BAGIAN 5
AHAD
Bab
XXIV
SEMESTA ALAM
Sebagai Perwujudan
ALLAHU AKBAR
“Kami akan memperlihatkan
kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka
sendiri, sehingga
jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah
benar.....”
(QS 41:53)
A
|
da banyak cara dalam mengenal
Allah, malahan tak terhitung banyaknya, sebanyak wujud-wujud di semesta alam
raya ini, yang sesungguhnya adalah merupakan perwujudan Dia Yang Maha Akbar.
Alam raya adalah tanda-tanda kekuasaan-Nya, dan segala macam kesempurnaan tanpa
cacat dari ciptaan-Nya tersebut adalah sebagai bukti Maha Sempurna-Nya Dia
sebagai Sang Khalik.
“Yang telah
menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali
tak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang
(kecacatan). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu
lihat sesuatu yang tidak seimbang (cacat).” (QS 67:3)
“Kemudian
pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun
dalam keadaan yang payah.” (QS 67:4)
Pernah suatu
kali, ketika sedang asyik menggambar, keponakan kecil datang menghampiri dan
bertanya, “sedang gambar apa Om?” Dan ketika dijawab, “rumah...” Sambil
kebingungan dia pun berkomentar, “mana rumahnya... Kok gambar rumah seperti
itu?!” Karena yang dia lihat hanya gambar denah lantainya.
Seperti itu
pulalah kita ketika berusaha memahami semesta alam ini ketika berusaha memahami
makna ayat 115 surah al Baqarah (2),
“Dan
kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.”
(QS 2:115)
Maka
kebingungan sendiri mencari-cari dimana wajah Allah, seperti keponakan kecil
tadi kebingungan mencari-cari wajah (gambar) rumah. Semesta alam ini
yang kita lihat melalui mata kita adalah sebagian kecil dari perwujudan Allahu
Akbar. Bila dikatakan adanya buku ini membuktikan bahwa sudah pastilah
ada penulisnya, tentu tidak membingungkan lagi. Dan buku ini bukanlah
penulis itu sendiri, tentunya.
Perwujudan-Nya
yang begitu Akbar meliputi langit dan bumi dan apa-apa yang berada diantara
keduanya, menunjukkan ke-tidak berhinggaan termasuk wujud-Nya
sehingga kesulitan dalam mendefinisikan keberadaan-Nya, apalagi wujud atau
wajah-Nya.
Allah
meliputi segala sesuatu, baik yang nyata terlihat maupun yang nyata tak
terlihat, itulah mengapa Dia tak terjangkau oleh keterbatasan manusia,
sebab manusia bagian dari perwujudan-Nya. Satu saja, yaitu satu atau seseorang
yang juga merupakan perwujudan-Nya, hitunglah jumlah yang telah dianugerahkan
kepadanya, baik itu ucapnya, perbuatannya, geraknya, yang didengarnya, yang
dilihatnya, pikirnya, karyanya, dan juga penyusun tubuhnya seperti rambut dan
sel tubuhnya. Sungguh tak berhingga jumlahnya, hanya dari satu perwujudan-Nya
saja. Maka Dia-lah Yang Maha Akbar untuk dapat diketahui ataupun didefinisikan
melalui sifat keterbatasan makhluk.
Allah bersifat Qidam, yaitu pendahulu.
Dia-lah sebagai pendahulu segala sesuatu, dan mendahului segala sesuatu. Sedangkan
segala sesuatu selain Dia, termasuk kemanusiaan, adalah baru (hadist).
Dia-lah awalu wa akhiru, yang mengawali dan mengakhiri, akan tetapi Dia
sendiri bukanlah yang awal maupun bukanlah yang akhir. Dan segala sesuatu yang
ada selain Dia adalah merupakan ciptaan-Nya, tentunya sudah pasti memiliki
awal dan juga memiliki akhir.
Dia mendahului
segala sesuatu yang ada sebelum kita ada, dan Dia-pun mendahului segala sesuatu
yang akan ada setelah kita tiada. Dan Dia pulalah yang mengakhiri segala
sesuatu, bahkan yang belum ada sekarang. Akan tetapi, Dia tidak berakhir.
Segala sesuatu, termasuk diri kita, berakhir karena diakhiri oleh-Nya,
bagaimana mungkin dari segala sesuatu tersebut dapat mengetahui kapan Dia
berakhir. Bagaimana mungkin yang diakhiri oleh-Nya dapat mengetahui Dia
berakhir? Maka kesimpulannya, Dia tidak berakhir.
Dengan
begitu pula maka Dia adalah Yang Kekal Abadi tak tersentuh kematian. Maka Dia
pun menjadi berbeda dengan makhluk, karena Dia-lah sesungguhnya Yang
Maha Pencipta segala sesuatu atau makhluk dan kemudian memelihara dengan
rahmat-Nya. Maka Dia menjadi Yang Maha Mandiri, karena selain Dia adalah
bergantung kepada-Nya. Jadilah Dia Yang Maha Esa, satu-satunya Yang Maha
Tunggal. Ketunggalan-Nya membuat Dia sebagai Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui,
dan Maha berkehendak. Sehingga membawa kepada pemahaman, bahwa Dia-lah sebagai
satu-satunya eksistensi sejati. Eksistensi Tunggal.
Begitulah sebagian kecil yang
dapat diketahui tentang-Nya dari ketidak berhinggaan pengetahuan tentang Dia.
Itupun karena diberitahukan oleh-Nya melalui Al Qur’an.
“Dan
(ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab, betul, kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak
mengatakan,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS 7:172)
Kali ini, kita
akan berusaha lebih mengenal-Nya melalui surah al Fatihah, karena selain surah
ini sebagai inti sari Al Qu’an yang sungguh amat luas makna yang
terkandung di dalamnya. Juga, al Fatihah ini sebagai surah yang telah banyak
dihafal dan diketahui kemanusiaan, karena sebagai surah yang paling banyak
dibaca setiap harinya secara berulang-ulang. Bahkan tak sedikit mereka yang di
luar muslimin telah mengetahui surah ini, sekalipun tanpa memahami maknanya.
Makna-makna yang terkandung,
atau dapat dikatakan pula sebagai penafsiran, sesungguhnya amat luas dan takkan
cukup bila kita hendak membahasnya secara lengkap dan mendetail. Sekalipun apa
yang akan kita urai tak lengkap dan mendetail, akan tetapi paling tidak, dapat
mengarahkan pemahaman kita untuk lebih dekat lagi kepada kebenaran-Nya. Dan
semoga Allah melapangkan dada kita dalam menerima setiap hikmah petunjuk-Nya.
Nama-Nama Allah
“Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Kasih
Sayang.”
(QS 1:1)
Begitu banyak nama-nama yang ditujukan dalam setiap
penyebutan kepada-Nya, seperti, ilah, god, lord, gusti, gusti pangeran, gusti allah,
dan lain-lainnya berdasarkan bahasa tempat disebutkannya. Kemudian nama-nama
terbaik-Nya, seperti ar Raahman, al Ghafuur, al Aziz, dan lain sebagainya. Allah
adalah nama tunggal Tuhan, berasal dari al-ilah (dua suku
kata al dan ilah yang dilebur pengucapannya
menjadi Allah). Kata al yang menunjuk kemutlakkan
kata berikutnya, yaitu ilah (tuhan), sehingga bermakna tuhan
yang mutlak. Mutlak sebagai yang Maha Kuasa, mutlak sebagai Maha
Pengasih dan Penyayang.
Di dalam al
Qur’an pun begitu banyak tercantum nama dan sebutan yang ditujukan kepada-Nya,
yang merupakan nama-nama terbaik (asma al husna), juga merupakan
sebutan-sebutan kepada sifat-sifat Dia yang Akbar-nya sungguh tak terhitung.
Maka itulah Dia menetapkan “Allah” sebagai nama dan sebutan tunggal-Nya,
sehingga lebih mudah dalam memahami makna-makna pada setiap ayat-ayat yang
merupakan petunjuk-Nya.
“Katakanlah, serulah Allah atau serulah Ar
Rahman (Yang
Maha Pmurah), dengan nama yang mana
saja kamu seru. Dia mempunyai al asma al husna (nama-nam terbaik).......” (QS 17:110)
Akan tetapi setiap ‘nama’
dan ‘sebutan’, termasuk nama dan sebutan kepada-Nya, adalah makhluk,
yang juga merupakan ciptaan-Nya. Tidak dapat berbicara,
mendengar, ataupun melihat, bila tidak diberi anugerah oleh Dia. Nama
adalah nama atau sebutan, bukan Dia. Nama tidak dapat berinteraksi, seperti
tidak dapat mendengar, tidak dapat melihat, tidak dapat merasa, apalagi
membalas atau berreaksi. Tetapi Dia yang memiliki nama-lah yang
sesungguhnya beraksi dan bereaksi. Nama hanyalah sekedar sarana untuk
memudahkan dalam penyebutan identitas suatu keberadaan (eksistensi).
1.
Menyebut Nama-Nya sebagai Yang Mengingat DIA
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah
kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”
(QS 2:152)
Basmallah, adalah istilah yang
dipakai untuk menyebut nama Allah dalam setiap hendak melakukan aktivitas gerak
pekerjaan atau gerak amal perbuatan. Bahkan dipercaya, bahwa setiap perbuatan
yang tidak didahului oleh basmallah, akan mengalami kecacatan atau tak mencapai
kesempurnaan pada hasilnya. Sekalipun telah melalui perencanaan dan persiapan
segala sesuatunya dengan matang, maka tetaplah akan mengalami kecacatan pada
hasilnya. Mengapa dapat seperti itu?
Sebenarnya, kita sempat
mengulas panjang lebar (pada kitab-kitab sebelumnya, pada kitab Keimanan,
Agama, Berserah Diri, Lahir & Bathin, serta Kitab Hikmah) mengenai
bahayanya pengakuan (ego) sebagai yang menyelimuti dan menutupi
pandangan mata hati kita kepada petunjuk Tuhan, yaitu kebenaran. Dengan
begitu, jangankan hendak mendapatkan hasil yang sempurna, dalam perjalanan
pelaksanaannya pun tentu akan menemui dan mengalami kesalahan-kesalahan yang
dianggapnya sebagai kebenaran.
Pengakuan (ego)-nya adalah
kotoran hati, yang karena dengannya diri kemanusiaan menjadi lupa kepada siapa
sesungguhnya yang bekerja, yang memberi kekuatan tenaga, ilmu dan rizki kepadanya, yang memberikan
pengetahuan untuk merencanakan. Dan karenanya pula semakin lagi dapat
disesatkan kepada keserakahan dan ketamakan yang hendak mendapatkan hasil
sebesar-besarnya, melupakan andil yang lainnya yang telah ikut membantunya
bekerja.
“...... Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih
besar
(keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS
29:45)
Basmallah, paling tidak dapat
mengingatkan jiwanya akan keterikatan dan kebergantungan dirinya kepada
Tuhannya sebagai Penguasa alam, Penguasa segala sesuatu, dan Penguasa hari
kemudian yang menentukan hasil gerak pekerjaannya. Bila telah selalu ingat
kepada Tuhannya, maka kesadarannya akan selalu terjaga.
Bukan
takut kepada balasan azab Tuhannya, bukan pula takut neraka dan menjadi
mengharap surga, tidak pula untuk dipandang baik dan mulia oleh orang lain,
melainkan lebih menjaga kesadarannya pada fitrah diri-nya sebagai wakil
Tuhannya di bumi, sebagai yang mewujudkan sifat-sifat Tuhannya yang saling
menebarkan rahmat kepada sesama makhluk-Nya. Rahmatan lil ‘aalamiiyn.
“Hanya Allah-lah
pemilik nama-nama terbaik, maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut nama-nama terbaik-Nya tersebut dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-Nya. Nanti
mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS 7:180)
Sebuah nama
menjadi begitu sakral dan ditempatkan di tempat tertinggi, adalah karena
pengaruh dari predikat pemilik nama tersebut yang tentunya sebagai
predikat yang bukan sembarangan. Semakin unik dan tingginya predikat-nya, maka
semakin besar dan agung pula nama-nya.
Mengingat
adalah selalu menjaga kesadaran jiwa bahwa sesungguhnya Allah mengawasi dan
menguasai diri-diri kita di setiap saat, termasuk di waktu-waktu sibuk dengan
pekerjaan maupun di waktu senggang, atau bahkan sekalipun di waktu setelah
shalatnya. Karena kuasa Dia tak terbatasi oleh ruang dan waktu, begitupun
dengan rahmat-Nya. Setiap geraknya pun karena rahmat Tuhannya yang memberikan
kekuatan. Ingatnya pun karena rahmat petunjuk-Nya.
Mereka yang
telah menyadari ini, tentu akan memahami dan menjaga setiap gerak amal
perbuatannya agar tidak lepas dari nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, dan
tidak akan berani melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Sehingga amal
perbuatannya adalah refleksi atau cerminan dari ingatnya kepada Tuhannya. Amal
perbuatan yang merefleksikan fitrah diri-nya sebagai wakil Allah di muka bumi
yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Kesadaran adalah suatu
kondisi dalam keadaan ingat. Dan kesadaran pun dapat dilatih agar
dapat peka terhadap segala sesuatu bentuk kejadian ataupun keadaan, sehingga
akalnya dapat lebih jauh menjelajahi tahap demi tahap dari apa-apa yang
sebelumnya tidak diketahuinya (sebagai yang ghaib) dengan demikian hatinya
menjadi hidup dan jelas dalam melihat. Bila mata yang melihat, maka segala yang
dilihat adalah bentuk-bentuk (wujud) lahir. Sedang yang dilihat oleh hati
adalah sisi bathinnya, makna dibalik wujud lahir pun akan terlihat, tetapi
tentunya sesuai dengan tingkat tahapan akalnya.
“Hai orang-orang yang
beriman, berdzikirlah
(mengingat) Allah, dzikir
(ingat) yang sebanyak-banyaknya.” (QS 33:41)
“...... Dan berdzikirlah
(mengingat) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum
itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (QS 2:198)
Kesadaran dan akal menjadi dua
unsur penting yang dapat menghidupkan hati setiap diri kemanusiaan
dengan kepekaan-nya dalam menerima segala sesuatu yang dilihat,
didengar, dan dirasa oleh inderanya menjadi sebagai sebuah petunjuk yang
bermanfaat. Begitu banyaknya kejadian setiap detiknya di alam, dan sungguh,
karena kesadaran dan akal yang terbatas, membuat kepekaan hati tak setajam,
yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa dahsyat dalam pemanfaatannya.
“.....sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Pada hati
yang sedang sibuk, sedang galau, dan sedang tak keruan, maka bagaimana
kesadarannya dapat berkembang, sedangkan informasi yang seharusnya dapat masuk
malah tidak diacuhkannya. Informasi yang masih perlu diolah dan diproses lagi
saja tidak dapat masuk, maka pemahamannya pun menjadi “jauh panggang dari
api”. Menjadi hal yang tak mungkin.
Kesadarannya
ini tergugah karena rasa kekerdilan dirinya setelah menghadapi
kenyataan-kenyataan yang justru setelah banyaknya pemahaman yang masuk dan baru
disadarinya. Bahwa dirinya bagaikan sebutir pasir diatas gurun pasir yang luas,
yang sewaktu-waktu hilang entah kemana hanya oleh tiupan angin. Atau bagaikan setetes air di dalam luasnya
samudera. Sungguh sesuatu yang bisa tak dianggap keberadaannya.
Bagaimana
tidak, dia hidup di permukaan bumi yang berisi milyaran manusia, belum termasuk
pepohonan, hewan, atau benda-benda lainnya. Sedangkan bumi sebagai tempat
hidupnya adalah salah satu planet pada matahari, dan ternyata terdapat milyaran
(bahkan tak berhingga jumlahnya) matahari-matahari lainnya sebagai yang disebut
bintang-bintang, bertaburan di jagat raya.
Bumi yang bisa tak dianggap
keberadaanya saja, bila membandingkannya dengan luasnya jagat raya ini,
ternyata banyak wilayah di bumi itu yang belum pernah didatangi untuk dapat
dikenalnya. Jangankan mengenal pelosok-pelosok bumi, wilayah kelurahannya saja
belum semua sempat ia datangi dan kenali seluruhnya. Begitulah diri-diri
kemanusiaan, yang dengan segala keterbatasannya, selalu saja terus berusaha
memahami banyak hal yang sungguh amat teramat luas jangkauannya.
“Yang telah
menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali
tak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang
(kecacatan). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu
lihat sesuatu yang tidak seimbang (cacat)?.” (QS 67:3)
Maka hatinya yang terpesona pun
bertanya-tanya, tentulah ada eksistensi Yang Maha Sempurna, yang dengan
kecerdasan, kuasa, dan kemurahan dari Yang Maha Sempurna-lah yang dapat
mewujudkan semesta alam dengan segala isinya ini. Sungguh ciptaan yang amat sempurna
pada bentuk lahir-nya sehingga terlihat indah menakjubkan setiap mata
yang memandangnya, dan sempurna pula bentuk bathin-nya hingga terjaga
keseimbangannya bahkan terpelihara – tumbuh dan berkembang serta terjamin hidup
kehidupannya. Jumlah isinya yang tak terhitung, besar-kecilnya pun tak terukur,
kapan mulai ada dan kapan berakhir tak ada yang dapat mengetahuinya.
“Kemudian
pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun
dalam keadaan yang payah.” (QS 67:4)
Menyadari
kekerdilan dan keterbatasannya-lah yang dapat membuat atau mengarahkan jiwanya kepada rasa berserah diri
(islam) kepada wujud tersembunyi Yang Maha Sempurna yang sesungguhnya
mencipta, menguasai, serta memelihara semesta alam ini berikut isi di dalamnya
secara amat sempurna dan menakjubkan.
Keterbatasannya yang membuatnya
hampir-hampir merasa putus asa dalam mencari wujud tersembunyi yang
sesungguhnya mencipta, menguasai, serta memelihara segala sesuatu tersebut.
Maka terasa asing-lah dirinya di dalam keramaian segala sesuatu.
“Hai
manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu
akan menemui-Nya.” (QS 84:6)
Begitulah kemurahan Tuhannya
Yang Maha Pemurah, melapangkan dada mereka yang selalu berusaha mencari
keberadaan realitas sejati Yang Maha Tunggal, yang sesungguhnya berkuasa,
mengurus dan memelihara segala sesuatu di semesta alam ini.
2.
Nama sebagai Sifat Allah
“Katakanlah, serulah Allah atau serulah Ar Rahman (Yang Maha
Pmurah),
dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai al asma al husna (nama-nam
terbaik).......”
(QS 17:110)
Ar Rahman,
Yang Maha Pemurah, dari sifat Maha Pemurah-Nya ini maka sifat-sifat terbaik
lainnya menjadi ada untuk di alam, yaitu bagi seluruh makhluk-Nya. Dia Maha
Pemurah, maka Dia pun menjadi bersifat kasih-sayang (ar rahiiym). Dia
Maha Pemurah, maka Dia pun menjadi bersifat menguasai (al malik). Dia
Maha Pemurah, maka Dia pun menjadi bersifat suci atau bersih (al
qudus). Dia Maha Pemurah, maka Dia pun menjadi bersifat tidak kekurangan
(as salaam). Dan selanjutnya pada sifat-sifat lain-Nya yang masih banyak lagi.
Nama-nama terbaik
(asma’ul husna)-Nya adalah penisbahan kepada sifat-sifat Allah,
sesungguhnya dapat dijadikan indikator oleh kita, telah sejauh mana
sifat-sifat ketuhanan tersebut mewujud pada kemanusiaan kita. Naluri
ketuhanan inilah sebagai tingkat kesalehan dan ketakwaan
seseorang. Sesungguhnya yang mulia di sisi (di mata) Allah adalah mereka
yang takwa.
Bila diri
kita hendak menyadari dan hendak mencapai kesalehan serta ketakwaan, yaitu yang
dimuliakan oleh Allah Yang Maha Mulia, maka awalilah oleh diri kita dengan
mewujudkan sifat sebagai menjadi yang pemurah dengan ikhlas,
sehingga sifat-sifat terbaik dan terpuji lainnya akan mengalir dengan
sendirinya karena rahmat petunjuk Allah Yang Maha Pemurah, Ar Raahman.
Kemurahan-Nya
sungguh adalah rahmat-rahmat yang tak terhitung jumlah dan luas-nya, seluas
langit dan bumi. Begitulah sesungguhnya rahmat Allah sebagai perwujudan
sifat-Nya, sehingga Dia disebut Akbar, Yang Maha Besar dan Maha Luas, serta
Maha Agung dengan segala sifat-Nya.
Sifat-Nya
sebagai Yang Maha Pemurah, maka timbullah sifat penyayang-Nya, dan Dia-lah Yang
Maha Penyayang (Ar Rahiiym). Kemurahan-Nya pula maka timbullah sifat kuasa
sebagai Yang Maha Kuasa (Al Malik), kekuasaan-Nya harus ada untuk menyampaikan
segala kemurahan-Nya kepada seluruh makhluk-Nya. Timbul pula sifat suci Dia
sebagai Yang Maha Suci (Al Quddus) dari kekuasaan yang tidak adil dan tidak
bijaksana. Karena itu pulalah maka timbul pula sifat Dia Yang Maha Adil lagi
Maha Bijaksana (Al ‘Adl dan Al Hakiym). Karena Maha Adil dan Maha Bijaksana-Nya
maka Dia haruslah memiliki pengetahuan sebagai Yang Maha Mengetahui (Al
‘Aliym). Begitulah seterusnya seluruh nama-nama yang dinisbahkan kepada seluruh
sifat-Nya, hingga tak terhitung banyak dan luasnya sesuai dengan tak terhitung
luas dan banyaknya anugerah kemurahan-Nya.
Nama dan sifat adalah seperti
satu sisi dari dua sisi mata uang logam, sementara Dzat-Nya ada pada sisi
lainnya, keduanya sebagai yang selalu berlekatan tanpa pernah terpisah. Nama
dan sifat merupakan sisi zhahir-Nya sebagai yang mewujud di alam, sedangkan
Dzat-Nya merupakan sisi bathin-Nya yang tak terlihat oleh seluruh penglihatan
mata makhluk-Nya.
3.
Seluruh Nama-Nya adalah Ilmu & Pengetahuan
Nama-nama
Dia juga selain sebagai menunujkkan sifat-sifat Allah, ternyata juga adalah
merupakan ilmu dan pengetahuan baik yang telah diketahui (zhahir) maupun yang
belum diketahui (bathin atau ghaib).
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya,....” (QS 2:31)
“Mereka (para malaikat)
menjawab: Maha Suci Engkau, tidak
ada yang kami ketahui selain dari apa-apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS 2:32)
Adam pun takkan dapat memiliki
ilmu dan pengetahuan bila tidak diajarkan oleh-Nya, maka, seperti yang
dijelaskan dalam ayat tersebut, bahwa segala sesuatu ilmu dan pengetahuan
adalah datangnya dari Allah. Maka dengan mengucapkan dan menyatakan basmallah
dalam setiap gerak perbuatan adalah wujud mengakui kekuasaan Dia sebagai
Yang Maha Pemurah lagi Maha Kasih Sayang, yang sesungguhnya memberikan kekuatan
dan menentukan baik atau buruk akan hasil dari perbuatannya tersebut.
Rahmat
Allah, termasuk di dalamnya petunjuk-Nya, yang juga merupakan ilmu dan
pengetahuan yang sesungguhnya telah dibentangkan di alam raya ini, dan juga
yang sebenarnya telah ditanamkan ke dalam dada setiap diri kemanusiaan sebagai kitab
mubiiyn, tidak menyentuhnya kecuali mereka yang telah mensucikan hatinya.
“Pada kitab yang
terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS 56:78-79)
“Sebenarnya
Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada
orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali
orang-orang yang zhalim.” (QS 29:49)
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi
menjadi pena, dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) setelah (keringnya), niscaya tidak akan habis-habisnya
(dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS 31:27)
Ilmu dan pengetahuan Allah
meliputi segala sesuatu, tiada yang luput dari pengetahuan Allah. Oleh sebab
Dia-lah sesungguhnya sebagai pemilik seluruh penglihatan, maka bagaimana
mungkin yang diberi penglihatan dan yang diberi pengetahuan dapat melihat-Nya,
atau dapat memiliki pengetahuan tentang-Nya, jika Allah tak memberikan-nya? Dia
memberikan petunjuk atau pengajaran-Nya melalui segala sesuatu, yaitu para
aparat-Nya, baik yang nyata terlihat maupun yang nyata tak terlihat.
“.........
melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi
ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari
itu, melainkan
(semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS 10:61)
Ilmu dan pengetahuan Allah
meliputi langit dan bumi serta seluruh apa yang berada pada keduanya. Segala sesuatu
tersebut amat bergantung kepada rahmat-Nya, sedangkan Dia Maha Kaya dan tidak
membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Sebab Dia-lah sesungguhnya mencipta,
menguasai dan memelihara serta memberi rizki kepada segala sesuatu yang berada
di langit dan di bumi.
“Maka apakah mereka tidak berjalan
di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu dapat memahami
atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi
yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS 22:46)
Rahmat
rizki-Nya sampai kepada segala sesuatu, termasuk segala sesuatu yang tidak
diketahui makhluk-Nya dan diri-diri kita. Siapakah yang memberi makan sel-sel
yang berada di dalam tubuh? Dia ataukah kita? Bisakah kita pastikan makanan
yang kita kirim masuk melalui mulut kita, telah sampai dengan adil kepada yang
berhak (sel-sel tersebut)? Maka sesungguhnya, Dia-lah yang memberi, kemudian
mengatur dan memelihara. Tidaklah diri-diri kita sendiri memiliki kekuasaan
sampai seperti itu.
Jangankan
kekuasaan seperti itu, hidupnya sendiri adalah karena dihidupkan oleh Dia Yang
Maha Hidup. Adakah dirinya yang menghendaki kelahiran untuk mengalami kehidupan
ini? Jangankan kehendak hidup, nafasnya saja diberikan-Nya. Oksigen-nya
disediakan dan berlimpah di alam ini, paru-parunya menghisap dengan normal,
kerongkongannya terbuka memperlancar aliran yang masuk, dan hidungnya tak
tersumbat. Andaikan penyakit datang kepadanya, pilek misalnya, maka
tersumbatlah hidungnya. Dan nafasnya pun menjadi sedikit terganggu, hilanglah
satu nikmat Allah yang tak dapat dirasakannya untuk sementara. Tidakkah kita
sadari, bahwa masih banyak lagi yang tidak kita ketahui yang sesungguhnya
adalah rahmat-Nya kepada diri-diri kita?
Maka
merasakan sakit, sesungguhnya adalah menyadari peringatan Tuhannya untuk selalu
bersyukur atas kelapangan yang telah diterima selama ini sebagai rahmat dari
sekian banyak nikmat-Nya. Umumnya kita, setelah mengalami kesempitan atau
musibah, baru teringat kepada-Nya dan menyesali telah menyia-nyiakan kesempatan
anugerah yang telah diberikan kepadanya.
Jangan sepelekan
peringatan Allah tersebut, jika tak ingin datang menyerangnya penyakit-penyakit
lainnya yang merupakan akibat dari penyakit yang pertama. Nafas yang tak
normal, tak membawa oksigen yang cukup bagi pembakaran makanan-makanan,
sehingga suplay makanan kepada seluruh sel tubuhnya pun tak normal seperti
biasanya. Hal ini menyebabkan metabolisme sel pun terganggu, maka bukan tidak
mungkin pula menimbulkan penyakit-penyakit susulan pada tubuhnya.
Dari nama-Nya lah maka segala
nama dan sebutan menjadi ada, dan dengan demikian seluruh nama dan sebutan itu
merupakan rahmat-Nya yang sampai dan nyata sebagai ilmu dan pengetahuan yang
amat bermanfaat bagi kehidupan setiap diri kemanusiaan.
“Allah telah
menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air
di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa
buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk
membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu.
Demikianlah Allah membuat
perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang
sebagai sesuatu yang tak bernilai, adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia
tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (QS 13:17)
Begitu pula segala
sesuatu yang diterima setiap diri kemanusiaan yang selalu dinilainya sebagai
kebaikan dan keburukan yang merupakan pasangan segala sesuatu, yang sesungguhnya
adalah hanya rahmat kebaikan yang tunggal dari Tuhannya, keburukannya
akan hilang seperti buih yang dijelaskan oleh ayat di atas. Seperti itulah rasa
yang diterima dari malam dan siang, gelap dan terang, sedih dan bahagia, sempit
dan lapang, sukar dan mudah, serta neraka dan surga yang dinilainya sebagai kebagai kebaikan dan
keburukan.
Bersyukur
“Segala puja dan puji (hanya) milik
(atau bagi) Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah
lagi Maha Kasih Sayang.”
(QS 1:2-3)
PUJA-PUJIAN ADALAH UNGKAPAN RASA SYUKUR
Mereka yang telah peka mata
hati bathin-nya, karena telah bersih dari kekotoran yang menyelimuti
hatinya, maka tentu segala puja dan pujian atas kekagumannya terhadap segala
sesuatu sebagai yang pasti akan kembali dan berakhir kepada
Tuhannya, sebagai yang mencipta, menguasai dan memelihara segala sesuatu yang
berada dan tersebar sampai diseluruh penjuru langit dan bumi. Tidak ada segala
sesuatu, sekecil atau sebesar apapun yang luput dari rahmat-Nya. Begitulah wujud
rasa syukur dari setiap puja-puji atas kekaguman terhadap nikmat yang sesungguhnya
hanyalah Allah pemberinya sebagaai Yang Maha Pemurah, pemberi sejati.
Melalui seluruh aparat-Nya, maka Dia sebarkan rahmat-Nya kepada seluruh
makhluk.
Seluruh
aparat-Nya pun merupakan makhluk-Nya, adalah ciptaan-Nya. Maka bersahabatlah
dengan seluruh makhluk-Nya karena sesungguhnya Allah menebarkan rahmat-Nya
dengan melalui seluruh makhluk yang dijadikan-Nya sebagai pembawa atau
penyampai (aparat) segala bentuk rahmat-Nya yang luas dan tak terhitung
banyaknya. Sehingga bila dirinya yang menjadi tujuan pujian, maka segera
jiwanya mengembalikan pujian tersebut kepada Allah sebagai satu-satunya yang
berhak menerimanya. Maka dirinya akan terlepas dari kesesatan akibat
kesombongan, rasa riya, takabur, dan pengakuan (ego)-nya.
“Tidakkah kamu
perhatikan sesungguhnya Allah telah
menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang
(keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang
memberi penerangan.” (QS 31:20)
Begitupun bagi yang memberikan
pujian, janganlah menjadi tersesat karena tak menyadari siapa sesungguhnya
pemberi rahmat yang sampai kepadanya, sehinga jiwa-nya menjadi hanya berketergantungan
kepada makhluk yang dipujinya tersebut. Perhatiannya menjadi hanya tertuju
kepada dia, dan menafikan (menyingkirkan) selain-nya. Sehingga, secara tak
sadar, telah menutup pintu-pintu
rahmat Allah yang lainnya, yang sesungguhnya masih banyak lagi untuk
diterimanya.
Ingatlah segala sesuatu
memiliki pasangan-nya, sebagai yang akan datang menyusulnya kemudian. Berpasang-pasangan
adalah sifat makhluk sebagai ketetapan mutlak-Nya, juga sebagai perwujudan
Akbarnya Dia di semesta alam beserta isi atau makhluk ciptaan-Nya yang begitu
luasnya tak terukur dan tak terbilang.
Selain wujud nyata yang
terlihat seperti makhluk, baik yang terlihat ataupun yang tak terlihat, dan
benda tak hidup (anggapan sementara secara umum), baik yang nyata dan tak
nyata, semuanya memiliki pasangannya. Begitu pula kepada rasa dan sifat yang
dialami makhluk atau benda tersebut memiliki pasangannya pula. Sebagai
makhluk, maka menilai semua pasangan yang dirasakan atau dialami bathinnya
terangkum sebagai kebaikan atau keburukan. Bila kebaikan, maka
diterimanya bahkan diharapkannya. Dan bila keburukan, maka ditolak atau
dihindarinya.
Padahal keduanya, yaitu
kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang pasti dan harus dialami sebagai
ketetapan mutlak kehidupan dari yang memiliki sejatinya kehidupan yang mutlak,
yaitu Dia. Dan bagi makhluk yang sebagai penerima, yang dapat
atau harus menerima. Dan segala sesuatu yang diterimanya sebenarnya adalah
rahmat Allahu Rahmaanur-rahiiym. Bagaimana mungkin Dia yang Maha Pemurah lagi
Penyayang memberikan keburukan? Carilah hikmahnya, maka kelak diri akan
bersyukur sekalipun yang sebelumnya dianggap sebagai keburukan, kemudian
ternyata membawa manfaat yang merupakan kebaikan.
“Karena
sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Keburukan, adalah ibarat bungkus
yang menyelimuti kebaikan (rahmat Allah) yang berada didalamnya. Hanya karena
berada di dalam sebagai yang tak terlihat (masih ghaib), maka diperlukan usaha
mebuka bungkus yang menyelimutinya tersebut. Begitulah hati kita memahami
segala sesuatu yang datang kepada diri kita, apakah sebagai yang kita nilai
kebaikan atau keburukan pada awalnya, yang kelak akan diketahui hikmahnya
bahwa, sesungguhnya Allah hanya memberi kebaikan, yaitu rahmat-Nya.
Hanya dengan hati yang bersih dari kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego),
maka cahaya Allah dapat menerangi, bahwa yang datang dan diterimanya adalah
rahmat Allah, yang seluruhnya adalah kebaikan.
Layaknya malam yang berganti
fajar, dan terang kemudian datang menyambutnya. Atau kelelahan sehingga merasa
harus beristirahat, dan segar kembali setelah bangunnya. Atau juga kebelet,
hingga harus terbirit-birit lari kebelakang untuk (maaf) buang air, dan
setelahnya akan merasa lega. Adakah pada semua itu merupakan keburukan?
Seperti itu pula-lah hati kita seharusnya membuka kesadarannya untuk
mendapatkan hikmah terhadap apa-apa yang datang dan dinilainya sebagai
keburukan, yang ternyata adalah kebaikan.
Kita telah dapat menerima lapar
setelah kenyang, menerima malam setelah siang, bahkan, maaf, menerima ‘buang
air’ setelah masuknya makanan dan minuman. Menerima itu sebagai ketetapan yang
harus diterima, akan tetapi cobalah pikirkan dan renungkan bila datang pula
ketetapan lain dari-Nya. Seperti, saat lapar tetapi tidak ada makanan atau uang
untuk membelinya, kelaparan yang terjadi. Atau, saat tiba malam datang tetapi
pas terkena giliran pemadaman listrik, merana yang terjadi. Serta, susah ‘buang
air’ setelah banyak makanan yang masuk.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Padahal, sekalipun
ketetapan-Nya, ternyata diri kita sendirilah yang menyebabkan itu semua
terjadi. Segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah
ketetapan-Nya. Layaknya siang dan malam, pagi dan sore, serta fajar dan petang.
Cahaya dan bayang-bayang, panjang dan pendek, serta lurus dan bengkok. Begitu
pula bahagia dan sedih, mudah dan sukar, serta nikmat dan sengsara. Segala
sesuatunya tersebut dinilai sebagai kebaikan dan keburukan oleh
makhluk. Ketetapan yang mutlak diterima makhluk, sedangkan baik-buruknya adalah
penilaiannya sendiri yang justru dapat menjerumuskannya.
Dikatakan menjerumuskan, bila
diri terhanyut dan terlena oleh kebaikan, atau menolak keburukan
yang datang yang ternyata akibat dari
perbuatannya. Lupa bersyukur bila menerima kebaikan karena hanyut dan terlena
pada kenikmatannya, dan akan menyebabkan datangnya pasangannya (keburukan) yang
semakin besar keburukannya akibat sebelumnya diri yang hanyut dan terlena.
Keburukan yang pasti datang setelah kebaikan, adalah mutlak, akan tetapi hanyut
dan terlena rupanya ikut menambahkan akibat-akibat baru yang semakin
memperburuk keadaan dirinya. Bila tidak diputus ‘rantai’ hanyut dan terlenanya,
maka akan terus berlanjutlah keburukan-keburukan yang akan timbul.
Seperti efek domino.
Sekalipun hadir sesekali kebaikan sebagai rahmat-Nya, tapi terasa tak mencukupi
untuk menutupi keburukan akibat hanyut dan terlena pada masa sebelum-belumnya,
sebagai akibat yang satu per satu yang harus dituai, kelak sebagai hari
kemudian-nya. Diperlukan sikap tegas dan mental yang kuat untuk beralih,
setelah menyadari, dan mulai mengambil jalan lurus-Nya (taubatan nassuha).
Begitupun sebaliknya, kebaikan
yang pasti datang setelah keburukan. Keduanya adalah sebagai yang pasti datang
dan harus diterima diri-diri kemanusiaan sebagai rahmat-Nya. Sekalipun
sekaliber nabi, tetap harus menerima keduanya. Hanya mereka yang mulia dan
berakhlak terpuji sajalah yang dapat rela dan ikhlas menerima keburukan seperti
menerima kebaikan, dan menganggap keduanya adalah rahmat dari Tuhannya.
Begitulah
pasangan segala sesuatu tersebut sebagai yang akan datang secara bergantian.
Dengan demikian, kesulitan yang sedang melanda dirinya, dihadapi dengan kesabaran
sebagai wujud keberserah dirian (islam) kepada Tuhannya. Dan mereka yang telah
berserah diri (islam) tentunya meyakini kemudahan yang akan datang dari
Tuhannya dengan bersyukur.
Bila sabar dan bersyukur adalah dua hal
yang merupakan pasangan, maka sabar-nya adalah merupakan tindakan atau
upaya pertahanan terhadap keburukan yang menimpa dirinya. Sedangkan rasa bersyukur-nya
adalah wujud puja-puji kepada yang memberi kekuatan (yaitu Allah) untuk dapat
melewati keburukan, dan kemudian sebagai menerima lagi kebaikan setelah
keburukan itu berlalu.
Akan tetapi, ternyata, kesabaran bukan
saja hanya pada keburukan yang diterima, melainkan pula pada kebaikan
sebagai anugerah dari-Nya. Karena anugerah kebaikan yang datang dan diterima,
bila tidak disertai pengelolaan yang baik dalam kelurusan-Nya, pada akhirnya
akan membawa bencana keburukan. Segala sesuatu datang dan hadir pasti bersama
pasangannya.
Dan pada orang-orang yang telah memahami makna kadar baik
dan buruk sebagai sesuatu yang alami (sunathullah), yaitu menghadapi keburukan
seperti melalui malam sebagai sesuatu yang memang pasti dihadapi. Seperti pula,
maaf, harus ‘buang air’ bila tak mau dihinggapi penyakit. Maka diri ini telah menerima
hidup sebagai makhluk Allah, bahwa dia adalah hanya wadah kosong yang
telah siap diisi oleh kehendak-Nya.
Adalah sifat
makhluk, menerima segala sesuatunya, baik itu wujudnya yang merupakan
perwujudan-Nya, hidupnya adalah hidup-Nya, penglihatannya juga merupakan
penglihatan-Nya, bahkan pendengarannya adalah karena karunia dari-Nya. Dan
kepada hal yang lebih kita ketahui dan sadari bahwa bukanlah diri kita yang
memerintahkan, seperti kepada bertumbuh panjangnya kuku-kuku pada jari-jemari
dan bertumbuh panjangnya rambut. Dan juga, perintah kepada jantung untuk
memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan untuk menyebarkan saripati
makanan, serta memberi perintah kepada paru-paru untuk memisahkan oksigen dari
gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan untuk mengubah suplay makanan
tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan.
Belum lagi mengenai kehidupan milyaran sel-sel tubuh yang hidup dan mati
kemudian berkembang biak pula pada setiap jaringan pembentuk organ tubuh, yang
menciptakan sistem kehidupan di dalam alam tubuh atau jasad diri kita, yang
pula kita tidak menyadarinya.
Tiada
sedikitpun peran serta diri kita terhadap semua hal tersebut. Diri hanya ikut
menyaksikan dan merasakan, dan bukanlah operator-nya. Lantas mengapa ada
dosa dan menanggung dosa?
Karena di
alam maka keterbatasan menjadi ada, serta mengurungnya dalam kesempitan
pandangan atau pemahaman, dan segala sesuatu ciptaan-Nya menjadi
berpasang-pasangan, termasuk keinginan diri. Bila keinginan diri lebih
cenderung kepada menyaksikan dan merasakan keburukan, maka dosalah yang
dihadapinya. Dan iblispun dengan siasatnya dapat ikut berperan, mengemas
keburukan agar dipandang indah sebagai kebaikan oleh diri supaya tersesat.
Itulah tipu daya iblis. Pada diri seperti ini, malaikat telah berubah menjadi
iblis yang membangkang perintah Tuhannya, dan tidak mau tunduk (sujud) kepada
keturunan Adam (lihat dan pahami kembali uraian keimanan kepada malaikat).
Pada diri,
menerima keburukan untuk mengetahui kebaikan, yang sesungguhnya adalah tujuan
utama sebenarnya. Maka, menerima dosa untuk segera mengejar pahala kebaikan
yang masih banyak tersebar menunggu untuk diraih, merupakan yang perlu
disadarinya. Adalah hal yang tak wajar bila menyeimbangkan keburukan dengan kebaikan.
Minimalkanlah keburukan sekecil mungkin, dan maksimalkan sebesar-besarnya
kebaikan.
Segala
sesuatu selalu bergerak menuju kepada kesempurnaan, yaitu kebaikan. Itulah yang
sesungguhnya hidup menerima. Menerima ketetapan dan kehendak-Nya, yaitu mencapai
kesempurnaan sebagai khalifah di muka bumi yang saling berbagi rahmat kepada
sesama (sebagai makhluk) semesta alam.
Hanya Tuhan yang Maha Esa atau
Allah yang Maha Tunggal yang hidup, dan selainnya, segala sesuatu termasuk diri
kemanusiaan, yang merupakan ciptaan-Nya, yang dapat hidup karena menerima
kehidupan dari Dia yang juga Maha Hidup. Dan dengan kehidupan
tersebutlah, maka menyebabkan segala sesuatu menjadi memiliki arti atau nilai.
Insan kemanusiaan yang menerima anugerah seluruh ke-20 (dua puluh) sifat
Allah, dari wujud sampai mutakalimaan, adalah merupakan fitrah-nya
sebagai ketetapan-Nya yang takkan pernah berubah.
“Maka
hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan, sesuai fitrah
Allah disebabkan Dia
telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada
ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)
Bila pada hidup-nya
saja, diri kemanusiaan hanya menerima, maka tentu apapun itu yang berada di dalam
kehidupan-nya juga seharusnya dapat diterima, sekalipun adalah sebuah
keburukan. Sehingga hanya yang tidak tahu diri-lah sesungguhnya yang tidak
dapat atau tidak mau menerima apa-apa yang diberikan kepadanya,
termasuk keburukan.
Kita,
sebagai diri-diri kemanusiaan, telah diberi dan telah pula menerima dari-Nya
indera-indera seperti pendengaran, penglihatan dan pengucapan adalah agar dapat
berharmonisasi dengan hati bersama kesadaran dan akal supaya
dapat meraskan nikmat-nikmat lainnya yang sungguh bertebaran di bumi dan di
langit. Yang dengan pendengaran,
penglihatan dan ucap tersebut untuk bersyukur dan mengembalikan kepada-Nya
dalam bentuk rahmatan lil ‘aalamiiyn, yaitu sebagai yang saling
menebarkan rahmat Tuhan kepada sesama makhluk-Nya.
Penguasa Semesta (Seluruh) Alam
“Yang menguasai
hari-hari agama.”
(QS
1:4)
Pada umumnya, kebanyakan orang
menafsirkan ‘yawmid-diyn’,
adalah hanya sebagai hari pembalasan setelah hancurnya semesta alam ini
(kiamat). Sehingga maknanya hanya terbatas pada hari atau alam itu saja, yaitu
hari-hari di alam surga atau neraka-nya saja. Jika di kembalikan kepada
terjemahannya sebagai hari-hari agama, maka maknanya menjadi luas tidak
hanya pada hari pembalasan saja.
Bila yang ditujunya adalah
penekanan akan adanya pembalasan pun, maka di alam dunia sekarang, masih dalam
kehidupan ini, balasan dari setiap amal perbuatannya pun dapat kita rasakan.
Tidak usah menunggu lama hingga kiamat terjadi, yang kita tak tau kapan
terjadinya. Dengan demikian, bila pemahaman ini telah dipahami dan disadari,
maka tiada ada lagi keberanian meremehkan amal perbuatan buruk, akibat hawa
nafsunya yang membisikkan kepada jiwanya, “bagaimana nanti saja balasan
terhadap kita, yang penting sekarang, adalah menikmati kenikmatan yang ada di
depan mata dulu.”
Dalam
kehidupannya, segala sesuatu makhluk-Nya, memiliki atau mengalami suasana
yang berganti-ganti dan berulang-ulang (siklus) sebagai alam tempat rasa
yang dominan mempengaruhi jiwa-nya. Seperti suasana-suasana di sekolah, di
kantor, di rumah, di jalan, dan di tempat-tempat mana saja dalam kehidupannya
berlangsung. Maka, sesungguhnya, suasana di alam-alam tersebut tidaklah
lepas dari kuasa aturan hidup (agama)-Nya. Suasana di alam-alam tersebut
sebagai suasana hari-hari (dalam naungan) agama Allah. Dan
Dia-lah Penguasanya.
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (QS 67:2)
Dan dalam skala kehidupan jangka panjangnya, jiwa
mengalami siklus-nya pula pada suasana-suasana lainnya sebagai yang masih ghaib.
Yaitu setelah kematiannya, mengalami suasana alam kubur sebagai alam
penantiannya sebelum dibangkitan. Alam inipun termasuk di dalam hari-hari
dalam naungan agama Allah, tidak lepas dari kuasa, aturan dan pemeliharaan
Tuhannya. Suasana penantian ini pun merupakan sebagi yang memiliki kehidupan
pula. Layaknya kehidupan ketika masih di dunia yang merupakan kehidupan yang menanti
kematiannya, maka di alam kubur pun adalah kehidupan yang menanti
kebangkitan-nya kembali. Tentu pula ada dengan amal-amal perbuatan pula yang
tetap dibawah atau dinaungi aturan jalan lurus (agama)- Nya, selain tetap pula membawa
beban-beban amal perbuatan di kehidupan sebelumnya sebagai yang malah akan
memberatkan jiwa-nya. Sebagai yang harus dituai untuk surga dan neraka-nya.
Setelah
itu, masih dalam skala kehidupan jangka panjangnya, mengalami dibangkikan untuk
mengalami pula kehidupannya kembali dengan suasana alam yang baru tetapi tetap
berada dibawah atau dinaungi aturan jalan lurus (agama)-Nya. Juga tetap membawa
beban-beban amal perbuatan di kehidupan sebelumnya sebagai yang memberatkan
atau meringankan jiwa-nya. Sebagai yang harus dituai sebagai surga dan
neraka-nya pula.
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal
kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya
lah kamu dikembalikan”. (QS 2:28)
“Dan apakah
mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian
mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS 29:19)
Bila
kita fokus kepada ‘hari-hari agama’, maka itu jelas mengarahkan makna
kepada, bahwa kehidupan ini dan kehidupan nanti akan selalu dibawah naungan Dia
yang maha menunjuki, merahmati dan menguasai-nya. Sehingga tidak tepatlah, anggapan sebelumnya, di alam akhirat
setelah kematian, bahwa telah terputus-nya
segala amalan.
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah
itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS 3:169)
Sebagaimana kita diajarkan
untuk selalu mendoakan orangtua, para salihin, muslimin dan dan
muslimat, serta bershalawat kepada nabi Muhammad SAW. Karena ternyata
secara tegas disebutkan agama masih tetap berperan, sekalipun pada
kehidupan di hari kemudian. Renungkanlah firman-Nya pada ayat berikut
ini.
“ya Tuhan Kami, dan masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada
mereka dan orang-orang yang saleh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari kejahatan
pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah
kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Kejahatan
pada hari itu, maka makna ayat tersebut adalah, bahwa di surga pun ternyata
masih ada kejahatan yang mengganggu jiwa-jiwa kemanusiaan penghuninya. Oleh
sebab itulah hari-hari tersebut, di alam surga itu, tetap berada dalam naungan
agama Allah, termasuk sebagai di dalam hari-hari agama. Tetaplah
penghuninya masih membutuhkan perlindungan kuasa-Nya terhadap kejahatan
atau keburukan yang dapat saja datang menghampirinya.
Bila telah
memahami surga dan neraka adalah rasa bathin di dalam suasana-suasana
alam-nya hari kemudian atau hari-hari agama, maka tidak
diperlukan lagi alam yang seperti dibayangkan pada umumnya. Dihancurkannya
terlebih dahulu semesta alam ini, temasuk langit dan bumi, kemudian diganti
dengan yang baru, maka barulah mengalami surga dan neraka sebagai
pembalasannya.
Cukup di semesta alam ini saja.
Toh, begitu banyak contoh mereka yang mengalami surga dan nerakanya masih di
alam ini juga tanpa harus menunggu kematian, sebagai balasan langsungnya akibat
amal perbuatan sebelumnya. Bahkan diri kita sendiri pun pasti pernah
mengalaminya, dan tidak hanya sekali dua kali saja.
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada
putus-putusnya.” (QS 11:108)
Ayat tersebut jelas menjelaskan neraka dan surga
sebagai hari pembalasan yang termasuk di dalam alam akhirat adalah berada di alam ini pula, yang kekal
selama masih adanya langit dan bumi. Jadi cukuplah alam ini pula
sebagai tempat pembalasan bagi jiwa-jiwa untuk merasakan surga dan neraka-nya,
akibat amal perbuatan di kehidupan sebelumnya. Maka, penafsiran dari ketiga
ayat di atas lebih mengarah kepada pengertian bahwa alam ini adalah tempat bagi
kehidupan dunia maupun sekaligus tempat bagi kehidupan akhirat.
Yang jelas kehidupan ini adalah merupakan lanjutan kehidupan
sebelumnya, serta amat sangat mempengaruhi pada kehidupan selanjutnya.
Hari ini adalah karena hari kemarin, dan hari ini menjadi penentu
hari esok. Begitu seterusnya baik dilihat ke belakang maupun dilihat ke
depan, sampai pada akhirnya, kembali pulang kepada Tuhannya.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kami-lah
kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Hati yang diselimuti kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya
adalah bagaikan fatamorgana yang timbul membiaskan penglihatan aslinya, maka
bukan tidak mungkin kesadarannya akan tujuan utama untuk dapat kembali
pulang pun menjadi sirna, tertutup oleh bayang-bayang maya kenikmatan dunia
yang dibiaskan iblis penggoda. Sehingga bersiaplah untuk menghadapi hari
kemudian-nya, bersiap pula menerima balasan di hari pembalasan-nya.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di
dunia ini, niscaya di
akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan
(yang benar).” (QS 17:72)
Ketika kehidupan di dunia, setiap
diri yang baik tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pula setiap
diri yang buruk tidak lepas dari kebaikan. Jadi, kebaikan dan
keburukan seberat zarrah pun akan menerima balasannya. Maka di alam
akhirat kelak, setiap diri yang baik (di dalam surga) akan terancam
nerakanya pula dari keburukan seberat zarrah akibat kelalaiannya yang diperbuat
sebelumnya. Dan setiap diri yang buruk mendapat harapan pula merasakan
surganya dari kebaikan seberat zarrah yang pernah dilakukannya. Allah Maha Adil
lagi tidak lalai sedikitpun dari pengetahuan-Nya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (titik), niscaya dia akan
melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat
zarrah
(titik), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya”. (QS 99:7-8)
Begitulah keadilan Tuhan Yang
Maha Bijasana. Janganlah kita menyangka mereka yang menikmati kemegahan dunia,
hidup bergelimang kemewahan di kehidupan sekarang ini, selalu merasakan nikmat
saja dan tak pernah sekalipun mengalami kesedihan, kesempitan, kesulitan,
maupun kepayahan dalam sakitnya. Tentu mereka pun pernah mengalaminya, dan
itulah bagian dari pembalasan atau nerakanya sebagai selingan kehidupan
surganya, yang harus dialaminya, sebagai balasan yang sekarang dituai akibat
amal perbuatan buruk di kehidupan sebelumnya.
Begitu pula sebaiknya, mereka
yang hidup dalam kekurangan dan kesempitan, pasti mereka pernah mengalami
sesekali kenikmatan, kelapangan, kemudahan, kebahagiaan, ataupun nikmat yang
yang tak pernah disangka-sangkanya. Dan itulah surganya sebagai selingan dari
kehidupan nerakanya yang merupakan balasan yang sekarang dituai dari amal
perbuatan baik di kehidupan sebelumnya. Seperti itulah makna ayat di atas.
Dia-lah
penguasa semesta (seluruh) alam, termasuk alam dunia sekarang sebelum
kematian, setelah kematian adalah alam kubur menanti kebangkitan,
kemudian setelah kebangkitan adalah alam pembalasan. Dibangkitkannya pun
di alam dunia ini pula, yaitu sebagai mengalami siklus hidup-mati dan
dibangkitkan, seperti siklus tidur-bangun hanya saja dalam skala yang panjang
waktunya.
Sumber & Tujuan Segala Sesuatu
“Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya
kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan.”
(QS
1:5)
Bila
menafsirkan menyembah hanyalah pada saat-saat melaksanakan ritual dalam shalat, yaitu
ruku’ dan sujud, maka maknanya menjadi sempit,
tidak akan mampu mencapai kepada tujuan shalat itu sendiri sebagai yang
mencegah perbuatan keji dan mungkar, sehingga menghasilkan manusia-manusia
berakhlak mulia dan terpuji.
Maka akan lebih tepat, bila menafsirkannya sebagai beribadah.
Dengan begitu, maknanya menjadi lebih meluas kepada amal perbuatan. Karena
beribadah, tidak hanya melaksanakan shalat sebagai bagian dari mengingat
(menjaga kesadaran) kepada Tuhannya, melainkan pula mewujudkan ingat-nya
tersebut kepada bentuk-bentuk amal perbuatan yang mencerminkan shalat atau ingat-nya,
yaitu kebajikan.
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan
agama?
Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong
memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya,
yang berbuat
riya, dan enggan
(memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)
Setelah
ayat-ayat tersebut di atas direnungkan secara mendalam, maka maknanya
semakin khusus mengarah pada amal perbuatan yang menyentuh kepada orang lain,
sebagai perwujudan shalat-nya. Yaitu amal perbuatan yang merupakan
rahmat kepada sesama makhluk Tuhannya.
Shalat sebagai pengingat
dan penyadar bahwa diri-nya adalah perwujudan dari Yang Maha Terpuji,
Allahu raahmanur-rahiiym, dan mengarahkan amal perbuatan yang terpuji,
yaitu yang suka menolong dan kasih sayang terhadap sesama makhluk
Tuhan. Dan akan celaka, bila shalat-nya tidak berwujud pada amal perbuatan
terpuji seperti disebut ayat-ayat di atas, yaitu amal perbuatan yang malah
tidak terpuji, seperti tidak suka menolong, perbuatan keji, dan merusak atau
zhalim.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan
kepadamu dan laksanakanlah
shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir
(mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
Dan dengan selalu mengingat Allah,
akan menyadarkan diri-nya, bahwa dengan mewujudkan kehendak-Nya menjadi
kehendak-nya yang mewujud di alam sebagai amal perbuatan-nya.
Maka, itulah yang disebut manusia yang berketuhanan, yang
mewujudkan shalat-nya dalam setiap gerak amal perbuatan-nya. Menjadikan
kehendak-nya dengan mensucikan-nya, karena sebagai perwujudan dari
kehendak Dia sebagai Yang Maha Suci. Juga sebagai bentuk telah berserah
diri seutuhnya secara ikhlas bersatu atau manunggal bersama Tuhannya dalam
mewujudkan setiap kehendak-Nya di alam, sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
“....sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Orientasi
shalat, ibadah, bahkan hidup dan matinya hanya kepada Tuhannya, adalah
mengarahkan kesadaran jiwa untuk menyadari kembali, bahwa Dia-lah sesungguhnya
segala sesuatu berasal, dan segala sesuatu tersebut kembali menuju.
Maka segala sesuatu
tersebut haruslah murni (suci) dari kekotoran pengakuan (ego),
agar dapat kembali kepada pemilik sesungguhnya (yaitu Allah, pemilik segala
sesuatu dan Yang Maha Suci). Bila tidak, dan diaku oleh ego, maka akan kembali
menuju kepada yang mengaku, sebagai yang harus dipertanggung jawabkan.
Logikanya, jika telah dikembalikan kepada pemilik yang sesungguhnya, maka tiada
perlu lagi ada pertanggung jawabannya. Jadi, selama diri merasa memiliki
setiap yang dianugerahkan kepadanya, maka tetap memiliki pula tanggung
jawabnya.
“..... Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji
dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya
daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS 29:45)
Amal perbuatan yang tak
merefleksikan shalat-nya malah sebagai yang dibenci Allah. Karena,
amal perbuatan tersebut justru yang meruntuhkan agama Allah, sebagai yang
mengingkari kebenaran petunjuk jalan lurus-Nya. Jelas, dengan shalat
yang seharusnya dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, tetapi malah
diingkari dengan melakukan amal
perbuatan sebaliknya, yaitu perbuatan yang dimurkai-Nya. Maka celakalah mereka
yang seperti itu.
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak
yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang
yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap
shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan)
bantuan.” (QS 107:1-7)
Setelah ayat-ayat tersebut di atas direnungkan
secara mendalam, maka maknanya semakin khusus mengarah pada amal perbuatan yang
menyentuh kepada orang lain, sebagai perwujudan shalat-nya.
Yaitu amal perbuatan yang merupakan rahmat dari Tuhannya kepada sesama makhluk.
Shalat sebagai pengingat dan penyadar bahwa diri-nya adalah
perwujudan dari Yang Maha Terpuji, Allahu raahmanur-rahiiym, dan mengarahkan
amal perbuatan yang terpuji, yaitu yang suka menolong dan kasih
sayang terhadap sesama makhluk Tuhan. Dan akan celaka, bila shalat-nya
tidak berwujud pada amal perbuatan terpuji seperti disebut ayat-ayat di atas,
yaitu amal perbuatan yang malah tidak terpuji, seperti tidak suka menolong,
perbuatan keji, dan merusak atau zhalim.
Shalat seharusnya sebagai yang
menjaga kesadarannya bahwa Tuhannya selalu bersama dalam gerak amal
perbuatannya di setiap waktu, tanpa pernah dirinya lepas dari kuasa pengawasan
dan kuasa pemeliharaan-Nya.
“..... Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji
dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya
daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
Dia-lah
sebagai pendahulu segala sesuatu, yang mendahului segala sesuatu
keberadaan. Sedangkan segala sesuatu selain Dia, termasuk kemanusiaan, adalah
sebagai keberadaan yang baru.
Dia-lah awalu wa akhiru, yang mengawali dan yang mengakhiri,
akan tetapi Dia sendiri bukanlah yang awal maupun bukanlah yang akhir.
Dan segala sesuatu yang ada selain Dia adalah merupakan ciptaan-Nya, tentunya
sudah pasti memiliki awal dan juga memiliki akhir.
Dia mendahului
segala sesuatu yang ada sebelum kita ada, dan Dia-pun mendahului segala sesuatu
yang akan ada setelah kita tiada. Dan Dia pulalah yang mengakhiri segala
sesuatu, bahkan segala sesuatu yang belum ada sekarang. Akan tetapi, Dia
sendiri tidak berawal dan tidak berakhir. Segala sesuatu,
termasuk diri kita, berakhir karena diakhiri oleh-Nya, bagaimana mungkin dari
segala sesuatu tersebut dapat mengetahui kapan Dia berakhir. Bagaimana mungkin
yang diakhiri oleh-Nya dapat mengetahui Dia berakhir? Maka kesimpulannya, Dia tidak
berakhir, karena Di-lah yang mengakhiri segala sesuatu selain diri-Nya.
Dengan begitu pula maka Dia
adalah Yang Kekal Abadi tak tersentuh kematian. Maka Dia pun menjadi berbeda
dengan makhluk, karena Dia-lah sesungguhnya Yang Maha Pencipta segala sesuatu
atau makhluk dan kemudian memelihara dengan rahmat-Nya. Maka Dia menjadi Yang
Maha Mandiri, karena selain Dia adalah bergantung kepada-Nya. Jadilah Dia Yang
Maha Esa, satu-satunya Yang Maha Tunggal. Ketunggalan-Nya membuat Dia sebagai
Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maha berkehendak. Sehingga membawa kepada
pemahaman, bahwa Dia-lah sebagai satu-satunya eksistensi sejati.
Eksistensi Tunggal sebagai sumber dan tujuan segala sesuatu.
“... Dan
kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantara
keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (QS 5:18)
“... Dan
hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
“........ Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih
hati”. (QS 2:112)
Rasa takut
dapat timbul karena disebabkan beberapa faktor pemicu. Seperti rasa takut yang
timbul karena ketakutan akan kemiskinan, ketakutan akan
mengalami kesulitan, ketakutan jatuh bangkrut atau mengalami kerugian, ketakutan
turun dari jabatan, serta banyak ketakutan lainnya yang amat mempengaruhi niat
serta amal perbuatan-nya, sehingga timbullah keinginan-keinginan yang dapat
menyesatkan jiwa-nya, bahkan sampai kepada menggadaikan keimanan-nya, merontokkan
kembali keimanan yang sebelumnya telah diperkokoh-nya. Bagaimana mungkin
seseorang yang telah kokoh keimanan (keyakinan)-nya masih memiliki rasa
takut?
Tidak
pula bersedih hati, bagi mereka-mereka yang telah dapat melepaskan segala
bentuk keinginan. Umumnya, mereka-mereka yang bersedih hati adalah kecewa
karena tidak tercapai keinginan-nya. Sehingga, apabila mereka hendak lepas
dari kesedihan-nya, maka mereka dengan segera mengorbankan atau melepas
keinginan-nya tersebut. Sayangnya, masih saja terjebak dengan mencoba
keinginan-keinginan lainnya yang masih menggiurkan angan-angannya.
Tuhan kita
adalah Allahu raahmanur-rahiiym, sebagai Yang Maha Pemurah dan
Maha Kasih Sayang. Kokohnya keimanan kepada-Nya seharusnya membawa kepada keyakinan
setiap diri, bahwa Dia telah menganugerahkan seluruh rahmat-Nya baik berupa
anugerah yang telah kita terima, maupun yang belum kita terima
(sebagai hari kemudian).
Artinya,
segala macam anugerah yang belum diterima, apakah itu kebaikan atau keburukan,
adalah ditentukan berdasarkan usaha (upaya) jerih payah
kita pada setiap kebaikan atau keburukan amal perbuatan pada saat ini. Tentunya
ada pula anugerah kebaikan atau keburukan yang belum diterima (dituai) saat ini
dari amal perbuatan sebelumnya.
Sedangkan kebaikan atau
keburukan amal perbuatan dinilai dari rasa ikhlas-nya berserah diri (islam)
kepada apa-apa yang telah diyakini (iman)-nya. Dan rasa ikhlas-nya
berserah diri (islam) ini sebenarnya adalah sebagai usaha memelihara
kekokohan keimanan-nya, sebagai pemandu arah kepada jalan lurus-Nya yang
menuju keselamatan dan kenikmatan hidup, baik hidup di kehidupan saat ini
(dunia) maupun kehidupan di hari kemudian (akhirat).
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang
dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan
dunia.” (QS 53:24-25)
Adalah nyata-nya
ketiadaan sesungguhnya insan kemanusiaan. Karena hanya Dia yang wujud,
sedangkan selain-Nya adalah fana (berubah-ubah), menerima wujud-Nya, serta
merupakan perwujudan-Nya, bahkan hidup-nya adalah karena diberi kehidupan
oleh-Nya. Dari ujung kaki hingga ujung rambut adalah anugerah wujud dari
perwujudan-Nya, dan tidak secuilpun yang dimiliki serta dikuasai
oleh dirinya sendiri.
Jangankan
memiliki, memberikan rizkinya pun bukanlah dirinya yang sebagai pemberinya,
melainkan Allah-lah pemberinya. Bukan pula dirinya yang memerintahkan kepada
kuku-kukunya untuk bertumbuh panjang, kepada rambut untuk bertumbuh panjang,
kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya ke seluruh tubuh, bukan
pula dirinya yang memerintahkan sel-sel tubuhnya untuk membelah diri sebagai
pengganti sel-sel lainnya yang telah mati.
Diri ini
hanya menerima saja semua itu berlangsung tanpa pernah, bahkan merasa ikut
berperan. Maka sungguh naif, tidak layak dan pantas, merasa mengaku sebagai pemilik,
penguasa, dan pemerintah dari rakyat yang berupa milyaran sel yang
membentuk organ dan jaringan seperti, jantung, paru-paru, mata, telinga, mulut,
kulit, tulang, otot, dan lain sebagainya.
Itu seluruhnya adalah anugerah
yang dititipkan, yang suatu saat, kelak, pasti akan diminta pertanggung
jawabannya. Hanya rasa yang sampai kepada diri, yaitu nikmat bila
seluruh rakyat-nya sehat, dan sengsara bila salah satu
rakyat-nya sakit. Pengakuan (ego)-lah yang menyebabkan rasa
menjadi dominan hingga tak terkendali, nikmat dapat menyebabkan
keangkuhan atau riya, dan sengsara yang dapat menyebabkan kekufuran.
Itulah akibat pengakuan (ego) yang mengaku-aku sebagai pemiliknya.
“.....sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Kebanyakan
diri terlena dan memanjakan keinginan-keinginan jiwa-nya, sehingga mau berbuat
untuk orang lain bila ada keuntungan bagi diri-nya. Dan bila sedikit
keuntungan yang didapat-nya, maka dia melakukannya dengan setengah hati atau
malas, tidak berusaha sebaik bila besar keuntungan yang akan diterima-nya.
Kemurnian atau keikhlasan dalam berbuat pun menjadi tidak ada, maka rasa yang
diterima-nya pun akan kembali kepada diri-nya. Seperti masakan yang kurang
bumbu dan garam, menjadi hambar tiada rasa.
Ketiadaan diri sebenarnya
adalah telah hilangnya pengakuan (ego), dan mengakui yang ada (wujud)
hanya milik Allah. Bahkan nafsu (nafs) pun adalah milik-Nya, karena itu selalu luruskan
dan ingatilah Dia. Kemudian sucikanlah sebelum dipertanggung
jawabkan kelak. Hidup dan kehidupan pada kemanusiaan, sesungguhnya, hanyalah menerima.
Yaitu, menerima segala sesuatu baik disadari maupun tidak, juga baik sukarela
maupun terpaksa.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di
dunia ini, niscaya di
akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan
(yang benar).” (QS 17:72)
Bila dirinya lebih memaksakan
kehendak atau lebih memaksakan keinginan buruknya, maka menerima
akibat atau balasannya pun akan secara terpaksa. Memaksakan dan
keterpaksaan itulah sebagai dosa yang ditanam dan yang akan dituai-nya.
Hilangnya pengakuan (ego) adalah usaha mencapai kesabaran dan bersyukur
dalam menerima apapun yang diberikan kepadanya. Dengan demikian, secara tak
langsung, dirinya telah berusaha melenyapkan aku-nya, dan lebih
menghidupkan Aku-nya, maka setiap gerak laku (amal perbuatan)-nya
adalah perwujudan sifat-sifat Dia yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia.
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali
bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan
menemui Tuhannya, dan bahwa
mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS 2:45-46)
Amal perbuatan yang merefleksikan shalat-nya, tentu akan membuat
jiwanya lebih matang, termasuk juga mencapai kesadaran betapa pentingnya
bersabar dan bersyukur di dalam kehidupannya. Kehidupan yang sesungguhnya
dibawah naungan kuasa dan pemeliharaan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Kasih
Sayang.
“....sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Begitulah sebagai yang berserah
diri (islam), yaitu yang mengorientasikan segalanya hanya kepada Allah, karena Dia-lah
sumber sekaligus tujuan segala sesuatu. Dari-Nya lah segala sesuatu berasal,
dan kepada-Nya lah segala sesuatu tersebut kembali pulang.
Petunjuk
“Tunjukilah kami jalan
yang lurus.”
(QS
1:6)
Ar Raahmanur-rahiiym,
Dia sebagai Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang kepada seluruh makhluk-Nya.
Segala sesuatu di semesta alam ini, tanpa terkecuali, sesungguhnya berada dalam
naungan rahmat dan kasih sayang-Nya. Dan dengan kuasa-Nya, Dia tundukkan segala
sesuatu seluruhnya yang berada di langit dan di bumi bagi kepentingan
kemanusiaan. Dan sempurna-Nya adalah tanpa mengurangi rahmat dan kasih
sayang-Nya kepada mereka selain kemanusiaan.
“Tidakkah kamu perhatikan
sesungguhnya Allah telah
menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang
(keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang
memberi penerangan.” (QS 31:20)
Begitulah konsep dan sistem-Nya bagi keseluruhan makhluk-Nya, sebagai
yang saling berbagi dan saling menebarkan rahmat Tuhannya, rahmatan lil
‘aalamiiyn. Tanpa terkecuali, semuanya pun sebagai aparat Allah. Yaitu
sebagai pembawa dan penyampai rahmat-Nya.
Dan seluruh makhluk-Nya, termasuk kemanusiaan, sesungguhnya sedang
menuju kesempurnaannya agar dapat kembali pulang kepada-Nya dengan
kemurnian dan kesucian. Maka bila telah tiba batas waktunya tersebut, untuk
kembali pulang, maka seluruhnya dengan sukarela atau terpaksa tetap bergerak
menuju kepada-Nya.
Bila masih ada yang melekat padanya kekotoran atau kesesatan, sebagai
yang tidak murni dan tidak suci, terpaksa mengalami peleburan untuk pembersihannya.
Seperti melebur logam emas untuk memisahkannya dari kekotoran yang melekat.
Atau seperti orang yang hendak membersihkan tatto di kulit tubuhnya dengan
menggunakan soda api atau seterika panas. Rasanya, mungkin, seperti orang yang
masih ingin hidup seribu tahun lagi, namun apa daya malaikat maut telah di
depan mata.
Rahmat dan karunia telah selalu
dan selalu diberikan-Nya, juga waktu dan kesempatan diberikan selalu beriringan
dengan anugerah-anugerah-Nya, tetapi mengapa masih pula membawa kotoran yang
melekat kuat pada jiwanya. Perjanjiannya adalah, ketika berangkat dalam
keadaan suci dan murni, maka kembali pulang-nya pun harus pula dengan
keadaan suci dan murni. Begitulah hukum-Nya.
“..... Dan
dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau
alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang
bathil.....”
(QS
13:17)
Allah yaitu Tuhan semesta alam,
yang telah memberikan rahmat-Nya tanpa batas, termasuk pula rahmat petunjuk-Nya,
baik yang tersebar merata di semesta alam, di dalam dada, dan melalui kitab-kitab
suci-Nya, serta yang sesekali datang sebagai rahmat petunjuk yang
menjelaskan dan ditanamkan ke dalam dada diri-diri kemanusiaan yang berserah
diri (islam).
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan
dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan
dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah
dia sedang mendaki ke langit..... ”, (QS 6:125)
Tiada yang
lepas dari kehendak-Nya, sekalipun petunjuk-petunjuknya yang telah
tersebar di alam ini, bila tanpa dikehendakinya, maka tiada seorang atau
makhlukpun yang dapat menerimanya sebagai pengetahuan yang dipahami, apalagi
diterimanya sebagai logika yang masuk di akal-nya. Kehendak Allah-lah kepada
siapa Dia hendak memberikannya, dan kepada siapa Dia hendak menutupi dadanya
sekalipun matanya melihat dengan terang dan jelas.
Bahkan pada
Kitab Suci, yang berisi firman-firman Tuhan dengan kebenaran, yang diturunkan
melalui aparat-Nya yang benar dan suci (ruhul kudus) kepada orang yang benar
dan terpercaya (al amin), bila Dia belum berkehendak memberikan petunjuk-Nya,
maka siapapun yang membacanya takkan mendapatkan petunjuk. Malah pula bagi mereka
yang tertutup hatinya, justru kesesatan-lah yang mereka dapatkan,
bukannya petunjuk.
Kemanusiaan adalah sebagai
wakil-Nya, dan merupakan perwujudan
Tuhan di alam yang raahmanur-rahiim bagi sesama makhluk. Itulah makna
iblis secara positifnya. Dan menjadi negatif bila diri atau nafs kitapun
cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa nafs kita yang sesungguhnya
harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan pemeliharaan cahaya-Nya.
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi
ilmu. Dan
tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.” (QS 29:49)
Maka lindungilah pula ‘cahaya-cahaya’ yang datang
membanjiri bumi dengan melihara-nya sebagai teman sejawat yang
selalu menemani diri kita untuk keluar dari kesulitan menuju kemudahan-Nya,
keluar dari kegelapan menuju terang benderang-Nya, serta keluar dari gelapnya
kebodohan menuju kepada cahaya pengetahuan-Nya. Pahamilah, bila kita tak
melindungi dan memelihara mereka, maka mereka akan berubah menjadi musuh kita
yang nyata. Begitu pulalah makna bunyi ayat,
“.....dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat
terakhir.” (QS 13:22)
Segala macam petunjuk yang datang
adalah merupakan kebaikan dan kebenaran, diri atau nafs-lah yang menjadikannya
apakah tetap dalam kebaikan dan kebenaran, kemudian mengembangkan lagi
menjadi lebih bermanfaat bagi sesama makhluk-Nya. Bila menjadikannya
sebagai keburukan dan kesalahan, maka kelak, akan kembali
kepada dirinya sebagai yang dituai.
Renungkanlah, semoga Allah
membuka dada kita kepada pemahaman yang tidak sia-sia belaka. Karena iblis juga
dekat, berada dan bermain-main di sekitar permukaan bagian luar kalbu kita.
Berbisik dan menggoda dengan bujuk rayunya, bahkan mengemas hasutannya agar
terbayangkan indah dan mempesona khayalan nafs (jiwa) setiap diri. Iblis tiada
pernah akan rela membiarkan kemanusiaan menuju atau bahkan dekat dengan
Tuhannya, bila diri kemanusiaan itu sendiri tidak memiliki keikhlasan kepada Tuhannya.
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa
indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”.
(QS
15:39)
“(Iblis)
menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku
akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara
mereka”. (QS 38:82-83)
Menyadari
kuasa Allah kepada para aparat-Nya, malaikat dan rasul yang ternyata adalah
meliputi diri setiap kemanusiaan ini pula, yang sesungguhnya untuk disadari
dengan memperbesar perannya pada diri kita agar terjaga dari hawa-hawa nafs
pada keserakahan, ketamakan, dan kesombongan agar tidak terperosok kepada
bencana di hari kemudiannya. Dengan membaca tanda-tanda alam sebagai
petunjuk yang mengarahkan kepada kebaikan dan kemaslahatan bersama sebagai
rahmat Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang.
Begitupun pada setiap diri
kemanusiaan, ada kitab yang telah ditanamkan di dalam dada, dan di
dalamnya telah tertulis segala sesuatunya sebagai naluri ketuhanan.
Dan akan dibenarkan kelak ketika diri mendapatkan petunjuk dari-Nya satu
per satu sebagai ketetapan yang nyata. Maka beruntunglah jiwa yang telah
dibukakan dadanya untuk menerima petunjuk-Nya, kemudian mengakui kebenarannya
dan mengeluarkannya sebagai amal perbuatan yang bermanfaat bagi sesama sebagai
rahmat dari Allaahu rahmaanur-rahiim, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Kasih Sayang.
“.........melainkan
Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi
ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari
itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(QS 10:61)
Sebagai contoh, segala sesuatu
yang tidak disadari sebelumnya, seperti pekerjaan organ-organ tubuh yang
dikiranya bekerja dengan sendirinya,
yaitu pada jantung yang memompa darah, paru-paru yang mengatur suplay oksigen,
usus yang mencerna makanan, dan lain sebagainya yang bukanlah kita yang
menetapkannya untuk bekerja seperti itu, ternyata adalah ketetapan yang telah tertulis
di dalam dada dan dikerjakan oleh para aparat-Nya, kemudian setelah datang ilmu
sebagai petunjuk, maka kita mengakui kebenarannya.
Dan bagi orang-orang yang
bersyukur, mereka akan menghargai peran dari kerja aparat-aparat Allah tersebut
pada organ jasadnya yang menghasilkan energi baru, yaitu amal perbuatan,
apakah itu gerak ucap, gerak tekad atau niat, maupun gerak amal perbuatan yang
tidak diridhai-Nya.
Disinilah tahap jiwa berusaha
mengenali jati dirinya, bila telah menyadari, bahwa ternyata bukan dirinyalah
yang membutuhkan energi dan bukan pula yang menghasilkan energi untuk amal
perbuatan yang ternyata pula sempat diakui sebagai amal perbuatannya sendiri.
Itulah memahami makna laa hawla wa laa quwwataa illa billaahi, bahwa
tiada kekuatan selain kekuatan Allah.
“.....dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang
melempar.....” (QS 8:17)
Gerak langkah, gerak melihat,
gerak mendengar, dan gerak lain-lainnya sampai kepada gerak pikir, atau bahkan
gerak refleks yang tidak disadarinya, adalah membutuhkan energi. Diri
hanya tau lapar dan haus, maka makan-minumlah sebagai obatnya, sementara
menyadari bahwa dengan makan-minum maka dia akan mendapatkan energi adalah hal
kemudiannya, apalagi menyadari sampai kepada bagaimana proses makanannya dapat
dirubah menjadi energi dan menyadari pula peran siapakah sesungguhnya yang
mengubah makanan hingga menghasilkan energi, tentu tidaklah diperdulikannya.
Mungkin karena kesibukannya yang hanyut akan kebutuhan dunianya.
Bila kita melangkah lebih jauh
kepada ilmu biologi molekuler, akan semakin terungkap maksud “kitab yang
telah ditanamkan” pada setiap diri kemanusiaan. Yaitu bagaimana DNA-RNA dan
kromosom sebagai penentu sifat bawaan diri setiap kemanusiaan (kitab yang terjaga). Atau pada jaringan permukaan kulit di jari
tangan sebagai sidik jari dan lapisan optik kornea mata sebagai identitas diri
setiap kemanusiaan yang berbeda satu sama lainnya.
Sifat
bawaan itulah yang akan sangat besar mempengaruhi pola hidup setiap diri.
Bagi yang bersifat pemarah, dan pola hidupnya pun tidak menyesuaikan sifatnya
tersebut, maka penyakitnya pun dapat diketahui, seperti darah tinggi atau
stroke. Dan pada yang bersifat serakah atau rakus, juga pola hidupnya yang
tidak disesuaikan akan menyebabkan penyakit gula atau diabetes. Apalagi bila
pola hidupnya malah menjerumuskannya, sampai kapan kematiannya pun dapat
ditebak atau diketahui. Itulah makna bahwa segala sesuatunya telah tertulis,
ada pada dirinya sendiri.
“Sesungguhnya dahulu mereka tidak pernah
mengharapkan perhitungan, dan mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat
Kami. Dan segala
sesuatu telah
Kami catat dalam suatu Kitab”. (QS 78:27-29)
Tubuh atau jasad setiap diri
kemanusiaan yang terdiri dari milyaran sel yang hidup dan sibuk bekerja setiap
saatnya oleh cahaya hidup para aparat (malaikat). Pada uraian
sebelumnya, yang menyebutkan para malaikat adalah juga merupakan energi
bagi setiap gerak tubuh atau jasad baik yang disadari maupun yang tidak
disadari, dan energi tersebut tidaklah habis atau musnah,
melainkan berubah bentuk (ber-reinkarnasi pula) serta meninggalkan
catatan-catatan sejarah kerjanya sebagai pertanggung jawaban kepada yang
memberikan perintah kepadanya, yaitu Dia yang Maha Tunggal. Juga ternyata,
catatan-catatan tersebut merupakan catatan amal diri kemanusiaannya yang
pula akan harus dipertanggung jawabkan pada hari penghakimannya, kelak.
Catatan-catatan itulah yang akan menentukan arah gerak kehidupan-kehidupan
selanjutnya.
Semesta alam beserta
keseluruhan isinya, termasuk diri kemanausiaan, selain sebagai kitab besar yang
menyimpan segala petunjuk dan ketetapan dari setiap kehendak-Nya, ternyata
merupakan pula sebagai ‘hard disk’ atau rekaman besar, kitab yang berisi
catatan amal seluruh makhluk-Nya. Sebagai kitab yang terjaga.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Bila sebelumnya, kehendak dan
keinginan adalah merupakan gerak dari kehendak dan keinginan alami yang murni
atau sunathullah, sesuai kodrat dan iradat-Nya, tetapi kini setelah jiwa
melekat pada jasadnya, kehendak dan keinginan telah berkembang dipengaruhi dan
terkontaminasi oleh kebutuhan serta angan-angannya. Kini dihadapkan kepada dua
pilihan, kebaikan atau keburukan, manfaat atau mudharat (merugikan), kefasikan
atau ketakwaan, yang keduanya harus dipertanggung jawabkan sebagai hari
kemudian-nya, kelak.
“Kemudia Dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali bersyukur” (QS 32:9)
Dia
menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati setelah ditiupkan-Nya Ruh-Nya,
adalah jiwa yang dapat me-rasa-kan seluruh inderawi yang berada pada
jasadnya. Telinga untuk dapat merasakan pendengaran, mata untuk merasakan
penglihatan, hidung untuk merasakan bau, kulit untuk merasakan
rabaan, dan lain-lainya yang kesemuanya terhubung dengan akal dan kesadaran
yang hidup dan berkembang dengannya agar bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun
selainnya sebagai wujud rasa syukur kepada-Nya.
Jiwa inilah
yang menjadikan rasa begitu dominan mempengaruhi kualitasnya. Nikmat
kebaikan atau sekalipun nikmat keburukan, sesungguhnya adalah rasa yang
menilainya dan akan berbekas di hatinya. Begitu pula pada nikmat kesenangan
ataupun sengsara, kebahagiaan dan kesedihan, ketentraman dan kegelisahan, dan
lainnya adalah merupakan pasangan yang dinilai oleh rasa dan amat
mempengaruhi kejiwaan.
Pada diri atau jiwa yang hanya
terpaku oleh pandangan mata saja, hanya tertarik kepada yang nyata-nyata saja,
atau dengan kata lain perhatiannya hanya pada materi (materialisme) belaka,
maka tidak akan pernah menemukan esensi kehidupan sejati. Tiada pernah memahami mengapa
dadanya selalu menarik dan menghembuskan nafas, mengapa jantungnya selalu
berdetak, mengapa rambut-rambut dan kuku-kukunya selalu bertumbuh panjang
sekalipun sering dipotongnya. Mengapa pula putih atau hitam kulitnya, mancung
atau pesek hidungnya, besar kecil ukuran tubuhnya, dan lain sebagainya yang
bukan diri atau jiwanya menghendaki atau bahkan memerintahkannya. Juga tidak
memahami kenapa bisa timbulnya keresahan pikiran, pencarian solusi,
penganalisaan permasalahan, dan hingga kepada penyimpulan
untuk mendapatkan pemahaman.
“Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu
mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini
sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS
3:190-191)
Kelak setiap
diri akan memahami mengapa hal-hal tersebut terjadi pada dirinya, dan
mengarahkannya kepada mengenal Tuhannya sebagai realitas sejati,
sehingga dapat berserah diri (islam) secara kaffah (total) murni dan
ikhlas. Tidak sekedar tunduk patuh, mengabdi, menyembah, dan berserah diri
kepada tuhan yang dia sendiri tidak mengenalnya. Bisa-bisa, ternyata, hawa
nafsu (ego)-nya sendiri yang dianggap tuhannya (QS 45:23).
Segala sesuatu yang tersebar di semesta alam ini, termasuk
diri-diri kemanusiaan, sesungguhnya selain sebagai yang menerima rahmat
petunjuk-Nya, adalah pula merupakan sebagai pembawa dan penyampai rahmat
petunjuk-Nya. Mereka yang membawa dan menyampaikan itulah yang disebut rasul.
Dan Allah memilihnya dari malaikat dan manusia.
“Allah memilih utusan-utusan (rasul) dari malaikat dan menusia, ......” (QS 22:75)
Lalu cobalah akal dan kesadaran
kita untuk melakukan perjalanan dan berinteraksi dengan alam sekitar, mencoba
memahami satu per satu apa yang dilihat, apa yang didengar dan apa yang dirasa
dengan hati yang jernih tanpa membawa kesibukan perhatian lainnya. Apakah
sesungguhnya yang dikehendaki Allah maka semua ini ada untuk memudahkan
kehidupan kita? Tentu Dia tak sekedar mencipta serta memelihara demi
kemanusiaan. Pastilah ada tujuan utama-Nya maka Dia melakukan semua ini dan
nanti.
“.....Allah tidak
menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) benar dan waktu yang ditentukan......” (QS
30:8)
“Sucikanlah
nama Tuhan-mu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan, dan menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan
kadar dan
memberi petunjuk.” (QS 87:1-3)
“Tidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah
menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang
(keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang
memberi penerangan.” (QS 31:20)
“...... dan
malaikat dalam naungan awan.........” (QS 2:210)
“Dia-lah yang
meniupkan angin sebagai ‘pembawa’ kabar gembira, mendahului kedatangan
rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa
awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam
buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)
Kita berusaha memahami
kehendak-Nya dan mengenal-Nya, agar jiwa kita bisa selalu tetap berada dalam
jalan lurus-Nya, dan justru menjadi tak tersesat dalam rahmat nikmat dari
setiap anugerah-Nya yang luas dan tak terhitung.
“.... Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya
kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Tidak hanya
pada merasakan kenikmatan hidup yang selalu terpenuhi, bahkan berlebihan dan
bergelimang kemewahan saja yang dapat menghanyutkan jiwa pada kesesatan, akan
tetapi kesulitan akan kebutuhan yang tak kunjung tercukupi dan bahkan
menyengsarakan pun sebagai yang dapat menjerumuskan jiwa kepada kesesatan dari
berserah diri secara ikhlas kepada-Nya. Keduanya adalah disebabkan tak pernah
terpenuhinya kepuasan. Jiwanya selalu merasa haus pada dunia.
Tidak hanya berhenti di situ,
demi memenuhi kepuasan, bathin yang telah terikat kepada kehidupan
akhirat pun dapat tergoda. Ya, mereka yang jiwa-jiwanya hendak menuju kepada
kebersihan pun tak luput dari usaha penyesatan iblis yang seakan tak pernah
berhenti pada tujuannya, yaitu sebagai yang hendak menyesatkan jiwa-jiwa dari
tujuan kepada Tuhannya. Sekalipun kepada jiwa-jiwa terbaik yang hendak mencapai
kesempurnaannya.
“.... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan
Allah.” (QS 38:26)
Bukanlah hal
yang mustahil, diri-diri yang telah berusaha
hendak mencapai kesempurnaannya pun dapat tergoda dan tertipu kedalam
kesesatan. Banyak pula kasus ulama atau pendeta, atau mereka yang telah
dianggap suci malah mengalami terperosok kedalam bujuk rayu hawa nafsu dan pengakuan
(ego)-nya.
Bila dikembalikan kedalam,
ternyata segala sesuatu ada pada rasa, rasa-lah yang membuat segala
sesuatu bernilai. Baik dan buruk, susah dan senang, manis dan pahit, kaya dan
miskin, semuanya rasa-lah yang mempengaruhi nilainya. Dan semua rasa ada
dan berdiam di hati atau kalbu. Sebab itulah kepekaan rasa pun menjadi
hal yang penting untuk dapat menggugah kesadaran jiwa, agar selalu melunturkan
kekotoran-kekotoran yang telah melekat di hatinya.
Begitu pula kejernihan dan kebersihan hati yang akan sangat
mempengaruhi penilaian rasa, semakin jernih atau bersih hati dari
kekotoran hawa nafs keburukan maka penilaian terhadap rasa akan menjadi terang,
menjadi jelas dalam menyikapinya. Keburukan yang datang diterimanya dengan
ikhlas, seperti menerima datangnya malam setelah siang, karena bersama
keburukan akan datang kebaikan sebagai suatu pasangannya. Dibalik kesulitan ada
kemudahan, seperti bayangan yang selalu ada di belakang cahaya.
Hati yang
tenang dan mudah dikendalikan akan pula mengendalikan dengan sehat kepada jiwa
dan jasad (raga). Dan sebaliknya, pada hati yang resah karena tersesat oleh
kekotoran hawa nafs keduniawian, maka akan menyesatkan jiwa dan merusak
jasad-nya dengan penyakit. Adalah hati yang telah bersih dari pengakuan
(kesombongan ego) akan membawa jiwa kepada ketenangan dan ketentraman sebagai nafs
al mutma’innah yang terkendali.
Jadilah diri yang tunduk patuh atas setiap perintah dan
larangan-Nya, atau berserah diri (islam) dengan ikhlas atas setiap amal
perbuatan, maka sang iblis pun
menyerah, dan akan kembali kepada wujud asalnya, yaitu sebagai wujud malaikat
yang tunduk patuh kepada Tuhannya, dan mau pula bersujud kepada diri
kemanusiaan, sebagai teman sejawat penjaga, pembawa dan penyampai
kehendak Tuhan. Jadilah diri-nya sebagai sebenar-benarnya perwujudan Tuhan di
alam yang saling menebarkan rahmat dan kasih-sayang bagi sesama makhluk.
Itulah makna iblis secara positifnya.
“Dan aku
tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS 12:53)
Dan menjadi negatif bila diri atau nafs
kitapun cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa nafs kita yang
sesungguhnya harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan pemeliharaan
cahaya-Nya. Dengan demikian, keikhlasan akan membawanya kepada jalan
(agama) yang lurus, yang mengarahkan kepada seluruh arah tujuan kehidupan
sesungguhnya yang haqq, kebenaran dan keselamatan.
Melunturkan
sedikit demi sedikit pengakuan (ego) melalui cara pengenalan
terhadap diri-nya sendiri dan mengenal para aparat (malaikat)-Nya, para
rasul-Nya, segenap kitab-Nya, hari akhir-Nya, serta kadar baik dan buruk-Nya.
Mengenal seluruhnya tersebut adalah pula merupakan mengakui keberadaan dan
kuasa Allah yang sesungguhnya menggerakkan dan memerintahkan atas segala
sesuatu. Kehendak-Nya meliputi segala sesuatu tersebut.
Menyadari, betapa sebenarnya
diri-nya adalah perwujudan Yang Maha Terpuji di alam yang saling
menebarkan rahmat kepada sesama makhluk-Nya, adalah usaha memposisikan dirinya
untuk siap menerima petunjuk-petunjuk-Nya. Memposisikan diri dengan
membersihkan hati dari kekotoran hawa nafsu yang membawa kepada amal perbuatan
yang selain merugikan orang lain dan tidak pula merugikan dirinya sendiri.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat, Aku hendak menjadikan
khalifah di bumi. Mereka berkata, Apakah
Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami
bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama-Mu? Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
“Maka
hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah
menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah)
jalan yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS 30:30)
Itulah
fitrah kemanusiaan yang dikehendaki Allah, dan merupakan ketetapan-Nya
yang takkan berubah. Kemanusian sebagai khalifah adalah merupakan perwujudan
Dia Ar Raahmanur-rahiiym (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) di muka bumi,
sebagai wakilnya di muka bumi yang saling menebarkan rahmat Tuhannya kepada
sesama makhluk-Nya, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Nikmat & Siksa (Azab)
“(yaitu) jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat.”
(QS
1:7)
Mengapa
Allah memakai kata nikmat, dan bukanlah surga? Padahal yang Allah
maksudkan adalah orang-orang terdahulu, yang telah lama tiada. Jika jawabannya,
karena bila memakai kata surga, masih menunggu kiamat qubra dahulu. Bila
pemahamannya seperti itu, surga dan neraka adalah menunggu kiamat qubra,
itu jelas pemahaman yang salah. Allah menegaskan seperti firman-Nya di bawah
ini.
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain)....” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam
surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki
(yang lain), sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS 11:108)
Jelas sekali
firman-Nya ini menerangkan keberadaan surga dan neraka yang kekal
selama masih adanya langit dan bumi, bukan setelah kiamat dan tidak
adanya lagi langit dan bumi. Dan berarti pula, ayat ini menegaskan bahwa surga
dan neraka pun berada di alam dunia ini pula. Di kehidupan ini. Sekarang inilah
kita pun sedang berada di dalam surga sekaligus neraka-nya.
Nikmat dan
siksa adalah alam rasa, begitu pula surga dan neraka adalah alam
rasa, bukan alam tempat. Jika kehidupan ini adalah balasan dari kehidupan
sebelumnya, mengapa diri kita ingat pernah mengalami kehidupan sebelumnya?
Hal
tersebut disebabkan oleh sunathullah(-Nya), bahwa masa-masa di dalam kandungan
dan masa-masa balita adalah masa pembentukan memori (ingatan) pada
jaringaan sel-sel otak, begitupun masa-masa tua-nya hingga kematiannya adalah
masa-masa peluruhan atau kehancuran memori (ingatan)-nya.
“Allah
menciptakan kamu, kemudian
mewafatkan kamu, dan
diantara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah, supaya dia tidak
mengetahui lagi sesuatu pun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Kuasa.” (QS 16:70)
Ingatan
(memori) sebagai yang tersimpan dan berada di jasad (sel-sel otak), maka saat
jiwa berpisah dengan jasad maka terpisah pula dengan memori ingatannya. Dan
ketika dibangkitkan, sebagai bayi kembali dengan jasad yang baru, dan dengan
membawa garis takdir baik dan buruk-nya sebagai neraka dan surga-nya.
Begitulah kita pun diwajibkan beriman
kepada takdir baik dan takdir buruk. Diajarkan-Nya kita untuk dapat berserah
diri (islam) dengan ikhlas menerima takdir tersebut yang merupakan
surga dan neraka kita sebagai akibat perbuatan kita di kehidupan sebelumnya,
dan tidak lagi membuat beban-beban baru bagi kehidupan kemudian.
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal
kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya
lah kamu dikembalikan”. (QS 2:28)
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (QS 67:2)
Itulah ayat yang menegaskan kejadian kebangkitan yang
berulang-ulang yang merupakan siklus mati-hidup, seperti siklus
tidur-bangun tetapi dalam skala panjang waktunya, atau siklus proses
terjadinya hujan sebagai air yang menguap naik-turun kembali kebumi,
atau pada makhluk-makhluk Allah lainnya. Sampai pada akhirnya kepada-Nya
lah kemudian diri-diri (jiwa) dikembalikan sebagai murni, suci dan bersih .
“Dan apakah
mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian
mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS 29:19)
Jadi, ini adalah siklus perubahan bentuk atau wujud karena terurai
kembali sebab dari yang telah ditetapkan oleh kehendak-Nya atau lebih dikenal
dengan sebutan sunathullah. Termasuk siklus perubahan bentuk pada jasad
dan wajah dari waktu ke waktu yang semakin keriput dan rambut yang memutih,
sekalipun tanpa menghilangkan atau merubah identitasnya. Dan dengan siklus
kematian dan dibangkitkan sebagai tujuan penyucian jiwa agar bisa
kembali berpulang dalam kesucian kepada-Nya sebagai Yang Tunggal. Suci
dari segala macam pengakuan (ego)-nya yang mengotori jiwa-nya, sehingga
menghambat jiwa-nya untuk dapat kembali kepada Yang Tunggal, karena harus
mengalami dibangkitkan atau dihidupkan kembali untuk membersihkan kekotoran
yang masih melekat di ekhidupan sebelumnya.
“Dia
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang
hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur).” (QS 30:19)
Bila kebangkitan adalah hal
yang harus dan pasti terjadi setelah hari perhitungan atau penghakiman, yaitu
untuk menjalani kembali kehidupan yang berisi balasan atas setiap amal
perbuatan di kehidupan sebelumnya, maka berarti, kehidupan sekarang ini adalah
merupakan balasan dari amal perbuatan pada kehidupan kita sebelumnya.
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang
dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)
Dengan demikian, menjadi pentingkah surga untuk dituju dan neraka
untuk dihindari? Jika tujuannya adalah Dia, mengapa pula kita disibukkan untuk
menghindari neraka dan terlena akan kenikmatan surga bila jalan telah terang?
Hanya mereka yang buta akan tujuan akhir yang sejati sajalah yang dapat
tersesat akibat terlena, baik karena tersesat kepada neraka maupun hendak
menggapai nikmatnya surga. Padahal telah terang jalan menuju tujuan akhir yang
sejati, yaitu kembali kepada Dia Yang Maha Tunggal, ilayhi raji’un.
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah
Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati
pula oleh semua makhluk yang dapat melaknati.”
(QS 2:159)
Betapa banyak pemahaman yang menjadi
berbelok atau berbias hanya dikarenakan kesalahan dalam memaknai. Dan ini dapat
saja berakibat kepada melemahnya keimanan bahkan kepada rasa berserah diri
(islam)-nya. Maka hidup dan kehidupan menjadi tak tentu arah, karena jiwa yang
seharusnya hanya melihat satu jalan, menjadi melihat banyaknya jalan
yang terbias bagai fatamorgananya. Maka timbullah rasa semu yang mengatakan
banyak pilihan. Timbul pula merasa pentingnya menghindari neraka. Juga menjadi
timbul rasa ingin menikmati surga.
Padahal, keduanya adalah godaan.
Ya, godaan yang menghambat tujuan utama kita sebagai diri-diri kemanusiaan yang
hendak kembali pulang kepada-Nya, yaitu Dia Yang Maha Tunggal. Godaan yang
membuat kita merasa harus mampir sejenak untuk beristirahat dan
merasakan nikmatnya surga, sedang tujuan
utama kita belumlah sampai. Jangan-jangan, ternyata, bukanlah nikmat surga yang
kita dapati, melainkan panasnya neraka yang kita rasakan.
Layaknya seorang yang keluar rumah
untuk mencari nafkah bagi anak dan istrinya, sehingga dia tahu dan sadar bahwa
dirinya sangat dinanti kepulangan-nya. Akan tetapi tentunya diperjalanan
pulangnya pun menjadi banyak godaan, seperti teman yang mengajak mengobrol
santai di cafe atau warung kopi, atau tempat-tempat hiburan malam yang dapat
menggiurkannya setelah rasa lelah bekerja seharian, bahkan hal-hal lain yang
sungguh dapat menyesatkannya lebih jauh lagi dari tujuan utamanya, yaitu pulang
ke rumah karena telah dinanti anak dan istrinya. Begitulah jalan kehidupan yang
sungguh rentan dengan banyaknya godaan yang hadir silih berganti.
Bila tujuan utama telah hilang makna asalnya, dan fatamorgana yang
timbul membias dari penglihatan aslinya, maka bukan tidak mungkin kesadarannya
akan tujuan utama untuk dapat kembali pulang pun menjadi sirna, tertutup
oleh bayang-bayang maya kenikmatan dunia yang dibiaskan iblis penggoda.
Sehingga bersiaplah untuk menghadapi hari kemudian-nya, bersiap pula
menerima balasan di hari pembalasan-nya.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di
dunia ini, niscaya di
akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan
(yang benar).” (QS 17:72)
Nikmat dan
siksa sebagai pasangan yang menggoda, yaitu pasangan yang dapat menjerumuskan
mereka yang hanyut oleh keduanya. Lihatlah mereka yang dilalaikan
kemegahan dan kemewahan kehidupan dunia, serta mereka yang tak sabar
dalam penderitaan dan kesempitan.
Mereka ini
yang keyakinan atau iman-nya telah tergerus oleh ketakutan yang berada dalam
hatinya. Ketakutan berkurangnya atau kehilangan nikmat yang sedang
melenakannya. Atau juga mereka yang ketakutan hidupnya akan selamanya terus
sebagai yang menyiksanya.
Kedua
ketakutan tersebut adalah angan-angan yang menyelimuti dan menutupi hatinya
dalam melihat kebenaran-kebenaran dari cahaya petunjuk Tuhannya, sehingga
jiwanya bisa semakin tersesat oleh angan-angan yang membawanya terus terperosok
semakin dalam. Yang terlena kemewahan dan kemegahan dunia, semakin ingin lebih
menikmati segala hawa nafsunya, maka semakin berkembang pulalah hawa nafsu
lainnya. Dan mereka yang ketakutan hidupnya akan terus menderita, menjadi
semakin tak sabar untuk dapat lepas dari penderitaannya, dan diambillah jalan
singkat untuk merubah hidupnya. Dan mereka berdua pun semakin terlena
dengan kesesatannya yang semakin dalam dan semakin menjeratnya.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kami-lah
kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Secara tak sadar mereka telah
menciptakan kehidupan yang tak sehat yang dapat menyebar kepada selain diri
mereka sendiri. Telah terjadi hubungan dua arah, yang mereka kira adalah saling
menguntungkan mereka, semacam simbiosis mutualisme. Dan hal ini akan terus
menyebar bagai wabah penyakit. Seperti pencuri dan penadah, atau juga penyuap
dan yang disuap.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (je jalan yang benar).” (QS 16:113)
Ketika hal ini telah membudaya,
maka biaya hidup semakin tinggi, semakin lagi memaksa pada kehidupan yang jauh
lebih tak sehat lagi, hingga kronis. Terciptalah krisis multidimensi, di
semua sektor kehidupan dan di semua kalangan profesi, semakin merembet kepada
krisis moral dan keagamaan. Maka para anak-anak, remaja, dan pemuda pun bukan
hanya menjadi korbannya, malah telah ikut-ikutan sebagai pelaku. Ya, telah
menyebar ke seluruh kehidupan.
“..... dan
Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan
itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)
Adalah fungsi kesadaran manusia
yang membuatnya tertarik memahami yang lahir (nyata), berinteraksi dan
saling mengambil manfaat darinya. Kemudian meningkat kepada kesadaran untuk
pula dapat memahami makna dari yang lahir (nyata), yaitu bathin.
Di saat itulah diri kemanusiaannya,
sekalipun pada masa-masa perkembangan kejiwaan ini, yaitu hati dan akalnya
sedang pula terkontaminasi oleh keinginan dan kebutuhan, merasa tertuntut pula
untuk dapat memahami makna-makna yang bathin yang sesungguhnya, dapat saja atau
malah akan menimbulkan kontradiksi dengan keinginan dan kebutuhannya. Sehingga
kini, telah tercipta dua kutub kekuatan tarik menarik yang sangat akan
mempengaruhi kejiwaan serta arah kehidupannya.
Di saat itu pulalah terciptanya
keragaman pada setiap diri kemanusiaan, yang menimbulkan berbagai macam
perbedaan. Yang masing-masingnya membawa kebenaran, sekalipun sayangnya,
masing-masing merasa dirinyalah yang benar dan baginya yang lain adalah salah. Disebabkan
sudut pandang yang mendasari kebenaran, merekapun yang beraneka ragam. Akan
tetapi, justru, disitulah bukti keaneka ragaman kebenaran di dalam kebenaran
tunggal. Sebagai bukti ke-akbar-an Dia Yang Maha Tunggal.
Segala sesuatu di alam ini adalah
rahmat-Nya, dan tak ada rahmat-Nya yang mengandung kesalahan atau kecacatan,
juga keburukan. Karena keinginan dan kebutuhan-lah, maka manusia menilainya
menjadi baik atau buruk. Itulah sebagai keterbatasan makhluk. Bila
sesuai keinginan yang didasari kebutuhannya, maka dianggapnya kebaikan, telah
menerima nikmat-Nya. Sedangkan, bila tak sesuai keinginan yang
didasarkan kebutuhannya, maka dianggapnya sebagai keburukan, sebagai yang
sedang menerima cobaan dari-Nya. Sesungguhnya, kemanusiaan itu hanya
hidup menerima. Menerima segala rahmat-Nya.
Itulah kadar baik dan kadar buruk yang harus
diterimanya, dan bila kesadrannya telah matang, maka hatinya lebih
memahami bahwa Tuhannya tak memberikan kadar buruk kepadanya, hanya kebaikan
dalam setiap pemberian-Nya.
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka
tentang akhirat adalah lalai.” (QS 30:7)
“Karena
sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Jangankan kebenarannya, diri-dirinya pun beraneka ragam. Ya,
diri-diri yang akbar didalam wujud kemanusiaan. Yang pada satu diri saja, kita
takkan pernah mampu menentukan berapa jumlah sel yang membangun struktur
tubuhnya, maka ragam kerja dan fungsinya pun berbeda-beda satu sama lainnya.
Belum lagi keragaman pemikiran dan keinginan-nya yang tak pernah terpuaskan.
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di
antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang
beriman (dengan yang kafir).......” (QS 3:140)
Padahal,
sekalipun ketetapan-Nya, ternyata diri kita sendirilah yang menyebabkan
itu semua terjadi. Segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah
ketetapan-Nya. Layaknya siang dan malam, pagi dan sore, serta fajar dan petang.
Cahaya dan bayang-bayang, panjang dan pendek, serta lurus dan bengkok. Begitu
pula bahagia dan sedih, mudah dan sukar, serta nikmat dan sengsara. Segala
sesuatunya tersebut dinilai sebagai kebaikan dan keburukan oleh
makhluk. Ketetapan yang mutlak diterima makhluk, sedangkan baik-buruknya adalah
penilaiannya sendiri yang justru yang dapat menjerumuskannya.
Semakin banyak kesadaran-kesadaran yang
mengarahkan pemahaman terhadap segala sesuatu yang ditemuinya, maka mata
hatinya menjadi hidup dalam menangkap setiap makna yang memberikan
hikmah yang tiada ternilai. Hati yang hidup adalah kehidupan yang
sempurna sebagai sejatinya kehidupan, karena tiada lagi rasa takut, gelisah,
bingung, dan tak tahu arah. Sekalipun masih banyak yang belum diketahuinya
secara lahir dan bathin, namun pemahamannya menyatakan
keyakinannya untuk tetap dalam keberserah dirian (islam)-nya dengan murni dan
ikhlas tertuju hanya semata kepada-Nya, Dia Yang Maha Tunggal.
Keburukan, adalah ibarat bungkus yang
menyelimuti kebaikan (rahmat Allah) yang berada didalamnya. Hanya karena berada
di dalam sebagai yang tak terlihat (masih ghaib), maka diperlukan usaha mebuka
bungkus yang menyelimutinya tersebut. Begitulah hati kita memahami segala
sesuatu yang datang kepada diri kita, apakah sebagai yang kita nilai kebaikan
atau keburukan pada awalnya, yang kelak akan diketahui hikmahnya bahwa,
sesungguhnya Allah hanya memberi kebaikan, yaitu rahmat-Nya. Hanya
dengan hati yang bersih dari kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego), maka
cahaya Allah dapat menerangi, bahwa yang datang dan diterimanya adalah rahmat
Allah, yang seluruhnya adalah kebaikan.
Layaknya
malam yang berganti fajar, dan terang kemudian datang menyambutnya. Atau
kelelahan sehingga merasa harus beristirahat, dan segar kembali setelah bangunnya.
Atau juga kebelet, hingga harus terbirit-birit lari kebelakang untuk (maaf)
buang air, dan setelahnya akan merasa lega. Adakah pada semua itu merupakan keburukan?
Seperti itu pula-lah hati kita seharusnya membuka kesadarannya untuk
mendapatkan hikmah terhadap apa-apa yang datang dan dinilainya sebagai
keburukan, yang ternyata adalah kebaikan.
Bila pada hidup-nya
saja, diri kemanusiaan hanya menerima, maka tentu apapun itu yang berada di dalam
kehidupan-nya juga seharusnya dapat diterima, sekalipun adalah sebuah
keburukan. Sehingga hanya yang tidak tahu diri-lah sesungguhnya yang tidak
dapat atau tidak mau menerima apa-apa yang diberikan kepadanya,
termasuk keburukan.
Bila yang
lahir (zhahir) yang menjadi tujuan dan melupakan yang bathin, maka
sesungguhnya dia hanya mendapatkan kulit, tidak isi-nya. Tetapi
jika hanya menginginkan yang bathin, maka dia akan membuang kulit.
Oleh sebab itu, hilangkanlah segala keinginan agar menerima keduanya. Sebab
mereka yang hanya menginginkan yang bathin akan membuang shalat
dan puasa-nya, karena hanya mengambil makna-nya saja.
Padahal mereka
yang telah mencapai pemahaman yang bathin tentu telah menyadari pula,
adalah ketetapan-Nya bahwa kemanusiaan menjadi wakil-Nya di bumi sebagai yang mewujudkan
segala sifat-Nya. Itulah fitrah kemanusiaan-nya yang tak pernah akan
berubah. Semesta alam ini-pun diwujudkan-Nya untuk menyatakan keberadaan-Nya
yang bathin, yang takkan mungkin dipahami oleh keterbatasan makhluk-Nya bila
tak ada wujud-wujud sebagai perwujudan (perwakilan wujud)-Nya.
Kenalilah
diri sendiri, yaitu dengan berusaha mengenal Tuhan-nya. Atau kenalilah
Tuhan-nya, yaitu dengan berusaha mengenali diri-nya sendiri. Keduanya
adalah cara untuk dapat menerima segala sesuatu dengan ikhlas, baik itu
anugerah dan bencana, kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan,
kemudahan dan kesulitan, kelebihan dan kekurangan, kekayaan dan kemiskinan, dan
segala sesuatu yang lainnya yang merupakan isi dalam hidup yang pula diterima
dari Tuhannya. Sehingga mencapai puncak kesadaran, bahwa sesungguhnya diri-nya
lah yang tidak ada (gaib). Wujud-nya adalah karena diwujudkan, hidup-nya adalah
karena dihidupkan, kekuatan-nya adalah karena diberikan kekuatan, bahkan
nafas-nya pun karena diberikan, kematian-nya pun adalah karena diberikan oleh
Dia sesungguhnya Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Tiada yang luput dari
kuasa-Nya.
Maka keikhlasan
adalah mutlak wajar sebagai perwujudan rasa menerima-nya sebagai sebuah
kemurnian ibadah (amal perbuatan)-nya sebagai insan kemanusiaan yang ada dan
bernilai hanya karena dan kehendak Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang. Dia-lah
Allah yang memiliki dan menguasai segala sesuatu yang berada di langit dan di
bumi serta yang berada diantara keduanya. Tidaklah segala sesuatu tersebut yang
terlepas dari pengawasan dan pemeliharaan-Nya.
Mereka yang
memiliki kelapangan dada untuk berserah diri (islam), tentu
seharusnya memiliki pula kesabaran. Sebab, mereka yang melapangkan dadanya akan
lebih membuka hatinya terhadap masuknya limpahan cahaya petunjuk dari Tuhannya.
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan
dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan
dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah
dia sedang mendaki ke langit..... ” (QS 6:125)
Siapapun diri itu, yang telah memiliki
kesabaran dan kelapangan dada untuk mencapai keberserahan diri (islam)-nya
kepada Yang Maha Kuasa, apapun alasan penolakan terhadap ini, sesungguhnya dia
telah memiliki iman dan keyakinan-nya, hanya tinggal tahapan pencapaian
kebenarannya untuk mendapatkan yang haqq yang, mungkin saja, belum tercapai. Karena
sartu per satu tahapan-tahapan (maqam) harus dilalui oleh jiwa dalam
perjalanannya, seperti terbukanya selaput hijab-hijab yang menyelimuti
kesadaran mata hatinya. Bahkan diri-diri yang merasa telah mencapai kebenaran
pun, sesungguhnya belumlah mencapai kebenaran yang haqq, hanya sedang mengarah
kesana. Maka, adalah naif, bila kita telah berani menetapkan bahwa dia belum
islam (berserah diri), apalagi bila mengatakan belum ber-iman.
Jadi, hanya pada tingkatan keikhlasannya-lah yang membedakan kedudukan
seseorang di mata Tuhannya, bukan di mata manusia.
Bab XXV
ANTARA
PEMAHAMAN & ANGAN
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap
ufuk dan
pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....”
(QS
41:53)
D
|
ia-lah Yang Zhahir dan Yang Bathin, Dia zhahir (nyata)
melalui perwujudan-Nya pada wujud seluruh makhluk ciptaan-Nya di alam,
dan Dia bathin karena keterbatasan makhluk memahami apalagi
mendefinisikan Dzat-Nya. Dan pada diri kemanusiaan pun tak terlepas dan menjadi
terjebak oleh pemahamannya sendiri. Mereka terjebak dengan memisahkan
antara Allah yang zhahir (nyata) dengan Allah yang bathin. Padahal, kedua sifat
Allah tersebut adalah tak dapat dipisahkan bagi pemahaman makhluk.
Bahayanya, adalah bila menjadi taqlid terhadap pemahamannya tersebut,
sehingga menimbulkan saling pertentangan, bahkan saling menuduh sesat.
Bagi mereka yang taqlid, maka tak heran bila menjadi semakin
tersesat, sehingga lebih menyukai pertentangan hingga menumpahkan darah. Mereka
lebih menuruti hawa nafsunya ketimbang mempertimbangkannya dengan akal dan hati
yang lapang dan lebih memungkinkan petunjuk Allah datang. Seperti yang selalu
diulang-ulang pada bab-bab sebelumnya, bahwa apa yang diberikan-Nya adalah
rahmat yang tunggal, yaitu kebaikan. Begitupun Dia yang memberikan, adalah Dia
Yang Maha Tunggal termasuk ketunggalan sifat-sifat Dia yaitu Ar Raahman sebagai
Yang Maha Pemurah. Tetapi karena makhluk menerima rahmat-Nya selalu menilai
bersama pasangannya, maka Dia-pun menyebut Diri-Nya sebagai Yang Zhahir
dan Yang Bathin, tanpa terpisah, dan jangan dipisahkan selama dirinya
merasa masih dalam keterbatasan. Sadarilah, keterbatasan adalah
sifat makhluk, maka dekatilah kebenaran yang sejati (haqq), yaitu Dia Yang Maha
Benar (Al Haqq).
“.... Kamu
sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak
seimbang (cacat). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?” (QS 67:3)
“Kemudian
pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun (kembali
kepadamu) dalam keadaan yang payah.” (QS 67:4)
Dia-lah Dzat Yang Maha Halus dan Lembut,
yang sesungguhnya maha meliputi seluruh makhluk-Nya, sehingga
menjadi tak nyata terasa oleh keterbatasan makhluk-Nya, karena Maha halus
dan lembut-Nya. Bahkan makhluk-Nya menjadi merasa memiliki pilihan.
Padahal sesungguhnya, pilihan menjadi ada karena keterbatasan diri-nya dalam
memahami. Bila telah memahami, maka tak ada pilihan, yang ada hanya tujuan yang
satu dan terarah. Yaitu, kembali pulang kepada Dia Yang Maha Suci
lagi Maha Tunggal, Ar Raahman. Jadi, memahami Yang Zhahir dan Yang Bathin
adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, karena keterbatasan sifat makhluk
dalam memahami-Nya.
Penglihatannya
menjadi jelas dan nyata, karena segala sesuatunya telah dilimpahi cahaya
Tuhannya sebagai Yang menunjukkannya, maka tiada lagi terang atau gelap, tiada
lagi baik atau buruk, tiada lagi sedih atau bahagia, tiada lagi sulit atau
mudah, tiada lagi kurang atau cukup, tiada lagi hina atau mulia, tiada lagi
takut atau berani, serta telah tiada lagi segala sesuatu yang berpasangan
lainnya. Segala sesuatu di semesta alam raya ini adalah rahmat karena
kemurahan Dia Yang Maha Pemurah, Ar Raahman. Dan segala sesuatu
tersebut berasal serta tujuannya mengarah kepada Dia Yang Maha
Tunggal.
Semesta alam
ini sebagai alam tunggal tempat alam-alam dimana sebagai hari-hari agama
(Maliikiyawmid-diiyn) berlangsung. Dan Dia-lah Allah SWT sebagai penguasanya.
Mata hatinya telah terbuka lebar melihat keakbaran semesta alam ini
berikut dengan segala sesuatu isinya yang akbar tak terhitung dan
terdefinisikan, akan tetapi jelas dan nyata mengarahkan pandangannya, sehingga
tiada lagi yang bathin dan ghaib dalam penglihatannya, bahwa segala sesuatu
tersebut mengarah pada satu tujuan sebagai tempat kembali. Sumber dari
segala sesuatu berasal, yaitu Allah Yang Maha Pemurah (Ar Raahman), dan Dia-lah
Yang Maha Tunggal.
Matanya
melihat begitu banyaknya bentuk segala sesuatu dengan keaneka ragaman wujud,
keaneka ragaman warna, keaneka ragaman sifat, serta keaneka ragaman rasa yang
menyentuh dirinya. Di matanya, segala sesuatu tersebut merupakan
perbedaan-perbedaan yang nyata dan terasa, bahkan tak jarang saling
bertentangan. Timbul dan menghilang, ada dan tiada, terang dan gelap, panas dan
dingin, hitam dan putih, maupun apa-apa yang berada diantaranya. Seperti
gradasi warna-warna dari terang ke gelap, atau temperatur yang dari titik beku
(es) sampai ke titik didih. Tetapi hatinya mengatakan, mereka adalah seperti dirinya, merupakan bagian yang
satu. Sebagai yang akbar perwujudan dari sifat-sifat Dia Yang Maha Tunggal.
Segala sesuatu tersebut merupakan perwujudan dari ketunggalan rahmat-Nya
sebagai Ar Raahman, Yang Maha Pemurah.
Karena di alam, maka diri
kemanusiaan, dengan keterbatasannya, tak kuasa mendefinisikan Dzat-Nya, karena
tak terjangkaunya pengetahuan tentang Dia sebagai keterbatasan makhluk. Dan
sedangkan Dia yang Maha Mengetahui, yang memberi pengetahuan. Bagaimana mungkin
yang diberi pengetahuan dapat mengetahui Yang Maha Mengetahui, kecuali bila telah
diberi pengetahuan atas kehendak-Nya? Sedangkan Dia mutlak meliputi
segala sesuatu ciptaan-Nya yang tak terhitung jumlahnya, maka Dia disebut Akbar,
Allahu Akbar.
Dan adalah sifat dasar manusia
menghendaki pengetahuan terhadap segala sesuatu untuk lebih mengenalinya,
bahkan kepada Tuhannya. Oleh sebab itulah Dia menegaskan sebagai Yang Maha
Tunggal (Allaahu ahad), agar setiap diri kemanusiaan tidak terjerumus
menyekutukan kepada selain Dia.
Dia Yang
Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala perwujudan dari dzat atau
wujud-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala
nama-nama sebutan atau panggilan yang ditujukan kepada-Nya, Dia Yang Tunggal
dari tak terhitungnya (akbar) aktivitas yang dikerjakan-Nya, Dia Yang
Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala apa-apa yang telah
diciptakan-Nya, Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala
sifat-Nya, dan Dia Yang Tunggal dari tak terhitungnya (akbar) segala
tempat keberadaan-Nya.
Dia
takkan pernah dapat didekati, bahkan takkan dapat dikenali, tanpa terlebih
dahulu membersihkan atau mensucikan hati dari segala macam kekotoran yang
melekatinya. Kekotoran-kekotoran yang membuat kesadaran jiwa tak merasakan
keberadaan-Nya yang sungguh amat dekat, bahkan lebih dekat dari urat lehernya
sendiri.
“Pada kitab yang
terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali
hamba-hamba yang disucikan.” (QS 56:78-79)
Jika pada ayat-ayat
(tanda-tanda) kekuasaan-Nya saja, kita tak dapat menyentuh atau memahami-nya
bila tak mensucikan diri terlebih dahulu, maka apalagi kepada usaha
mendekati-Nya. Kekotoran
tersebutlah yang menjadi hijab-hijab keterbatasan jiwa kemanusiaan dalam
menerima dan kemudian memahami petunjuk Tuhannya yang amat luas tak berhingga.
Ibarat mata yang melihat keluar jendela kaca yang dipenuhi kotoran, sehingga
pandangannya menjadi buram dan tak jelas, atau sempit terhadap apapun sejatinya
yang berada di luar jendela. Maka hatinya pun menyimpulkan yang bukan
kebenaran, yaitu kesalahan.
“Barangsiapa
Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri
(islam).
Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya
Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit.....” (QS 6:125)
Mereka yang lapang dada-nya, tentu jiwanya lebih terbuka dan
berserah diri (islam), yang akan pula menjadikan-nya lebih sabar serta
lebih dapat mensyukuri apapun yang diterima dari Tuhannya. Maka ketahuilah,
dengan begitu, sungguh jiwanya telah berada dekat denagn Tuhannya, seperti
tanpa ada hijab yang membatasinya.
“Hai
orang-orang yang beriman, mintalah
pertolongan (kepadaAllah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS 2:153)
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan
sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali
bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan
menemui Tuhannya, dan bahwa
mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS 2:45-46)
“Demi masa (waktu). Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk
kebenaran
dan saling menasehati untuk kesabaran.” (QS 103:1-3)
Di dalam sejarahnya,
kemanusiaan mendekati Tuhannya dengan beragam cara. Kebanyakan dengan melakukan
ritual upacara-upacara tertentu yang melibatkan banyak orang, atau memperbanyak
shalat sunah tambahan, juga melatih diri melawan hawa nafsu dengan berpuasa
tidak makan dan minum, dan ada pula yang mengasingkan diri dan mencari
keheningan berusaha menyatu dengan alam.
Rasul Allah, nabi kita
Muhammad SAW pun, sebelum kenabiannya, selalu menyempatkan dirinya bertahanuts
(mendekatkan diri kepada Tuhan) di gua Hira sampai beliau mendapatkan wahyu
pertamanya. Begitu pula nabi-nabi lainnya, seperti Ibrahim, Musa, Zakaria, dan
Isa. Juga mereka,
yaitu pribadi-pribadi yang
hendak mensucikan jiwanya, banyak yang mengambil jalan seperti para nabi
untuk mendapatkan pencerahan demi menentramkan hatinya yang galau.
Keresahan hatinya
bukanlah disebabkan oleh keinginan dari kebutuhan akan kemegahan dan kenikmatan
kehidupan dunia, dan bukanlah pula karena hendak menurutkan ambisi sesaat pada
kehidupan sekarangnya. Melainkan disebabkan pandangan mata hatinya yang jauh
menelusuri kehidupan panjang jiwanya, menembus batas-batas keterbatasan
manusia pada umumnya.
Dada mereka yang lapang,
selapang luasnya semesta alam ini, menyebabkan jiwanya merasa kesepian dalam
hiruk pikuknya kehidupan dunia. Seakan membutuhkan teman baru yang mengerti,
memahami dan dapat menjawab segala keresahan yang memenuhi hatinya. Mereka
seperti hidup di dua alam.
Alam pertama-nya, sekalipun nyata di kelopak
matanya yang selalu meminta dan menuntut lebih tanpa pernah terpuaskan,
sehingga dianggapnya-lah malah sebagai alam yang maya. Alam penuh godaan
yang dapat menipu dan menyesatkan. Sekalipun banyak kenikmatan yang telah
dirasakannya, tetapi tak pernah memuaskan keresahan sesungguhnya yang
berkecamuk di dalam bathinnya.
Sedangkan alam kedua-nya adalah, yang sekalipun tak
nyata oleh kelopak matanya, namun mata hati, akal dan kesadaran jiwa-nya
percaya dan yakin, bahkan amat menaruh harapan sebagai yang suatu saat, kelak,
akan dapat memuaskan dan menjawab segala apa yang memenuhi di dalam dadanya.
Jiwanya amat meyakini kekuatan tersembunyi yang berada di dalam segala
sesuatu yang ada dan terlihat oleh kelopak matanya, sebagai kehidupan yang
sesungguhnya. Kehidupan di balik kehidupan. Kehidupan tak terlihat,
halus lembut tak terasa, kecuali oleh jiwa yang terkendali, dalam sistem kuasa
tunggal dari Yang Maha Tunggal. Kehidupan alam kepatuhan, yaitu alam
kehidupan jiwa-jiwa yang telah berserah diri (islam).
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di
dalamnya bertasbih
kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu
sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun
lagi Maha Pengampun.” (QS 17:44)
Alam bathin
ini pun tak kalah menghanyutkan dari alam nyata kita, hanya saja
perbedaan menghanyutkan-nya adalah lebih membawa jiwa kepada ketenangan dan
ketentraman. hidup lebih terasa enjoy dan damai, tidak lagi tergesa-gesa. Inti
yang menjadi spiritnya adalah keikhlasan berserah diri (islam) kepada
Yang Maha Memelihara segala sesuatu.
Apapun yang
datang kepadanya sebagai yang dinilai orang baik atau buruk, baginya adalah
nikmat rahmat dari Tuhannya Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Diterima
segala sesuatunya seperti menerima malam setelah siang, yang merupakan kebaikan
bagi dirinya pula. Hatinya pun semakin luas dan lapang, seakan-akan tujuh
langit beserta gugusan-gugusan bintangnya, juga matahari, bulan dan bumi
seluruhnya pun termuat di dalamnya, dan setiap saat selalu saja ada yang masuk
sebagai penghuni barunya yang datang dari Tuhannya.
Bathinnya
semakin kepada kesadaran merajut kembali tali-tali yang sempat putus
sebelumnya, sebagai persiapan demi kehidupan yang akan datang kemudian,
sehingga bila telah tiba waktunya, maka tak ada lagi pekerjaannya yang masih sebagai beban yang kelak merepotkannya.
Dia hanya ingin, kelak, di kehidupan selanjutnya sebagai yang mengalami segala
yang baru, tanpa membawa luka lama yang akan menyengsarakannya.
Perjalanan Malam (Isra’)
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil
Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda Kami. Sesungguhnya Dia adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS 17:1)
Mencari suatu
malam yang Allah berkehendak memperjalankan hamba-Nya
di dalam malam-malam yang selalu dilaluinya dalam hening dan senyap. Setiap
malam dilaluinya dengan melakukan perjalanan malam menuju Tuhannya. Dan di
setiap malam itu pula, langkah demi langkah, sekalipun berjalan perlahan,
sesungguhnya hatinya sedang mengalami pembersihannya. Dan setiap malam, selalu
dijadikan sebagai isra’-nya.
Ya, dalam perjalanan-nya
tersebut, jiwanya melalui kembali masa-masa kelamnya yang dipenuhi kekotoran
dunia yang membebaninya. Tak terasa air mata menetes jatuh membasahi, tidak
kering pipi, malah terus mengalir jatuh kebawah. Baju dan sarungnya pun terasa
basah, hidung tersumbat sesenggukkan di kesepian malam yang hening.
Jiwa-nya
kini membawa akal dan kesadaran-nya demi mensucikan kembali hidup dan
kehidupannya. Ketiganya
sebagai yang saling mengingatkan kepada kebenaran dan saling menasehati
kepada kesabaran. Akal tidak lagi berfungsi untuk mengakali, dan kesadaran-nya
pun tidak lagi untuk merasakan hanya nikmat dunia saja, melainkan keduanya
sebagai yang ikut bersama jiwa-nya mengembara jauh menembus alam-alam
yang sebelumnya tak pernah dialami dan dirasakannya, menemui keragaman
kebenaran yang kelak membawanya kepada kebenaran tunggal dari Yang Maha
Tunggal.
Pencapaian
tahap hati yang telah peka terhadap segala hal, tidak pula mudah melakukan
kecerobohan yang merugikan siapapun, termasuk kepada dirinya. Telah terang dan
jelas semua jalan, bahkan yang menyesatkan pun menjadi terang akan
penyesatannya. Jika sebelumnya itu dianggapnya sebagai tantangan yang
hendak ditaklukannya, kini jiwanya tak merasa lagi tertantang. Jiwa yang lebih
lembut dan melembutkan, melunakkan segala keinginan dan kebutuhan hawa dunianya
yang keras menggebu.
Persoalan
hidup di dunia adalah, kemanusiaan yang cenderung terpesona kepada keindahan
bentuk atau wujud, sehingga menafikan hakikat yang berada di dalamnya yang tak
kelihatan. Sifat dasarnya, keterbatasan, dimana kesadaran inderawi-lah yang
terlebih dahulu berperan melihat kemudian menyimpulkan segala sesuatu
berdasarkan rupa, bukan makna. Itulah yang sebenaranya dapat saja menyesatkannya.
Sesungguhnya, segala sesuatu yang dicari para pencari dan para
pejalan telah ada di dalam diri-nya.
Fitrah-nya
telah tetap, karena kemanusiaan dicipta berdasarkan fitrah-Nya tersebut, dan
tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Dan kemanusiaan pun diberikan anugerah
sifat-sifat Allah, sekalipun terpenjara oleh sifat utama keterbatasan-nya
sebagai makhluk, tetapi jelas telah dianugerahkan oleh-Nya. Maka, hanya dirinya
sendirilah yang dapat meningkatkan kadar dari setiap sifat tersebut menuju
kesempurnanan hakikat-nya sebagai makhluk Tuhan.
“Maka
hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah
menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah)
jalan yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS 30:30)
Dengan
isra’-nya, maka di setiap malamnya terbukalah satu pintu kesempurnan
hakikat, dimana di dalamnya amat terang dibanjiri cahaya petunjuk Tuhannya
menerangkan apa yang hendak diketahuinya. Begitu pula pada malam-malam
berikutnya, yang membuatnya tak ingin melewatkan satu malam pun tanpa dekat
dengan Tuhannya.
Jasad yang
bersimpuh duduk di atas sajadah, sendiri tanpa suara, senyap tanpa lampu.
Mencapai keheningan yang tembus dan menetap di dalam dada, tanpa membawa beban
kesibukan hari-harinya. Kesibukan hanya pada hatinya yang melantunkan
puja-pujian kepada Tuhannya, sebagai salam pembuka menyapa Sang Khaliq
junjungannya yang tak pernah mengantuk maupun tidur, selalu menemani
siapapun yang berusaha mendekati-Nya.
Maknanya,
Dia menemani dengan kebenaran petunjuk-Nya yang bukan merupakan kata-kata
dengan suara, melainkan langsung di tanamkan-Nya ke dalam dada sebagai
pemahaman yang membuka lembaran-lembaran kitab yang nyata (kitab
mubiiyn) di dalam dada setiap kemanusiaan. Dan tidaklah menyentuhnya
kecuali orang-orang yang telah mensucikan hati dari pengakuan (ego) atau
hawa nafsu-nya.
Tundukkan segala keinginan dan kebutuhan sebagai yang tunduk patuh pada
jiwanya. Jangan biarkan para aparat-Nya berubah menjadi pembangkang karena
keinginan akan segala kebutuhan yang disebabkan kuatnya bisikan bujuk rayu pengakuan
(ego) dan hawa nafsu-nya. Betapapun kuatnya energi atau kekuatan di dalam
materi jasadnya, yang juga membawa qudrat-iradat dari Tuhannya,
takkan dibiarkannya tanpa terkendali oleh jiwanya yang telah berada dalam
naungan perlindungan rahmat petunjuk dan pemeliharaan Tuhannya.
Bathin telah bersih dari segala bentuk pertentangan, perbedaaan,
bahkan keragaman. Segala sesuatu, seluruhnya adalah adalah rahmat tunggal dari
Tuhannya, yaitu nikmat. Hanya nikmat yang ada bagi makhluk. Begitulah rasa
yang dialami ketika ditemani-Nya dalam setiap perjalanan malam-nya yang
hanya mengandung rasa tunggal, yaitu nikmat. Kebenaran dan
kesalahan, keindahan dan keburukan, kebaikan dan kejahatan, kecukupan dan
kekurangan, serta kelapangan dan kesempitan sebagai yang telah dilaluinya,
kesemuanya melebur kepada satu pemahaman di dalam bathinnya sebagai rasa nikmat
yang tak terlukiskan.
Kehdupan nyata adalah medan perjuangan amal perbuatan,
pertempuran antara yang haqq dan yang bathil. Yaitu memendam segala yang bathil
dengan kebenaran. Seperti sabda nabi Muhammad SAW setelah perang Badar, kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad akbar.
Jihad akbar, yaitu perang melawan hawa nafsu.
Petunjuk Tuhan telah nyata dan
jelas, dan agama telah disempurnakan, sehingga menjadi terang, mana kebenaran
dan mana kebathilan. Maka jiwa setiap diri-lah yang membawa dan menuntunnya
kepada kebenaran, serta mencegahnya hanyut dan tersesat dalam kebathilan.
Jiwa-jiwa yang selalu dalam naungan jalan lurus petunjuk-Nya, dan mampu
menundukkan pengakuan (ego) dan hawa nafsu-nya,
sesungguhnya
telah menciptakan kehidupan yang sehat, damai tentram dan bersahaja.
“......
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Ku-sempurnakan
kejadiannya dan Ku-tiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS 38:71-72)
Manusia yang
akal dan kesadarannya telah mampu menguasai dan menundukkan nafs-nya
adalah dia yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari para malaikat
(aparat) Allah. Itulah fitrah kemanusiaan sebagaimana firman-Nya di
dalam ayat tersebut di atas. Yaitu, sebagai wakil-Nya yang juga
merupakan perwujudan sifat-sifat Tuhan di muka bumi, sebagai yang saling
menebarkan rahmat Tuhannya, rahmat bagi semesta alam.
Akan tetapi, mereka yang akal
dan kesadarannya dikuasai oleh nafs-nya, maka dialah yang menduduki
tingkat serendah-rendahnya makhluk, bahkan lebih rendah dari binatang ternak.
“atau
apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar
atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya.” (QS 25:44)
Amal perbuatan merupakan
refleksi atau perwujudan dari spirit (ruh) shalat-nya, itulah makna
menjaga fitrah jiwa kemanusiaannya sebagai khalifah di muka bumi, yaitu
wakil Allah dalam mewujudkan seluruh sifat-Nya bagi semesta alam, rahmatan
lil ‘aalamiiyn. Tidak sadarkah jiwa sebagai yang telah menerima anugerah
kemuliaan seluruh sifat-sifat Allah? Janganlah seperti binatang ternak
atau yang lebih sesat lagi dari itu, sehingga tak dapat mendengar atau memahami.
Ruh-nya Shalat & Dzikr
“.... sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah
untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.”
(QS
6:162-163)
Ikhlas berserah diri
(islam) adalah perwujudan dari keyakinan (iman)-nya, yaitu ikhlas-nya
amal perbuatan yang didasari oleh kekuatan (ruh) iman-nya kepada Tuhan
yang berhak di-ibadahi, seperti yang selalu diucapkan di dalam shalat-nya. Dan
bukan sebagai orang yang celaka karena shalat-nya, akibat tak memahami makna
shalat-nya, yaitu sebagai yang mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
“......... Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya,
yang
berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan”. (QS
107:1-7)
“......... Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan)
keji dan
mungkar.
Dan
sesungguhnya mengingat (dzikir) Allah adalah lebih besar (keutamaannnya).
Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS 29:45)
Selalu ingat
(dzikir) Allah adalah lebih besar keutamaannya, yaitu dengan menjaga
kesadaran dalam setiap amal perbuatan dengan tujuan kepada Allah, dan
kekuatan untuk berbuatnya juga adalah karena kekuatan yang dianugerakan-Nya.
Begitulah mewujudkan berserah diri (islam) dengan ikhlas hanya
kepada-Nya.
Kita telah
membahas energi (kekuatan) pada pada bahasan di kitab-kitab sebelumnya,
bahwa energi-energi sesungguhnya adalah para aparat Allah, yang tidak
mengalami kematian atau musnah melainkan berubah bentuk atau wujud-nya. Maka,
begitu pula amal perbuatan yang merupakan energi, yang juga sebagai menimbulkan
aksi dan reaksi. Dan ikhlas-nya amal perbuatan baik adalah
menciptakan aksi dan reaksi positif, yaitu para malaikat
Allah sebagai yang tunduk patuh, menjaga, membawa petunjuk dan membantu bagi
kemudahan kehidupan pelakunya.
Maka sadarilah pula, amal
perbuatan buruk sebagai energi yang menciptakan aksi dan reaksi
negatif, yaitu para malaikat pembangkang yang tak mau tunduk patuh.
Inilah makna wujud malaikat pembangkang yang disebut Allah sebagai iblis,
sebagai yang malah menjerumuskan kepada kesesatan.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka
sujudlah mereka kecuali iblis, dia enggan dan takabur dan adalah dia termasuk
golongan orang-orang yang kafir.” (QS 2:34)
Meskipun di
dalam setiap shalat dan dzikir-nya yang berusaha mendekat dan bersama Tuhannya,
sekalipun tak dapat melihat Dzat-Nya dengan mata lahirnya, namun keberadaan-Nya
sungguh terasa oleh mata bathin dan kesadarannya. Apalagi setelah akalnya pun
memahami wujud-wujud tak nampak yang memiliki kekuatan (energi) seperti
ulasan amal perbuatan di atas, dimana amal perbuatan pun memiliki kekuatan
tersembunyi yang amat berpengaruh kepada pelakunya.
Tak ada penglihatan yang
sanggup dapat melihat wujud Dzat-Nya, karena sesungguhnya Dia-lah yang memberikan
penglihatan. Yang diberi adalah mutlak dalam keterbatasan, tidak seperti yang
memberi, apalagi Yang Maha Pemberi maka Dia-lah Yang Maha Luas tak terbatas.
Bagaimana mungkin Yang Maha Luas dapat dilihat oleh yang serba terbatas?
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat
melihat segala penglihatan itu dan Dia-lah Yang Maha Halus lagi Maha
Mengetahui.” (QS 6:103)
Shalat dan
dzikir adalah juga merupakan mengaktifkan kerja mesin ruh-ruh di dalam
tubuh jasad-nya sebagai yang tunduk patuh dalam sistem kerja yang telah
ditetapkan Tuhannya bagi kemudahan jalannya kehidupan kemanusiaan. Terciptanya
kedamaian dan ketentraman pada jiwanya dalam naungan Sang Pemelihara,
sesungguhnya adalah yang dapat menghindarkan jasad dari penyakit-penyakit yang
merupakan adalah perwujudan iblis pembangkang yang tak mau tunduk patuh
pada qudrat dan iradat-Nya sebagai malaikat atau aparat Allah bagi kemudahan
kehidupan manusia.
Begitulah kekuatan
(ruh) dalam shalat dan dzikir untuk mengingat atau menjaga kesadaran tetap pada
Tuhannya, dengan begitu terjaga pula amal perbuatan dari kekejian dan
kemungkaran. Yang ternyata pula, memiliki pengaruh kekuatan balik yang
sangat besar dan menentukan bagi proses perjalanan kehidupan jangka panjang
kejiwaan kemanusiaan di banyak alam lain yang akan dilaluinya.
Tetapi,
sungguh perlu pula disadari oleh kesadaran akal yang tidak tercemari oleh
ketidak-adilan dalam berpikir dan mencerna dalam memahami kebaikan dan
keburukan sebagai pasangan yang dikehendaki Allah pula keberadaanya. Walaupun
sebenarnya yang Allah ciptakan dan berikan adalah rahmat tunggal, yaitu
kebaikan. Namun karena keterbatasan kemanusiaan dalam melihat dan memahami
segala sesuatu selalu dinilai sebagai
dua hal yang berpasangan, yaitu kebaikan dan keburukan-nya.
Allah membiarkan
hal tersebut, karena di balik kejahatan ada kebaikan, begitupun sebaliknya.
Keduanya adalah kebaikan tunggal yang tak terpisahkan serta tak dapat
dihilangkan keberadaan salah-satunya, dan segala sesuatu adalah rahmat-Nya.
Bagaimana bisa mengetahui dan memahami kebaikan, bila tak ada lagi keburukan
sebagai pembandingnya?
Pahamilah,
segala sesuatu adalah ciptaan dari kehendak-Nya, termasuk keburukan dan
kejahatan. Maka mungkinkah kita menolak salah satunya (keburukan atau
kejahatan) dan hanya mau menerima yang satunya lagi (kebaikan)? Ilmu dan
kebijaksanaan-Nya pun turun sebagai petunjuk kepada orang-orang pilihannya,
yang dengan ilmu dan kebijasanaan tersebut, maka teranglah perbedaan yang baik
dan yang buruk, yang benar dan yang salah, serta antara yang haqq dan yang yang
bathil.
Begitupun keyakinan
(iman) menjadi ada, karena adanya kekafiran mereka yang tersesat.
Percayalah, tak akan ada kesempurnaan sebagai yang indah, bila tak ada
warna-warna sebagai keragaman yang berbeda dalam kehidupan. Tak ada kenikmatan,
bila semua kebutuhan dan keinginan telah terpenuhi. Begitulah keyakinan (iman),
sebenarnya amat dibutuhkan mereka yang yang masih tertutup hati-nya
tidak mau dan dapat melihat atau menerima kebenaran dari Tuhannya, inilah yang
disebut dalam kejahilan (kebodohan). Dan mereka yang semakin memaksakan
tetap menutup hatinya setelah melihat dengan nyata kebenaran dari Tuhannya
itulah, sebagai yang disebut dalam kekufuran.
Seperti
itulah mata lahir memandang, akan tetapi bila mata hati yang telah diberi ilmu
dan kebijaksanaan-Nya memandang, maka tak ada pilihan yang membingungkannya,
yang ada hanyalah satu, yaitu jalan-Nya. Itulah Kebenaran (Haqq). Tidak ada baik atau buruk
yang terpisah di situ, karena takkan ada kebaikan tanpa keburukan. Sama halnya,
dengan takkan mungkin adanya keburukan tanpa kebaikan. Sebegitu relatif-nya
batas keduanya, juga sebagai yang saling berketerkaitan dalam sebab-akibat.
Dan hanya dapat dipahami melalui hikmah kebijaksanaan yang ada di dalam
dada mereka yang telah diberi petunjuk-Nya.
Di dalam dzikr
(ingat atau sadar) ada termasuk di dalamnya fikr (olah pikir), dabr
(melebur bersama alam) dan syukr (bersyukur). Kesemuanya adalah yang
bekerja di dalam hati, dan berguna membersihkan hati dari kotoran-kotoran yang
melekat, sehingga tak terhalang lagi bagi hati melihat hakikat segala sesuatu.
Saat itulah Allah menolongnya dengan petunjuk yang menerangi dalam memandang
segala hal.
Apa yang sebelumnya adalah
keimanan yang harus diyakinya, kini tiada keterpaksaan, hatinya telah melihat
apa-apa yang dibentangkan sebagai kebenaran yang nyata, tidak lagi sekedar
sebagai yang dipercaya. Kini akal dan kesadarannya benar-benar telah dapat
membawa jiwa-nya ikhlas berserah diri (islam) kepada Dia Yang Maha Hidup
(Al Hayyu) dan Maha Menghidupkan segala sesuatu. Tidaklah segala kejadian
terwujud dan terjadi, kecuali karena telah dikehendaki oleh-Nya.
Ruh-nya Puasa, Zakat & Sedekah
“Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja
yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
(QS 3:92)
Inti makna dari ayat di atas
adalah pengorbanan. Itulah jihad akbar, seperti yang dimaksud
oleh nabi Muhammad rasulullah SAW. Kepekaan hati-nya lah yang menentukan kapan
saatnya berkorban (ber-qurban), yaitu saat Allah meminta-nya.
Dan Dia akan memberitahukan
kepada hati yang peka, yaitu hati yang telah ridha dan ikhlas berserah diri
(islam) kepada-Nya. Jika Dia telah meminta, maka menjadi wajib-lah
hukumnya bagi orang itu untuk melaksanakannya. Tak ada kewajiban bagi mereka
yang tidak peka hatinya, namun kebaikan-Nya takkan datang sebagai balasan bagi
mereka. Dan mereka termasuk orang-orang yang merugi.
Adalah
pengorbanan, sebagai kebajikan yang besar dan sempurna bagi Allah, adalah saat
Dia meminta apa-apa yang sangat dicintainya. Seperti Ibrahim AS ketika diminta
mengorbankan anak satu-satunya yang baru saja diterima dari Allah sebagai
anugerah yang telah ditunggu-tunggunya sejak lama hingga masa tuanya. Lihatlah
dan renungkanlah, bagaimana kepekaan hatinya dalam ikhlas berserah diri
(islam), ketika menerima mimpi tersebut sebagai kewajiban kepada
Tuhannya.
“.... sesungguhnya
kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan
kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS 37:102-105)
Dan apa-apa yang diusahakan
kemanusiaan mencari dan untuk didapatkan dengan jerih payah sebagai tujuan
dalam hidupnya, ternyata adalah sesuatu yang justru harus dikorbankannya.
Sebagai yang tidak melebihi kecintaan-nya terhadap Tuhannya. Sedang
Tuhannya Yang Maha Kaya tak membutuhkan semua itu dari makhluk-Nya, yang justru
membutuhkan adalah sesamanya, yang sama-sama berjuang seperti dirinya untuk
mendapatkan semua itu. Pada saat itulah hati yang peka menggerakkan jiwanya
untuk bertindak atas nama Tuhannya mau berbagi rahmat-Nya yang telah
dikaruniakan kepadanya.
Tetapi diantara mereka ada yang beruntung dan ada
kebanyakan yang tidak beruntung. Maka Tuhannya lebih terasa ada pada
mereka, yang sedang berdo’a mengharapkan rahmat-Nya turun untuk menghilangkan
kesempitan dan kesulitan yang sedang mendera mereka. Sungguh pada hati yang
peka yang dapat melihat penderitaan mereka, dan tergerak mewujudkan rahmat
Tuhannya datang kepada mereka, sebagai pengembalian yang baik kepada-Nya.
“Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih
kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik”. (QS 9:24)
Begitu pula, Tuhannya
menghendaki agar makhluk-Nya dapat saling berbagi rahmat-Nya kepada sesama,
yaitu sebagai wakil-Nya di muka bumi. Maka dengan melalui jalan zakat, infaq
dan sedekah adalah selain dapat mensucikan jiwa, juga sebagai penolongnya kelak
di kemudian hari.
Karena,
harta sesungguhnya adalah energi atau kekuatan yang tersimpan
dalam bentuk benda, dan segala sesuatu yang dinafkahkan di jalan Allah adalah
tidak musnah, dan tak terbuang dengan percuma, ataupun sebagai yang akan habis
tak bersisa. Melainkan berubah bentuk menjadi energi-energi lain yang
suatu saat akan kembali kepada pemilik asalnya, sebagai rizki balasan dari
Tuhannya.
“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir ada
seratus butir biji. Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS 2:261)
Bagaimana reaksi mereka yang
merasa terbantukan atau tertolong tentu telah biasa kita dengar? Tentu, mereka
mengucapkan do’a agar Tuhannya memberikan balasan rizki yang berlipat ganda
kepada yang telah membantunya. Jangan sepelekan sebuah do’a, dia adalah ruh-ruh
yang terus bergerak yang kelak akan mewujud sebagai yang nyata. Itulah energi
kekuatan atau ruh dari apa-apa yang dinafkahkan secara ikhlas di jalan Allah.
Apa-apa yang ditanam kemudian disertai doa yang tulus kepada Tuhannya.
Begitu pun sebaliknya, harta
benda yang didapat dan dinafkahkan pada jalan kesesatan, maka ruh yang
menyertainya adalah ruh atau kekuatan iblis yang pasti
menyesatkan. Dan sebagai yang kekal terus bergerak di alam dengan segala
akibatnya, dan merupakan jejak-jejak sebagai catatan amal perbuatan
pelakunya. Begitulah ketetapan Dia sebagai Yang Maha Mengetahui segala sesuatu,
sekecil apapun itu, karena segala sesuatu memiliki energi (ruh)-nya.
Sengaja mengosongkan perut-nya,
berpuasa, adalah salah satu cara mengasah kepekaan hatinya dalam melihat
tanda-tanda kekuasaan Tuhannya. Juga dapat melemahkan hawa nafsu dan pengakuan
(ego)-nya agar tunduk patuh, dan tidak terus menerus sebagai yang menghasut
jiwanya kepada kesesatan. Amal perbuatan yang terus bergerak dari hari ke hari
tak pernah lepas dari hasutan pengakuan (ego) dan hawa nafsun-nya, maka dengan
banyak berpuasa-lah sebagai yang melindungi jiwa dari hasutan-hasutannya yang
tak pernah berhenti hendak menjerumuskan.
Jasad ini adalah harta tak
ternilai yang dianugerahkan Allah kepada kemanusiaan, akan tetapi menuruti kehendak
jasad pun adalah dapat menyesatkan jiwa-nya. Kecintaan terhadap jasad janganlah
melebihi kecintaan kepada Tuhannya. Tak akan ada habisnya jasad ini meminta
untuk dipenuhi segala keinginannya. Telah berapa ratus karung beras habis dan
masuk ke dalam perutnya selama ini?
Betapa banyak penyakit yang
diakibatkan menuruti keinginan perut, dan ketika mengadukan kepada
dokter atau tabib, diberikanlah pantangan-pantangan makanan yang tak
boleh dilanggarnya. Maka menjadi haram-lah nikmat-nikmat Allah tersebut
kepadanya. Jika kepada dokter atau tabib dia mau tunduk, maka sesatlah dia
sebagai musyrik bila masih pula tak menyadari kebenaran Tuhannya. Kepada dokter
atau tabib itu, dia mengeluarkan uang untuk mendapatkan pantangan-pantangan.
Tetapi Allah-lah yang memberikan segala rizki, bahkan yang tak pernah
dimintanya sekalipun, malah tak diyakininya segala kebenaran perintah dan
larangan-Nya, yang justru adalah menghendaki agar dirinya selalu dalam
keselamatan.
Menuruti keinginan perut
adalah termasuk yang menuruti keinginan hawa nafsu atau pengakuan
(ego), yang sebenarnya juga menyebabkan para aparat (malaikat)-Nya yang
semula patuh dan tunduk kepada tugas-tugas membantu kemudahan kehidupan
kemanusiaan, berubah menjadi malaikat pembangkang (iblis) yang justru
merugikan kehidupan kemanusiaannya sendiri. Maka penyakit yang datang
kepadanya adalah karena ulahnya sendiri yang menuruti hawa nafsu dan pengakuan
(ego)-nya.
“Dan aku
tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS 12:53)
Begitulah
terjadinya kerusakan pada apa-apa yang telah ditetapkan Tuhannya akibat
menuruti hawa nafsu ataupun pengakuan (ego)-nya. Semakin dalam
penyesatannya, bukan tak mungkin dapat merugikan orang lain pula, maka
akibatnya, jiwa pun semakin besar pula menanggung balasannya kelak.
Sebenarnya,
segala hawa nafsu itu adalah satu, namun ketika muncul, menjadi beragam dan
berkembang. Seperti saat berpuasa dan sambil menunggu berbuka, maka timbullah
ingin tersedianya makanan yang digoreng, yang berkuah, ada minuman dingin, juga
buah-buahan. Semakin banyaklah yang ada di benaknya untuk persiapan berbukanya.
Namun perlu disadari, itulah hawa nafsu yang satu, yaitu lapar.
Seperti itulah hawa nafsu dan pengakuan
(ego) menyesatkan setiap diri kemanusiaan. Cepat sekali, tak terasa
mengalir di dalam aliran darah, menggerakkan alam pikirnya, bahkan merangsang
getaran-getaran saraf kenikmatan, seolah semuanya telah tersaji dan terlihat
menggiurkan lengkap dengan bentuk dan warna yang menarik, yang semakin membuat
perutnya semakin keroncongan, ingin segera merasakannya.
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan
jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku
akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS 15:39)
Begitu mudahnya menganggap sesat
orang lain, sama mudahnya menganggap suci orang yang lain, dan begitu
pula sesungguhnya, betapa mudahnya diri kita tersesat oleh pemahaman
kita sendiri akibat hati yang buta.
Ruh-nya Cinta
Pada mulanya ada perasaan yang
timbul antara kebingungan dan kekaguman, tentang kepuasan yang mereka dapatkan,
yaitu para pencari ataupun para pecinta. Begitulah sebutan kepada mereka yang
selalu tak pernah lepas dari mendekatkan diri pada Tuhannya.
Kehidupan yang dijalaninya terasa damai,
tentram dan tak pernah sekalipun terlihat bersinggungan dengan masalah yang,
sekali saja, pernah merepotkannya. Juga, tak pernah terdengar keluahan keluar
dari bibirnya. Bahkan mereka tidak susah payah bekerja untuk mencari nafkah
sampai mengeluarkan keringat, seperti pada umumnya kebanyakan orang.
Sepertinya, mereka telah merasa cukup dengan apa yang sekarang ada padanya.
Rahasia apa sesungguhnya yang tersembunyi dibalik
kehidupannya tersebut? Sungguh tak menarik minat perhatian, seandainya saja
banyak pula orang-orang sepertinya. Tetapi ini, mereka yang seperti ini, adalah
satu diantara seribu orang.
“Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih
kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik”. (QS 9:24)
Renungkanlah, Dia dengan
firman-Nya tersebut diatas, seperti seorang bapak yang sangat menyayangi
anaknya dengan mengatakan; jangan bermain api, kalau tidak menurut akan
dijewer. Sungguh Dia pun amat menyayangi makhluk-makhluknya, cuma, hanya
karena keterbatasan pada diri kemanusiaan dalam memahami, maka timbullah kesan
Allah adalah pembalas, pencemburu dan pendendam dengan azab-Nya.
Padahal, justru karena rasa kasih-Nya yang teramat dalam kepada kemanusiaan,
maka firman-Nya tersebut sebagai pengingat akan bahayanya mencintai yang
berlebihan terhadap segala sesuatu, kecuali dengan tulus ikhlas hanya berharap
kepada-Nya.
Jika kedekatan rasa dengan
selain Tuhan, adalah penghianatan, maka bagaimana kita bisa mencintai
pasangan kita, orangtua, anak, saudara, atau bahkan sesama? Maka, cintailah
segala sesuatu secara ikhlas dengan atas nama-Nya sebagai anugerah
dari-Nya, dan jangan berlebihan dalam mencintai. Karena segala sesuatu,
selain-Nya, adalah bersifat sementara dan tidak kekal, akan hilang dan akan
pergi meninggalkannya. Ikhlas-nya adalah tanpa mengharap balasan, layaknya
seperti mengharap upah. Maka, cukuplah berserah diri (islam) kepada-Nya,
karena segala kebaikan yang ditanam tentu akan berbuah kebaikan pula.
Cinta-lah yang membuat segala
sesuatu yang lemah menjadi kuat, dan dengan gagah berani mempertahankan
keberadaan atau eksistensinya, bahkan menjadi sebab lahirnya
keberadaan-keberadaan baru yang lebih sempurna sebagai penerus kehidupan. Dan
bersama cinta, maka segala sesuatu menjadi kelihatan dan terasa indah
mengagumkan. Sebab cinta adalah ruh-nya keyakinan (iman). Tapi
ketahuilah juga, cinta pun memiliki ruh-nya, yaitu ikhlas. Lihatlah para
pahlawan, para martir, serta para syuhada dan para nabi yang telah pergi
menghilang tetapi jejaknya tertinggal abadi, tak pernah terhapus oleh
masa dan lupa.
Dan lihatlah pula, mereka, para
pecinta ketika bekerja dan menghasilkan karya yang sempurna dan
mengagumkan. Maka bagaimana keadaan mereka si putus asa?
Dan berhati-hatilah juga
terhadap cinta palsu, karena tidak jarang pula yang tergelincir oleh
hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya sendiri, yang datang memakai topeng
cinta kemudian membisikkan kesesatan yang dibungkus kemuliaan dan keindahan.
Dia menawarkan jalan singkat yang bengkok dengan merayu dan merangsang
hati kepada angan palsu. Bila saja keikhlasan yang sedari awal mengikutinya,
ditinggalkan, maka menjadi tergelincirlah ia kepada kesesatan. Inilah antara
pemahaman dan angan yang dibatasi hijab yang teramat tipis, sehingga mudah
sekali tergelincir menembus masuk ke sisi yang sesat, bila tak lagi
bersama ruh keikhlasan-nya.
Ruh keikhlasan
tersebut-lah sebagai energi-energi atau para aparat (malaikat)-Nya yang tunduk
patuh, sebenarnya yang membantunya tetap dalam jalan lurus-Nya yang
membawa-nya sampai kepada tujuannya dengan selamat. Bila keikhlasan
ditinggalkannya, dan lebih mengharap balasan atau upah, maka ruh-nya
ini, akan berubah pula fungsinya menjadi malaikat pembangkang (iblis)
yang semakin menghasut kepada hasrat-hasrat yang menjerumuskan ke dalam
kesesatan yang jauh lebih dalam.
Dengan begitu, Allah tak
melarang mencintai apapun yang ada dan telah dikaruniakan sebagai rahmat
dari-Nya, namun, asalkan tidak berlebihan dalam mencintainya. Segala sesuatu
yang berlebihan akan menyebabkan ketidak seimbangan dari yang
telah diciptakan-Nya, yaitu ketetapan-Nya atau sunathullah. Dan akan merusak
tatanan universal-Nya pada segala sesuatu makhluk Allah, bukan hanya dirinya
sendiri yang akan mengalami kerugian.
Itulah fungsi akal dan
kesadaran, sebagai yang dapat membedakan kebenaran dengan kepalsuan. Karena apa
yang dilihat nyata, belumlah tentu nyata sebagai realitanya, seperti
fatamorgana. Tetapi yang nyata sebagai realita, sudah pasti ada di dalam
yang bathin. Sebab, yang bathin itulah isi (intisari) dari yang terlihat
nyata. Inilah yang disebut hakikat.
“yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat
kuat, yang mempunyai akal yang cerdas,.....” (QS 53:5-6)
Sehingga, siapapun yang
meremehkan dan meninggalkan akal kesadaran-nya, sesungguhnya mereka
melepaskan ikatan-ikatan pengaruh malaikat Jibril dari dirinya, bila seperti itu, maka bersiaplah tersesat karena
kebodohan. Karena Jibril-lah sesungguhnya sebagai energi atau kekuatan yang
membawa petunjuk dari Tuhannya bagi kemudahan kehidupan kemanusiaan jauh lebih
baik lagi dari sebelumnya.
Ruh-nya Khayal (Imajinasi)
Di dalam perkembangannya pula, akal dan kesadaran ini memiliki kekuatan
kreasi imajinasi pikiran, sehingga keyakinan (iman)-nya dapat menjadi indah
atau sebagai yang
malah menakutkannya. Seperti imajinasi tentang surga dan neraka sebagai
gambaran-gambaran visual di dalam benaknya, tetapi itu masih dalam tahap
pertengahan perjalanannya. Dan karena imajinasi sebagai yang terus berkembang,
dan hidup dengan ruh-nya pula, maka akan banyak pula petunjuk-petunjuk
yang hadir, yang mengarahkan jiwanya lebih mendekati kepada kebenaran sejati.
Sehingga yang sebelumnya hanya sekedar keyakinan belaka, kini telah dekat mencapai
pintu hakikat kebenaran.
Imajinasi, atau alam khayal,
dapat timbul karena adanya usaha memahami keyakinan (iman) menggunakan akal
pikiran dan kesadaran-nya. Sehingga, sebenarnya jiwa-nya telah memancarkan
(mengeluarkan) energi-nya. Dan sungguh, tak ada energi yang musnah atau
sia-sia, melainkan berubah bentuk wujud atau hingga akhirnya sebagai yang
memiliki jasad materinya, tetapi tetap memiliki ruh sebagai energi
bawaan asalnya. Kelak, energi-energi tersebutlah sebagai ruh-ruh
yang mewujudkan secara nyata dalam bentuk materi, persis seperti gambaran
imajinasinya semula sewaktu masih dalam alam khayalnya.
Adakah sesuatu yang terwujud
tanpa kehendak? Dan sungguh kehendak amat dipengaruhi oleh akal pikir
dan kesadaran, serta imajinasinya. Bila bukan dirinya yang mewujudkan, bisa
saja energi ruh yang telah terpancar tersebut akhirnya hinggap kepada mereka
yang dapat mewujudkannya secara nyata atau fisikal, setelah ada transfer
energi atau transfer kekuatan pengetahuan dan pemahaman-nya. Ada pula yang
memakai istilah, seperti mencuri ide atau mencuri pikiran.
Bagaimana mungkin seseorang
bingung dengan lalat dan unta, bagaimana ia dijadikan, sementara
semesta alam pun telah ada di dalam dadanya. Maka barangsiapa yang pandangannya
terbatas dan berhenti kepada hanya mengagumi keindahan jasad atau bentuk,
sesunguhnya akal dan kesadaran-nya telah mati. Dan hatinya telah beku, tak
dapat jauh masuk kepada yang bathin, dimana hakikat tersembunyi bersama
rahasia segala sesuatu. Justru pada hakikat tersebutlah jiwa telah berada di halaman
arsy-Nya.
Diri kemanusian yang penuh
cinta, sungguh hatinya kaya akan imajinasi yang menakjubkan. Bathinnya pun kuat
bersama keyakinan (iman)-nya bersama keikhlasan akal dan kesadaran-nya. Setiap
pikirannya telah memiliki gambaran sebagai petunjuk yang menjelaskan dari
Tuhannya. Dia memahami seperti seorang arsitek memahami dari
gambar-gambar rancangannya.
Begitulah pentingnya fungsi
akal dan kesadaran, dimana Allah menyempurnakan kemanusiaan dengan-nya, sebagai
fitrah atas segala kehendak-Nya. Dan khayal atau imajinasi adalah bunga-bunga
dengan aneka warna yang indah di dalam akal kesadarannya. Bila tanpanya, kering
dan membosankan, serta takkan ada tercipta keindahan yang sempurna dari makhluk
ciptaan-Nya.
Akal dan kesadaran adalah bagai
sepasang sepatu yang mengantarkan setiap jiwa menuju sampai ke pintu-Nya,
maka kemudian setelah menanggalkannya, baru dapat masuk menemui-Nya. Malaikat
Jibril (ruhul qudus) tak dapat terus masuk mengantar nabi Muhammad SAW saat mi’raj
di Sidratul Muntaha, “cukup sampai di sini, aku tak dapat
masuk lagi, teruslah masuk menemui-Nya.”
“yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat
kuat, yang mempunyai akal yang cerdas ,.....” (QS 53:5-6)
Kekuatan
akal dan kesadaran tak sanggup (tak berguna) lagi, karena yang bisa menemui-Nya
hanyalah keberserahan diri yang tunggal murni tanpa membawa embel-embel
apapun untuk menghadap Allah Yang Maha Tunggal. Dia, Sang Realitas Sejati.
Bab XXVI
HIDUP bersama ALLAH
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh
menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS 84:6)
S
|
etiap diri kemanusiaan, sebenarnya tidak pernah
lepas dari kuasa dan rahmat Tuhannya, karena Dia Maha Meliputi segala
sesuatu, baik secara lahir maupun bathin-nya. Secara umum
kebanyakan menyadarinya, namun ada beberapa perbedaan pandangan di dalam
memahaminya. Diantaranya ada paham yang menganggap satu kesatuan wujud makhluk
dengan Tuhan, dan ada pula yang menganggap keterpisahan wujud makhluk dengan
Tuhan. Selain dari kedua paham tersebut di atas, sebagian besarnya, adalah tak
perduli dan merasa awam dari pemahaman-pemahaman tentang Tuhannya. Akan tetapi,
mereka pun lebih menyukai keterpisahan wujud makhluk dengan Tuhannya, karena
merasa takut berlebihan dalam memahami dan tak mau terjebak kedalam kesesatan.
Tidak ada yang salah pada
ketiganya, semua memiliki tahapan proses menuju kesempurnaan mengenal Tuhannya,
betapapun panjang waktunya. Ada tahapan-tahapan yang memang harus dilalui satu
per satu dalam kehidupan ini, termasuk dengan pemahaman, dan tidak dapat
dipaksakan. Disitulah fungsi akal dan kesadaran-nya. Jika Allah menghendaki,
tentu telah dijadikannya kemanusiaan menjadi umat yang satu. Jelas tidak repot
harus mengalami setiap perkembangan hidupnya, bahkan baik buruk-nya pengalaman
dalam perjalanan ruhani (kejiwaan) setiap makhluk-Nya. Dan Dia lebih
mengetahui yang terbaik bagi makhluk-Nya.
Perjalanan ruhani setiap
kemanusiaan yang panjang melewati segala macam pengalaman baik dan buruk-nya,
sesunggunhnya adalah yang membuat akal dan kesadaran jiwanya lebih matang
kepada kesempurnannya, yaitu jiwa yang kembali suci murni sesuai fitrah
kemanusiaannya, ikhlas hanya kepada Tuhannya. Itulah perjalanan mencapai tujuan
akhir dalam sejarah panjang kehidupan jiwa. Sekalipun kekotoran jiwa yang
tak kunjung bersih, dan harus beberapa kali malalui siklus proses hidup dan
mati, serta dibangkitkan secara berulang-ulang sebagai yang mengalami surga dan
neraka-nya, itu demi membersihkannya, agar dapat kembali pulang
kepada-Nya.
Karena Adam telah diajari
seluruh nama-nama oleh Allah, maka sesesungguhnya begitupun pada setiap
diri kemanusiaan sebagai yang telah ditanamkan kitab yang nyata (kitab
mubiyn) di dalam dada-nya, yaitu seluruh pemahaman melalui akal dan
kesadarannya. Lebih menghidupkan Jibril-nya, ruh pengetahuan-nya, maka
segala energi atau kekuatan (para malaikat Allah) akan tunduk
patuh sebagai yang bersujud kepadanya.
“Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (pengetahuan) seluruhnya, kemudian mengemukakan
kepada para malaikat lalu berfirman ; sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang
orang-orang yang benar!” (QS 2:31)
“Mereka
menjawab ; Maha Suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
ajarkan
kepada kami,
sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS 2:32)
“Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam. Maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS 2:34)
“...... pasti aku (iblis) akan
menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.” (QS 38:82-83)
Jiwa
kemanusiaan yang hidup bersama Tuhannya, dan memang begitulah sesungguhnya
jiwa-jiwa takkan pernah dapat memisahkan dirinya dari segala kuasa Tuhannya,
yaitu selalu bersama para malaikat-Nya, rasul-Nya, kitab-Nya, mengalami hari
kemudian-Nya, dan menerima kadar baik dan buruk-Nya sebagai rahmat
tunggal-Nya. Tetapi, hal ini hanya kepada mereka yang menyadari (ingat)
hal-hal tersebut diataslah yang dapat merasakan keberadaan Allah sebagai
Tuhannya, yang selalu meliputi dirinya dengan segala kuasa rahmat
pemeliharaan-Nya. Tidak sedikitpun diri atau jiwa-nya berkuasa atas apa-apa
yang terjadi atau menimpa diri-nya, sekalipun dalam setiap tarikan nafas-Nya,
maka apalagi hidup dan kehidupannya.
Apakah jiwa
atau diri-nya yang menciptakan hidung, kerongkongan dan paru-parunya hingga
dapat menarik nafas dan mengambil nafas? Bahkan memintanya pun, tidak. Udara
bersih dan oksigennya saja telah berlimpah disediakan-Nya. Dan bagaimana dengan
rizki-rizki lain-Nya?! Sungguh, diri kemanusiaan hanyalah menerima dan
merasakan nikmat-Nya saja. Dan bila mengklasifikasikan setiap nikmat-Nya
kedalam penilaian nikmat kebaikan ataupun nikmat keburukan yang diterimanya,
itupun hanya sekedar persepsi persangkaan keterbatasan akal dan
kesadarannya belaka, yang sesungguhnya masih dalam tahap berkembang menuju
kesempurnaan jiwa kemanusiaannya. Karena jiwanya yang masih terpengaruh oleh
hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya, yang
kelak sebagai yang akan disesalinya sendiri. Tetapi, begitulah perjalanan
kehidupan jiwa kemanusiaan yang menuju kesempurnaan-Nya dengan mengalami banyak
hal dan rintangan sebagai proses pembersihan atau penyucian jiwanya agar dapat
kembali pulang kepada Dia Yang Maha Tunggal, sumber dan tujuan segala sesuatu
berasal dan bertujuan.
Dan tahap
perjalanan tertinggi jiwa kemanusiaan di dunia adalah bertemu Tuhannya
seperti nabi-nabi. Nabi Muhammad SAW menemui-Nya, dengan mi’raj, maka sang
akal kesadaran (Jibril – ruhul qudus)-nya pun harus ditanggalkan di
ambang pintu Sidratul Muntaha (langit ke-tujuh). Jika tidak, dan
memaksakan ikut masuk bersama jiwa nabi Muhammad SAW, maka akan terbakar
dilebur menjadi satu dengan jiwa beliau yang juga telah suci murni
sebagi yang tunggal dalam keikhlasan kepada Tuhannya Yang Maha Tunggal. Tiada
sesuatu pun yang dapat menemui-Nya bila masih membawa-bawa sesuatu sekecil
apapun itu, termasuk keinginan, selain hanya jiwa tunggal yang murni ikhlas.
“Hai
jama’ah jin dan manusia, jika kemu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak
dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.” (QS 55:33)
Bagi mata
lahir, takkan terlihat lapis-lapis langit yang tujuh. Dan bagi akal pengetahuan
tentu dengan susah payah untuk dapat menembusnya satu lapis saja, kecuali
dengan kekuatan-Nya. Akan tetapi, dengan hati yang bersih muni dan ikhlas,
ketujuh lapisan langit tersebut pasti dapat ditembusnya seiring dengan
pensucian jiwa-nya.
“Hai
manusia,
sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu
akan menemui-Nya.” (QS 84:6)
Terbukanya
hijab-hijab selaput ketujuh lapisan langit adalah hakikat perjalanan
kehidupan jiwa itu sendiri di ke-tujuh alam yang berlapis-lapis tersebut,
yang tak terlihat oleh mata lahir dan terlupakan (dari memori ingatannya akan
perjalanan-perjalanan sebelumnya), dan yang sebenarnya pun berada di alam dunia
ini pula. Dialah Allah penguasa ke-tujuh alam tersebut.
Hijab-hijab yang menyelimuti
hati
Alhamdulillahi rabbul ‘aalamiiyn - Allaahu
malikiyawmid-diiyn
“Allah Tuhan
seluruh alam - Yang menguasai hari-hari agama.”
(QS
1:2 - 4)
Alam Energi
(Ruh)
Sebenarnya tentang alam ini
telah sempat diulas di Bagian 1 Keimanan Para Malaikat dan di Bagian 4 Lahir
& Bathin, yaitu energi bawaan (yang membawa qudrat dan iradat-Nya)
dari pancaran Cahaya Allah (Nur-Nya) saat penciptaan awal. Secara umum
dikalangan para ulama, energi ini dikenal dengan Nur Muhammad, yaitu
energi dasar penciptaan segala sesuatu. Dalam bahasa ilmiah, ruang semesta alam
ini, pada awal penciptaannya, dipenuhi partikel-partikel cahaya (dari pancaran
cahaya-Nya) sebagai cikal-bakal segala sesuatu yang mengisi alam semesta, yaitu
langit dan bumi dan segala isinya. Energi tersebutlah yang dimaksud firman-Nya,
sebagai makhluk-makhluk atau jiwa-jiwa yang merupakan sesuatu yang belum bisa disebut.
“Bukankah
telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia
ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS 76:1)
Energi ini
terus berkembang, menjalani kehidupan-nya, dan dengan kecenderungannya
untuk selalu berinteraksi membentuk koloni dengan partikel-partikel energi
lainnya hingga memiliki bentuk wujud atau jasad-nya sebagai materi penyusun
unsur, atau yang lebih sedikit rumit lagi yaitu senyawa (kimia).
Dan pada tahap ini, sekalipun
telah memiliki bungkus atau jasad-nya, masih sebagai yang belum dapat disebut
manusia. Tetapi tetap memiliki ruh-nya (malaikat) sebagai energi
bawaan yang membawa qudrat dan iradat-Nya, yaitu yang membawa
kuasa dan kehendak-Nya untuk mewujudkan segala sesuatu
yang telah menjadi ketetapan Allah SWT.
“...... dan
malaikat dalam naungan awan.........” (QS 2:210)
“Dia-lah
yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului
kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami
turunkan hujan di daerah
yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah
Kami membangkitkan orang yang telah mati,
mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)
“Dan
Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, buatlah sarang-sarang di
gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia, kemudian makanlah dari tiap-tiap
buah dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut
lebah tiu, keluar
minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, didalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi
orang-orang yang berpikir.” (QS 16:68-69)
“.... dan
(malaikat) yang mengatur urusan.” (QS 79:5)
“Para
malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari
yang setara dengan lima puluh ribu tahun.” (QS 70:4)
Pada bab awal tentang keimanan
kepada para malaikat, telah diuraikan secara singkat, tentang bagaimana yang
dengan pancaran cahaya-Nya, Allah memulai penciptaan segala sesuatu. Dan
sebagaimana telah diketahui secara luas, bahwa para malaikat yang merupakan
aparat-aparat Allah diciptakan dari cahaya-Nya sebagai awal mula dan sebagai
unsur dasar penciptaan segala sesuatu, adalah juga merupakan energi dasar
setiap materi seperti yang telah diuraikan di atas.
“Segala
puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang
menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai ‘sayap’,
masing-masing dua, tiga dan empat. Allah menmbahkan pada
ciptaan-Nya
apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS 35:1)
Energi-energi
tersebut, yang disebut pula malaikat Allah, adalah yang membawa kekuatan (qudrat
dan iradat) -Nya dalam setiap kuasa dan kehendaknya dalam setiap
penciptaan segala sesuatu di seluruh hingga pelosok semesta alam raya ini.
Kekuatan atau energi ini sebagai yang dilambangkan dengan ‘sayap’
seperti pada penafsiran ayat di atas.
Kata ‘janah’ yang diterjemahkan sebagai sayap, sebenarnya bermakna tingkatan.
Sehingga pengertiannya agar mudah dipahami adalah kekuatan yang
bertingkat-tingkat pada kemalaikatan. Sayap atau kekuatan-nya
tersebut berbeda-beda, ada yang memiliki dua, tiga, atau empat kali lipat
kekuatan dibanding yang lainnya.
Dan
itulah mengapa pada kehidupannya, kemanusiaan pun tetap dipengaruhi oleh para
malaikat Allah, sebagai pembawa qudrat dan iradat-Nya sehingga
tiada sesuatu pun termasuk jiwa yang dapat lepas dari kuasa dan kehendak-Nya
Yang Maha Meliputi segala sesuatu. Karena kemanusiaan amat bergantung kepada energi
sebagai daya penggerak kehidupannya.
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah......” (QS 13:11)
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya
(memohonkan) supaya Dia mengeluarkanmu dari kegelapan kepada cahaya. Dan adalah Dia
Maha Penyayang kepada orang-orang beriman.” (QS 33:43)
Alam Rahim
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh).” (QS 23:12-13)
Alam ini
adalah alam kasih sayang tempat atau pabrik pembentukan dan
penyempurnaan menjadi wujud sempurna (ilmiahnya, reproduksi manusia).
Dimana bahan baku dari intisari unsur-unsur tanah, air, api, udara dan cahaya
dari alam energi sebelumnya yang telah diolah menjadi sperma dan sel
telur kemudian dipertemukan ditempat ini melalui rasa kasih sayang yang berpadu.
Tidakkah mereka, atau sebagai yang belum dapat disebut itu
masing-masing membawa energi bawaan-nya, yaitu qudrat dan iradat-Nya? Itulah
makanya tempat ini disebut rahim.
“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (durhaka)
terhadap Tuhan-mu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu
menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)-mu
seimbang, dalam
bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” (QS 82:6-8)
Dengan ditemukannya mikroskop
elektron, maka pemahaman tentang wujud sperma dengan jumlah selnya yang
mencapai milyaran dan mekanisme pergerakannya menjadi terungkap dan lebih
kompleks lagi sebagai tambahan bagi ilmu kedokteran modern. Maka mani
sebagai air yang terpancar (sperma), tidak hanya sekedar cairan biasa
yang bukan apa-apa, melainkan tingkatan makhluk hidup sebagai cikal
bakal kemanusiaan.
“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal sesungguhnya Dia telah menciptakan
kamu dalam beberapa tingkatan kejadian.” (QS 71:13-14)
Sperma atau mani milik
laki-laki dan sel telur milik wanita yang masing-masing tersimpan di tempatnya,
adalah hasil dari saripati di dalam tanah yang dikonsumsi oleh tumbuhan dan
hewan yang juga dikonsumsi kemanusiaan. Dan tidak hanya itu, kemanusiaan dalam
kehidupannya, juga mengkonsumsi air sebagai minuman, udara untuk pernafasan,
dan terutama juga cahaya matahari bagi keseimbangan menyeluruh kehidupannya.
Dan metabolisme di dalam tubuhnya membuat persenyawaan kimia dari
saripati-saripati tersebut terkumpul dan dimanfaatkan sebagian untuk energi
hidupnya, dan yang sebagian lagi untuk memproduksi sperma atau sel telur secara
terus menerus tiada pernah berhenti seiring waktu melemahnya semua organ tubuh
kemanusiaan yang semakin menua.
Sperma tersebut tersimpan
sementara di dalam tempat testis yang memproduksi cairan bagi media sel
sperma yang memudahkan pergerakan ketika keluar, kemudian dengan saluran keluar
yang bermuara ke saluran tempat keluarnya air kencing. Ada beberapa kelenjar
tambahan yang bertebaran di sepanjang saluran tersebut, seperti zat pelumas
yang sebagai memperlancar alirannya ketika keluar, dan prostat yang
memberi sifat krim (pengental) dan yang memiliki bau khas pada sperma,
serta kelenjar cooper atau merry yang sebagai cairan pelekat juga
lettre sebagai cairan lendir.
Sel telur tersimpan di dalam
tempat tertentu di dalam rahim, dan setelah dibuahi bergerak turun pada batas
tertentu dan menetap di sana dengan berpegangan dengan selaput lendir dan
lengan otot setelah tersusunnya plasenta. Pada kasus lain, jika sel telur yang
telah dibuahi sperma itu menetap di saluran fallopian dan tidak di uterus
(rahim), maka kehamilan menjadi akan terganggu. Bila telah ada sel telur yang
terbuahi, maka sistem produksi sel telur akan berhenti selama proses kehamilan.
Dan pada sel-sel telur yang tidak dibuahi akan terbuang menjadi darah kotor
dalam menstruasi atau haid
yang rutin setiap bulannya.
Mekanisme pembuahan
(reproduksi) dimulai dari mani atau sperma (milik laki-laki) yang terpancar
yang di dalamnya mengandung milyaran sel sperma, dan bergerak di dalam rahim
mencari dan berusaha menembus sel telur (milik wanita) yang jumlahnya hanya
beberapa saja tidak mencapai lebih dari puluhan. Yang diperlukan untuk
pembuahan sel telur tersebut hanya satu sel sperma saja, sehingga terjadi
persaingan yang amat ketat diantara milyaran sel tersebut. Sehingga hanya sel
sperma yang memiliki tingkat kekuatan dan kecepatan bergerak sajalah yang
berhasil menembus masuk kedalam sel telur untuk sebuah pembuahan.
Dan ditemukannya alat USG dalam
dunia kedokteran semakin lagi memperjelas bagaimana tingkatan perkembangan
(tingkatan kejadian) janin di dalam rahim tahap demi tahap seperti yang
dijelaskan di dalam Al Qur’an, menjadi
yang dapat dipantau langsung di dalam monitor alat tersebut, dan sebelumnya
pengetahuan tersebut adalah merupakan hal yang ghaib.
“Kemudian
air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat (segumpal
darah), lalu
sesuatu yang melekat itu Kami jadikan
segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami
jadikan dia makhluk yang (yang berbentuk) lain, Maka Maha Suci-lah Allah, Pencipta
Yang Paling Baik.” (QS 23:14)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar .....” (QS 41:53)
Dalam
pengamatannya, maka diketahui pulalah perkembangan sesuatu yang melekat itu, adalah sel telur yang telah
dibuahi sperma sebagai yang tumbuh semakin membesar. Tumbuh pula diantaranya
jonjot (villi) sebagai yang menghisap zat-zat bagi pertumbuhannya dari dinding
rahim, seperti akar-akar tanaman yang masuk kedalam tanah. Sebab itulah Al
Qur’an menyebutkannya sebagai sesuatu yang melekat (dan penasirannya
bukanlah segumpal darah).
Di dalam rahim inilah
sebagai alam tempat tumbuhnya ia yang berawal dari satu sel
sperma dan satu sel telur menjadi multi sel yang semakin terus berkembang
hingga milyaran sel membentuk daging, tulang, dan otot-otot serta danging yang
membungkusnya. Sel-sel tersebut terus berkembang membentuk jaringan-jaringan
sel lainnya yang lebih kompleks dan rumit seperti kepala, badan, kaki dan
tangan. Juga membentuk organ-organ seperti jantung, hati, paru-paru, dan otak
serta sel-sel sarafnya. Kaluar masuknya zat-zat makanan dan kotoran hasil
buangannya melalui ari-ari sebagai tali pipa saluran yang menghubungkan dia
dengan ibunya.
“Kemudia
Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh-Nya dan Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali bersyukur” (QS 32:9)
“..... yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami
jelaskan kepadamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang
Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi ,....” (QS 22:5)
“.... dan
bahwasanya Allah membangkitkan semua orang dari dalam kubur.” (QS 22:7)
Maka dengan
penerangan mana lagikah yang dapat menjelaskan manusia tentang kebangkitannya
kelak? Bahwa ia akan mengalami kematian dan dikubur di dalam tanah, jiwa-nya dipegang
Allah, kemudian jasadnya terurai, sebagiannya melebur menjadi sari pati tanah,
dan sebagiannya lagi dimakan cacing dan makhluk-makhluk renik lainnya di dalam
tanah, makhluk-makhluk itupun mati terurai dan menjadi saripati tanah yang
menyuburkan tanaman. Cacing yang hidup diambil sebagai umpan ikan yang dimakan
manusia, dan tanaman menghasilkan buah dan yang sebagai sayur mayur sebagai
konsumsi manusia, dan saripati tanah lainnya dihisap rerumputan yang dikonsumsi
hewan ternak. Dan pada akhirnya semuanya sebagai yang dikonsumsi manusia pula.
Sungguh manusia adalah pemakan segala.
Apa-apa yang
dikonsumsi dan masuk ke tubuh manusia, yang kemudian metabolisme di dalam
tubuhnya, membuat persenyawaan kimia dari saripati-saripati tersebut terkumpul,
dan dimanfaatkan sebagian untuk energi hidupnya, dan yang sebagian lagi untuk
memproduksi sperma pada laki-laki, atau sel telur pada perempuan. Begitulah
kebangkitan pada manusia melalui ayah dan ibunya.
Alam Dunia
Jiwa pada
alam ini amat dipengaruhi materinya, yaitu keinginan dan kebutuhan lahir
yang kelihatan nyata dan memabukkan, juga amat bergantung pada akal dan
kesadaran sebagai penyelaras atau penyeimbang agar kekuatan hawa
nafsunya tersebut tak menjadikannya malah terperosok kepada kesesatan yang
merugikan dirinya sendiri.
Di alam dunia ini yang serba
materi, Allah membiarkan jiwa kemanusiaan memilih sendiri dengan menggunakan
akal dan kesadarannya diantara 2 jalan, yaitu jalan kefasikkan atau jalan
ketakwaan. Padahal hanya prasangka kemanusiaan saja kedua jalan itu menjadi
ada. Sesungguhnya yang Allah berikan hanya jalan tunggal untuk mencapai
keselamatan, tetapi jiwa di alam dunia ini menilainya sebagai yang berpasangan,
terbias lagi menjadi banyak hal, dan kesemuanya selalu dinilai berdasarkan baik-buruk
dan benar-salah. Segala sesuatu di alam ini, sesungguhnya adalah karena
anugerah rahmat tunggal-Nya, yaitu kebaikan, dan menjadi keburukan
bagi jiwa bila tak sesuai keinginan dan kebutuhannya. Begitulah, kuatnya
keinginan hawa nafsu yang mendorong segala kebutuhannya agar terpenuhi,
menjadikan segala sesuatu menjadi banyak dalam perbedaan dan berpasang-pasangan
sebagai kebaikan dan keburukan.
“Dan
(ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab, betul, kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak
mengatakan,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS 7:172)
Dengan demikian Allah
mengingatkan jiwa kemanusiaan kembali akan perjanjian atau persaksian-nya atas
segala hal yang dapat melalaikan fitrah-nya, suatu ketetapan
(sunathullah)-Nya, sampai pada hari Kiamat. Dan adalah hawa nafs
(jiwa atau ego)-nya yang dapat menjerumuskannya kepada kesesatan dari jalan
lurus Tuhannya.
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka
sujudlah mereka kecuali iblis, dia enggan dan takabur dan adalah dia termasuk
golongan orang-orang yang kafir.” (QS 2:34)
Pembangkangan
sebagian para malaikat yang menjadikannya disebut iblis karena menolak sujud
kepada kemanusiaan atas perintah Allah, adalah peran yang harus dimainkannya
sebagai tokoh antagonis yang terkutuk. Seperti pula ketika Musa memahami
peran Khidir yang rela sebagai perusak dan pembunuh (tetapi ada
pula perbuatan kebajikannya) dalam kisahnya di Al Qur’an, hanya saja, Khidir
sebagai yang terpuji dan sebagai contoh kecerdasan akal dan kesadaran bagi
Musa. Renungkanlah. Semua itu karena qudrat dan iradat-Nya yang harus dijalani
dalam kehidupannya sebagai yang memahami kehendak Allah SWT.
Sayangnya,
kebanyakan jiwa tak menyadari bahwa pembangkangan jiwanya sendirilah yang
menyebabkan sebagian para malaikat-Nya berubah menjadi iblis yang tak mau
tunduk patuh (sujud) membantu mempermudah kehidupan kemanusiaan dan malah makin
menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kesesatan.
Seperti yang
telah dibahas dan diulas sebelum-belumnya, rasa berserah diri (islam)
yang secara ikhlas total kepada dan karena Allah semata, lepas dari kebutuhan
dan keinginan hawa nafs (jiwa dan ego)-nya, adalah cara mendekatkan diri untuk
dapat hidup bersama Tuhannya. Begitulah wujud fitrah kemanusiaan sebagai wakil
(khalifah)-Nya di muka bumi yang menjadi rahmat di semesta alam bagi sesama
makhluk-Nya.
Sehinggga, sujud-nya
kemalaikatan (seperti dalam firmannya di dalam QS 2:34) dapat bermakna,
1.
Sebagai perintah atau penugasan
kepada para malaikat untuk membantu kehidupan kemanusiaan.
2.
Sebagai perintah atau penugasan
kepada kemanusiaan untuk menundukkan segala sesuatu di semesta alam, termasuk
yang ada pada dirinya sendiri, yang ternyata seluruhnya adalah para malaikat
Allah.
3. Sebagai
pengingat kepada kemanusiaan agar menjaga jiwanya selalu dalam keadaan
tunduk patuh atau ikhlas berserah diri pada jalan lurus-Nya, sehingga tidak
menyebabkan para malaikat-Nya berubah menjadi malaikat pembangkang (iblis) yang
tak mau tunduk patuh (sujud) untuk membantu mempermudah kehidupan kemanusiaan
yang pada akhirnya malah merugikan dirinya sendiri.
“Tidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah
menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang
(keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang
memberi penerangan.” (QS 31:20)
Hidup bersama-Nya adalah karena
Dia Yang Maha Pemurah, maka mewujudkan dirinya sebagai yang bersifat murah hati
kepada sesama. Karena Dia Yang Maha Kasih Sayang, maka mewujudkan dirinya
sebagai yang penuh rasa kasih sayang kepada sesama makhluk Allah. Karena Dia
Yang Maha Adil lagi Bijaksana, maka mewujudkan dirinya sebagai yang
mengutamakan keadilan dan kebijaksanaan. Begitulah sehing terwujudlah
sifat-sifat Allah di alam melalui kemanusiaan yang sebagai perwujudan-Nya dan
sesuai dengan ketetapan fitrah-Nya, yaitu wakil (khalifah)-Nya di muka bumi.
“Maka
hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan, sesuai fitrah
Allah disebabkan Dia
telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada
ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)
Di alam
dunia ini, jiwa kemanusiaan pun selalu disertai peran akal dan kesadaran-nya,
sama seperti selalu disertainya oleh hawa nafs (jiwa atau ego)-nya, namun
disitulah letak penyempurnaan jiwa untuk mencapai kebersihan dan kemurniaannya.
Dan adalah akal dan kesadaran-nya sebagai penyelaras dorongan hawa nafs-nya
yang selalu bergerak jauh lebih cepat mendahului akal dan kesadarannnya.
Akal dan kesadaran adalah
sebagai yang telah ditanamkan di dalam dada setiap kemanusiaan (kitab
mubiiyn), tetapi pemahaman hikmahnya menunggu dibukakan dadanya atau
diberikan petunjuk oleh-Nya. Hal ini baru akan terasa kebenarannya hanya bila
akal telah mengalami jalan buntu, kemudian datanglah petunjuk Allah sebagai
ilham atau ide yang dapat mengeluarkannya dari kebuntuan kesulitannya,
seakan-akan Allah telah memberikan kepadanya mu’jizat.
“Sebenarnya
Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada
orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali
orang-orang yang zhalim.” (QS 29:49)
“Allah
menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan
barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang besar. Dan hanya
orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS 2:269)
Begitulah
kemanusiaan dengan tingkat akal dan kesadarannya sebagai yang bertahap-tahap
mengalami perkembangannnya menuju kesempurnaan yang membawa jiwanya pula pada
kesempurnaan tertinggi, pada akhirnya.
Kita dapat
mengambil hikmah dalam kisah Musa yang mencari ilmu kepada Khidir (QS 18:60-82),
yaitu mereka sebagai kemanusiaan yang sama-sama telah diberi akal dan kesadaran
oleh Tuhannya, namun hanya kepada Khidir diberi petunjuk pengetahuan tentang
masa depan, dan diberikan hak atau perintah untuk mengambil tindakan, sekalipun
Musa adalah termasuk salah seorang manusia yang dimuliakan Allah.
Jika saja
pada umumnya di kehidupan ini, banyak manusia yang diciptakan Allah seperti
Khidir, maka tentu banyak menimbulkan kehebohan di kehidupan masyarakat yang
mengakibatkan pertentangan-pertentangan. Dan begitulah Allah berkehendak
menyempurnakan kehidupan kemanusiaan, sehingga memahami takdir-Nya
adalah sebagai pengganti Khidir demi jalannya penyempurnaan kehidupan
kemanusiaan agar sesuai ketetapan atas kehendak-Nya, sunathullah.
Maka
dengan demikian, Dia izinkan terjadinya kejahatan-kejahatan di muka bumi,
sekalipun tujuan utama-Nya adalah penyempurnaan jiwa-jiwa kemanusiaan, tetapi
melalui jiwa-jiwa tersesatlah Dia membalas kesesatan-kesesatan
sebelumnya. Dan bagi mereka yang menyadari kesalahan akan kejahatannya, tentu
akan mengambil pelajaran sebagai yang tak akan diulanginya lagi (QS
2:269).
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan
seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan
barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat
(balasan)-nya.” (QS 99:7-8)
Sesunggguhnya
Allah bukanlah sebagai pembalas, tetapi Dia telah menetapkan sistem
(sunathullah)-Nya yang amat sempurna, seperti bunyi firman-Nya pada ayat di
atas.
Akal dan
kesadaran diberikan Allah sebagai anugerah tertinggi bagi kemanusiaan
untuk memahami kebenaran hakikat keimanan atau keyakinan yang terlebih dahulu
datang melalui berita-berita yang disampaikan oleh nabi-nabi Allah dan melalui kitab
suci yang diwahyukan-Nya. Namun tidak sedikit, bahkan para ulama atau
pemuka agama, yang meragukan kemampuan akal. Bahkan disebutnya akal sebagai
yang menipu seperti tertipunya mata oleh fatamorgana. Padahal fatamorgana
tersebut mereka ketahui dan definisikan dengan menggunakan akal mereka.
Keterbatasan
akal adalah tidak mutlak terbatas, dan sebagai yang masih dalam
perkembangannya. Berhentinya perkembangan akal dan kesadaran pada diri
kemanusiaan sebagai yang terbatas adalah pada saat kematiannya. Dan
sesungguhnya, itupun masih berlanjut perkembangannya dimanfaatkan sebagai ilmu
dan pengetahuan menuju kesempurnaan oleh segenap kemanusiaan tanpa pernah
berhenti sebagai yang terbatas.
Sehingga,
seharusnya tidak ada alasan meragukannya, sedangkan mereka dapat meragukannya
pun dengan menggunakan akalnya. Asal saja mereka tak temasuk golongan yang
berputus asa atas rahmat Allah. Bagaimana mungkin mereka dapat menolak akal
dengan menggunakan argumen-argumen yang berdasarkan akalnya. Sungguh naif.
Mereka seperti orang yang sibuk menasehati banyak orang tentang akibat buruk
dan bahayanya perut kenyang, namun dimulutnya masih penuh makanan yang sedang
dikunyahnya.
Menyadari
pentingnya peranan akal, dapat pula menghindari kesesatan yang disebabkan
taqlid buta yang mengatakan, “Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya
dalam memahami nash-nash al Qur’an tentang peristiwa alam, sejarah kemanusiaan,
dan hal-hal ghaib, berarti menggunakan sesuatu yang terbatas terhadap
perbuatan-perbuatan Tuhan, Allah Yang Maha Mutlak lagi Tidak Terbatas.”
Sungguh lucu pernyataan
tersebut. Maka dengan apalagi kah, kemanusiaan berusaha dapat memahami firman
Allah yang memang ditujukan kepada kemanusiaan, bila tidak menggunakan akalnya?
Sudah sepatutnya akal kemanusiaan terbatas, tetapi tetap mengalami
perkembangannya menuju kesempurnaan, untuk mendapatkan kebenaran dari memahami
petunjuk yang terdapat di dalam nash-nash al Qur’an, karena bila akal
kemanusiaan diberikan Allah tanpa keterbatasan, maka tak perlu lagi Allah
menyampaikan firman-Nya dalam bentuk nash-nash al Qur’an sebagai petunjuk bagi
kemanusiaan, disebabkan akalnya telah dapat menjawab segala tantangan kehidupan
tanpa tersesat jalan pada kesesatan yang merugikan dirinya. Dan bila akal
kemanusiaan sebagai yang tidak terbatas, maka dia tidak lagi disebut sebagai
makhluk. Karena dengan ketidak terbatasan akalnya, maka dia tak lagi membutuhkan
Tuhannya.
Itu adalah hal yang tak
mungkin, dan betapa banyaknya firman Allah yang tersebar di dalam Al Qur’an,
yang menerangkan kegunaan akal dalam memahami ayat-ayat (tanda kekuasaan)
Allah, serta ketergantungan kemanusiaan dari petunjuk Allah terhadap pemahaman
segala sesuatu. Sehingga keinginan memahami suatu hal adalah perwujudan
dari kehendak Allah kepada kemanusiaan. Dengan kata lain, yang bermakna, bahwa
Dia jelas menghendaki kemanusiaan lebih menggunakan potensi akal dan
kesadaran-nya secara maksimal agar dapat mewujudkan segala kehendak-Nya sebagai
rahmat bagi semesta alam. Dan adalah ketetapan Allah diberikannya kepada
kemanusiaan untuk cenderung dan berkeinginan mengetahui segala sesuatu hal.
Bagaimana mungkin, mereka yang menolak akal, dapat lengah dari firman-firman
Allah tersebut.
Sehingga, masalahnya bukan pada
keterbatasan yang menunjukkan ketidakmampuan akal dan kesadaran,
melainkan lebih kepada tahapan-tahapan (maqam-maqam) yang harus dilalui
oleh akal untuk mendapatkan kesadaran yang memahami hal demi hal sesuai tingkat
kerumitannya. Dan hanya Allah-lah yang membukakan hijab-hijab yang menyelimuti
lapis demi lapis hakikat segala sesuatu sebagai petunjuk kebenaran (yang haqq)
bagi kemanusiaan.
Kehidupan
di alam dunia ini, sekalipun pada awalnya menekankan jauh lebih kepada yang
bersifat materi, namun hal tersebut disebabkan oleh dorongan keinginan
yang bersifat mencari dan mendapatkan kepuasan bathin. Mari kita simak
ayat-ayat berikut ini,
“Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa
di bumi dan
Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa
derajat, untuk
mengujimu
tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.....” (QS 6:165)
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak laki-laki, harta yang banyak
dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup
di dunia, dan disisi
Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS 3:14)
Dan beberapa
penjelasannya mengenai ujian terhadap keinginan-keinginan semu manusia,
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan :
kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi ?” (QS 28:2)
“Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan, diantaranya ada
orang-orang yang saleh dan ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan
yang baik-baik (nikmat) dan yang buruk-buruk (bencana), agar mereka kembali (kepada
kebenaran).” (QS 7:168)
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka
siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS 18:7)
“Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka
sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebagian
kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar ? dan adalah Tuhanmu
Maha Melihat.” (QS 25:20)
“Kamu
sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan kamu sungguh-sungguh
akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang
mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak-yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya
yang demikian itu
termasuk urusan yang patut diutamakan.” (QS 3:186)
“Dan sungguh akan
Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS 2:155)
“Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti
yang bathil dan sesungguhnya orang-orang yang beriman mengikuti yang haqq dari
Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat pebandingan-perbandingan bagi mereka.” (QS 47:3)
“..... Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu
ada di hadapannya, ia-pun berkata : ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah
aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka
sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku
Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS 27:40)
Begitulah
Allah dengan segala firman-Nya memancing akal dan kesadaran kemanusian,
agar tidak hanya terpaku pada kehidupan lahir (nyata) di alam dunia ini
saja, namun juga hendaknya tergugah memikirkan yang bathin (tak
terlihat). Yaitu, kebajikan dalam setiap amal perbuatan yang bertujuan
hendak mendapatkan keinginan-keinginan kehidupan dunianya. Amal perbuatan
tersebutlah yang amat menentukan kehidupan selanjutnya hingga ke alam-alam
lainnya sebagai perjalanan panjang
kehidupan jiwanya.
Menyadari
dan memahami dengan akal dan kesadaran-nya, bahwa kehidupan hari ini adalah
karena apa yang diusahakan oleh kehidupan kemarin atau sebelumnya. Maka apa
yang diusahakan pada kehidupan hari ini, tentu juga amat menentukan kehidupan
esok hari dan selanjutnya. Menyadari hal tersebut adalah juga menyadari
kebenaran keimanannya, dan dapat membawanya kepada kebenaran-kebenaran lainnya
untuk mencapai tingkat tertinggi hakikat sejati, yaitu kembali pulang kepada
Dia Yang Maha Tunggal.
Mengapa menjadi timbul
keinginan hidup bersama Allah,
bila akal dan kesadaran telah memahami, bahwa tiada seorang atau segala
sesuatu pun yang dapat lepas dari segala kuasa dan rahmat-Nya?
Bahwa sesungguhnya Dia dekat, bahkan lebih dekat dari pada urat lehernya
sendiri. Bahwa Dia meliputi segala sesuatu, termasuk diri-diri kemanusiaan.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Hidup bersama Allah adalah memahami
hal-hal tersebut dan mewujudkan kehendak dan ketetapan-Nya sebagai fitrah
kemanusiaannya, wakil Tuhan di muka bumi, yaitu sebagai khalifah
yang menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘aalamiiyn).
Alam dunia sungguh penuh dengan lapisan hijab
ketidak tahuan atau kebodohan, sebagai yang terlupakan dari apa-apa yang
diketahui di alam-alam sebelumnya. Lapisan-lapisannya menutupi hati (qalb atau
kalbu) diri-diri kemanusiaan akibat cenderungnya keinginan dan hawa nafs-nya
kepada setiap yang bersifat materi keduniaan.
Keinginan dan hawa nafs yang tak dapat dikendalikan-lah yang
menyedot perhatiaan dan energi-nya sehingga yang selainnya sebagai yang
terlupakan. Sekalipun ibadah yang dilakukannya sebagai hal yang rutin, namun
bila keinginan dan hawa nafs-nya tak terkendali, maka segala ibadahnya tak memiliki
perhatian dan kekhusyu’an-nya, yang seharusnya semata karena dan untuk Allah.
Maka hilanglah keikhlasannya amal perbuatannya, dan bila seperti itu hilang
pula rasa keberserah dirian (islam)-nya kepada Tuhan sebagai sumber
segala perhatian dan tujuan.
“Dan
(ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab, betul, kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya
kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS 7:172)
Alam Penantian
(Barzhak)
Alam ini
adalah alam penantian, dimana jiwa sebagai yang disimpan Allah,
sementara jasad di dalam tanah kubur terurai kembali menjadi unsur-unsur yang
terpisah satu sama lainnya dan tersebar. Namun unsur-unsur tersebut tetap
memiliki ruh-ruhnya, menunggu suatu waktu yang telah ditentukan-Nya dikumpulkan
kembali membentuk jasadnya, kemudian bersama jiwanya sama-sama sebagai yang
dibangkitkan kembali dan terlahir kembali ke alam dunia sebagai bayi melalui
jasad ibunya, untuk mengalami hari-hari pembalasan-nya, surga dan nerakanya. Sebagaimana yang telah diulas
sebelumnya pada alam energi dan alam rahim.
Alam ini
adalah alam bagi perjalanan panjang kehidupan kembali energi (ruh) unsur-unsur
penyusun jasad kemanusiaan yang telah terurai di dalam tanah (kubur). Ada yang
menetap lama pada kedalaman tanah, ada yang terbawa menjadi makanan cacing atau
hewan-hewan berjasad renik lainnya, kemudian naik ke permukaan tanah
berinteraksi dengan makhluk-makhluk lainnya. Ada pula yang bercampur dengan
resapan air hujan dan menjadi saripati
tanah yang dihisap oleh akar-akar rerumputan atau tanaman bunga maupun
buah-buahan. Kesemuanya tersebut yang pada akhirnya dapat berujung sebagai yang
dikonsumsi manusia, seperti yang telah diulas pada alam rahim sebelumnya, yang
kelak sebagai bahan baku sperma dan sel telur, sehingga kemudian terlahir
(dibangkitkan) kembali sebagai kemanusiaan yang berjasad kembali.
Juga ada
pula yang menetap lama di bebatuan yang kemudian dipecah dengan dipukul-pukul
atau digiling menjadi batu untuk pondasi bangunan atau batu koral. Dan menetap
di bebatuan mineral menjadi batu akik atau permata yang telah dibentuk dengan
jalan mengasahnya, atau di bongkah-bongkah bebatuan emas dan perak yang
kemudian dilebur untuk memisahkan kotoran-kotoran yang tak bergunanya. Seperti itulah
perjalanan energi dari unsur-unsur penyusun jasad kemanusiaan.
Ulasan tersebut di atas, bila
dikaitkan dengan kepercayaan primitif nenek moyang kemanusiaan, yang memiliki
kesamaan dimanapun wilayahnya di muka bumi ini, bukanlah hal yang aneh dan
dianggap sebagai mitos belaka. Mereka telah mengetahui adanya unsur lahir
dan bathin pada setiap benda atau materi, tentang adanya kekuatan
(energi) sebagai yang bathin pada setiap benda yang kelihatan (sebagai
yang lahir). Seperti yang kita ketahui pada benda sederhana saja yang
biasa terlihat dan kita alami sehari-sehari, yaitu air yang kita minum adalah
merupakan energi bagi tubuh kita.
“Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (pengetahuan) seluruhnya, kemudian mengemukakan
kepada para malaikat lalu berfirman ; sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang
orang-orang yang benar!” (QS 2:31)
Dan dengan
demikian, jelas sekali hal tersebut sangat berhubungan dengan pengetahuan atau
pemahaman mereka tentang adanya kekuatan atau energi yang disebut juga dengan
istilah ruh, sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu (seluruh) nama-nama yang telah diberikan Allah
kepada Adam sebagai bapak dari seluruh
kemanusiaan.
Hanya
sayang, jika diperjalanannya, mereka menganggap kekuatan-kekuatan tersebut
sebagai kekuatan yang patut disembah atau diibadahi, seperti beribadah kepada
Tuhannya. Atau, hal tersebut karena persepsi kita yang salah terhadap ritual
penyembahan mereka kepada Tuhannya? Seperti umat lain yang berasumsi kepada
kita yang menyembah kepada Ka’bah. Sekalipun dijelaskan dengan cara apapun,
tetap saja mereka kukuh dengan persangkaannya, dikarenakan yang mereka lihat
seperti itu. Sehingga, menjadi perlu bagi kemanusiaan untuk dapat memahami
segala sesuatu secara benar yang hakiki agar tidak tersesat, atau malah mudah
menganggap sesat umat lain.
Tetapi, sekalipun demikian kita
tak dapat memungkiri adanya kekuatan-kekuatan (energi-energi) yang disebut
sebagai ruh pada setiap unsur materi pada setiap benda atau segala
sesuatu, sebagai qudrat dan iradat (energi bawaan) yang
diberikan Allah kepada setiap segala sesuatu yang diciptakan-Nya di semesta
alam. Masih banyak sekali, tak terhitung, segala sesuatu yang merupakan misteri
di alam raya ini menunggu untuk diketahui dan dipahami oleh kemanusiaan.
“Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama (pengetahuan) seluruhnya, kemudian mengemukakan
kepada para malaikat lalu berfirman ; sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang
orang-orang yang benar!” (QS 2:31)
Jika terjadi penyimpangan pada
ajaran-ajaran agama yang diwariskan bapak-bapak mereka (yang berasal dari
Adam), adalah wajar saja dapat terjadi. Karena di masa sekarang ini saja, setelah
1500 tahun ditinggal nabi Muhammad, ajaran Islam yang telah beliau wariskan
telah terpecah menjadi banyak golongan. Belum lagi seperti yang terjadi pada
agama-agama lainnya yang sesungguhnya berasal dari satu sumber, dan kemudian
terpecah-pecah menjadi beberapa agama. Jika telah memahami hal ini, maka insya Allah, kita tak akan terjebak
kepada yang ikut serta gampang menyalahkan atau menganggap sesat umat atau
golongan lain selain dirinya. Cukuplah kita mengambilnya sebagai pelajaran,
pengetahuan, ataupun petunjuk yang dapat bermanfaat bagi kehidupan kita ke
depan.
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal
kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya
lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)
Hidup dan mati kemudian
dibangkitkan adalah seperti keadaan orang yang setelah lelahnya aktivitas
seharian kemudian tidur dan bangun kembali esok harinya. Itu berada dalam skala
periode kehidupan didunia, yaitu dari lahir hingga matinya. Maka berapa kali kita mengalami tidur
dan bangun?
“Dan
sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu
melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan
yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (QS 41:39)
Begitupun pada hidup, mati
dan dibangkitkan dalam skala periode siklus kehidupan semesta alam ini,
dari semenjak diciptakan hingga kiamat (qubra)-nya. Maka kehidupan dan kematian
serta dibangkitkannya pun tentu tak terhitung. Yaitu mengalami, dari mulai
dilahirkan, mati dan dibangkitkan hingga
harus mengalami hari-hari pembalasan (surga atau neraka)-nya pun adalah masa-masa selama masih adanya langit dan bumi.
Seperti rerumputan yang mengering dan mati di musim kemarau, maka setelah
datangnya musim hujan, menjadi hidup serta tumbuh subur menghijau kembali.
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam
surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki
(yang lain), sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS 11:108)
Begitulah kemanusiaan selalu
diingatkan Allah tentang perjalanan jiwa yang panjang dan berulang-ulang, dari
mulai sebagai yang belum dapat disebut
(QS 76:1) sampai kepada
dibangkitkan menjadi kemanusiaan kembali dan mengalami kembali hari-hari
pembalasan-nya. Begitu berulang-ulang sampai pada waktu yang telah menjadi
ketetapan-Nya (Kiamat Qubra), untuk kembali pulang kepada Dia Yang Maha
Tunggal.
Alam Pembalasan
Seperti yang
telah diulas sebelumnya pada bagian pertama keimanan terhadap Hari Akhir dan
bagian keempat Lahir & Bathin. Menjadi terpisah-pisah ulasannya dan
tersebar pada bab-bab ulasan lainya, dikarenakan hal ini untuk memudahkan
penyajian agar saling berhubungan dengan ulasan lainnya yang berkaitan dengan
perjalanan jiwa-jiwa kemanusiaan.
Perjalanan
jiwa yang sesungguhnya mengalami kehidupan di alam-alam yang bertahap-tahap
sesuai tingkatannya. Seperti layaknya kehidupan di dunia yang mengalami masa
sebagai bayi, meningkat ke masa balita, kemudian masa kanak-kanak, begitu
seterusnya dengan alam (suasana)-nya masing-masing yang berbeda.
Selama di alam dunia, alam-alam
yang akan dialami jiwa-jiwa kemanusiaan memiliki tabir (hijab)-nya yang membuat
batas sebagai pemisahnya, sehingga tak dapat ditembus oleh mata lahir.
Hanya dengan mata bathin yang telah dibukakan oleh Allah sajalah, yang
melalui petunjuk-Nya maka menjadi terlihat nyata. Sayangnya, selama di alam
dunia, bukanlah hal yang mudah untuk membuka hijab-hijab tersebut, sehingga
mata bathin dapat melihat seluruh alam secara terang dan nyata. Kuatnya materi
menarik perhatian jiwa akibat hawa nafsu (ego)-nya semakin menutupi dan menjadi
tabir-tabir (hijab-hijab) menjadi berlapis-lapis, serta menimbulkan penyakit-penyakit
hati yang amat menyita perhatian jiwa hanya kepada materi dunia sajalah sebagai
yang menghalangi pandangan mata bathin.
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan
jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku
akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS 15:39)
Ayat ini
adalah sebuah peringatan bagi jiwa-jiwa kemanusiaan agar berhati-hati dalam
setiap menginginkan dan memandang segala yang indah. Jangan sampai keindahan
tersebut ternyata hanyalah sebagai pembungkus keburukan yang berada di
dalam atau di balik-nya, yang membuat penyesalan di kemudian hari. Apalagi,
bila hawa nafsu (ego)-nya telah ikut pula mulai ikut bermain, yaitu rasa ketergesa-gesaan
ingin segera meraihnya.
Seperti kita melihat seorang
anak kecil yang merengek-rengek meminta apa yang dinginkannya, padahal kita
mengetahui bahwa dia benar-benar tak memerlukannya atau malah akan membahayakan
dirinya, kelak. Tentu kita akan menilai, betapa bodohnya anak itu. Namun,
karena ketidak tahuannya, karena kebodohannya dan karena hawa nafsunya dia
tetap kuat ingin mendapatkannya. Menahan rasa keinginan yang kuat (hawa nafsu)
menjadi tolak ukur bagi orang lain dalam menilai kita. Menahan rasa
keinginan yang kuat (hawa nafsu) juga adalah bentuk kesabaran, agar dapat
memiliki waktu untuk berpikir secara matang dan lebih bertanggung jawab.
Menahan rasa keinginan yang kuat (hawa nafsu) pun sebagai yang melatih jiwa
untuk selalu merasa dekat kepada Tuhannya.
“Dan
barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia, niscaya di akhirat akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan
(kebenaran).” (QS 17:72)
Dan seperti
yang telah kita ketahui sebelumnya, bahwa segala yang yang kita terima, baik
itu adalah sebagai rahmat anugerah kebaikan maupun keburukan, ternyata adalah amanat
yang perlu dipertanggung jawabkan pada hari-hari kemudian. Bukan hanya kebaikan
yang perlu dikelola secara bertanggung jawab sebagai amanat, namun keburukan
yang diterima-pun perlu dikelola secara baik dan benar agar keburukan tersebut
tak menciptakan keburukan-keburukan baru lainnya sebagai yang akan datang pula,
kelak di kemudian hari di dalam hari pembalasan-nya.
Tabir-tabir
hijab yang menutupi mata hati kemanusiaan dari memandang hakikat segala sesuatu
kehidupan yang berada di semesta (seluruh) alam ini, adalah karena terhanyutnya
hati oleh keinginan hawa nafsu materi yang bersifat keduniaan. Hatinya sibuk hanya
kepada hal-hal kehidupan dunianya saja, dan selalu mengejar untuk dapat
memenuhi kebutuhan dunianya saja, sehingga dapat saja tak menyadari telah
terperosok kepada amal perbuatan yang seharusnya tak dilakukakannya. Bila hal
ini dibiarkan berlarut-larut, maka hati akan semakin keras membatu, menimbulkan
penyakit-penyakit dalam hati atau jiwa-nya dan pada akhirnya merembet kepada
penyakit-penyakit di tubuh atau jasadnya.
Begitulah akhirat sebagai alam-alam setelah
kehidupan di alam dunia menjadi terhalang dari pandangan mata bathin
kemanusiaan selama di alam dunia.
“Maka
apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu dapat memahami
atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
ialah hati yang di dalam dada.” (QS 22:46)
Penyebab utama hati yang buta
adalah jiwa yang sibuk dan terhanyut pada kehidupan dunia saja, lupa akan
amanat-nya, yaitu perjanjian dan
kesaksian-nya yang menjadikannya khalifah, serta sebagai wakil-Nya di muka bumi
yang mewujudkan sifat-sifat Tuhan di muka bumi yang juga merupakan
rahmat-Nya. Rahmatan lil ‘aalamiiyn.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan
gunung-gunung,
maka semuanya
enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (QS 33:72)
“Dan
(ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab : betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu
tidak mengatakan,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS 7:172)
Kehidupan
dunia yang dapat menjadikan jiwanya sibukkan serta hanyut, sungguh berakibat
menjadikan dirinya tidak hanya lalai, bahkan lupa kepada kehidupan di hari
kemudian-nya, yaitu alam-alam lain dalam perjalanan panjang kehidupan jiwanya
menuju tujuan utmanya kembali pulang kepada Tuhannya Yang Maha Tunggal. Seakan,
merasa tak memikul amanat dari Tuhannya, hanya diri dan keluarganya saja
yang menjadi perhatian utamanya, dan tidak peka lagi terhadap sekitarnya.
Sungguh alam
dunia ini adalah perhiasan yang memukau dan menghanyutkan, juga bagaikan
permainan yang dapat menyita waktu dan perhatian jiwa melupakan tujuan utama
diciptakannya kemanusiaan oleh Tuhannya. Begitulah tabir (hijab) dalam
kehidupan di alam dunia yang menutupi hati dan jiwa hanya terpaku tak menyadari
lagi kehidupan-kehidupan di akhirat, kelak.
“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (durhaka) terhadap
Tuhan-mu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu
menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)-mu seimbang, dalam bentuk apa saja
yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu. Bukan durhaka saja, bahkan kamu mendustakan
hari pembalasan.” (QS 82:6-9)
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka
tentang akhirat adalah lalai.” (QS 30:7)
Sungguh, perjalanan kehidupan adalah
masih panjang, masih melalui banyak alam lagi, kemudian mengalaminya terus
berulang-ulang sebagai usaha pembersihan dari kelalaian yang menyebabkan
kekotoran untuk dimurnikan kesuciannya agar dapat kembali pulang kepada
Tuhannya Yang Maha Tunggal. Usaha pembersihan atau pensucian jiwa melalui
kehidupan yang berulang-ulang inilah yang terjadi pada setiap diri kemanusiaan
di alam pembalasan. Lahir, hidup, mati, dan dibangkitkan terus
berulang-berulang. Dan hanya yang telah mencapai murni kesuciannya yang dapat
langsung kembali kepada Tuhan Yang Maha Suci dan Yang Maha Tunggal.
“Dan apakah
mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian
mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS 29:19)
Bila
diri-diri kemanusiaan yang mengalami kehidupan sekarang, di dunia, tentu itu
adalah sedang mengalami pembersihan atau pembalasan sebagai pertanggung jawaban
dari amal perbuatan di kehidupan sebelumnya yang masih kotor. Maka, apabila
pada kehidupan ini pun masih berkutat pada kekotoran, maka tentu akan mengalami
terus kembali pembalasannya untuk membersihkannya. Inilah yang disebut perjalanan
panjang jiwa-jiwa kemanusiaan.
Adakah, bila
telah menyadari dan memahami hal ini, kemanusiaan masih berani menolak dan
mengingkarinya dengan kehidupan yang menghanyutkan dan melenakan jiwanya?
Tentu semua
umat muslim percaya bahwa alam kubur sebagai alam penantian menunggu
kebangkitan, maka jelas itu sebuah bukti ada kehidupan di alam kubur. Dan
setelah melewati alam kubur, yaitu kebangkitan, maka ada lagi alam selanjutnya
yang harus dilalui, yaitu alam akhirat. Dan banyak ayat-ayat Al Qur’an yang
memberitakan tentang kehidupan di alam akhirat selain kehidupan di alam kubur
dan alam dunia.
Kehidupan di alam-alam
tersebut, yaitu dari mulai kehidupan di masa sekarang yang dibilang kehidupan
alam dunia, kehidupan alam kubur
(barzakh), dan kehidupan alam akhirat adalah merupakan bagian pula dari hari-hari
agama Allah (yawmid-diyn).
Dimana Allah sebagai penguasanya.
“Yang
menguasai hari-hari agama.” (QS 1:4)
Yaitu
hari-hari atau masa-masa yang dinaungi agama (aturan jalan hidup), tidak
hanya dimaknai sebagai hari pembalasan, hari akhirat, hari kemudian, melainkan
hari-hari di kehidupan dunia pun adalah termasuk di dalamnya. Karena jelas ayat
tersebut menyebutkan hari-hari yang dinaungi agama, dan Allah sebagai
penguasanya, seperti juga layaknya kehidupan di dunia. Sebenarnya ini sempat
diurai ringkas di bab keimanan kepada hari akhir.
Pemahaman sebelumnya, bahwa
surga dan neraka adalah alam baru atau tempat baru setelah hari
kiamat, dimana alam tempat pembalasan terhadap amal perbuatan semasa hidup
di dunia sebelumnya, adalah pemahaman yang mengkungkung manusia pada
keterbatasan harapan yang lebih memberatkannya kepada keputus asaan. Tiada
bersemangat lagi menebarkan kebaikan yang merupakan rahmat dari Allah yang
sesungguhnya harus ditebarkan merata kepada sesama makhluk Allah, apapun itu.
Balasan yang terbawa pada
kehidupan selanjutnya tersebut, seperti uraian sebelumnya, berupa suasana
rasa nikmat atau rasa sengsara yang menempel terus
mengikutinya sebagai ketetapan dari-Nya. Tidak peduli apakah terlihat bagi
orang lainnya mengalami hidup mewah dan megah, akan tetapi rasa bathin-nyalah
yang dirasakan jiwanya, dan hanya dirinya sendirilah yang merasakannya,
bukanlah orang lain. Sedangkan kemewahan serta kemegahan kehidupannya pun
sebenarnya adalah balasan pula yang dibawa dari kehidupan sebelumnya, dan
begitu pula pada kesengsaraannya.
Kehidupan di alam-alam tersebut
pun, semuanya, sebenarnya, sekarang pun sedang berlangsung di alam dunia ini
pula, bahkan telah sejak lama berlangsungnya, di dalam alam semesta ini pula.
Hanya karena keterbatasan mata jasad kita saja yang menjadikannya tak dapat
melihat keberlangsungan kehidupan tersebut. Bila Allah menghendaki seseorang
dapat melihatnya, maka bukan tak mungkin dia akan melihat kehidupan di
alam-alam tersebut.
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam
surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki
(yang lain), sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS 11:108)
Maka jelas sekali ayat ini menegaskan
bahwa hari kemudian (akhirat) pun sedang berlangsung, karena
hari-hari itu berlangsung selama masih adanya langit dan bumi. Bukan
malah setelah hancurnya langit dan bumi.
Pemahaman
sebelumnya tentang kehidupan di alam-alam tersebut menjadi bias, adalah karena
disebabkan tentang pemahaman hari akhir (kiamat) yang salah persepsi.
Sebenarnya makna kematian dan hari akhir telah sempat pula diurai pada bab
keimanan sebelumnya.
“(Ingatlah)
pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah
Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang
pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan
melaksanakannya.” (QS 21:104)
Itu adalah
merupakan siklus besar kehidupan semesta alam. Sedangkan siklus kecilnya
adalah, mengalami hidup dan mati serta dibangkitkan yang tidak hanya sekali
(QS 2:28) dan mengalami hari pembalasan selama masih adanya langit dan bumi (QS
11:106-108), sebelum hancur lebur atau kiamat
qubra. Layaknya mengalami tidur dan bangun beberapa kali
dalam hidupnya.
Bila hari
akhir hanya dipahami sebagai hari kiamat qubra saja, jelas kehidupan
di alam dunia menjadi hanya satu kali saja, kemudian hanya menunggu hancurnya
bumi dan langit dan segala isinya, baru kemudian dibangkitkan dari alam kubur
secara bersama-sama.
Akan tetapi,
jika memahami hari akhir adalah tidak hanya kiamat qubra saja, melainkan
akhir dari sesuatu, misalnya akhir kehidupan yaitu kematian, maka akhiratnya
adalah kehidupan di alam kubur, kemudian menunggu kebangkitan sebagai hari
akhir dari kehidupan alam kubur, dilanjutkan setelah kebangkitan adalah
mengalami kehidupan di hari pembalasan, yang semuanya itu adalah
termasuk dalam hari kemudian (hari selanjutnya).
Hidup dan mati kemudian
dibangkitkan adalah seperti keadaan orang yang setelah lelahnya aktivitas seharian
kemudian tidur dan bangun kembali esok harinya. Itu berada dalam skala periode
kehidupan didunia, yaitu dari lahir hingga
matinya. Maka berapa kali kita mengalami tidur dan bangun?
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan
kamu
kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)
Begitupun pada hidup, mati dan
dibangkitkan dalam skala periode siklus kehidupan semesta alam ini, dari semenjak
diciptakan hingga kiamat (qubra)-nya.
Maka kehidupan dan kematian serta dibangkitkannya pun tentu tak terhitung.
Yaitu mengalami, dari mulai dilahirkan, mati dan dibangkitkan hingga hari pembalasan
(surga atau neraka)-nya pun adalah masa-masa selama masih adanya langit dan
bumi (QS 11:106-108). Seperti rerumputan yang mati di musim kemarau, maka
setelah datangnya musim hujan, menjadi tumbuh subur menghijau kembali.
“Dan
sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu
melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan
yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (QS 41:39)
Bukan hanya
setelah kematian maka baru kita akan menghadapi hari pembalasan, di
kehidupan dunia pun ada hari pembalasan-nya. Sebagai makhluk, segala sesuatu
(baik yang lahir maupun yang bathin) akan tersentuh kematian
(akhir), begitu pula pada kondisi atau keadaan pun memiliki akhir.
Kesedihan yang diakhiri kebahagiaan, atau sebaliknya. Kekurangan diakhiri oleh
kecukupan, juga begitupun sebaliknya. Maka kepada amal perbuatan pun memiliki
akhirnya, seperti pekerjaan atau berdagang maka setelah hari akhirnya,
akan dilanjutkan pula dengan hari pembalasan yang merupakan akibat dari
amal perbuatan sebagai sebab-sebab terjadinya kondisi atau keadaan sebelumnya.
Allah menciptakan Alam Semesta ini,
sebagai tempat, atau media, atau juga wadah bagi segala makhluk-Nya, termasuk
alam akhirat, alam kubur, dan alam surga dan neraka. Semua ya berada di alam
ini, alam yang sekarang kita tempati.
Layaknya jasad manusia sebagai wadah, yang ternyata adalah
pula merupakan susunan berstruktur dari milyaran sel-sel yang juga adalah
makhluk ciptaan-Nya. Sehingga, bila kita telah sampai kepada pemahaman tunggal,
bahwa segala sesuatu, dari yang terkecil atau mikro partikel, kemudian materi,
benda-benda yang disebut mati atau yang disebut hidup yang
memiliki senyawa yang kompleks dan rumit, kemudian bumi dan bintang-bintang atau
bahkan koloninya yang lebih besar lagi seperti galaksi-galaksi kumpulan
milyaran bintang, hingga kepada yang terbesar yaitu alam semesta (jagad
raya) ini, ternyata memiliki kemiripan atau kesamaan arah gerak hidup
sebagai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu sistem tunggal, kehendak
Dia Yang Maha Tunggal (sunathullah).
Awal dan akhirnya pun adalah kepada Dia Yang Maha Tunggal.
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)
Dengan demikian, menjadi pentingkah surga untuk dituju dan neraka
untuk dihindari? Jika tujuannya adalah Dia, mengapa pula kita disibukkan untuk
menghindari neraka dan terlena akan kenikmatan surga bila jalan telah terang?
Hanya mereka yang buta akan tujuan akhir yang sejati sajalah yang dapat
tersesat akibat terlena, baik karena tersesat kepada neraka maupun hendak
menggapai nikmatnya surga. Padahal telah terang jalan menuju tujuan akhir yang
sejati, yaitu kembali kepada Dia Yang Maha Tunggal, ilayhi raji’un.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kami-lah
kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Adalah fungsi kesadaran manusia
yang membuatnya tertarik memahami yang lahir (nyata), berinteraksi dan
saling mengambil manfaat darinya. Kemudian meningkat kepada kesadaran untuk
pula dapat memahami makna dari yang lahir (nyata), yaitu bathin.
Di saat itulah diri kemanusiaannya,
sekalipun pada masa-masa perkembangan kejiwaan ini, yaitu hati dan akalnya
sedang pula terkontaminasi oleh keinginan dan kebutuhan, merasa tertuntut pula
untuk dapat memahami makna-makna yang bathin yang sesungguhnya, dapat saja atau
malah akan menimbulkan kontradiksi dengan keinginan dan kebutuhannya. Sehingga
kini, telah tercipta dua kutub kekuatan tarik menarik yang sangat akan
mempengaruhi kejiwaan serta arah kehidupannya.
Di saat itu pulalah terciptanya
keragaman pada setiap diri kemanusiaan, yang menimbulkan berbagai macam
perbedaan. Yang masing-masingnya membawa kebenaran, sekalipun masing-masingnya
merasa dirinyalah yang benar dan yang lain adalah salah, disebabkan sudut
pandang yang mendasari kebenaran merekapun yang beraneka ragam. Akan tetapi,
justru, disitulah bukti keaneka ragaman kebenaran di dalam kebenaran tunggal.
Sebagai bukti ke-akbar-an Dia
Yang Maha Tunggal.
Jangankan kebenarannya, diri-dirinya
pun beraneka ragam. Ya, diri-diri yang akbar didalam wujud kemanusiaan. Yang
pada satu diri saja kita takkan pernah mampu menentukan berapa jumlah sel yang
membangun struktur tubuhnya, maka ragam kerja dan fungsinya pun berbeda-beda
satu sama lainnya.
Semakin banyak kesadaran-kesadaran yang
mengarahkan pemahaman terhadap segala sesuatu yang ditemuinya, maka mata
hatinya menjadi hidup dalam menangkap setiap makna yang memberikan
hikmah yang tiada ternilai. Hati yang hidup adalah kehidupan yang
sempurna sebagai sejatinya kehidupan, karena tiada lagi rasa takut, gelisah,
bingung, dan tak tahu arah. Sekalipun masih banyak yang belum diketahuinya
secara lahir dan bathin, namun pemahamannya menyatakan
keyakinannya untuk tetap dalam keberserah dirian (islam)-nya dengan murni dan
ikhlas tertuju hanya semata kepada-Nya, Dia Yang Maha Tunggal.
Ketika kehidupan di dunia, setiap
diri yang baik tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pula setiap
diri yang buruk tidak lepas dari kebaikan. Jadi, kebaikan dan
keburukan seberat zarrah pun akan menerima balasannya. Maka di alam
akhirat kelak, setiap diri yang mendapatkan balasan kebaikan-nya (di dalam
surga) akan terancam sedikit nerakanya pula dari keburukan seberat
zarrah akibat kelalaiannya yang diperbuat sebelumnya. Dan setiap diri yang mendapat
keburukan-nya (di dalam neraka), mendapat harapan pula merasakan sedikit
surganya dari kebaikan seberat zarrah yang pernah dilakukannya. Allah Maha Adil
lagi tidak lalai sedikitpun dari pengetahuan-Nya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (titik), niscaya dia akan
melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat
zarrah
(titik), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya”. (QS 99:7-8)
Di alam
dunia, bukanlah hal yang tidak mungkin jiwa kemanusiaan dapat memandang dan
memahami alam-alam lainnya selain alam dunianya, asalkan dirinya mau dan dapat
mensucikan hatinya dari kekotoran-kekotoran yang menyebabkan tabir-tabir hijab
yang menghalangi pandangan mata bathin-nya. Sungguh kekotoran-kekotoran
tersebut dapat merugikan dirinya, selain menimbulkan penyakit-penyakit hati,
juga mengakibatkan penyakit-penyakit pada jasad tubuh kemanusiaannya, terlebih
menyebabkan kebodohan akal dan kesadaran jiwa dalam memahami kehidupan
panjang-nya yang masih akan dilaluinya pada masa-masa yang akan datang. Yang
lebih utama, dan merupakan tujuan dari segala tujuan, adalah menyadari dan
memahami sebenarnya jiwa kemanusiaan kita menjadi hadir dan datang ke alam
kehidupan dunia ini dari tempat yang paling mulia dan paling tinggi,
yaitu dari Allah SWT. Maka dengan menyadari dan memahami asal keberadaan
tersebut adalah mutlak pula kita memahami dan menyadari tempat kembali-nya.
Ilayihi raji’un.
Begitulah cahaya Allah
menerangi dan menjadi nyata serta jelas hakikatnya bagi pandangan mata bathin
yang telah suci bersih kepada alam-alam kemudian yang akan dihadapinya
sebagai perjalanan panjang jiwa-nya. Dan Dia pulalah yang menjelaskan hakikat
bathin dari segala sesuatu yang lahir (nyata) dan yang masih ghaib.
“Allah
menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan
barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang besar. Dan hanya
orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS 2:269)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Kehidupan
berikutnya, di alam pembalasan, sebagai yang mengalami hari-hari
pembalasan, digambarkan sebagai kehidupan akhirat dengan surga dan nerakanya, adalah
merupakan suasana bathin berupa nikmat atau siksa bagi mereka
yang berada di dalamnya. Sebenarnya, di dunia sekarang inipun, kita mengalami
yang terkadang berupa nikmat dan terkadang pula berupa siksa. Hanya saja,
disebutkan seperti dalam firmannya (QS 11:106-108),
bahwa kekekalannya-lah yang lebih ditegaskan dalam membedakan kehidupan
di dunia dengan di akhirat.
Akan tetapi kekekalan
hari kemudian pun berupa makhluk ciptaan-Nya, yang pasti memiliki umur atau
waktu, atau sementara, dan hanya Dia-lah yang kekal serta berkuasa juga pada
kehidupan baik di dunia, di akhirat, serta kehidupan kemudiannya lagi, bila
ada. Dan apa-apa yang ditunjukkan-Nya, melalui kejadian-kejadian di alam
ini, mengarahkan pemahaman, bahwa kehidupan ini akan terus berlanjut sebagai
pengulangan atau siklus penciptaan-Nya.
“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung
lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang
pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”
(QS 21:104)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar