Selasa, 04 Juni 2013

KEMBALI PULANG: MEYAKINI HARI AKHIR

KEMBALI PULANG: MEYAKINI HARI AKHIR: Bab V MEYAKINI HARI AKHIR (HARI KEMUDIAN) “Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya ? (Tidak) maka han...

Bab VI - MEYAKINI NASIB (TAKDIR) BAIK & BURUK




Bab VI
MEYAKINI
KADAR BAIK dan BURUK
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan yang kafir).......”
(QS 3:140)
M
engimani Kebaikan dan Keburukan adalah syarat mutlak bagi orang-orang yang beriman, dan pada pelaksanaan kehidupannya, bukan hanya sekedar beriman dan mempercayainya saja, melainkan dapat menerima-nya dengan tulus murni (ikhlas) sebagai bagian dari kehidupannya. Keimanan ini adalah keimanan dengan berprasangka baik kepada Allah, yang sesungguhnya hanya memberi nikmat dari rahmat kebaikan sebagai rahmat tunggal-Nya. Bukanlah rahmat yang buruk, kemanusiaanlah yang menilainya menjadi berpasangan. Bila tak sesuai atau berlawanan dengan keinginan dan harapannya, maka disebutlah sebagai keburukan.
Kadar baik dan buruk adalah merupakan suatu ketetapan Allah (sunathullah), yang memang selalu ada dan selalu menyertai setiap segala sesuatu yang merupakan ciptaan atau makhluk Allah. Kadar baik dan buruk, juga adalah merupakan bagian dari ketetapan Allah (sunathullah) yang terkandung dalam qudrat dan iradat-Nya kepada segala sesuatu makhluk ciptaan-Nya. Seperti siang dan malam, terang dan gelap, serta cahaya dan bayang-bayang. Dan segala sesuatu (ciptaan-Nya) tersebut tidak dapat menolaknya.
Menerima dan kemudian menjalaninya adalah mutlak bagi makhluk, dan dengan memanfaatkannya sebagai sesuatu yang berguna adalah wujud syukur atas segala rahmat-Nya tersebut. Sehingga membawanya kepada kesadaran, bahwa tiada yang buruk dari setiap ketetapan Allah. Malah membawanya kepada rasa bersyukur karena telah menerima hikmah-Nya, karena segala sesuatu yang diterimanya tersebut hanyalah rasa. Yang sesungguhnya pun adalah fana, sementara, hanya sekejapan mata, dan kemudian menjadi yang terlupakan karena telah ada lagi kesibukan lain yang perlu diurus dan harus pula segera diselesaikan.
Begitulah hidup. Sungguh hanyalah kesia-siaan, bila membawa terus menerus rasa tersebut, apakah itu kebaikan maupun keburukan, selain menjadikan beban, juga dapat menjadikan penyakit pada hati serta penyakit pada fisik. Masih banyak urusan atau pekerjaan lain yang harus diselesaikan, janganlah terpaku hanya kepada yang justru sia-sia pada akhirnya.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Baik dan buruk, serta segala sesuatu bersama pasangannya adalah karena di alam, sedangkan hal tersebut, sebenarnya adalah suatu yang mutlak ada sebagai ketetapan (sunathullah) yang tunggal, tidak berpasangan apalagi saling berlawanan. Hanya karena di alam, makhluk menganggap dan melihatnya seperti itu. Karena di alam, maka segala keterbatasan menjadi ada, itupun adalah ketetapan-Nya.
Pasangan Segala Sesuatu
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).” (QS 51:49)
Lihat, dan pikirkanlah segala sesuatu di alam ini, makhluk hidup ataupun tanaman, bermacam benda, rasa yang berupa keadaan atau suasana, serta kejadian apapun, sesungguhnya semua itu berpasangan. Membuktikan bahwa segala sesuatu selain Dia adalah makhluk ciptaan-Nya. Juga, segala sesuatu tersebut saling berinteraksi atau berketerkaitan satu sama lainnya menciptakan sistem semesta yang saling terkait dan menguntungkan, simbiosis mutualisme, yang telah ditetapkan oleh-Nya (sunathullah).
Sejauh mata memandang, dan sedalam-dalamnya berfikir, jika pada akhirnya dapat menemukan sesuatu yang tunggal, maka Dia-lah Allah. Yang patut disembah dan dipuja, karena oleh Dia-lah maka segala sesuatu yang terlihat, banyak, akbar, serta sempurna, menjadi ada dan nyata. Akan tetapi takkan mungkin Dia dapat dilihat dan ditemukan layaknya melihat dan menemukan sesuatu benda. Mustahil kemungkinan yang dicipta dapat melihat dan menemukan Sang Pencipta-nya. Hanya dengan hati yang bersih dari pengakuan (ego) maka keberadaan dan kuasa-Nya dapat dirasakan dalam bentuk rahmat-Nya yang tiada habis-habisnya terasa, apalagi terhitung.
Berpasang-pasangan adalah sifat makhluk sebagai ketetapan mutlak-Nya, juga sebagai perwujudan Akbarnya Dia di semesta alam beserta isi atau makhluk ciptaan-Nya yang begitu luasnya tak terukur dan tak terbilang.
Selain wujud nyata yang terlihat seperti makhluk, baik yang terlihat ataupun yang tak terlihat, dan benda tak hidup (anggapan sementara secara umum), baik yang nyata dan tak nyata, semuanya memiliki pasangannya. Begitu pula kepada rasa dan sifat yang dialami makhluk atau benda tersebut memiliki pasangannya pula. Sebagai makhluk, maka menilai semua pasangan yang dirasakan atau dialami bathinnya terangkum sebagai kebaikan atau keburukan. Bila kebaikan, maka diterimanya bahkan diharapkannya. Dan bila keburukan, maka ditolak atau dihindarinya.
Padahal keduanya, yaitu kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang pasti dan harus dialami sebagai ketetapan mutlak kehidupan dari yang memiliki sejatinya kehidupan yang mutlak, yaitu Dia. Dan bagi makhluk yang sebagai penerima, yang dapat atau harus menerima. Dan segala sesuatu yang diterimanya sebenarnya adalah rahmat Allahu Rahmaanur-rahiiym. Bagaimana mungkin Dia yang Maha Pemurah lagi Penyayang memberikan keburukan? Carilah hikmahnya, maka kelak diri akan bersyukur sekalipun yang sebelumnya dianggap sebagai keburukan, kemudian ternyata membawa manfaat yang merupakan kebaikan.
“Karena sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Keburukan, adalah ibarat bungkus yang menyelimuti kebaikan (rahmat Allah) yang berada didalamnya. Hanya karena berada di dalam sebagai yang tak terlihat (masih ghaib), maka diperlukan usaha mebuka bungkus yang menyelimutinya tersebut. Begitulah hati kita memahami segala sesuatu yang datang kepada diri kita, apakah sebagai yang kita nilai kebaikan atau keburukan pada awalnya, yang kelak akan diketahui hikmahnya bahwa, sesungguhnya Allah hanya memberi kebaikan, yaitu rahmat-Nya. Hanya dengan hati yang bersih dari kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego), maka cahaya Allah dapat menerangi, bahwa yang datang dan diterimanya adalah rahmat Allah, yang seluruhnya adalah kebaikan.
Layaknya malam yang berganti fajar, dan terang kemudian datang menyambutnya. Atau kelelahan sehingga merasa harus beristirahat, dan segar kembali setelah bangunnya. Atau juga kebelet, hingga harus terbirit-birit lari kebelakang untuk (maaf) buang air, dan setelahnya akan merasa lega. Adakah pada semua itu merupakan keburukan? Seperti itu pula-lah hati kita seharusnya membuka kesadarannya untuk mendapatkan hikmah terhadap apa-apa yang datang dan dinilainya sebagai keburukan, yang ternyata adalah kebaikan.
Ada sedikit contoh sebagai hikmah, sodorkanlah segala macam makanan yang enak dan nikmat kepada orang yang sedang sakit gigi sebagai suatu kebaikan. Tentu dia akan menolaknya sebagai suatu keburukan yang harus dihindarinya. Maka hikmahnya adalah, kenikmatan apapun yang merupakan kebaikan yang diberikan akan menjadi keburukan bagi bathin yang sedang kacau. Apapun menjadi serba buruk, hanya obat kacaunya yang dia butuhkan. Bathinlah yang menentukan kebaikan ataupun keburukan yang diterimanya. Dan bila diterima salah satunya, maka pasti pula akan menerima pasangannya kelak kemudian. Karena segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”  (QS 21:35)
 Kita telah dapat menerima lapar setelah kenyang, menerima malam setelah siang, bahkan, maaf, menerima ‘buang air’ setelah masuknya makanan dan minuman. Menerima itu sebagai ketetapan yang harus diterima, akan tetapi cobalah pikirkan dan renungkan bila datang pula ketetapan lain dari-Nya. Seperti, saat lapar tetapi tidak ada makanan atau uang untuk membelinya, kelaparan yang terjadi. Atau, saat tiba malam datang tetapi pas terkena giliran pemadaman listrik, merana yang terjadi. Serta, susah ‘buang air’ setelah banyak makanan yang masuk.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Padahal, sekalipun ketetapan-Nya, ternyata diri kita sendirilah yang menyebabkan itu semua terjadi. Segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya. Layaknya siang dan malam, pagi dan sore, serta fajar dan petang. Cahaya dan bayang-bayang, panjang dan pendek, serta lurus dan bengkok. Begitu pula bahagia dan sedih, mudah dan sukar, serta nikmat dan sengsara. Segala sesuatunya tersebut dinilai sebagai kebaikan dan keburukan oleh makhluk. Ketetapan yang mutlak diterima makhluk, sedangkan baik-buruknya adalah penilaiannya sendiri yang justru yang dapat menjerumuskannya.
Dikatakan menjerumuskan, bila diri terhanyut dan terlena oleh kebaikan, atau menolak keburukan yang datang yang ternyata  akibat dari perbuatannya. Lupa bersyukur bila menerima kebaikan karena hanyut dan terlena pada kenikmatannya, dan akan menyebabkan datangnya pasangannya (keburukan) yang semakin besar keburukannya akibat sebelumnya diri yang hanyut dan terlena. Keburukan yang pasti datang setelah kebaikan, adalah mutlak, akan tetapi hanyut dan terlena rupanya ikut menambahkan akibat-akibat baru yang semakin memperburuk keadaan dirinya. Bila tidak diputus ‘rantai’ hanyut dan terlenanya, maka akan terus berlanjutlah keburukan-keburukan yang akan timbul.
Seperti efek domino. Sekalipun hadir sesekali kebaikan sebagai rahmat-Nya, tapi terasa tak mencukupi untuk menutupi keburukan akibat hanyut dan terlena pada masa sebelum-belumnya, sebagai akibat yang satu per satu yang harus dituai, kelak sebagai hari kemudian-nya. Diperlukan sikap tegas dan mental yang kuat untuk beralih, setelah menyadari, dan mulai mengambil jalan lurus-Nya (taubatan nassuha).
Begitupun sebaliknya, kebaikan yang pasti datang setelah keburukan. Keduanya adalah sebagai yang pasti datang dan harus diterima diri-diri kemanusiaan sebagai rahmat-Nya. Sekalipun sekaliber nabi, tetap harus menerima keduanya. Hanya mereka yang mulia dan berakhlak terpuji sajalah yang dapat rela dan ikhlas menerima keburukan seperti menerima kebaikan, dan menganggap keduanya adalah rahmat dari Tuhannya.
Sabar, Bersyukur & Hidup Menerima
“Dan, orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir”. (QS 13:22)
Kesabaran adalah suatu upaya yang mengorientasikan kebenaran dalam amal perbuatan agar tidak menimbulkan kekecewaan atau penyesalan (bagi dirinya maupun pihak lain) dibelakang hari. Kesuksesan adalah buah dari amal perbuatan yang diiringi kesabaran. Seperti yang sebelumnya telah diulas dalam uraian-uraian sebelumnya, wajah Tuhan yang dicari tersebut, ternyata dapat dicari pada perwujudan-Nya yang berupa semesta alam berikut isinya. Kesabaran mencari-Nya ternyata malah membawanya kepada memahami diri-nya sendiri, yang justru hanyalah kefanaan tanpa arti bila tanpa para aparat Allah. Kesabarannya itu pulalah yang membawanya kepada lebih menghargai kehidupan baik bagi diri-nya sendiri maupun kepada sesamanya serta makhluk-makhluk Allah lainnya. Sebagi wujud rasa bersyukurnya atas rahmat petunjuk-Nya yang membawanya kepada keselamatan hidup.
Kesabaran juga dapat menolak kejahatan seperti diterangkan ayat diatas. Dikarenakan kesabaran adalah salah satu upaya amal perbuatan yang baik, maka kebaikan itulah yang dapat menolak kejahatan untuk tidak jadi datang kepadanya.
Lihat dan perhatikanlah, manusia yang selalu menjaga amal perbuatannya tetap dalam kebaikan, tidak membuang sampah sembarangan, hutan dijaga kelestariannya, tidak membangun pemukiman pada daerah resapan air (mengurug rawa), menjaga lingkungan tetap asri dengan tidak asal menebang pohon disekitar lingkungannya, menjaga hubungan baik dengan sesama, yang kesemuanya itu pun akhirnya akan kembali kepada manusia. Ia akan merasakan nyaman dan tentram tinggal disitu, bersih dan sehat, tidak kebanjiran dikala musim hujan, tidak kegerahan disaat musim panas, tetangga sekitar pun baik dan ramah. Inilah salah satu contoh menolak kejahatan dengan kebaikan. Yaitu kesabaran dalam kebaikan yang hasilnya kembali kepadanya berupa nikmat yang sungguh untuk dapat disyukurinya. Atau dalam makna lain dari ayat tersebut adalah, mencegah kejahatan atau keburukan agar tidak datang, yaitu dengan mendahului perbuatan kebaikan.
“Karena sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Begitulah pasangan segala sesuatu tersebut sebagai yang akan datang secara bergantian. Dengan demikian, kesulitan yang sedang melanda dirinya, dihadapi dengan kesabaran sebagai wujud keberserah dirian (islam) kepada Tuhannya. Dan mereka yang telah berserah diri (islam) tentunya meyakini kemudahan yang akan datang dari Tuhannya dengan bersyukur.
Bila sabar dan bersyukur adalah dua hal yang merupakan pasangan, maka sabar-nya adalah merupakan tindakan atau upaya pertahanan terhadap keburukan yang menimpa dirinya. Sedangkan rasa bersyukur-nya adalah wujud puja-puji kepada yang memberi kekuatan (yaitu Allah) untuk dapat melewati keburukan, dan kemudian sebagai menerima lagi kebaikan setelah keburukan itu berlalu.
Akan tetapi, ternyata, kesabaran bukan saja hanya pada keburukan yang diterima, melainkan pula pada kebaikan sebagai anugerah dari-Nya. Karena anugerah kebaikan yang datang dan diterima, bila tidak disertai pengelolaan yang baik dalam kelurusan-Nya, pada akhirnya akan membawa bencana keburukan. Segala sesuatu datang dan hadir pasti bersama pasangannya.
Dan pada orang-orang yang telah memahami makna kadar baik dan buruk sebagai sesuatu yang alami (sunathullah), yaitu menghadapi keburukan seperti melalui malam sebagai sesuatu yang memang pasti dihadapi. Seperti pula, maaf, harus ‘buang air’ bila tak mau dihinggapi penyakit. Maka diri ini telah menerima hidup sebagai makhluk Allah, bahwa dia adalah hanya wadah kosong yang telah siap diisi oleh kehendak-Nya.
Adalah sifat makhluk, menerima segala sesuatunya, baik itu wujudnya yang merupakan perwujudan-Nya, hidupnya adalah hidup-Nya, penglihatannya juga merupakan penglihatan-Nya, bahkan pendengarannya adalah karena karunia dari-Nya. Dan kepada hal yang lebih kita ketahui dan sadari bahwa bukanlah diri kita yang memerintahkan, seperti kepada bertumbuh panjangnya kuku-kuku pada jari-jemari dan bertumbuh panjangnya rambut. Dan juga, perintah kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan untuk menyebarkan saripati makanan, serta memberi perintah kepada paru-paru untuk memisahkan oksigen dari gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan untuk mengubah suplay makanan tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan. Belum lagi mengenai kehidupan milyaran sel-sel tubuh yang hidup dan mati kemudian berkembang biak pula pada setiap jaringan pembentuk organ tubuh, yang menciptakan sistem kehidupan di dalam alam tubuh atau jasad diri kita, yang pula kita tidak menyadarinya.
Tiada sedikitpun peran serta diri kita terhadap semua hal tersebut. Diri hanya ikut menyaksikan dan merasakan, dan bukanlah operator-nya. Lantas mengapa ada dosa dan menanggung dosa?
Karena di alam maka keterbatasan menjadi ada, serta mengurungnya dalam kesempitan pandangan atau pemahaman, dan segala sesuatu ciptaan-Nya menjadi berpasang-pasangan, termasuk keinginan diri. Bila keinginan diri lebih cenderung kepada menyaksikan dan merasakan keburukan, maka dosalah yang dihadapinya. Dan iblispun dengan siasatnya dapat ikut berperan, mengemas keburukan agar dipandang indah sebagai kebaikan oleh diri supaya tersesat. Itulah tipu daya iblis. Pada diri seperti ini, malaikat telah berubah menjadi iblis yang membangkang perintah Tuhannya, dan tidak mau tunduk (sujud) kepada keturunan Adam (lihat dan pahami kembali uraian keimanan kepada malaikat).
Pada diri, menerima keburukan untuk mengetahui kebaikan, yang sesungguhnya adalah tujuan utama sebenarnya. Maka, menerima dosa untuk segera mengejar pahala kebaikan yang masih banyak tersebar menunggu untuk diraih, merupakan yang perlu disadarinya. Adalah hal yang tak wajar bila menyeimbangkan keburukan dengan kebaikan. Minimalkanlah keburukan sekecil mungkin, dan maksimalkan sebesar-besarnya kebaikan.
Itulah manajemen hidup pada umumnya. Seperti pedagang yang tak ingin merugi terus-menerus atau bahkan seimbang, pas-pasan, yang berarti tiada keuntungan. Seperti seorang supir yang meminimalkan terjadinya kecelakaan dengan memeriksa terlebih dahulu kendaraannya, seperti oli, aki, rem, dan lampu-lampu sebelum bekerja mengendarainya.
Segala sesuatu selalu bergerak menuju kepada kesempurnaan, yaitu kebaikan. Itulah yang sesungguhnya hidup menerima. Menerima ketetapan dan kehendak-Nya, yaitu mencapai kesempurnaan sebagai khalifah di muka bumi yang saling berbagi rahmat kepada sesama (sebagai makhluk) semesta alam.
Hanya Tuhan yang Maha Esa atau Allah yang Maha Tunggal yang hidup, dan selainnya, segala sesuatu termasuk diri kemanusiaan, yang merupakan ciptaan-Nya, yang dapat hidup karena menerima kehidupan dari Dia yang juga Maha Hidup. Dan dengan kehidupan tersebutlah, maka menyebabkan segala sesuatu menjadi memiliki arti atau nilai. Insan kemanusiaan yang menerima anugerah seluruh ke-20 (dua puluh) sifat Allah, dari wujud sampai mutakalimaan, adalah merupakan fitrah-nya sebagai ketetapan-Nya yang takkan pernah berubah.
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)
Bila pada hidup-nya saja, diri kemanusiaan hanya menerima, maka tentu apapun itu yang berada di dalam kehidupan-nya juga seharusnya dapat diterima, sekalipun adalah sebuah keburukan. Sehingga hanya yang tidak tahu diri-lah sesungguhnya yang tidak dapat atau tidak mau menerima apa-apa yang diberikan kepadanya, termasuk keburukan.
Kenalilah diri sendiri, yaitu dengan berusaha mengenal Tuhan-nya. Atau kenalilah Tuhan-nya, yaitu dengan berusaha mengenali diri-nya sendiri. Keduanya adalah cara untuk dapat menerima segala sesuatu, baik itu anugerah dan bencana, kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan, kemudahan dan kesulitan, kelebihan dan kekurangan, kekayaan dan kemiskinan, dan segala sesuatu yang lainnya yang merupakan isi dalam hidup yang pula diterima dari Tuhannya. Sehingga mencapai puncak kesadaran, bahwa sesungguhnya diri-nya lah yang tidak ada (gaib). Wujud-nya adalah karena diwujudkan, hidup-nya adalah karena dihidupkan, kekuatan-nya adalah karena diberikan kekuatan, bahkan nafas-nya pun karena diberikan, kematian-nya pun adalah karena diberikan oleh Dia sesungguhnya Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Tiada yang luput dari kuasa-Nya.
Maka keikhlasan adalah mutlak wajar sebagai perwujudan rasa menerima-nya sebagai sebuah kemurnian ibadah (amal perbuatan)-nya sebagai insan kemanusiaan yang ada dan bernilai hanya karena dan kehendak Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang. Dia-lah Allah yang memiliki dan menguasai segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi serta yang berada diantara keduanya. Tidaklah segala sesuatu tersebut yang terlepas dari pengawasan dan pemeliharaan-Nya.
Orang yang memiliki kelapangan dada untuk berserah diri (islam) tentu seharusnya memiliki pula kesabaran. Sebab, mereka yang melapangkan dadanya akan lebih membuka hatinya terhadap masuknya limpahan cahaya petunjuk dari Tuhannya.
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ”  (QS 6:125)
Siapapun diri itu, yang telah mencapai kesabaran, memiliki kelapangan dada untuk keberserahan diri (islam)-nya kepada Yang Maha Kuasa. Apapun alasan penolakan terhadap ini, sesungguhnya dia telah memiliki iman dan keyakinan-nya, hanya tinggal tahapan pencapaian kebenarannya untuk mendapatkan yang haqq yang, mungkin saja, belum tercapai. Bahkan diri-diri yang merasa telah mencapai kebenaran pun, sesungguhnya belumlah mencapai kebenaran yang haqq, hanya sedang mengarah kesana. Maka, adalah naif, bila kita telah berani menetapkan bahwa dia belum islam (berserah diri). Jadi, hanya tingkatan keikhlasannya-lah yang membedakan kedudukan seseorang di mata Tuhannya, bukan di mata manusia.
Kesabaran-lah yang sesungguhnya dapat menerima secara ikhlas bahwa diri sedang mengalami kesulitan, sedang mengalami kebangkrutan, sedang mengalami fitnah, sedang mengalami musibah. Yang kesemuanya hanyalah keadaan yang sementara sifatnya, tidak kekal dan abadi, serta akan berakhir. Seperti terangnya siang yang diakhiri oleh senja, kemudian datangnya malam yang gelap. Begitulah kehidupan yang di dalamnya begitu beragam pasangan segala sesuatu yang mengisinya, sehingga terasalah nikmatnya.
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan yang kafir).......” (QS 3:140)
Bayangkanlah bila hidup ini monoton, kita hanya menerima kemudahan atau kebahagiaan saja, apakah akan terasa nikmatnya? Bagaimana bisa kita merasa bahagia bila tak pernah mengalami kesedihan? Dan bagaimana bisa kita merasa adanya kemudahan bila tak pernah mengalami kesulitan? Adakah di alam ini yang kita temui tak bersama pasangannya? Bila kesadarannya telah melampaui ini, maka kesabaran-nya telah melebur kepada rasa syukur-nya, sehingga yang tinggal hanya puja-pujian kepada Tuhannya.

Dengan melakoni hidup menerima adalah bentuk usaha menghilangkan pengakuan (ego) yang membelenggunya, kemudian melangkah kepada mengakui segala keagungan dan kemurahan Tuhannya atas apa-apa yang telah diterimanya sebagai anugerah yang dititipkan atau diamanahkan kepadanya yang kelak perlu dipertanggung jawabkan sebagai amal perbuatan untuk bekalnya di hari kemudian.