat, dimana di dalamnya amat terang dibanjiri cahaya petunjuk Tuhannya menerangkan apa yang hendak diketahuinya. Begitu pula pada malam-malam berikutnya, yang membuatnya tak ingin melewatkan satu malam pun tanpa dekat dengan Tuhannya.
Jasad yang bersimpuh duduk di atas sajadah, sendiri tanpa suara, senyap tanpa lampu. Mencapai keheningan yang tembus dan menetap di dalam dada, tanpa membawa beban kesibukan hari-harinya. Kesibukan hanya pada hatinya yang melantunkan puja-pujian kepada Tuhannya, sebagai salam pembuka menyapa Sang Khaliq junjungannya yang tak pernah mengantuk maupun tidur, selalu menemani siapapun yang berusaha mendekati-Nya.
Maknanya, Dia menemani dengan kebenaran petunjuk-Nya yang bukan merupakan kata-kata dengan suara, melainkan langsung di tanamkan-Nya ke dalam dada sebagai pemahaman yang membuka lembaran-lembaran kitab yang nyata (kitab mubiiyn) di dalam dada setiap kemanusiaan. Dan tidaklah menyentuhnya kecuali orang-orang yang telah mensucikan hati dari pengakuan (ego) atau hawa nafsu-nya.
Tundukkan segala keinginan dan kebutuhan sebagai yang tunduk patuh pada jiwanya. Jangan biarkan para aparat-Nya berubah menjadi pembangkang karena keinginan akan segala kebutuhan yang disebabkan kuatnya bisikan bujuk rayu pengakuan (ego) dan hawa nafsu-nya. Betapapun kuatnya energi atau kekuatan di dalam materi jasadnya, yang juga membawa qudrat-iradat dari Tuhannya, takkan dibiarkannya tanpa terkendali oleh jiwanya yang telah berada dalam naungan perlindungan rahmat petunjuk dan pemeliharaan Tuhannya.
Bathin telah bersih dari segala bentuk pertentangan, perbedaaan, bahkan keragaman. Segala sesuatu, seluruhnya adalah adalah rahmat tunggal dari Tuhannya, yaitu nikmat. Hanya nikmat yang ada bagi makhluk. Begitulah rasa yang dialami ketika ditemani-Nya dalam setiap perjalanan malam-nya yang hanya mengandung rasa tunggal, yaitu nikmat. Kebenaran dan kesalahan, keindahan dan keburukan, kebaikan dan kejahatan, kecukupan dan kekurangan, serta kelapangan dan kesempitan sebagai yang telah dilaluinya, kesemuanya melebur kepada satu pemahaman di dalam bathinnya sebagai rasa nikmat yang tak terlukiskan.
Kehdupan nyata adalah medan perjuangan amal perbuatan, pertempuran antara yang haqq dan yang bathil. Yaitu memendam segala yang bathil dengan kebenaran. Seperti sabda nabi Muhammad SAW setelah perang Badar, kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad akbar. Jihad akbar, yaitu perang melawan hawa nafsu.
Petunjuk Tuhan telah nyata dan jelas, dan agama telah disempurnakan, sehingga menjadi terang, mana kebenaran dan mana kebathilan. Maka jiwa setiap diri-lah yang membawa dan menuntunnya kepada kebenaran, serta mencegahnya hanyut dan tersesat dalam kebathilan. Jiwa-jiwa yang selalu dalam naungan jalan lurus petunjuk-Nya, dan mampu menundukkan pengakuan (ego) dan hawa nafsu-nya,
sesungguhnya telah menciptakan kehidupan yang sehat, damai tentram dan bersahaja.
...... Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Ku-sempurnakan kejadiannya dan Ku-tiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”  (QS 38:71-72)
Manusia yang akal dan kesadarannya telah mampu menguasai dan menundukkan nafs-nya adalah dia yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari para malaikat (aparat) Allah. Itulah fitrah kemanusiaan sebagaimana firman-Nya di dalam ayat tersebut di atas. Yaitu, sebagai wakil-Nya yang juga merupakan perwujudan sifat-sifat Tuhan di muka bumi, sebagai yang saling menebarkan rahmat Tuhannya, rahmat bagi semesta alam.
Akan tetapi, mereka yang akal dan kesadarannya dikuasai oleh nafs-nya, maka dialah yang menduduki tingkat serendah-rendahnya makhluk, bahkan lebih rendah dari binatang ternak.
“atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya.”  (QS 25:44)
Amal perbuatan merupakan refleksi atau perwujudan dari spirit (ruh) shalat-nya, itulah makna menjaga fitrah jiwa kemanusiaannya sebagai khalifah di muka bumi, yaitu wakil Allah dalam mewujudkan seluruh sifat-Nya bagi semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiiyn. Tidak sadarkah jiwa sebagai yang telah menerima anugerah kemuliaan seluruh sifat-sifat Allah? Janganlah seperti binatang ternak atau yang lebih sesat lagi dari itu, sehingga tak dapat mendengar atau memahami
Ruh-nya Shalat & Dzikr
“.... sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.”
(QS 6:162-163)
Ikhlas berserah diri (islam) adalah perwujudan dari keyakinan (iman)-nya, yaitu ikhlas-nya amal perbuatan yang didasari oleh kekuatan (ruh) iman-nya kepada Tuhan yang berhak di-ibadahi, seperti yang selalu diucapkan di dalam shalat-nya. Dan bukan sebagai orang yang celaka karena shalat-nya, akibat tak memahami makna shalat-nya, yaitu sebagai yang mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
......... Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)
......... Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat (dzikir) Allah adalah lebih besar (keutamaannnya). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS 29:45)
Selalu ingat (dzikir) Allah adalah lebih besar keutamaannya, yaitu dengan menjaga kesadaran dalam setiap amal perbuatan dengan tujuan kepada Allah, dan kekuatan untuk berbuatnya juga adalah karena kekuatan yang dianugerakan-Nya. Begitulah mewujudkan berserah diri (islam) dengan ikhlas hanya kepada-Nya.
Kita telah membahas energi (kekuatan) pada pada bahasan di kitab-kitab sebelumnya, bahwa energi-energi sesungguhnya adalah para aparat Allah, yang tidak mengalami kematian atau musnah melainkan berubah bentuk atau wujud-nya. Maka, begitu pula amal perbuatan yang merupakan energi, yang juga sebagai menimbulkan aksi dan reaksi. Dan ikhlas-nya amal perbuatan baik adalah menciptakan aksi dan reaksi positif, yaitu para malaikat Allah sebagai yang tunduk patuh, menjaga, membawa petunjuk dan membantu bagi kemudahan kehidupan pelakunya.
Maka sadarilah pula, amal perbuatan buruk sebagai energi yang menciptakan aksi dan reaksi negatif, yaitu para malaikat pembangkang yang tak mau tunduk patuh. Inilah makna wujud malaikat pembangkang yang disebut Allah sebagai iblis, sebagai yang malah menjerumuskan kepada kesesatan.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka sujudlah mereka kecuali iblis, dia enggan dan takabur dan adalah dia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS 2:34)
Meskipun di dalam setiap shalat dan dzikir-nya yang berusaha mendekat dan bersama Tuhannya, sekalipun tak dapat melihat Dzat-Nya dengan mata lahirnya, namun keberadaan-Nya sungguh terasa oleh mata bathin dan kesadarannya. Apalagi setelah akalnya pun memahami wujud-wujud tak nampak yang memiliki kekuatan (energi) seperti ulasan amal perbuatan di atas, dimana amal perbuatan pun memiliki kekuatan tersembunyi yang amat berpengaruh kepada pelakunya.
Tak ada penglihatan yang sanggup dapat melihat wujud Dzat-Nya, karena sesungguhnya Dia-lah yang memberikan penglihatan. Yang diberi adalah mutlak dalam keterbatasan, tidak seperti yang memberi, apalagi Yang Maha Pemberi maka Dia-lah Yang Maha Luas tak terbatas. Bagaimana mungkin Yang Maha Luas dapat dilihat oleh yang serba terbatas?
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dia-lah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS 6:103)
Shalat dan dzikir adalah juga merupakan mengaktifkan kerja mesin ruh-ruh di dalam tubuh jasad-nya sebagai yang tunduk patuh dalam sistem kerja yang telah ditetapkan Tuhannya bagi kemudahan jalannya kehidupan kemanusiaan. Terciptanya kedamaian dan ketentraman pada jiwanya dalam naungan Sang Pemelihara, sesungguhnya adalah yang dapat menghindarkan jasad dari penyakit-penyakit yang merupakan adalah perwujudan iblis pembangkang yang tak mau tunduk patuh pada qudrat dan iradat-Nya sebagai malaikat atau aparat Allah bagi kemudahan kehidupan manusia.
Begitulah kekuatan (ruh) dalam shalat dan dzikir untuk mengingat atau menjaga kesadaran tetap pada Tuhannya, dengan begitu terjaga pula amal perbuatan dari kekejian dan kemungkaran. Yang ternyata pula, memiliki pengaruh kekuatan balik yang sangat besar dan menentukan bagi proses perjalanan kehidupan jangka panjang kejiwaan kemanusiaan di banyak alam lain yang akan dilaluinya.
Tetapi, sungguh perlu pula disadari oleh kesadaran akal yang tidak tercemari oleh ketidak-adilan dalam berpikir dan mencerna dalam memahami kebaikan dan keburukan sebagai pasangan yang dikehendaki Allah pula keberadaanya. Walaupun sebenarnya yang Allah ciptakan dan berikan adalah rahmat tunggal, yaitu kebaikan. Namun karena keterbatasan kemanusiaan dalam melihat dan memahami segala sesuatu selalu  dinilai sebagai dua hal yang berpasangan, yaitu kebaikan dan keburukan-nya.
Allah membiarkan hal tersebut, karena di balik kejahatan ada kebaikan, begitupun sebaliknya. Keduanya adalah kebaikan tunggal yang tak terpisahkan serta tak dapat dihilangkan keberadaan salah-satunya, dan segala sesuatu adalah rahmat-Nya. Bagaimana bisa mengetahui dan memahami kebaikan, bila tak ada lagi keburukan sebagai pembandingnya?
Pahamilah, segala sesuatu adalah ciptaan dari kehendak-Nya, termasuk keburukan dan kejahatan. Maka mungkinkah kita menolak salah satunya (keburukan atau kejahatan) dan hanya mau menerima yang satunya lagi (kebaikan)? Ilmu dan kebijaksanaan-Nya pun turun sebagai petunjuk kepada orang-orang pilihannya, yang dengan ilmu dan kebijasanaan tersebut, maka teranglah perbedaan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, serta antara yang haqq dan yang yang bathil.
Begitupun keyakinan (iman) menjadi ada, karena adanya kekafiran mereka yang tersesat. Percayalah, tak akan ada kesempurnaan sebagai yang indah, bila tak ada warna-warna sebagai keragaman yang berbeda dalam kehidupan. Tak ada kenikmatan, bila semua kebutuhan dan keinginan telah terpenuhi. Begitulah keyakinan (iman), sebenarnya amat dibutuhkan mereka yang yang masih tertutup hati-nya tidak mau dan dapat melihat atau menerima kebenaran dari Tuhannya, inilah yang disebut dalam kejahilan (kebodohan). Dan mereka yang semakin memaksakan tetap menutup hatinya setelah melihat dengan nyata kebenaran dari Tuhannya itulah, sebagai yang disebut dalam kekufuran.
Seperti itulah mata lahir memandang, akan tetapi bila mata hati yang telah diberi ilmu dan kebijaksanaan-Nya memandang, maka tak ada pilihan yang membingungkannya, yang ada hanyalah satu, yaitu jalan-Nya. Itulah  Kebenaran (Haqq). Tidak ada baik atau buruk yang terpisah di situ, karena takkan ada kebaikan tanpa keburukan. Sama halnya, dengan takkan mungkin adanya keburukan tanpa kebaikan. Sebegitu relatif-nya batas keduanya, juga sebagai yang saling berketerkaitan dalam sebab-akibat. Dan hanya dapat dipahami melalui hikmah kebijaksanaan yang ada di dalam dada mereka yang telah diberi petunjuk-Nya.
Di dalam dzikr (ingat atau sadar) ada termasuk di dalamnya fikr (olah pikir), dabr (melebur bersama alam) dan syukr (bersyukur). Kesemuanya adalah yang bekerja di dalam hati, dan berguna membersihkan hati dari kotoran-kotoran yang melekat, sehingga tak terhalang lagi bagi hati melihat hakikat segala sesuatu. Saat itulah Allah menolongnya dengan petunjuk yang menerangi dalam memandang segala hal.
Apa yang sebelumnya adalah keimanan yang harus diyakinya, kini tiada keterpaksaan, hatinya telah melihat apa-apa yang dibentangkan sebagai kebenaran yang nyata, tidak lagi sekedar sebagai yang dipercaya. Kini akal dan kesadarannya benar-benar telah dapat membawa jiwa-nya ikhlas berserah diri (islam) kepada Dia Yang Maha Hidup (Al Hayyu) dan Maha Menghidupkan segala sesuatu. Tidaklah segala kejadian terwujud dan terjadi, kecuali karena telah dikehendaki oleh-Nya.
Ruh-nya Puasa, Zakat & Sedekah
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
(QS 3:92)
Inti makna dari ayat di atas adalah pengorbanan. Itulah jihad akbar, seperti yang dimaksud oleh nabi Muhammad rasulullah SAW. Kepekaan hati-nya lah yang menentukan kapan saatnya berkorban (ber-qurban), yaitu saat Allah meminta-nya.
Dan Dia akan memberitahukan kepada hati yang peka, yaitu hati yang telah ridha dan ikhlas berserah diri (islam) kepada-Nya. Jika Dia telah meminta, maka menjadi wajib-lah hukumnya bagi orang itu untuk melaksanakannya. Tak ada kewajiban bagi mereka yang tidak peka hatinya, namun kebaikan-Nya takkan datang sebagai balasan bagi mereka. Dan mereka termasuk orang-orang yang merugi.
Adalah pengorbanan, sebagai kebajikan yang besar dan sempurna bagi Allah, adalah saat Dia meminta apa-apa yang sangat dicintainya. Seperti Ibrahim AS ketika diminta mengorbankan anak satu-satunya yang baru saja diterima dari Allah sebagai anugerah yang telah ditunggu-tunggunya sejak lama hingga masa tuanya. Lihatlah dan renungkanlah, bagaimana kepekaan hatinya dalam ikhlas berserah diri (islam), ketika menerima mimpi tersebut sebagai kewajiban kepada Tuhannya.
“.... sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”  (QS 37:102-105)
Dan apa-apa yang diusahakan kemanusiaan mencari dan untuk didapatkan dengan jerih payah sebagai tujuan dalam hidupnya, ternyata adalah sesuatu yang justru harus dikorbankannya. Sebagai yang tidak melebihi kecintaan-nya terhadap Tuhannya. Sedang Tuhannya Yang Maha Kaya tak membutuhkan semua itu dari makhluk-Nya, yang justru membutuhkan adalah sesamanya, yang sama-sama berjuang seperti dirinya untuk mendapatkan semua itu. Pada saat itulah hati yang peka menggerakkan jiwanya untuk bertindak atas nama Tuhannya mau berbagi rahmat-Nya yang telah dikaruniakan kepadanya.
Tetapi diantara mereka ada yang beruntung dan ada kebanyakan yang tidak beruntung. Maka Tuhannya lebih terasa ada pada mereka, yang sedang berdo’a mengharapkan rahmat-Nya turun untuk menghilangkan kesempitan dan kesulitan yang sedang mendera mereka. Sungguh pada hati yang peka yang dapat melihat penderitaan mereka, dan tergerak mewujudkan rahmat Tuhannya datang kepada mereka, sebagai pengembalian yang baik kepada-Nya.
“Katakanlah:  jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (QS 9:24)
Begitu pula, Tuhannya menghendaki agar makhluk-Nya dapat saling berbagi rahmat-Nya kepada sesama, yaitu sebagai wakil-Nya di muka bumi. Maka dengan melalui jalan zakat, infaq dan sedekah adalah selain dapat mensucikan jiwa, juga sebagai penolongnya kelak di kemudian hari.
Karena, harta sesungguhnya adalah energi atau kekuatan yang tersimpan dalam bentuk benda, dan segala sesuatu yang dinafkahkan di jalan Allah adalah tidak musnah, dan tak terbuang dengan percuma, ataupun sebagai yang akan habis tak bersisa. Melainkan berubah bentuk menjadi energi-energi lain yang suatu saat akan kembali kepada pemilik asalnya, sebagai rizki balasan dari Tuhannya.
“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir ada seratus butir biji. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”  (QS 2:261)
Bagaimana reaksi mereka yang merasa terbantukan atau tertolong tentu telah biasa kita dengar? Tentu, mereka mengucapkan do’a agar Tuhannya memberikan balasan rizki yang berlipat ganda kepada yang telah membantunya. Jangan sepelekan sebuah do’a, dia adalah ruh-ruh yang terus bergerak yang kelak akan mewujud sebagai yang nyata. Itulah energi kekuatan atau ruh dari apa-apa yang dinafkahkan secara ikhlas di jalan Allah. Apa-apa yang ditanam kemudian disertai doa yang tulus kepada Tuhannya.
Begitu pun sebaliknya, harta benda yang didapat dan dinafkahkan pada jalan kesesatan, maka ruh yang menyertainya adalah ruh atau kekuatan iblis yang pasti menyesatkan. Dan sebagai yang kekal terus bergerak di alam dengan segala akibatnya, dan merupakan jejak-jejak sebagai catatan amal perbuatan pelakunya. Begitulah ketetapan Dia sebagai Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, sekecil apapun itu, karena segala sesuatu memiliki energi (ruh)-nya.
Sengaja mengosongkan perut-nya, berpuasa, adalah salah satu cara mengasah kepekaan hatinya dalam melihat tanda-tanda kekuasaan Tuhannya. Juga dapat melemahkan hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya agar tunduk patuh, dan tidak terus menerus sebagai yang menghasut jiwanya kepada kesesatan. Amal perbuatan yang terus bergerak dari hari ke hari tak pernah lepas dari hasutan pengakuan (ego) dan hawa nafsun-nya, maka dengan banyak berpuasa-lah sebagai yang melindungi jiwa dari hasutan-hasutannya yang tak pernah berhenti hendak menjerumuskan.
Jasad ini adalah harta tak ternilai yang dianugerahkan Allah kepada kemanusiaan, akan tetapi menuruti kehendak jasad pun adalah dapat menyesatkan jiwa-nya. Kecintaan terhadap jasad janganlah melebihi kecintaan kepada Tuhannya. Tak akan ada habisnya jasad ini meminta untuk dipenuhi segala keinginannya. Telah berapa ratus karung beras habis dan masuk ke dalam perutnya selama ini?
Betapa banyak penyakit yang diakibatkan menuruti keinginan perut, dan ketika mengadukan kepada dokter atau tabib, diberikanlah pantangan-pantangan makanan yang tak boleh dilanggarnya. Maka menjadi haram-lah nikmat-nikmat Allah tersebut kepadanya. Jika kepada dokter atau tabib dia mau tunduk, maka sesatlah dia sebagai musyrik bila masih pula tak menyadari kebenaran Tuhannya. Kepada dokter atau tabib itu, dia mengeluarkan uang untuk mendapatkan pantangan-pantangan. Tetapi Allah-lah yang memberikan segala rizki, bahkan yang tak pernah dimintanya sekalipun, malah tak diyakininya segala kebenaran perintah dan larangan-Nya, yang justru adalah menghendaki agar dirinya selalu dalam keselamatan.
Menuruti keinginan perut adalah termasuk yang menuruti keinginan hawa nafsu atau pengakuan (ego), yang sebenarnya juga menyebabkan para aparat (malaikat)-Nya yang semula patuh dan tunduk kepada tugas-tugas membantu kemudahan kehidupan kemanusiaan, berubah menjadi malaikat pembangkang (iblis) yang justru merugikan kehidupan kemanusiaannya sendiri. Maka penyakit yang datang kepadanya adalah karena ulahnya sendiri yang menuruti hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS 12:53)
Begitulah terjadinya kerusakan pada apa-apa yang telah ditetapkan Tuhannya akibat menuruti hawa nafsu ataupun pengakuan (ego)-nya. Semakin dalam penyesatannya, bukan tak mungkin dapat merugikan orang lain pula, maka akibatnya, jiwa pun semakin besar pula menanggung balasannya kelak.
Sebenarnya, segala hawa nafsu itu adalah satu, namun ketika muncul, menjadi beragam dan berkembang. Seperti saat berpuasa dan sambil menunggu berbuka, maka timbullah ingin tersedianya makanan yang digoreng, yang berkuah, ada minuman dingin, juga buah-buahan. Semakin banyaklah yang ada di benaknya untuk persiapan berbukanya. Namun perlu disadari, itulah hawa nafsu yang satu, yaitu lapar.
Seperti itulah hawa nafsu dan pengakuan (ego) menyesatkan setiap diri kemanusiaan. Cepat sekali, tak terasa mengalir di dalam aliran darah, menggerakkan alam pikirnya, bahkan merangsang getaran-getaran saraf kenikmatan, seolah semuanya telah tersaji dan terlihat menggiurkan lengkap dengan bentuk dan warna yang menarik, yang semakin membuat perutnya semakin keroncongan, ingin segera merasakannya.
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.”  (QS 15:39)
Begitu mudahnya menganggap sesat orang lain, sama mudahnya menganggap suci orang yang lain, dan begitu pula sesungguhnya, betapa mudahnya diri kita tersesat oleh pemahaman kita sendiri akibat hati yang buta.
Ruh-nya Cinta
Pada mulanya ada perasaan yang timbul antara kebingungan dan kekaguman, tentang kepuasan yang mereka dapatkan, yaitu para pencari ataupun para pecinta. Begitulah sebutan kepada mereka yang selalu tak pernah lepas dari mendekatkan diri pada Tuhannya.
 Kehidupan yang dijalaninya terasa damai, tentram dan tak pernah sekalipun terlihat bersinggungan dengan masalah yang, sekali saja, pernah merepotkannya. Juga, tak pernah terdengar keluahan keluar dari bibirnya. Bahkan mereka tidak susah payah bekerja untuk mencari nafkah sampai mengeluarkan keringat, seperti pada umumnya kebanyakan orang. Sepertinya, mereka telah merasa cukup dengan apa yang sekarang ada padanya.
Rahasia apa sesungguhnya yang tersembunyi dibalik kehidupannya tersebut? Sungguh tak menarik minat perhatian, seandainya saja banyak pula orang-orang sepertinya. Tetapi ini, mereka yang seperti ini, adalah satu diantara seribu orang.
“Katakanlah:  jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (QS 9:24)
Renungkanlah, Dia dengan firman-Nya tersebut diatas, seperti seorang bapak yang sangat menyayangi anaknya dengan mengatakan; jangan bermain api, kalau tidak menurut akan dijewer. Sungguh Dia pun amat menyayangi makhluk-makhluknya, cuma, hanya karena keterbatasan pada diri kemanusiaan dalam memahami, maka timbullah kesan Allah adalah pembalas, pencemburu dan pendendam dengan azab-Nya. Padahal, justru karena rasa kasih-Nya yang teramat dalam kepada kemanusiaan, maka firman-Nya tersebut sebagai pengingat akan bahayanya mencintai yang berlebihan terhadap segala sesuatu, kecuali dengan tulus ikhlas hanya berharap kepada-Nya.
Jika kedekatan rasa dengan selain Tuhan, adalah penghianatan, maka bagaimana kita bisa mencintai pasangan kita, orangtua, anak, saudara, atau bahkan sesama? Maka, cintailah segala sesuatu secara ikhlas dengan atas nama-Nya sebagai anugerah dari-Nya, dan jangan berlebihan dalam mencintai. Karena segala sesuatu, selain-Nya, adalah bersifat sementara dan tidak kekal, akan hilang dan akan pergi meninggalkannya. Ikhlas-nya adalah tanpa mengharap balasan, layaknya seperti mengharap upah. Maka, cukuplah berserah diri (islam) kepada-Nya, karena segala kebaikan yang ditanam tentu akan berbuah kebaikan pula.
Cinta-lah yang membuat segala sesuatu yang lemah menjadi kuat, dan dengan gagah berani mempertahankan keberadaan atau eksistensinya, bahkan menjadi sebab lahirnya keberadaan-keberadaan baru yang lebih sempurna sebagai penerus kehidupan. Dan bersama cinta, maka segala sesuatu menjadi kelihatan dan terasa indah mengagumkan. Sebab cinta adalah ruh-nya keyakinan (iman). Tapi ketahuilah juga, cinta pun memiliki ruh-nya, yaitu ikhlas. Lihatlah para pahlawan, para martir, serta para syuhada dan para nabi yang telah pergi menghilang tetapi jejaknya tertinggal abadi, tak pernah terhapus oleh masa dan lupa.
Dan lihatlah pula, mereka, para pecinta ketika bekerja dan menghasilkan karya yang sempurna dan mengagumkan. Maka bagaimana keadaan mereka si putus asa?
Dan berhati-hatilah juga terhadap cinta palsu, karena tidak jarang pula yang tergelincir oleh hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya sendiri, yang datang memakai topeng cinta kemudian membisikkan kesesatan yang dibungkus kemuliaan dan keindahan. Dia menawarkan jalan singkat yang bengkok dengan merayu dan merangsang hati kepada angan palsu. Bila saja keikhlasan yang sedari awal mengikutinya, ditinggalkan, maka menjadi tergelincirlah ia kepada kesesatan. Inilah antara pemahaman dan angan yang dibatasi hijab yang teramat tipis, sehingga mudah sekali tergelincir menembus masuk ke sisi yang sesat, bila tak lagi bersama ruh keikhlasan-nya.
Ruh keikhlasan tersebut-lah sebagai energi-energi atau para aparat (malaikat)-Nya yang tunduk patuh, sebenarnya yang membantunya tetap dalam jalan lurus-Nya yang membawa-nya sampai kepada tujuannya dengan selamat. Bila keikhlasan ditinggalkannya, dan lebih mengharap balasan atau upah, maka ruh-nya ini, akan berubah pula fungsinya menjadi malaikat pembangkang (iblis) yang semakin menghasut kepada hasrat-hasrat yang menjerumuskan ke dalam kesesatan yang jauh lebih dalam.
Dengan begitu, Allah tak melarang mencintai apapun yang ada dan telah dikaruniakan sebagai rahmat dari-Nya, namun, asalkan tidak berlebihan dalam mencintainya. Segala sesuatu yang berlebihan akan menyebabkan ketidak seimbangan dari yang telah diciptakan-Nya, yaitu ketetapan-Nya atau sunathullah. Dan akan merusak tatanan universal-Nya pada segala sesuatu makhluk Allah, bukan hanya dirinya sendiri yang akan mengalami kerugian.
Itulah fungsi akal dan kesadaran, sebagai yang dapat membedakan kebenaran dengan kepalsuan. Karena apa yang dilihat nyata, belumlah tentu nyata sebagai realitanya, seperti fatamorgana. Tetapi yang nyata sebagai realita, sudah pasti ada di dalam yang bathin. Sebab, yang bathin itulah isi (intisari) dari yang terlihat nyata. Inilah yang disebut hakikat.
yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas,.....”  (QS 53:5-6)
Sehingga, siapapun yang meremehkan dan meninggalkan akal kesadaran-nya, sesungguhnya mereka melepaskan ikatan-ikatan pengaruh malaikat Jibril dari dirinya, bila seperti itu, maka bersiaplah tersesat karena kebodohan. Karena Jibril-lah sesungguhnya sebagai energi atau kekuatan yang membawa petunjuk dari Tuhannya bagi kemudahan kehidupan kemanusiaan jauh lebih baik lagi dari sebelumnya.
Ruh-nya Khayal (Imajinasi)
Di dalam perkembangannya pula, akal dan kesadaran ini memiliki kekuatan kreasi imajinasi pikiran, sehingga keyakinan (iman)-nya dapat menjadi indah atau sebagai yang
malah menakutkannya. Seperti imajinasi tentang surga dan neraka sebagai gambaran-gambaran visual di dalam benaknya, tetapi itu masih dalam tahap pertengahan perjalanannya. Dan karena imajinasi sebagai yang terus berkembang, dan hidup dengan ruh-nya pula, maka akan banyak pula petunjuk-petunjuk yang hadir, yang mengarahkan jiwanya lebih mendekati kepada kebenaran sejati. Sehingga yang sebelumnya hanya sekedar keyakinan belaka, kini telah dekat mencapai pintu hakikat kebenaran.
Imajinasi, atau alam khayal, dapat timbul karena adanya usaha memahami keyakinan (iman) menggunakan akal pikiran dan kesadaran-nya. Sehingga, sebenarnya jiwa-nya telah memancarkan (mengeluarkan) energi-nya. Dan sungguh, tak ada energi yang musnah atau sia-sia, melainkan berubah bentuk wujud atau hingga akhirnya sebagai yang memiliki jasad materinya, tetapi tetap memiliki ruh sebagai energi bawaan asalnya. Kelak, energi-energi tersebutlah sebagai ruh-ruh yang mewujudkan secara nyata dalam bentuk materi, persis seperti gambaran imajinasinya semula sewaktu masih dalam alam khayalnya.
Adakah sesuatu yang terwujud tanpa kehendak? Dan sungguh kehendak amat dipengaruhi oleh akal pikir dan kesadaran, serta imajinasinya. Bila bukan dirinya yang mewujudkan, bisa saja energi ruh yang telah terpancar tersebut akhirnya hinggap kepada mereka yang dapat mewujudkannya secara nyata atau fisikal, setelah ada transfer energi atau transfer kekuatan pengetahuan dan pemahaman-nya. Ada pula yang memakai istilah, seperti mencuri ide atau mencuri pikiran.
Bagaimana mungkin seseorang bingung dengan lalat dan unta, bagaimana ia dijadikan, sementara semesta alam pun telah ada di dalam dadanya. Maka barangsiapa yang pandangannya terbatas dan berhenti kepada hanya mengagumi keindahan jasad atau bentuk, sesunguhnya akal dan kesadaran-nya telah mati. Dan hatinya telah beku, tak dapat jauh masuk kepada yang bathin, dimana hakikat tersembunyi bersama rahasia segala sesuatu. Justru pada hakikat tersebutlah jiwa telah berada di halaman arsy-Nya.
Diri kemanusian yang penuh cinta, sungguh hatinya kaya akan imajinasi yang menakjubkan. Bathinnya pun kuat bersama keyakinan (iman)-nya bersama keikhlasan akal dan kesadaran-nya. Setiap pikirannya telah memiliki gambaran sebagai petunjuk yang menjelaskan dari Tuhannya. Dia memahami seperti seorang arsitek memahami dari gambar-gambar rancangannya.
Begitulah pentingnya fungsi akal dan kesadaran, dimana Allah menyempurnakan kemanusiaan dengan-nya, sebagai fitrah atas segala kehendak-Nya. Dan khayal atau imajinasi adalah bunga-bunga dengan aneka warna yang indah di dalam akal kesadarannya. Bila tanpanya, kering dan membosankan, serta takkan ada tercipta keindahan yang sempurna dari makhluk ciptaan-Nya.
Akal dan kesadaran adalah bagai sepasang sepatu yang mengantarkan setiap jiwa menuju sampai ke pintu-Nya, maka kemudian setelah menanggalkannya, baru dapat masuk menemui-Nya. Malaikat Jibril (ruhul qudus) tak dapat terus masuk mengantar nabi Muhammad SAW saat mi’raj di Sidratul Muntaha, “cukup sampai di sini, aku tak dapat masuk lagi, teruslah masuk menemui-Nya.”
yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas ,.....”  (QS 53:5-6)
Kekuatan akal dan kesadaran tak sanggup (tak berguna) lagi, karena yang bisa menemui-Nya hanyalah keberserahan diri yang tunggal murni tanpa membawa embel-embel apapun untuk menghadap Allah Yang Maha Tunggal. Dia, Sang Realitas Sejati.




Bab XXVI
HIDUP bersama ALLAH
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.”  (QS 84:6)
S
etiap diri kemanusiaan, sebenarnya tidak pernah lepas dari kuasa dan rahmat Tuhannya, karena Dia Maha Meliputi segala sesuatu, baik secara lahir maupun bathin-nya. Secara umum kebanyakan menyadarinya, namun ada beberapa perbedaan pandangan di dalam memahaminya. Diantaranya ada paham yang menganggap satu kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan, dan ada pula yang menganggap keterpisahan wujud makhluk dengan Tuhan. Selain dari kedua paham tersebut di atas, sebagian besarnya, adalah tak perduli dan merasa awam dari pemahaman-pemahaman tentang Tuhannya. Akan tetapi, mereka pun lebih menyukai keterpisahan wujud makhluk dengan Tuhannya, karena merasa takut berlebihan dalam memahami dan tak mau terjebak kedalam kesesatan.
Tidak ada yang salah pada ketiganya, semua memiliki tahapan proses menuju kesempurnaan mengenal Tuhannya, betapapun panjang waktunya. Ada tahapan-tahapan yang memang harus dilalui satu per satu dalam kehidupan ini, termasuk dengan pemahaman, dan tidak dapat dipaksakan. Disitulah fungsi akal dan kesadaran-nya. Jika Allah menghendaki, tentu telah dijadikannya kemanusiaan menjadi umat yang satu. Jelas tidak repot harus mengalami setiap perkembangan hidupnya, bahkan baik buruk-nya pengalaman dalam perjalanan ruhani (kejiwaan) setiap makhluk-Nya. Dan Dia lebih mengetahui yang terbaik bagi makhluk-Nya.
Perjalanan ruhani setiap kemanusiaan yang panjang melewati segala macam pengalaman baik dan buruk-nya, sesunggunhnya adalah yang membuat akal dan kesadaran jiwanya lebih matang kepada kesempurnannya, yaitu jiwa yang kembali suci murni sesuai fitrah kemanusiaannya, ikhlas hanya kepada Tuhannya. Itulah perjalanan mencapai tujuan akhir dalam sejarah panjang kehidupan jiwa. Sekalipun kekotoran jiwa yang tak kunjung bersih, dan harus beberapa kali malalui siklus proses hidup dan mati, serta dibangkitkan secara berulang-ulang sebagai yang mengalami surga dan neraka-nya, itu demi membersihkannya, agar dapat kembali pulang kepada-Nya.
Karena Adam telah diajari seluruh nama-nama oleh Allah, maka sesesungguhnya begitupun pada setiap diri kemanusiaan sebagai yang telah ditanamkan kitab yang nyata (kitab mubiyn) di dalam dada-nya, yaitu seluruh pemahaman melalui akal dan kesadarannya. Lebih menghidupkan Jibril-nya, ruh pengetahuan-nya, maka segala energi atau kekuatan (para malaikat Allah) akan tunduk patuh sebagai yang bersujud kepadanya.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (pengetahuan) seluruhnya, kemudian mengemukakan kepada para malaikat lalu berfirman ; sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar! (QS 2:31)
“Mereka menjawab ; Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”  (QS 2:32)
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam. Maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.”  (QS 2:34)
...... pasti aku (iblis) akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.” (QS 38:82-83)
Jiwa kemanusiaan yang hidup bersama Tuhannya, dan memang begitulah sesungguhnya jiwa-jiwa takkan pernah dapat memisahkan dirinya dari segala kuasa Tuhannya, yaitu selalu bersama para malaikat-Nya, rasul-Nya, kitab-Nya, mengalami hari kemudian-Nya, dan menerima kadar baik dan buruk-Nya sebagai rahmat tunggal-Nya. Tetapi, hal ini hanya kepada mereka yang menyadari (ingat) hal-hal tersebut diataslah yang dapat merasakan keberadaan Allah sebagai Tuhannya, yang selalu meliputi dirinya dengan segala kuasa rahmat pemeliharaan-Nya. Tidak sedikitpun diri atau jiwa-nya berkuasa atas apa-apa yang terjadi atau menimpa diri-nya, sekalipun dalam setiap tarikan nafas-Nya, maka apalagi hidup dan kehidupannya.
Apakah jiwa atau diri-nya yang menciptakan hidung, kerongkongan dan paru-parunya hingga dapat menarik nafas dan mengambil nafas? Bahkan memintanya pun, tidak. Udara bersih dan oksigennya saja telah berlimpah disediakan-Nya. Dan bagaimana dengan rizki-rizki lain-Nya?! Sungguh, diri kemanusiaan hanyalah menerima dan merasakan nikmat-Nya saja. Dan bila mengklasifikasikan setiap nikmat-Nya kedalam penilaian nikmat kebaikan ataupun nikmat keburukan yang diterimanya, itupun hanya sekedar persepsi persangkaan keterbatasan akal dan kesadarannya belaka, yang sesungguhnya masih dalam tahap berkembang menuju kesempurnaan jiwa kemanusiaannya. Karena jiwanya yang masih terpengaruh oleh hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya,  yang kelak sebagai yang akan disesalinya sendiri. Tetapi, begitulah perjalanan kehidupan jiwa kemanusiaan yang menuju kesempurnaan-Nya dengan mengalami banyak hal dan rintangan sebagai proses pembersihan atau penyucian jiwanya agar dapat kembali pulang kepada Dia Yang Maha Tunggal, sumber dan tujuan segala sesuatu berasal dan bertujuan.
Dan tahap perjalanan tertinggi jiwa kemanusiaan di dunia adalah bertemu Tuhannya seperti nabi-nabi. Nabi Muhammad SAW menemui-Nya, dengan mi’raj, maka sang akal kesadaran (Jibril – ruhul qudus)-nya pun harus ditanggalkan di ambang pintu Sidratul Muntaha (langit ke-tujuh). Jika tidak, dan memaksakan ikut masuk bersama jiwa nabi Muhammad SAW, maka akan terbakar dilebur menjadi satu dengan jiwa beliau yang juga telah suci murni sebagi yang tunggal dalam keikhlasan kepada Tuhannya Yang Maha Tunggal. Tiada sesuatu pun yang dapat menemui-Nya bila masih membawa-bawa sesuatu sekecil apapun itu, termasuk keinginan, selain hanya jiwa tunggal yang murni ikhlas.
“Hai jama’ah jin dan manusia, jika kemu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan. (QS 55:33)
Bagi mata lahir, takkan terlihat lapis-lapis langit yang tujuh. Dan bagi akal pengetahuan tentu dengan susah payah untuk dapat menembusnya satu lapis saja, kecuali dengan kekuatan-Nya. Akan tetapi, dengan hati yang bersih muni dan ikhlas, ketujuh lapisan langit tersebut pasti dapat ditembusnya seiring dengan pensucian jiwa-nya.
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS 84:6)
Terbukanya hijab-hijab selaput ketujuh lapisan langit adalah hakikat perjalanan kehidupan jiwa itu sendiri di ke-tujuh alam yang berlapis-lapis tersebut, yang tak terlihat oleh mata lahir dan terlupakan (dari memori ingatannya akan perjalanan-perjalanan sebelumnya), dan yang sebenarnya pun berada di alam dunia ini pula. Dialah Allah penguasa ke-tujuh alam tersebut.
Hijab-hijab yang menyelimuti hati
Alhamdulillahi rabbul ‘aalamiiyn - Allaahu malikiyawmid-diiyn
Allah Tuhan seluruh alam - Yang menguasai hari-hari agama.
(QS 1:2 - 4)
Alam Energi (Ruh)
Sebenarnya tentang alam ini telah sempat diulas di Bagian 1 Keimanan Para Malaikat dan di Bagian 4 Lahir & Bathin, yaitu energi bawaan (yang membawa qudrat dan iradat-Nya) dari pancaran Cahaya Allah (Nur-Nya) saat penciptaan awal. Secara umum dikalangan para ulama, energi ini dikenal dengan Nur Muhammad, yaitu energi dasar penciptaan segala sesuatu. Dalam bahasa ilmiah, ruang semesta alam ini, pada awal penciptaannya, dipenuhi partikel-partikel cahaya (dari pancaran cahaya-Nya) sebagai cikal-bakal segala sesuatu yang mengisi alam semesta, yaitu langit dan bumi dan segala isinya. Energi tersebutlah yang dimaksud firman-Nya, sebagai makhluk-makhluk atau jiwa-jiwa yang merupakan sesuatu yang belum bisa disebut.
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS 76:1)
Energi ini terus berkembang, menjalani kehidupan-nya, dan dengan kecenderungannya untuk selalu berinteraksi membentuk koloni dengan partikel-partikel energi lainnya hingga memiliki bentuk wujud atau jasad-nya sebagai materi penyusun unsur, atau yang lebih sedikit rumit lagi yaitu senyawa (kimia).
Dan pada tahap ini, sekalipun telah memiliki bungkus atau jasad-nya, masih sebagai yang belum dapat disebut manusia. Tetapi tetap memiliki ruh-nya (malaikat) sebagai energi bawaan yang membawa qudrat dan iradat-Nya, yaitu yang membawa kuasa dan kehendak-Nya untuk mewujudkan segala sesuatu yang telah menjadi ketetapan Allah SWT.
“...... dan malaikat dalam naungan awan.........  (QS 2:210)
“Dia-lah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, buatlah sarang-sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap buah dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah tiu, keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang berpikir.”  (QS 16:68-69)
“.... dan (malaikat) yang mengatur urusan.” (QS 79:5)
“Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari yang setara dengan lima puluh ribu tahun.” (QS 70:4)
Pada bab awal tentang keimanan kepada para malaikat, telah diuraikan secara singkat, tentang bagaimana yang dengan pancaran cahaya-Nya, Allah memulai penciptaan segala sesuatu. Dan sebagaimana telah diketahui secara luas, bahwa para malaikat yang merupakan aparat-aparat Allah diciptakan dari cahaya-Nya sebagai awal mula dan sebagai unsur dasar penciptaan segala sesuatu, adalah juga merupakan energi dasar setiap materi seperti yang telah diuraikan di atas.
“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap’, masing-masing dua, tiga dan empat. Allah menmbahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”     (QS 35:1)
Energi-energi tersebut, yang disebut pula malaikat Allah, adalah yang membawa kekuatan (qudrat dan iradat) -Nya dalam setiap kuasa dan kehendaknya dalam setiap penciptaan segala sesuatu di seluruh hingga pelosok semesta alam raya ini. Kekuatan atau energi ini sebagai yang dilambangkan dengan ‘sayap’ seperti pada penafsiran ayat di atas. Kata ‘janah’ yang diterjemahkan sebagai sayap, sebenarnya bermakna tingkatan. Sehingga pengertiannya agar mudah dipahami adalah kekuatan yang bertingkat-tingkat pada kemalaikatan. Sayap atau kekuatan-nya tersebut berbeda-beda, ada yang memiliki dua, tiga, atau empat kali lipat kekuatan  dibanding yang lainnya.
Dan itulah mengapa pada kehidupannya, kemanusiaan pun tetap dipengaruhi oleh para malaikat Allah, sebagai pembawa qudrat dan iradat-Nya sehingga tiada sesuatu pun termasuk jiwa yang dapat lepas dari kuasa dan kehendak-Nya Yang Maha Meliputi segala sesuatu. Karena kemanusiaan amat bergantung kepada energi sebagai daya penggerak kehidupannya.
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah......  (QS 13:11)
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan) supaya Dia mengeluarkanmu dari kegelapan kepada cahaya. Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman.” (QS 33:43)

Alam Rahim
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh).” (QS 23:12-13)
Alam ini adalah alam kasih sayang tempat atau pabrik pembentukan dan penyempurnaan menjadi wujud sempurna (ilmiahnya, reproduksi manusia). Dimana bahan baku dari intisari unsur-unsur tanah, air, api, udara dan cahaya dari alam energi sebelumnya yang telah diolah menjadi sperma dan sel telur kemudian dipertemukan ditempat ini melalui rasa kasih sayang yang berpadu. Tidakkah mereka, atau sebagai yang belum dapat disebut itu masing-masing membawa energi bawaan-nya, yaitu qudrat dan iradat-Nya? Itulah makanya tempat ini disebut rahim.
“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (durhaka) terhadap Tuhan-mu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)-mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” (QS 82:6-8)
Dengan ditemukannya mikroskop elektron, maka pemahaman tentang wujud sperma dengan jumlah selnya yang mencapai milyaran dan mekanisme pergerakannya menjadi terungkap dan lebih kompleks lagi sebagai tambahan bagi ilmu kedokteran modern. Maka mani sebagai air yang terpancar (sperma), tidak hanya sekedar cairan biasa yang bukan apa-apa, melainkan tingkatan makhluk hidup sebagai cikal bakal kemanusiaan.
“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal sesungguhnya Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian.” (QS 71:13-14)
Sperma atau mani milik laki-laki dan sel telur milik wanita yang masing-masing tersimpan di tempatnya, adalah hasil dari saripati di dalam tanah yang dikonsumsi oleh tumbuhan dan hewan yang juga dikonsumsi kemanusiaan. Dan tidak hanya itu, kemanusiaan dalam kehidupannya, juga mengkonsumsi air sebagai minuman, udara untuk pernafasan, dan terutama juga cahaya matahari bagi keseimbangan menyeluruh kehidupannya. Dan metabolisme di dalam tubuhnya membuat persenyawaan kimia dari saripati-saripati tersebut terkumpul dan dimanfaatkan sebagian untuk energi hidupnya, dan yang sebagian lagi untuk memproduksi sperma atau sel telur secara terus menerus tiada pernah berhenti seiring waktu melemahnya semua organ tubuh kemanusiaan yang semakin menua.
Sperma tersebut tersimpan sementara di dalam tempat testis yang memproduksi cairan bagi media sel sperma yang memudahkan pergerakan ketika keluar, kemudian dengan saluran keluar yang bermuara ke saluran tempat keluarnya air kencing. Ada beberapa kelenjar tambahan yang bertebaran di sepanjang saluran tersebut, seperti zat pelumas yang sebagai memperlancar alirannya ketika keluar, dan prostat yang memberi sifat krim (pengental) dan yang memiliki bau khas pada sperma, serta kelenjar cooper atau merry yang sebagai cairan pelekat juga lettre sebagai cairan lendir.
Sel telur tersimpan di dalam tempat tertentu di dalam rahim, dan setelah dibuahi bergerak turun pada batas tertentu dan menetap di sana dengan berpegangan dengan selaput lendir dan lengan otot setelah tersusunnya plasenta. Pada kasus lain, jika sel telur yang telah dibuahi sperma itu menetap di saluran fallopian dan tidak di uterus (rahim), maka kehamilan menjadi akan terganggu. Bila telah ada sel telur yang terbuahi, maka sistem produksi sel telur akan berhenti selama proses kehamilan. Dan pada sel-sel telur yang tidak dibuahi akan terbuang menjadi darah kotor dalam menstruasi atau haid  yang rutin setiap bulannya.
Mekanisme pembuahan (reproduksi) dimulai dari mani atau sperma (milik laki-laki) yang terpancar yang di dalamnya mengandung milyaran sel sperma, dan bergerak di dalam rahim mencari dan berusaha menembus sel telur (milik wanita) yang jumlahnya hanya beberapa saja tidak mencapai lebih dari puluhan. Yang diperlukan untuk pembuahan sel telur tersebut hanya satu sel sperma saja, sehingga terjadi persaingan yang amat ketat diantara milyaran sel tersebut. Sehingga hanya sel sperma yang memiliki tingkat kekuatan dan kecepatan bergerak sajalah yang berhasil menembus masuk kedalam sel telur untuk sebuah pembuahan.
Dan ditemukannya alat USG dalam dunia kedokteran semakin lagi memperjelas bagaimana tingkatan perkembangan (tingkatan kejadian) janin di dalam rahim tahap demi tahap seperti yang dijelaskan di dalam  Al Qur’an, menjadi yang dapat dipantau langsung di dalam monitor alat tersebut, dan sebelumnya pengetahuan tersebut adalah merupakan hal yang ghaib.
“Kemudian air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat (segumpal darah), lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (yang berbentuk) lain, Maka Maha Suci-lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS 23:14)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar .....” (QS 41:53)
Dalam pengamatannya, maka diketahui pulalah perkembangan sesuatu yang melekat itu, adalah sel telur yang telah dibuahi sperma sebagai yang tumbuh semakin membesar. Tumbuh pula diantaranya jonjot (villi) sebagai yang menghisap zat-zat bagi pertumbuhannya dari dinding rahim, seperti akar-akar tanaman yang masuk kedalam tanah. Sebab itulah Al Qur’an menyebutkannya sebagai sesuatu yang melekat (dan penasirannya bukanlah segumpal darah).
Di dalam rahim inilah sebagai alam tempat tumbuhnya ia yang berawal dari satu sel sperma dan satu sel telur menjadi multi sel yang semakin terus berkembang hingga milyaran sel membentuk daging, tulang, dan otot-otot serta danging yang membungkusnya. Sel-sel tersebut terus berkembang membentuk jaringan-jaringan sel lainnya yang lebih kompleks dan rumit seperti kepala, badan, kaki dan tangan. Juga membentuk organ-organ seperti jantung, hati, paru-paru, dan otak serta sel-sel sarafnya. Kaluar masuknya zat-zat makanan dan kotoran hasil buangannya melalui ari-ari sebagai tali pipa saluran yang menghubungkan dia dengan ibunya.
“Kemudia Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali bersyukur”  (QS 32:9)
“..... yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi ,....”  (QS 22:5)
“.... dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang dari dalam kubur.”  (QS 22:7)
Maka dengan penerangan mana lagikah yang dapat menjelaskan manusia tentang kebangkitannya kelak? Bahwa ia akan mengalami kematian dan dikubur di dalam tanah, jiwa-nya dipegang Allah, kemudian jasadnya terurai, sebagiannya melebur menjadi sari pati tanah, dan sebagiannya lagi dimakan cacing dan makhluk-makhluk renik lainnya di dalam tanah, makhluk-makhluk itupun mati terurai dan menjadi saripati tanah yang menyuburkan tanaman. Cacing yang hidup diambil sebagai umpan ikan yang dimakan manusia, dan tanaman menghasilkan buah dan yang sebagai sayur mayur sebagai konsumsi manusia, dan saripati tanah lainnya dihisap rerumputan yang dikonsumsi hewan ternak. Dan pada akhirnya semuanya sebagai yang dikonsumsi manusia pula. Sungguh manusia adalah pemakan segala.
Apa-apa yang dikonsumsi dan masuk ke tubuh manusia, yang kemudian metabolisme di dalam tubuhnya, membuat persenyawaan kimia dari saripati-saripati tersebut terkumpul, dan dimanfaatkan sebagian untuk energi hidupnya, dan yang sebagian lagi untuk memproduksi sperma pada laki-laki, atau sel telur pada perempuan. Begitulah kebangkitan pada manusia melalui ayah dan ibunya.

Alam Dunia
Jiwa pada alam ini amat dipengaruhi materinya, yaitu keinginan dan kebutuhan lahir yang kelihatan nyata dan memabukkan, juga amat bergantung pada akal dan kesadaran sebagai penyelaras atau penyeimbang agar kekuatan hawa nafsunya tersebut tak menjadikannya malah terperosok kepada kesesatan yang merugikan dirinya sendiri.
Di alam dunia ini yang serba materi, Allah membiarkan jiwa kemanusiaan memilih sendiri dengan menggunakan akal dan kesadarannya diantara 2 jalan, yaitu jalan kefasikkan atau jalan ketakwaan. Padahal hanya prasangka kemanusiaan saja kedua jalan itu menjadi ada. Sesungguhnya yang Allah berikan hanya jalan tunggal untuk mencapai keselamatan, tetapi jiwa di alam dunia ini menilainya sebagai yang berpasangan, terbias lagi menjadi banyak hal, dan kesemuanya selalu dinilai berdasarkan baik-buruk dan benar-salah. Segala sesuatu di alam ini, sesungguhnya adalah karena anugerah rahmat tunggal-Nya, yaitu kebaikan, dan menjadi keburukan bagi jiwa bila tak sesuai keinginan dan kebutuhannya. Begitulah, kuatnya keinginan hawa nafsu yang mendorong segala kebutuhannya agar terpenuhi, menjadikan segala sesuatu menjadi banyak dalam perbedaan dan berpasang-pasangan sebagai kebaikan dan keburukan.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”    (QS 7:172)
Dengan demikian Allah mengingatkan jiwa kemanusiaan kembali akan perjanjian atau persaksian-nya atas segala hal yang dapat melalaikan fitrah-nya, suatu ketetapan (sunathullah)-Nya, sampai pada hari Kiamat. Dan adalah hawa nafs (jiwa atau ego)-nya yang dapat menjerumuskannya kepada kesesatan dari jalan lurus Tuhannya.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka sujudlah mereka kecuali iblis, dia enggan dan takabur dan adalah dia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS 2:34)
Pembangkangan sebagian para malaikat yang menjadikannya disebut iblis karena menolak sujud kepada kemanusiaan atas perintah Allah, adalah peran yang harus dimainkannya sebagai tokoh antagonis yang terkutuk. Seperti pula ketika Musa memahami peran Khidir yang rela sebagai perusak dan pembunuh (tetapi ada pula perbuatan kebajikannya) dalam kisahnya di Al Qur’an, hanya saja, Khidir sebagai yang terpuji dan sebagai contoh kecerdasan akal dan kesadaran bagi Musa. Renungkanlah. Semua itu karena qudrat dan iradat-Nya yang harus dijalani dalam kehidupannya sebagai yang memahami kehendak Allah SWT.
Sayangnya, kebanyakan jiwa tak menyadari bahwa pembangkangan jiwanya sendirilah yang menyebabkan sebagian para malaikat-Nya berubah menjadi iblis yang tak mau tunduk patuh (sujud) membantu mempermudah kehidupan kemanusiaan dan malah makin menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kesesatan.
Seperti yang telah dibahas dan diulas sebelum-belumnya, rasa berserah diri (islam) yang secara ikhlas total kepada dan karena Allah semata, lepas dari kebutuhan dan keinginan hawa nafs (jiwa dan ego)-nya, adalah cara mendekatkan diri untuk dapat hidup bersama Tuhannya. Begitulah wujud fitrah kemanusiaan sebagai wakil (khalifah)-Nya di muka bumi yang menjadi rahmat di semesta alam bagi sesama makhluk-Nya.
Sehinggga, sujud-nya kemalaikatan (seperti dalam firmannya di dalam QS 2:34) dapat bermakna,
1.    Sebagai perintah atau penugasan kepada para malaikat untuk membantu kehidupan kemanusiaan.
2.    Sebagai perintah atau penugasan kepada kemanusiaan untuk menundukkan segala sesuatu di semesta alam, termasuk yang ada pada dirinya sendiri, yang ternyata seluruhnya adalah para malaikat Allah.
3.    Sebagai pengingat kepada kemanusiaan agar menjaga jiwanya selalu dalam keadaan tunduk patuh atau ikhlas berserah diri pada jalan lurus-Nya, sehingga tidak menyebabkan para malaikat-Nya berubah menjadi malaikat pembangkang (iblis) yang tak mau tunduk patuh (sujud) untuk membantu mempermudah kehidupan kemanusiaan yang pada akhirnya malah merugikan dirinya sendiri.
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”  (QS 31:20)
Hidup bersama-Nya adalah karena Dia Yang Maha Pemurah, maka mewujudkan dirinya sebagai yang bersifat murah hati kepada sesama. Karena Dia Yang Maha Kasih Sayang, maka mewujudkan dirinya sebagai yang penuh rasa kasih sayang kepada sesama makhluk Allah. Karena Dia Yang Maha Adil lagi Bijaksana, maka mewujudkan dirinya sebagai yang mengutamakan keadilan dan kebijaksanaan. Begitulah sehing terwujudlah sifat-sifat Allah di alam melalui kemanusiaan yang sebagai perwujudan-Nya dan sesuai dengan ketetapan fitrah-Nya, yaitu wakil (khalifah)-Nya di muka bumi.
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)
Di alam dunia ini, jiwa kemanusiaan pun selalu disertai peran akal dan kesadaran-nya, sama seperti selalu disertainya oleh hawa nafs (jiwa atau ego)-nya, namun disitulah letak penyempurnaan jiwa untuk mencapai kebersihan dan kemurniaannya. Dan adalah akal dan kesadaran-nya sebagai penyelaras dorongan hawa nafs-nya yang selalu bergerak jauh lebih cepat mendahului akal dan kesadarannnya.
Akal dan kesadaran adalah sebagai yang telah ditanamkan di dalam dada setiap kemanusiaan (kitab mubiiyn), tetapi pemahaman hikmahnya menunggu dibukakan dadanya atau diberikan petunjuk oleh-Nya. Hal ini baru akan terasa kebenarannya hanya bila akal telah mengalami jalan buntu, kemudian datanglah petunjuk Allah sebagai ilham atau ide yang dapat mengeluarkannya dari kebuntuan kesulitannya, seakan-akan Allah telah memberikan kepadanya mu’jizat.
“Sebenarnya Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.(QS 29:49)
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang besar. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.”  (QS 2:269)
Begitulah kemanusiaan dengan tingkat akal dan kesadarannya sebagai yang bertahap-tahap mengalami perkembangannnya menuju kesempurnaan yang membawa jiwanya pula pada kesempurnaan tertinggi, pada akhirnya.
Kita dapat mengambil hikmah dalam kisah Musa yang mencari ilmu kepada Khidir (QS 18:60-82), yaitu mereka sebagai kemanusiaan yang sama-sama telah diberi akal dan kesadaran oleh Tuhannya, namun hanya kepada Khidir diberi petunjuk pengetahuan tentang masa depan, dan diberikan hak atau perintah untuk mengambil tindakan, sekalipun Musa adalah termasuk salah seorang manusia yang dimuliakan Allah.
Jika saja pada umumnya di kehidupan ini, banyak manusia yang diciptakan Allah seperti Khidir, maka tentu banyak menimbulkan kehebohan di kehidupan masyarakat yang mengakibatkan pertentangan-pertentangan. Dan begitulah Allah berkehendak menyempurnakan kehidupan kemanusiaan, sehingga memahami takdir-Nya adalah sebagai pengganti Khidir demi jalannya penyempurnaan kehidupan kemanusiaan agar sesuai ketetapan atas kehendak-Nya, sunathullah.
Maka dengan demikian, Dia izinkan terjadinya kejahatan-kejahatan di muka bumi, sekalipun tujuan utama-Nya adalah penyempurnaan jiwa-jiwa kemanusiaan, tetapi melalui jiwa-jiwa tersesatlah Dia membalas kesesatan-kesesatan sebelumnya. Dan bagi mereka yang menyadari kesalahan akan kejahatannya, tentu akan mengambil pelajaran sebagai yang tak akan diulanginya lagi (QS 2:269).
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya.”   (QS 99:7-8)
Sesunggguhnya Allah bukanlah sebagai pembalas, tetapi Dia telah menetapkan sistem (sunathullah)-Nya yang amat sempurna, seperti bunyi firman-Nya pada ayat di atas.
Akal dan kesadaran diberikan Allah sebagai anugerah tertinggi bagi kemanusiaan untuk memahami kebenaran hakikat keimanan atau keyakinan yang terlebih dahulu datang melalui berita-berita yang disampaikan oleh nabi-nabi Allah dan melalui kitab suci yang diwahyukan-Nya. Namun tidak sedikit, bahkan para ulama atau pemuka agama, yang meragukan kemampuan akal. Bahkan disebutnya akal sebagai yang menipu seperti tertipunya mata oleh fatamorgana. Padahal fatamorgana tersebut mereka ketahui dan definisikan dengan menggunakan akal mereka.
Keterbatasan akal adalah tidak mutlak terbatas, dan sebagai yang masih dalam perkembangannya. Berhentinya perkembangan akal dan kesadaran pada diri kemanusiaan sebagai yang terbatas adalah pada saat kematiannya. Dan sesungguhnya, itupun masih berlanjut perkembangannya dimanfaatkan sebagai ilmu dan pengetahuan menuju kesempurnaan oleh segenap kemanusiaan tanpa pernah berhenti sebagai yang terbatas.
Sehingga, seharusnya tidak ada alasan meragukannya, sedangkan mereka dapat meragukannya pun dengan menggunakan akalnya. Asal saja mereka tak temasuk golongan yang berputus asa atas rahmat Allah. Bagaimana mungkin mereka dapat menolak akal dengan menggunakan argumen-argumen yang berdasarkan akalnya. Sungguh naif. Mereka seperti orang yang sibuk menasehati banyak orang tentang akibat buruk dan bahayanya perut kenyang, namun dimulutnya masih penuh makanan yang sedang dikunyahnya.
Menyadari pentingnya peranan akal, dapat pula menghindari kesesatan yang disebabkan taqlid buta yang mengatakan, “Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami nash-nash al Qur’an tentang peristiwa alam, sejarah kemanusiaan, dan hal-hal ghaib, berarti menggunakan sesuatu yang terbatas terhadap perbuatan-perbuatan Tuhan, Allah Yang Maha Mutlak lagi Tidak Terbatas.”
Sungguh lucu pernyataan tersebut. Maka dengan apalagi kah, kemanusiaan berusaha dapat memahami firman Allah yang memang ditujukan kepada kemanusiaan, bila tidak menggunakan akalnya? Sudah sepatutnya akal kemanusiaan terbatas, tetapi tetap mengalami perkembangannya menuju kesempurnaan, untuk mendapatkan kebenaran dari memahami petunjuk yang terdapat di dalam nash-nash al Qur’an, karena bila akal kemanusiaan diberikan Allah tanpa keterbatasan, maka tak perlu lagi Allah menyampaikan firman-Nya dalam bentuk nash-nash al Qur’an sebagai petunjuk bagi kemanusiaan, disebabkan akalnya telah dapat menjawab segala tantangan kehidupan tanpa tersesat jalan pada kesesatan yang merugikan dirinya. Dan bila akal kemanusiaan sebagai yang tidak terbatas, maka dia tidak lagi disebut sebagai makhluk. Karena dengan ketidak terbatasan akalnya, maka dia tak lagi membutuhkan Tuhannya.
Itu adalah hal yang tak mungkin, dan betapa banyaknya firman Allah yang tersebar di dalam Al Qur’an, yang menerangkan kegunaan akal dalam memahami ayat-ayat (tanda kekuasaan) Allah, serta ketergantungan kemanusiaan dari petunjuk Allah terhadap pemahaman segala sesuatu. Sehingga keinginan memahami suatu hal adalah perwujudan dari kehendak Allah kepada kemanusiaan. Dengan kata lain, yang bermakna, bahwa Dia jelas menghendaki kemanusiaan lebih menggunakan potensi akal dan kesadaran-nya secara maksimal agar dapat mewujudkan segala kehendak-Nya sebagai rahmat bagi semesta alam. Dan adalah ketetapan Allah diberikannya kepada kemanusiaan untuk cenderung dan berkeinginan mengetahui segala sesuatu hal. Bagaimana mungkin, mereka yang menolak akal, dapat lengah dari firman-firman Allah tersebut.
Sehingga, masalahnya bukan pada keterbatasan yang menunjukkan ketidakmampuan akal dan kesadaran, melainkan lebih kepada tahapan-tahapan (maqam-maqam) yang harus dilalui oleh akal untuk mendapatkan kesadaran yang memahami hal demi hal sesuai tingkat kerumitannya. Dan hanya Allah-lah yang membukakan hijab-hijab yang menyelimuti lapis demi lapis hakikat segala sesuatu sebagai petunjuk kebenaran (yang haqq) bagi kemanusiaan.
Kehidupan di alam dunia ini, sekalipun pada awalnya menekankan jauh lebih kepada yang bersifat materi, namun hal tersebut disebabkan oleh dorongan keinginan yang bersifat mencari dan mendapatkan kepuasan bathin. Mari kita simak ayat-ayat berikut ini,
“Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.....”  (QS 6:165)
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak laki-laki, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”  (QS 3:14)
Dan beberapa penjelasannya mengenai ujian terhadap keinginan-keinginan semu manusia,
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan : kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi ?   (QS 28:2)
“Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan, diantaranya ada orang-orang yang saleh dan ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan yang baik-baik (nikmat) dan yang buruk-buruk (bencana), agar mereka kembali (kepada kebenaran).”  (QS 7:168)
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya.”  (QS 18:7)
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar ? dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.”  (QS 25:20)
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak-yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.”  (QS 3:186)
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”  (QS 2:155)
“Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang bathil dan sesungguhnya orang-orang yang beriman mengikuti yang haqq dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat pebandingan-perbandingan bagi mereka.”   (QS 47:3)
“..... Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu ada di hadapannya, ia-pun berkata : ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.”  (QS 27:40)
Begitulah Allah dengan segala firman-Nya memancing akal dan kesadaran kemanusian, agar tidak hanya terpaku pada kehidupan lahir (nyata) di alam dunia ini saja, namun juga hendaknya tergugah memikirkan yang bathin (tak terlihat). Yaitu, kebajikan dalam setiap amal perbuatan yang bertujuan hendak mendapatkan keinginan-keinginan kehidupan dunianya. Amal perbuatan tersebutlah yang amat menentukan kehidupan selanjutnya hingga ke alam-alam lainnya sebagai perjalanan panjang kehidupan jiwanya.
Menyadari dan memahami dengan akal dan kesadaran-nya, bahwa kehidupan hari ini adalah karena apa yang diusahakan oleh kehidupan kemarin atau sebelumnya. Maka apa yang diusahakan pada kehidupan hari ini, tentu juga amat menentukan kehidupan esok hari dan selanjutnya. Menyadari hal tersebut adalah juga menyadari kebenaran keimanannya, dan dapat membawanya kepada kebenaran-kebenaran lainnya untuk mencapai tingkat tertinggi hakikat sejati, yaitu kembali pulang kepada Dia Yang Maha Tunggal.
Mengapa menjadi timbul keinginan hidup bersama Allah, bila akal dan kesadaran telah memahami, bahwa tiada seorang atau segala sesuatu pun yang dapat lepas dari segala kuasa dan rahmat-Nya? Bahwa sesungguhnya Dia dekat, bahkan lebih dekat dari pada urat lehernya sendiri. Bahwa Dia meliputi segala sesuatu, termasuk diri-diri kemanusiaan.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Hidup bersama Allah adalah memahami hal-hal tersebut dan mewujudkan kehendak dan ketetapan-Nya sebagai fitrah kemanusiaannya, wakil Tuhan di muka bumi, yaitu sebagai khalifah yang menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘aalamiiyn).
Alam dunia sungguh penuh dengan lapisan hijab ketidak tahuan atau kebodohan, sebagai yang terlupakan dari apa-apa yang diketahui di alam-alam sebelumnya. Lapisan-lapisannya menutupi hati (qalb atau kalbu) diri-diri kemanusiaan akibat cenderungnya keinginan dan hawa nafs-nya kepada setiap yang bersifat materi keduniaan.
Keinginan dan hawa nafs yang tak dapat dikendalikan-lah yang menyedot perhatiaan dan energi-nya sehingga yang selainnya sebagai yang terlupakan. Sekalipun ibadah yang dilakukannya sebagai hal yang rutin, namun bila keinginan dan hawa nafs-nya tak terkendali, maka segala ibadahnya tak memiliki perhatian dan kekhusyu’an-nya, yang seharusnya semata karena dan untuk Allah. Maka hilanglah keikhlasannya amal perbuatannya, dan bila seperti itu hilang pula rasa keberserah dirian (islam)-nya kepada Tuhan sebagai sumber segala perhatian dan tujuan.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”  (QS 7:172)
Alam Penantian (Barzhak)
Alam ini adalah alam penantian, dimana jiwa sebagai yang disimpan Allah, sementara jasad di dalam tanah kubur terurai kembali menjadi unsur-unsur yang terpisah satu sama lainnya dan tersebar. Namun unsur-unsur tersebut tetap memiliki ruh-ruhnya, menunggu suatu waktu yang telah ditentukan-Nya dikumpulkan kembali membentuk jasadnya, kemudian bersama jiwanya sama-sama sebagai yang dibangkitkan kembali dan terlahir kembali ke alam dunia sebagai bayi melalui jasad ibunya, untuk mengalami hari-hari pembalasan-nya, surga dan nerakanya. Sebagaimana yang telah diulas sebelumnya pada alam energi dan alam rahim.
Alam ini adalah alam bagi perjalanan panjang kehidupan kembali energi (ruh) unsur-unsur penyusun jasad kemanusiaan yang telah terurai di dalam tanah (kubur). Ada yang menetap lama pada kedalaman tanah, ada yang terbawa menjadi makanan cacing atau hewan-hewan berjasad renik lainnya, kemudian naik ke permukaan tanah berinteraksi dengan makhluk-makhluk lainnya. Ada pula yang bercampur dengan resapan air  hujan dan menjadi saripati tanah yang dihisap oleh akar-akar rerumputan atau tanaman bunga maupun buah-buahan. Kesemuanya tersebut yang pada akhirnya dapat berujung sebagai yang dikonsumsi manusia, seperti yang telah diulas pada alam rahim sebelumnya, yang kelak sebagai bahan baku sperma dan sel telur, sehingga kemudian terlahir (dibangkitkan) kembali sebagai kemanusiaan yang berjasad kembali.
Juga ada pula yang menetap lama di bebatuan yang kemudian dipecah dengan dipukul-pukul atau digiling menjadi batu untuk pondasi bangunan atau batu koral. Dan menetap di bebatuan mineral menjadi batu akik atau permata yang telah dibentuk dengan jalan mengasahnya, atau di bongkah-bongkah bebatuan emas dan perak yang kemudian dilebur untuk memisahkan kotoran-kotoran  yang tak bergunanya. Seperti itulah perjalanan energi dari unsur-unsur penyusun jasad kemanusiaan.
Ulasan tersebut di atas, bila dikaitkan dengan kepercayaan primitif nenek moyang kemanusiaan, yang memiliki kesamaan dimanapun wilayahnya di muka bumi ini, bukanlah hal yang aneh dan dianggap sebagai mitos belaka. Mereka telah mengetahui adanya unsur lahir dan bathin pada setiap benda atau materi, tentang adanya kekuatan (energi) sebagai yang bathin pada setiap benda yang kelihatan (sebagai yang lahir). Seperti yang kita ketahui pada benda sederhana saja yang biasa terlihat dan kita alami sehari-sehari, yaitu air yang kita minum adalah merupakan energi bagi tubuh kita.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (pengetahuan) seluruhnya, kemudian mengemukakan kepada para malaikat lalu berfirman ; sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar! (QS 2:31)
Dan dengan demikian, jelas sekali hal tersebut sangat berhubungan dengan pengetahuan atau pemahaman mereka tentang adanya kekuatan atau energi yang disebut juga dengan istilah ruh, sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu (seluruh) nama-nama yang telah diberikan Allah kepada Adam  sebagai bapak dari seluruh kemanusiaan.
Hanya sayang, jika diperjalanannya, mereka menganggap kekuatan-kekuatan tersebut sebagai kekuatan yang patut disembah atau diibadahi, seperti beribadah kepada Tuhannya. Atau, hal tersebut karena persepsi kita yang salah terhadap ritual penyembahan mereka kepada Tuhannya? Seperti umat lain yang berasumsi kepada kita yang menyembah kepada Ka’bah. Sekalipun dijelaskan dengan cara apapun, tetap saja mereka kukuh dengan persangkaannya, dikarenakan yang mereka lihat seperti itu. Sehingga, menjadi perlu bagi kemanusiaan untuk dapat memahami segala sesuatu secara benar yang hakiki agar tidak tersesat, atau malah mudah menganggap sesat umat lain.
Tetapi, sekalipun demikian kita tak dapat memungkiri adanya kekuatan-kekuatan (energi-energi) yang disebut sebagai ruh pada setiap unsur materi pada setiap benda atau segala sesuatu, sebagai qudrat dan iradat (energi bawaan) yang diberikan Allah kepada setiap segala sesuatu yang diciptakan-Nya di semesta alam. Masih banyak sekali, tak terhitung, segala sesuatu yang merupakan misteri di alam raya ini menunggu untuk diketahui dan dipahami oleh kemanusiaan.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (pengetahuan) seluruhnya, kemudian mengemukakan kepada para malaikat lalu berfirman ; sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar! (QS 2:31)
Jika terjadi penyimpangan pada ajaran-ajaran agama yang diwariskan bapak-bapak mereka (yang berasal dari Adam), adalah wajar saja dapat terjadi. Karena di masa sekarang ini saja, setelah 1500 tahun ditinggal nabi Muhammad, ajaran Islam yang telah beliau wariskan telah terpecah menjadi banyak golongan. Belum lagi seperti yang terjadi pada agama-agama lainnya yang sesungguhnya berasal dari satu sumber, dan kemudian terpecah-pecah menjadi beberapa agama. Jika telah memahami hal ini, maka insya Allah, kita tak akan terjebak kepada yang ikut serta gampang menyalahkan atau menganggap sesat umat atau golongan lain selain dirinya. Cukuplah kita mengambilnya sebagai pelajaran, pengetahuan, ataupun petunjuk yang dapat bermanfaat bagi kehidupan kita ke depan.
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)
Hidup dan mati kemudian dibangkitkan adalah seperti keadaan orang yang setelah lelahnya aktivitas seharian kemudian tidur dan bangun kembali esok harinya. Itu berada dalam skala periode kehidupan didunia, yaitu dari lahir hingga  matinya. Maka berapa kali kita mengalami tidur dan bangun?
“Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS 41:39)
Begitupun pada hidup, mati dan dibangkitkan dalam skala periode siklus kehidupan semesta alam ini, dari semenjak diciptakan hingga kiamat (qubra)-nya. Maka kehidupan dan kematian serta dibangkitkannya pun tentu tak terhitung. Yaitu mengalami, dari mulai dilahirkan, mati dan  dibangkitkan hingga harus mengalami hari-hari pembalasan (surga atau neraka)-nya pun adalah masa-masa selama masih adanya langit dan bumi. Seperti rerumputan yang mengering dan mati di musim kemarau, maka setelah datangnya musim hujan, menjadi hidup serta tumbuh subur menghijau kembali.
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain).......”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Begitulah kemanusiaan selalu diingatkan Allah tentang perjalanan jiwa yang panjang dan berulang-ulang, dari mulai sebagai yang belum dapat disebut (QS 76:1) sampai kepada dibangkitkan menjadi kemanusiaan kembali dan mengalami kembali hari-hari pembalasan-nya. Begitu berulang-ulang sampai pada waktu yang telah menjadi ketetapan-Nya (Kiamat Qubra), untuk kembali pulang kepada Dia Yang Maha Tunggal.
Alam Pembalasan
Seperti yang telah diulas sebelumnya pada bagian pertama keimanan terhadap Hari Akhir dan bagian keempat Lahir & Bathin. Menjadi terpisah-pisah ulasannya dan tersebar pada bab-bab ulasan lainya, dikarenakan hal ini untuk memudahkan penyajian agar saling berhubungan dengan ulasan lainnya yang berkaitan dengan perjalanan jiwa-jiwa kemanusiaan.
Perjalanan jiwa yang sesungguhnya mengalami kehidupan di alam-alam yang bertahap-tahap sesuai tingkatannya. Seperti layaknya kehidupan di dunia yang mengalami masa sebagai bayi, meningkat ke masa balita, kemudian masa kanak-kanak, begitu seterusnya dengan alam (suasana)-nya masing-masing yang berbeda.
Selama di alam dunia, alam-alam yang akan dialami jiwa-jiwa kemanusiaan memiliki tabir (hijab)-nya yang membuat batas sebagai pemisahnya, sehingga tak dapat ditembus oleh mata lahir. Hanya dengan mata bathin yang telah dibukakan oleh Allah sajalah, yang melalui petunjuk-Nya maka menjadi terlihat nyata. Sayangnya, selama di alam dunia, bukanlah hal yang mudah untuk membuka hijab-hijab tersebut, sehingga mata bathin dapat melihat seluruh alam secara terang dan nyata. Kuatnya materi menarik perhatian jiwa akibat hawa nafsu (ego)-nya semakin menutupi dan menjadi tabir-tabir (hijab-hijab) menjadi berlapis-lapis, serta menimbulkan penyakit-penyakit hati yang amat menyita perhatian jiwa hanya kepada materi dunia sajalah sebagai yang menghalangi pandangan mata bathin.
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.”  (QS 15:39)
Ayat ini adalah sebuah peringatan bagi jiwa-jiwa kemanusiaan agar berhati-hati dalam setiap menginginkan dan memandang segala yang indah. Jangan sampai keindahan tersebut ternyata hanyalah sebagai pembungkus keburukan yang berada di dalam atau di balik-nya, yang membuat penyesalan di kemudian hari. Apalagi, bila hawa nafsu (ego)-nya telah ikut pula mulai ikut bermain, yaitu rasa ketergesa-gesaan ingin segera meraihnya.
Seperti kita melihat seorang anak kecil yang merengek-rengek meminta apa yang dinginkannya, padahal kita mengetahui bahwa dia benar-benar tak memerlukannya atau malah akan membahayakan dirinya, kelak. Tentu kita akan menilai, betapa bodohnya anak itu. Namun, karena ketidak tahuannya, karena kebodohannya dan karena hawa nafsunya dia tetap kuat ingin mendapatkannya. Menahan rasa keinginan yang kuat (hawa nafsu) menjadi tolak ukur bagi orang lain dalam menilai kita. Menahan rasa keinginan yang kuat (hawa nafsu) juga adalah bentuk kesabaran, agar dapat memiliki waktu untuk berpikir secara matang dan lebih bertanggung jawab. Menahan rasa keinginan yang kuat (hawa nafsu) pun sebagai yang melatih jiwa untuk selalu merasa dekat kepada Tuhannya.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia, niscaya di akhirat akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan (kebenaran).”  (QS 17:72)
Dan seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, bahwa segala yang yang kita terima, baik itu adalah sebagai rahmat anugerah kebaikan maupun keburukan, ternyata adalah amanat yang perlu dipertanggung jawabkan pada hari-hari kemudian. Bukan hanya kebaikan yang perlu dikelola secara bertanggung jawab sebagai amanat, namun keburukan yang diterima-pun perlu dikelola secara baik dan benar agar keburukan tersebut tak menciptakan keburukan-keburukan baru lainnya sebagai yang akan datang pula, kelak di kemudian hari di dalam hari pembalasan-nya.
Tabir-tabir hijab yang menutupi mata hati kemanusiaan dari memandang hakikat segala sesuatu kehidupan yang berada di semesta (seluruh) alam ini, adalah karena terhanyutnya hati oleh keinginan hawa nafsu materi yang bersifat keduniaan. Hatinya sibuk hanya kepada hal-hal kehidupan dunianya saja, dan selalu mengejar untuk dapat memenuhi kebutuhan dunianya saja, sehingga dapat saja tak menyadari telah terperosok kepada amal perbuatan yang seharusnya tak dilakukakannya. Bila hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka hati akan semakin keras membatu, menimbulkan penyakit-penyakit dalam hati atau jiwa-nya dan pada akhirnya merembet kepada penyakit-penyakit di tubuh atau jasadnya.
Begitulah akhirat sebagai alam-alam setelah kehidupan di alam dunia menjadi terhalang dari pandangan mata bathin kemanusiaan selama di alam dunia.
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.(QS 22:46)
Penyebab utama hati yang buta adalah jiwa yang sibuk dan terhanyut pada kehidupan dunia saja, lupa akan amanat-nya, yaitu  perjanjian dan kesaksian-nya yang menjadikannya khalifah, serta sebagai wakil-Nya di muka bumi yang mewujudkan sifat-sifat Tuhan di muka bumi yang juga merupakan rahmat-Nya. Rahmatan lil ‘aalamiiyn.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.”  (QS 33:72)
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab : betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”  (QS 7:172)
Kehidupan dunia yang dapat menjadikan jiwanya sibukkan serta hanyut, sungguh berakibat menjadikan dirinya tidak hanya lalai, bahkan lupa kepada kehidupan di hari kemudian-nya, yaitu alam-alam lain dalam perjalanan panjang kehidupan jiwanya menuju tujuan utmanya kembali pulang kepada Tuhannya Yang Maha Tunggal. Seakan, merasa tak memikul amanat dari Tuhannya, hanya diri dan keluarganya saja yang menjadi perhatian utamanya, dan tidak peka lagi terhadap sekitarnya.
Sungguh alam dunia ini adalah perhiasan yang memukau dan menghanyutkan, juga bagaikan permainan yang dapat menyita waktu dan perhatian jiwa melupakan tujuan utama diciptakannya kemanusiaan oleh Tuhannya. Begitulah tabir (hijab) dalam kehidupan di alam dunia yang menutupi hati dan jiwa hanya terpaku tak menyadari lagi kehidupan-kehidupan di akhirat, kelak.
“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (durhaka) terhadap Tuhan-mu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)-mu seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu. Bukan durhaka saja, bahkan kamu mendustakan hari pembalasan.” (QS 82:6-9)
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang akhirat adalah lalai.” (QS 30:7)
Sungguh, perjalanan kehidupan adalah masih panjang, masih melalui banyak alam lagi, kemudian mengalaminya terus berulang-ulang sebagai usaha pembersihan dari kelalaian yang menyebabkan kekotoran untuk dimurnikan kesuciannya agar dapat kembali pulang kepada Tuhannya Yang Maha Tunggal. Usaha pembersihan atau pensucian jiwa melalui kehidupan yang berulang-ulang inilah yang terjadi pada setiap diri kemanusiaan di alam pembalasan. Lahir, hidup, mati, dan dibangkitkan terus berulang-berulang. Dan hanya yang telah mencapai murni kesuciannya yang dapat langsung kembali kepada Tuhan Yang Maha Suci dan Yang Maha Tunggal.
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”       (QS 29:19)
Bila diri-diri kemanusiaan yang mengalami kehidupan sekarang, di dunia, tentu itu adalah sedang mengalami pembersihan atau pembalasan sebagai pertanggung jawaban dari amal perbuatan di kehidupan sebelumnya yang masih kotor. Maka, apabila pada kehidupan ini pun masih berkutat pada kekotoran, maka tentu akan mengalami terus kembali pembalasannya untuk membersihkannya. Inilah yang disebut perjalanan panjang jiwa-jiwa kemanusiaan.
Adakah, bila telah menyadari dan memahami hal ini, kemanusiaan masih berani menolak dan mengingkarinya dengan kehidupan yang menghanyutkan dan melenakan jiwanya?
Tentu semua umat muslim percaya bahwa alam kubur sebagai alam penantian menunggu kebangkitan, maka jelas itu sebuah bukti ada kehidupan di alam kubur. Dan setelah melewati alam kubur, yaitu kebangkitan, maka ada lagi alam selanjutnya yang harus dilalui, yaitu alam akhirat. Dan banyak ayat-ayat Al Qur’an yang memberitakan tentang kehidupan di alam akhirat selain kehidupan di alam kubur dan alam dunia.
Kehidupan di alam-alam tersebut, yaitu dari mulai kehidupan di masa sekarang yang dibilang kehidupan alam dunia,  kehidupan alam kubur (barzakh), dan kehidupan alam akhirat adalah merupakan bagian pula dari hari-hari agama Allah (yawmid-diyn). Dimana Allah sebagai penguasanya.
“Yang menguasai hari-hari agama.”  (QS 1:4)
Yaitu hari-hari atau masa-masa yang dinaungi agama (aturan jalan hidup), tidak hanya dimaknai sebagai hari pembalasan, hari akhirat, hari kemudian, melainkan hari-hari di kehidupan dunia pun adalah termasuk di dalamnya. Karena jelas ayat tersebut menyebutkan hari-hari yang dinaungi agama, dan Allah sebagai penguasanya, seperti juga layaknya kehidupan di dunia. Sebenarnya ini sempat diurai ringkas di bab keimanan kepada hari akhir.
Pemahaman sebelumnya, bahwa surga dan neraka adalah alam baru atau tempat baru setelah hari kiamat, dimana alam tempat pembalasan terhadap amal perbuatan semasa hidup di dunia sebelumnya, adalah pemahaman yang mengkungkung manusia pada keterbatasan harapan yang lebih memberatkannya kepada keputus asaan. Tiada bersemangat lagi menebarkan kebaikan yang merupakan rahmat dari Allah yang sesungguhnya harus ditebarkan merata kepada sesama makhluk Allah, apapun itu.
Balasan yang terbawa pada kehidupan selanjutnya tersebut, seperti uraian sebelumnya, berupa suasana rasa nikmat atau rasa sengsara yang menempel terus mengikutinya sebagai ketetapan dari-Nya. Tidak peduli apakah terlihat bagi orang lainnya mengalami hidup mewah dan megah, akan tetapi rasa bathin-nyalah yang dirasakan jiwanya, dan hanya dirinya sendirilah yang merasakannya, bukanlah orang lain. Sedangkan kemewahan serta kemegahan kehidupannya pun sebenarnya adalah balasan pula yang dibawa dari kehidupan sebelumnya, dan begitu pula pada kesengsaraannya.
Kehidupan di alam-alam tersebut pun, semuanya, sebenarnya, sekarang pun sedang berlangsung di alam dunia ini pula, bahkan telah sejak lama berlangsungnya, di dalam alam semesta ini pula. Hanya karena keterbatasan mata jasad kita saja yang menjadikannya tak dapat melihat keberlangsungan kehidupan tersebut. Bila Allah menghendaki seseorang dapat melihatnya, maka bukan tak mungkin dia akan melihat kehidupan di alam-alam  tersebut.
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain).......”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Maka jelas sekali ayat ini menegaskan bahwa hari kemudian (akhirat) pun sedang berlangsung, karena hari-hari itu berlangsung selama masih adanya langit dan bumi. Bukan malah setelah hancurnya langit dan bumi.
Pemahaman sebelumnya tentang kehidupan di alam-alam tersebut menjadi bias, adalah karena disebabkan tentang pemahaman hari akhir (kiamat) yang salah persepsi. Sebenarnya makna kematian dan hari akhir telah sempat pula diurai pada bab keimanan sebelumnya.
“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”  (QS 21:104)
Itu adalah merupakan siklus besar kehidupan semesta alam. Sedangkan siklus kecilnya adalah, mengalami hidup dan mati serta dibangkitkan yang tidak hanya sekali (QS 2:28) dan mengalami hari pembalasan selama masih adanya langit dan bumi (QS 11:106-108), sebelum hancur lebur atau kiamat qubra. Layaknya mengalami tidur dan bangun beberapa kali dalam hidupnya.
Bila hari akhir hanya dipahami sebagai hari kiamat qubra saja, jelas kehidupan di alam dunia menjadi hanya satu kali saja, kemudian hanya menunggu hancurnya bumi dan langit dan segala isinya, baru kemudian dibangkitkan dari alam kubur secara bersama-sama.
Akan tetapi, jika memahami hari akhir adalah tidak hanya kiamat qubra saja, melainkan akhir dari sesuatu, misalnya akhir kehidupan yaitu kematian, maka akhiratnya adalah kehidupan di alam kubur, kemudian menunggu kebangkitan sebagai hari akhir dari kehidupan alam kubur, dilanjutkan setelah kebangkitan adalah mengalami kehidupan di hari pembalasan, yang semuanya itu adalah termasuk dalam hari kemudian (hari selanjutnya).
Hidup dan mati kemudian dibangkitkan adalah seperti keadaan orang yang setelah lelahnya aktivitas seharian kemudian tidur dan bangun kembali esok harinya. Itu berada dalam skala periode kehidupan didunia, yaitu dari lahir hingga  matinya. Maka berapa kali kita mengalami tidur dan bangun?
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)
Begitupun pada hidup, mati dan dibangkitkan dalam skala periode siklus kehidupan semesta alam ini, dari semenjak diciptakan hingga kiamat (qubra)-nya. Maka kehidupan dan kematian serta dibangkitkannya pun tentu tak terhitung. Yaitu mengalami, dari mulai dilahirkan, mati dan  dibangkitkan hingga hari pembalasan (surga atau neraka)-nya pun adalah masa-masa selama masih adanya langit dan bumi (QS 11:106-108). Seperti rerumputan yang mati di musim kemarau, maka setelah datangnya musim hujan, menjadi tumbuh subur menghijau kembali.
“Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS 41:39)
Bukan hanya setelah kematian maka baru kita akan menghadapi hari pembalasan, di kehidupan dunia pun ada hari pembalasan-nya. Sebagai makhluk, segala sesuatu (baik yang lahir maupun yang bathin) akan tersentuh kematian (akhir), begitu pula pada kondisi atau keadaan pun memiliki akhir. Kesedihan yang diakhiri kebahagiaan, atau sebaliknya. Kekurangan diakhiri oleh kecukupan, juga begitupun sebaliknya. Maka kepada amal perbuatan pun memiliki akhirnya, seperti pekerjaan atau berdagang maka setelah hari akhirnya, akan dilanjutkan pula dengan hari pembalasan yang merupakan akibat dari amal perbuatan sebagai sebab-sebab terjadinya kondisi atau keadaan sebelumnya.
Allah menciptakan Alam Semesta ini, sebagai tempat, atau media, atau juga wadah bagi segala makhluk-Nya, termasuk alam akhirat, alam kubur, dan alam surga dan neraka. Semua ya berada di alam ini, alam yang sekarang kita tempati.
Layaknya jasad manusia sebagai wadah, yang ternyata adalah pula merupakan susunan berstruktur dari milyaran sel-sel yang juga adalah makhluk ciptaan-Nya. Sehingga, bila kita telah sampai kepada pemahaman tunggal, bahwa segala sesuatu, dari yang terkecil atau mikro partikel, kemudian materi, benda-benda yang disebut mati atau yang disebut hidup yang memiliki senyawa yang kompleks dan rumit, kemudian bumi dan bintang-bintang atau bahkan koloninya yang lebih besar lagi seperti galaksi-galaksi kumpulan milyaran bintang, hingga kepada yang terbesar yaitu alam semesta (jagad raya) ini, ternyata memiliki kemiripan atau kesamaan arah gerak hidup sebagai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu sistem tunggal, kehendak Dia Yang Maha Tunggal (sunathullah). Awal dan akhirnya pun adalah kepada Dia Yang Maha Tunggal.
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)
Dengan demikian, menjadi pentingkah surga untuk dituju dan neraka untuk dihindari? Jika tujuannya adalah Dia, mengapa pula kita disibukkan untuk menghindari neraka dan terlena akan kenikmatan surga bila jalan telah terang? Hanya mereka yang buta akan tujuan akhir yang sejati sajalah yang dapat tersesat akibat terlena, baik karena tersesat kepada neraka maupun hendak menggapai nikmatnya surga. Padahal telah terang jalan menuju tujuan akhir yang sejati, yaitu kembali kepada Dia Yang Maha Tunggal, ilayhi raji’un.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”    (QS 21:35)
Adalah fungsi kesadaran manusia yang membuatnya tertarik memahami yang lahir (nyata), berinteraksi dan saling mengambil manfaat darinya. Kemudian meningkat kepada kesadaran untuk pula dapat memahami makna dari yang lahir (nyata), yaitu bathin
Di saat itulah diri kemanusiaannya, sekalipun pada masa-masa perkembangan kejiwaan ini, yaitu hati dan akalnya sedang pula terkontaminasi oleh keinginan dan kebutuhan, merasa tertuntut pula untuk dapat memahami makna-makna yang bathin yang sesungguhnya, dapat saja atau malah akan menimbulkan kontradiksi dengan keinginan dan kebutuhannya. Sehingga kini, telah tercipta dua kutub kekuatan tarik menarik yang sangat akan mempengaruhi kejiwaan serta arah kehidupannya.
Di saat itu pulalah terciptanya keragaman pada setiap diri kemanusiaan, yang menimbulkan berbagai macam perbedaan. Yang masing-masingnya membawa kebenaran, sekalipun masing-masingnya merasa dirinyalah yang benar dan yang lain adalah salah, disebabkan sudut pandang yang mendasari kebenaran merekapun yang beraneka ragam. Akan tetapi, justru, disitulah bukti keaneka ragaman kebenaran di dalam kebenaran tunggal. Sebagai bukti ke-akbar-an Dia Yang Maha Tunggal.
Jangankan kebenarannya, diri-dirinya pun beraneka ragam. Ya, diri-diri yang akbar didalam wujud kemanusiaan. Yang pada satu diri saja kita takkan pernah mampu menentukan berapa jumlah sel yang membangun struktur tubuhnya, maka ragam kerja dan fungsinya pun berbeda-beda satu sama lainnya.
Semakin banyak kesadaran-kesadaran yang mengarahkan pemahaman terhadap segala sesuatu yang ditemuinya, maka mata hatinya menjadi hidup dalam menangkap setiap makna yang memberikan hikmah yang tiada ternilai. Hati yang hidup adalah kehidupan yang sempurna sebagai sejatinya kehidupan, karena tiada lagi rasa takut, gelisah, bingung, dan tak tahu arah. Sekalipun masih banyak yang belum diketahuinya secara lahir dan bathin, namun pemahamannya menyatakan keyakinannya untuk tetap dalam keberserah dirian (islam)-nya dengan murni dan ikhlas tertuju hanya semata kepada-Nya, Dia Yang Maha Tunggal.
Ketika kehidupan di dunia, setiap diri yang baik tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pula setiap diri yang buruk tidak lepas dari kebaikan. Jadi, kebaikan dan keburukan seberat zarrah pun akan menerima balasannya. Maka di alam akhirat kelak, setiap diri yang mendapatkan balasan kebaikan-nya (di dalam surga) akan terancam sedikit nerakanya pula dari keburukan seberat zarrah akibat kelalaiannya yang diperbuat sebelumnya. Dan setiap diri yang mendapat keburukan-nya (di dalam neraka), mendapat harapan pula merasakan sedikit surganya dari kebaikan seberat zarrah yang pernah dilakukannya. Allah Maha Adil lagi tidak lalai sedikitpun dari pengetahuan-Nya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (titik), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (titik), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya”. (QS 99:7-8)
Di alam dunia, bukanlah hal yang tidak mungkin jiwa kemanusiaan dapat memandang dan memahami alam-alam lainnya selain alam dunianya, asalkan dirinya mau dan dapat mensucikan hatinya dari kekotoran-kekotoran yang menyebabkan tabir-tabir hijab yang menghalangi pandangan mata bathin-nya. Sungguh kekotoran-kekotoran tersebut dapat merugikan dirinya, selain menimbulkan penyakit-penyakit hati, juga mengakibatkan penyakit-penyakit pada jasad tubuh kemanusiaannya, terlebih menyebabkan kebodohan akal dan kesadaran jiwa dalam memahami kehidupan panjang-nya yang masih akan dilaluinya pada masa-masa yang akan datang. Yang lebih utama, dan merupakan tujuan dari segala tujuan, adalah menyadari dan memahami sebenarnya jiwa kemanusiaan kita menjadi hadir dan datang ke alam kehidupan dunia ini dari tempat yang paling mulia dan paling tinggi, yaitu dari Allah SWT. Maka dengan menyadari dan memahami asal keberadaan tersebut adalah mutlak pula kita memahami dan menyadari tempat kembali-nya. Ilayihi raji’un.
Begitulah cahaya Allah menerangi dan menjadi nyata serta jelas hakikatnya bagi pandangan mata bathin yang telah suci bersih kepada alam-alam kemudian yang akan dihadapinya sebagai perjalanan panjang jiwa-nya. Dan Dia pulalah yang menjelaskan hakikat bathin dari segala sesuatu yang lahir (nyata) dan yang masih ghaib.
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang besar. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.”  (QS 2:269)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Kehidupan berikutnya, di alam pembalasan, sebagai yang mengalami hari-hari pembalasan, digambarkan sebagai kehidupan akhirat dengan surga dan nerakanya, adalah merupakan suasana bathin berupa nikmat atau siksa bagi mereka yang berada di dalamnya. Sebenarnya, di dunia sekarang inipun, kita mengalami yang terkadang berupa nikmat dan terkadang pula berupa siksa. Hanya saja, disebutkan seperti dalam firmannya (QS 11:106-108), bahwa kekekalannya-lah yang lebih ditegaskan dalam membedakan kehidupan di dunia dengan di akhirat.
Akan tetapi kekekalan hari kemudian pun berupa makhluk ciptaan-Nya, yang pasti memiliki umur atau waktu, atau sementara, dan hanya Dia-lah yang kekal serta berkuasa juga pada kehidupan baik di dunia, di akhirat, serta kehidupan kemudiannya lagi, bila ada. Dan apa-apa yang ditunjukkan-Nya, melalui kejadian-kejadian di alam ini, mengarahkan pemahaman, bahwa kehidupan ini akan terus berlanjut sebagai pengulangan atau siklus penciptaan-Nya.
“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”
(QS 21:104)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar