Selasa, 04 Juni 2013

KEMBALI PULANG: MEYAKINI HARI AKHIR

KEMBALI PULANG: MEYAKINI HARI AKHIR: Bab V MEYAKINI HARI AKHIR (HARI KEMUDIAN) “Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya ? (Tidak) maka han...

Bab VI - MEYAKINI NASIB (TAKDIR) BAIK & BURUK




Bab VI
MEYAKINI
KADAR BAIK dan BURUK
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan yang kafir).......”
(QS 3:140)
M
engimani Kebaikan dan Keburukan adalah syarat mutlak bagi orang-orang yang beriman, dan pada pelaksanaan kehidupannya, bukan hanya sekedar beriman dan mempercayainya saja, melainkan dapat menerima-nya dengan tulus murni (ikhlas) sebagai bagian dari kehidupannya. Keimanan ini adalah keimanan dengan berprasangka baik kepada Allah, yang sesungguhnya hanya memberi nikmat dari rahmat kebaikan sebagai rahmat tunggal-Nya. Bukanlah rahmat yang buruk, kemanusiaanlah yang menilainya menjadi berpasangan. Bila tak sesuai atau berlawanan dengan keinginan dan harapannya, maka disebutlah sebagai keburukan.
Kadar baik dan buruk adalah merupakan suatu ketetapan Allah (sunathullah), yang memang selalu ada dan selalu menyertai setiap segala sesuatu yang merupakan ciptaan atau makhluk Allah. Kadar baik dan buruk, juga adalah merupakan bagian dari ketetapan Allah (sunathullah) yang terkandung dalam qudrat dan iradat-Nya kepada segala sesuatu makhluk ciptaan-Nya. Seperti siang dan malam, terang dan gelap, serta cahaya dan bayang-bayang. Dan segala sesuatu (ciptaan-Nya) tersebut tidak dapat menolaknya.
Menerima dan kemudian menjalaninya adalah mutlak bagi makhluk, dan dengan memanfaatkannya sebagai sesuatu yang berguna adalah wujud syukur atas segala rahmat-Nya tersebut. Sehingga membawanya kepada kesadaran, bahwa tiada yang buruk dari setiap ketetapan Allah. Malah membawanya kepada rasa bersyukur karena telah menerima hikmah-Nya, karena segala sesuatu yang diterimanya tersebut hanyalah rasa. Yang sesungguhnya pun adalah fana, sementara, hanya sekejapan mata, dan kemudian menjadi yang terlupakan karena telah ada lagi kesibukan lain yang perlu diurus dan harus pula segera diselesaikan.
Begitulah hidup. Sungguh hanyalah kesia-siaan, bila membawa terus menerus rasa tersebut, apakah itu kebaikan maupun keburukan, selain menjadikan beban, juga dapat menjadikan penyakit pada hati serta penyakit pada fisik. Masih banyak urusan atau pekerjaan lain yang harus diselesaikan, janganlah terpaku hanya kepada yang justru sia-sia pada akhirnya.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Baik dan buruk, serta segala sesuatu bersama pasangannya adalah karena di alam, sedangkan hal tersebut, sebenarnya adalah suatu yang mutlak ada sebagai ketetapan (sunathullah) yang tunggal, tidak berpasangan apalagi saling berlawanan. Hanya karena di alam, makhluk menganggap dan melihatnya seperti itu. Karena di alam, maka segala keterbatasan menjadi ada, itupun adalah ketetapan-Nya.
Pasangan Segala Sesuatu
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).” (QS 51:49)
Lihat, dan pikirkanlah segala sesuatu di alam ini, makhluk hidup ataupun tanaman, bermacam benda, rasa yang berupa keadaan atau suasana, serta kejadian apapun, sesungguhnya semua itu berpasangan. Membuktikan bahwa segala sesuatu selain Dia adalah makhluk ciptaan-Nya. Juga, segala sesuatu tersebut saling berinteraksi atau berketerkaitan satu sama lainnya menciptakan sistem semesta yang saling terkait dan menguntungkan, simbiosis mutualisme, yang telah ditetapkan oleh-Nya (sunathullah).
Sejauh mata memandang, dan sedalam-dalamnya berfikir, jika pada akhirnya dapat menemukan sesuatu yang tunggal, maka Dia-lah Allah. Yang patut disembah dan dipuja, karena oleh Dia-lah maka segala sesuatu yang terlihat, banyak, akbar, serta sempurna, menjadi ada dan nyata. Akan tetapi takkan mungkin Dia dapat dilihat dan ditemukan layaknya melihat dan menemukan sesuatu benda. Mustahil kemungkinan yang dicipta dapat melihat dan menemukan Sang Pencipta-nya. Hanya dengan hati yang bersih dari pengakuan (ego) maka keberadaan dan kuasa-Nya dapat dirasakan dalam bentuk rahmat-Nya yang tiada habis-habisnya terasa, apalagi terhitung.
Berpasang-pasangan adalah sifat makhluk sebagai ketetapan mutlak-Nya, juga sebagai perwujudan Akbarnya Dia di semesta alam beserta isi atau makhluk ciptaan-Nya yang begitu luasnya tak terukur dan tak terbilang.
Selain wujud nyata yang terlihat seperti makhluk, baik yang terlihat ataupun yang tak terlihat, dan benda tak hidup (anggapan sementara secara umum), baik yang nyata dan tak nyata, semuanya memiliki pasangannya. Begitu pula kepada rasa dan sifat yang dialami makhluk atau benda tersebut memiliki pasangannya pula. Sebagai makhluk, maka menilai semua pasangan yang dirasakan atau dialami bathinnya terangkum sebagai kebaikan atau keburukan. Bila kebaikan, maka diterimanya bahkan diharapkannya. Dan bila keburukan, maka ditolak atau dihindarinya.
Padahal keduanya, yaitu kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang pasti dan harus dialami sebagai ketetapan mutlak kehidupan dari yang memiliki sejatinya kehidupan yang mutlak, yaitu Dia. Dan bagi makhluk yang sebagai penerima, yang dapat atau harus menerima. Dan segala sesuatu yang diterimanya sebenarnya adalah rahmat Allahu Rahmaanur-rahiiym. Bagaimana mungkin Dia yang Maha Pemurah lagi Penyayang memberikan keburukan? Carilah hikmahnya, maka kelak diri akan bersyukur sekalipun yang sebelumnya dianggap sebagai keburukan, kemudian ternyata membawa manfaat yang merupakan kebaikan.
“Karena sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Keburukan, adalah ibarat bungkus yang menyelimuti kebaikan (rahmat Allah) yang berada didalamnya. Hanya karena berada di dalam sebagai yang tak terlihat (masih ghaib), maka diperlukan usaha mebuka bungkus yang menyelimutinya tersebut. Begitulah hati kita memahami segala sesuatu yang datang kepada diri kita, apakah sebagai yang kita nilai kebaikan atau keburukan pada awalnya, yang kelak akan diketahui hikmahnya bahwa, sesungguhnya Allah hanya memberi kebaikan, yaitu rahmat-Nya. Hanya dengan hati yang bersih dari kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego), maka cahaya Allah dapat menerangi, bahwa yang datang dan diterimanya adalah rahmat Allah, yang seluruhnya adalah kebaikan.
Layaknya malam yang berganti fajar, dan terang kemudian datang menyambutnya. Atau kelelahan sehingga merasa harus beristirahat, dan segar kembali setelah bangunnya. Atau juga kebelet, hingga harus terbirit-birit lari kebelakang untuk (maaf) buang air, dan setelahnya akan merasa lega. Adakah pada semua itu merupakan keburukan? Seperti itu pula-lah hati kita seharusnya membuka kesadarannya untuk mendapatkan hikmah terhadap apa-apa yang datang dan dinilainya sebagai keburukan, yang ternyata adalah kebaikan.
Ada sedikit contoh sebagai hikmah, sodorkanlah segala macam makanan yang enak dan nikmat kepada orang yang sedang sakit gigi sebagai suatu kebaikan. Tentu dia akan menolaknya sebagai suatu keburukan yang harus dihindarinya. Maka hikmahnya adalah, kenikmatan apapun yang merupakan kebaikan yang diberikan akan menjadi keburukan bagi bathin yang sedang kacau. Apapun menjadi serba buruk, hanya obat kacaunya yang dia butuhkan. Bathinlah yang menentukan kebaikan ataupun keburukan yang diterimanya. Dan bila diterima salah satunya, maka pasti pula akan menerima pasangannya kelak kemudian. Karena segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”  (QS 21:35)
 Kita telah dapat menerima lapar setelah kenyang, menerima malam setelah siang, bahkan, maaf, menerima ‘buang air’ setelah masuknya makanan dan minuman. Menerima itu sebagai ketetapan yang harus diterima, akan tetapi cobalah pikirkan dan renungkan bila datang pula ketetapan lain dari-Nya. Seperti, saat lapar tetapi tidak ada makanan atau uang untuk membelinya, kelaparan yang terjadi. Atau, saat tiba malam datang tetapi pas terkena giliran pemadaman listrik, merana yang terjadi. Serta, susah ‘buang air’ setelah banyak makanan yang masuk.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Padahal, sekalipun ketetapan-Nya, ternyata diri kita sendirilah yang menyebabkan itu semua terjadi. Segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya. Layaknya siang dan malam, pagi dan sore, serta fajar dan petang. Cahaya dan bayang-bayang, panjang dan pendek, serta lurus dan bengkok. Begitu pula bahagia dan sedih, mudah dan sukar, serta nikmat dan sengsara. Segala sesuatunya tersebut dinilai sebagai kebaikan dan keburukan oleh makhluk. Ketetapan yang mutlak diterima makhluk, sedangkan baik-buruknya adalah penilaiannya sendiri yang justru yang dapat menjerumuskannya.
Dikatakan menjerumuskan, bila diri terhanyut dan terlena oleh kebaikan, atau menolak keburukan yang datang yang ternyata  akibat dari perbuatannya. Lupa bersyukur bila menerima kebaikan karena hanyut dan terlena pada kenikmatannya, dan akan menyebabkan datangnya pasangannya (keburukan) yang semakin besar keburukannya akibat sebelumnya diri yang hanyut dan terlena. Keburukan yang pasti datang setelah kebaikan, adalah mutlak, akan tetapi hanyut dan terlena rupanya ikut menambahkan akibat-akibat baru yang semakin memperburuk keadaan dirinya. Bila tidak diputus ‘rantai’ hanyut dan terlenanya, maka akan terus berlanjutlah keburukan-keburukan yang akan timbul.
Seperti efek domino. Sekalipun hadir sesekali kebaikan sebagai rahmat-Nya, tapi terasa tak mencukupi untuk menutupi keburukan akibat hanyut dan terlena pada masa sebelum-belumnya, sebagai akibat yang satu per satu yang harus dituai, kelak sebagai hari kemudian-nya. Diperlukan sikap tegas dan mental yang kuat untuk beralih, setelah menyadari, dan mulai mengambil jalan lurus-Nya (taubatan nassuha).
Begitupun sebaliknya, kebaikan yang pasti datang setelah keburukan. Keduanya adalah sebagai yang pasti datang dan harus diterima diri-diri kemanusiaan sebagai rahmat-Nya. Sekalipun sekaliber nabi, tetap harus menerima keduanya. Hanya mereka yang mulia dan berakhlak terpuji sajalah yang dapat rela dan ikhlas menerima keburukan seperti menerima kebaikan, dan menganggap keduanya adalah rahmat dari Tuhannya.
Sabar, Bersyukur & Hidup Menerima
“Dan, orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir”. (QS 13:22)
Kesabaran adalah suatu upaya yang mengorientasikan kebenaran dalam amal perbuatan agar tidak menimbulkan kekecewaan atau penyesalan (bagi dirinya maupun pihak lain) dibelakang hari. Kesuksesan adalah buah dari amal perbuatan yang diiringi kesabaran. Seperti yang sebelumnya telah diulas dalam uraian-uraian sebelumnya, wajah Tuhan yang dicari tersebut, ternyata dapat dicari pada perwujudan-Nya yang berupa semesta alam berikut isinya. Kesabaran mencari-Nya ternyata malah membawanya kepada memahami diri-nya sendiri, yang justru hanyalah kefanaan tanpa arti bila tanpa para aparat Allah. Kesabarannya itu pulalah yang membawanya kepada lebih menghargai kehidupan baik bagi diri-nya sendiri maupun kepada sesamanya serta makhluk-makhluk Allah lainnya. Sebagi wujud rasa bersyukurnya atas rahmat petunjuk-Nya yang membawanya kepada keselamatan hidup.
Kesabaran juga dapat menolak kejahatan seperti diterangkan ayat diatas. Dikarenakan kesabaran adalah salah satu upaya amal perbuatan yang baik, maka kebaikan itulah yang dapat menolak kejahatan untuk tidak jadi datang kepadanya.
Lihat dan perhatikanlah, manusia yang selalu menjaga amal perbuatannya tetap dalam kebaikan, tidak membuang sampah sembarangan, hutan dijaga kelestariannya, tidak membangun pemukiman pada daerah resapan air (mengurug rawa), menjaga lingkungan tetap asri dengan tidak asal menebang pohon disekitar lingkungannya, menjaga hubungan baik dengan sesama, yang kesemuanya itu pun akhirnya akan kembali kepada manusia. Ia akan merasakan nyaman dan tentram tinggal disitu, bersih dan sehat, tidak kebanjiran dikala musim hujan, tidak kegerahan disaat musim panas, tetangga sekitar pun baik dan ramah. Inilah salah satu contoh menolak kejahatan dengan kebaikan. Yaitu kesabaran dalam kebaikan yang hasilnya kembali kepadanya berupa nikmat yang sungguh untuk dapat disyukurinya. Atau dalam makna lain dari ayat tersebut adalah, mencegah kejahatan atau keburukan agar tidak datang, yaitu dengan mendahului perbuatan kebaikan.
“Karena sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Begitulah pasangan segala sesuatu tersebut sebagai yang akan datang secara bergantian. Dengan demikian, kesulitan yang sedang melanda dirinya, dihadapi dengan kesabaran sebagai wujud keberserah dirian (islam) kepada Tuhannya. Dan mereka yang telah berserah diri (islam) tentunya meyakini kemudahan yang akan datang dari Tuhannya dengan bersyukur.
Bila sabar dan bersyukur adalah dua hal yang merupakan pasangan, maka sabar-nya adalah merupakan tindakan atau upaya pertahanan terhadap keburukan yang menimpa dirinya. Sedangkan rasa bersyukur-nya adalah wujud puja-puji kepada yang memberi kekuatan (yaitu Allah) untuk dapat melewati keburukan, dan kemudian sebagai menerima lagi kebaikan setelah keburukan itu berlalu.
Akan tetapi, ternyata, kesabaran bukan saja hanya pada keburukan yang diterima, melainkan pula pada kebaikan sebagai anugerah dari-Nya. Karena anugerah kebaikan yang datang dan diterima, bila tidak disertai pengelolaan yang baik dalam kelurusan-Nya, pada akhirnya akan membawa bencana keburukan. Segala sesuatu datang dan hadir pasti bersama pasangannya.
Dan pada orang-orang yang telah memahami makna kadar baik dan buruk sebagai sesuatu yang alami (sunathullah), yaitu menghadapi keburukan seperti melalui malam sebagai sesuatu yang memang pasti dihadapi. Seperti pula, maaf, harus ‘buang air’ bila tak mau dihinggapi penyakit. Maka diri ini telah menerima hidup sebagai makhluk Allah, bahwa dia adalah hanya wadah kosong yang telah siap diisi oleh kehendak-Nya.
Adalah sifat makhluk, menerima segala sesuatunya, baik itu wujudnya yang merupakan perwujudan-Nya, hidupnya adalah hidup-Nya, penglihatannya juga merupakan penglihatan-Nya, bahkan pendengarannya adalah karena karunia dari-Nya. Dan kepada hal yang lebih kita ketahui dan sadari bahwa bukanlah diri kita yang memerintahkan, seperti kepada bertumbuh panjangnya kuku-kuku pada jari-jemari dan bertumbuh panjangnya rambut. Dan juga, perintah kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan untuk menyebarkan saripati makanan, serta memberi perintah kepada paru-paru untuk memisahkan oksigen dari gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan untuk mengubah suplay makanan tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan. Belum lagi mengenai kehidupan milyaran sel-sel tubuh yang hidup dan mati kemudian berkembang biak pula pada setiap jaringan pembentuk organ tubuh, yang menciptakan sistem kehidupan di dalam alam tubuh atau jasad diri kita, yang pula kita tidak menyadarinya.
Tiada sedikitpun peran serta diri kita terhadap semua hal tersebut. Diri hanya ikut menyaksikan dan merasakan, dan bukanlah operator-nya. Lantas mengapa ada dosa dan menanggung dosa?
Karena di alam maka keterbatasan menjadi ada, serta mengurungnya dalam kesempitan pandangan atau pemahaman, dan segala sesuatu ciptaan-Nya menjadi berpasang-pasangan, termasuk keinginan diri. Bila keinginan diri lebih cenderung kepada menyaksikan dan merasakan keburukan, maka dosalah yang dihadapinya. Dan iblispun dengan siasatnya dapat ikut berperan, mengemas keburukan agar dipandang indah sebagai kebaikan oleh diri supaya tersesat. Itulah tipu daya iblis. Pada diri seperti ini, malaikat telah berubah menjadi iblis yang membangkang perintah Tuhannya, dan tidak mau tunduk (sujud) kepada keturunan Adam (lihat dan pahami kembali uraian keimanan kepada malaikat).
Pada diri, menerima keburukan untuk mengetahui kebaikan, yang sesungguhnya adalah tujuan utama sebenarnya. Maka, menerima dosa untuk segera mengejar pahala kebaikan yang masih banyak tersebar menunggu untuk diraih, merupakan yang perlu disadarinya. Adalah hal yang tak wajar bila menyeimbangkan keburukan dengan kebaikan. Minimalkanlah keburukan sekecil mungkin, dan maksimalkan sebesar-besarnya kebaikan.
Itulah manajemen hidup pada umumnya. Seperti pedagang yang tak ingin merugi terus-menerus atau bahkan seimbang, pas-pasan, yang berarti tiada keuntungan. Seperti seorang supir yang meminimalkan terjadinya kecelakaan dengan memeriksa terlebih dahulu kendaraannya, seperti oli, aki, rem, dan lampu-lampu sebelum bekerja mengendarainya.
Segala sesuatu selalu bergerak menuju kepada kesempurnaan, yaitu kebaikan. Itulah yang sesungguhnya hidup menerima. Menerima ketetapan dan kehendak-Nya, yaitu mencapai kesempurnaan sebagai khalifah di muka bumi yang saling berbagi rahmat kepada sesama (sebagai makhluk) semesta alam.
Hanya Tuhan yang Maha Esa atau Allah yang Maha Tunggal yang hidup, dan selainnya, segala sesuatu termasuk diri kemanusiaan, yang merupakan ciptaan-Nya, yang dapat hidup karena menerima kehidupan dari Dia yang juga Maha Hidup. Dan dengan kehidupan tersebutlah, maka menyebabkan segala sesuatu menjadi memiliki arti atau nilai. Insan kemanusiaan yang menerima anugerah seluruh ke-20 (dua puluh) sifat Allah, dari wujud sampai mutakalimaan, adalah merupakan fitrah-nya sebagai ketetapan-Nya yang takkan pernah berubah.
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)
Bila pada hidup-nya saja, diri kemanusiaan hanya menerima, maka tentu apapun itu yang berada di dalam kehidupan-nya juga seharusnya dapat diterima, sekalipun adalah sebuah keburukan. Sehingga hanya yang tidak tahu diri-lah sesungguhnya yang tidak dapat atau tidak mau menerima apa-apa yang diberikan kepadanya, termasuk keburukan.
Kenalilah diri sendiri, yaitu dengan berusaha mengenal Tuhan-nya. Atau kenalilah Tuhan-nya, yaitu dengan berusaha mengenali diri-nya sendiri. Keduanya adalah cara untuk dapat menerima segala sesuatu, baik itu anugerah dan bencana, kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan, kemudahan dan kesulitan, kelebihan dan kekurangan, kekayaan dan kemiskinan, dan segala sesuatu yang lainnya yang merupakan isi dalam hidup yang pula diterima dari Tuhannya. Sehingga mencapai puncak kesadaran, bahwa sesungguhnya diri-nya lah yang tidak ada (gaib). Wujud-nya adalah karena diwujudkan, hidup-nya adalah karena dihidupkan, kekuatan-nya adalah karena diberikan kekuatan, bahkan nafas-nya pun karena diberikan, kematian-nya pun adalah karena diberikan oleh Dia sesungguhnya Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Tiada yang luput dari kuasa-Nya.
Maka keikhlasan adalah mutlak wajar sebagai perwujudan rasa menerima-nya sebagai sebuah kemurnian ibadah (amal perbuatan)-nya sebagai insan kemanusiaan yang ada dan bernilai hanya karena dan kehendak Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang. Dia-lah Allah yang memiliki dan menguasai segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi serta yang berada diantara keduanya. Tidaklah segala sesuatu tersebut yang terlepas dari pengawasan dan pemeliharaan-Nya.
Orang yang memiliki kelapangan dada untuk berserah diri (islam) tentu seharusnya memiliki pula kesabaran. Sebab, mereka yang melapangkan dadanya akan lebih membuka hatinya terhadap masuknya limpahan cahaya petunjuk dari Tuhannya.
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ”  (QS 6:125)
Siapapun diri itu, yang telah mencapai kesabaran, memiliki kelapangan dada untuk keberserahan diri (islam)-nya kepada Yang Maha Kuasa. Apapun alasan penolakan terhadap ini, sesungguhnya dia telah memiliki iman dan keyakinan-nya, hanya tinggal tahapan pencapaian kebenarannya untuk mendapatkan yang haqq yang, mungkin saja, belum tercapai. Bahkan diri-diri yang merasa telah mencapai kebenaran pun, sesungguhnya belumlah mencapai kebenaran yang haqq, hanya sedang mengarah kesana. Maka, adalah naif, bila kita telah berani menetapkan bahwa dia belum islam (berserah diri). Jadi, hanya tingkatan keikhlasannya-lah yang membedakan kedudukan seseorang di mata Tuhannya, bukan di mata manusia.
Kesabaran-lah yang sesungguhnya dapat menerima secara ikhlas bahwa diri sedang mengalami kesulitan, sedang mengalami kebangkrutan, sedang mengalami fitnah, sedang mengalami musibah. Yang kesemuanya hanyalah keadaan yang sementara sifatnya, tidak kekal dan abadi, serta akan berakhir. Seperti terangnya siang yang diakhiri oleh senja, kemudian datangnya malam yang gelap. Begitulah kehidupan yang di dalamnya begitu beragam pasangan segala sesuatu yang mengisinya, sehingga terasalah nikmatnya.
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan yang kafir).......” (QS 3:140)
Bayangkanlah bila hidup ini monoton, kita hanya menerima kemudahan atau kebahagiaan saja, apakah akan terasa nikmatnya? Bagaimana bisa kita merasa bahagia bila tak pernah mengalami kesedihan? Dan bagaimana bisa kita merasa adanya kemudahan bila tak pernah mengalami kesulitan? Adakah di alam ini yang kita temui tak bersama pasangannya? Bila kesadarannya telah melampaui ini, maka kesabaran-nya telah melebur kepada rasa syukur-nya, sehingga yang tinggal hanya puja-pujian kepada Tuhannya.

Dengan melakoni hidup menerima adalah bentuk usaha menghilangkan pengakuan (ego) yang membelenggunya, kemudian melangkah kepada mengakui segala keagungan dan kemurahan Tuhannya atas apa-apa yang telah diterimanya sebagai anugerah yang dititipkan atau diamanahkan kepadanya yang kelak perlu dipertanggung jawabkan sebagai amal perbuatan untuk bekalnya di hari kemudian.

Kamis, 30 Mei 2013

KEMBALI PULANG: MEYAKINI HARI AKHIR

KEMBALI PULANG: MEYAKINI HARI AKHIR: Bab V MEYAKINI HARI AKHIR (HARI KEMUDIAN) “Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya ? (Tidak) maka han...

MEYAKINI HARI AKHIR



Bab V
MEYAKINI HARI AKHIR
(HARI KEMUDIAN)
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.”
 (QS 53:24-25)
A
llahu maalikiyaw mid-diiyn, Dia, Allah Pemilik dan Penguasa ‘hari-hari agama’, adalah merupakan pijakan uraian mengenai rukun iman yang ke lima ini. Literatur umum, menafsirkan ‘yaw mid-diiyn sebagai hari pembalasan, akhirat, serta surga dan neraka. Dalam terjemahannya yang jelas, maksudnya lebih menekankan peran agama sebagai ‘diyn’, yaitu petunjuk ajaran atau aturan hidup menuju keselamatan. Makna luasnya adalah kehidupan yang diisi hari-hari yang tidak pernah lepas dari aturan hidup sebagai petunjuk dari Allahu rahmanur-rahiiym dan Allahu raabal ‘aalamiiyn, sebagai Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan Tuhan semesta (seluruh) alam. Apakah itu kehidupan di dunia ataupun di akhirat, maupun diantara keduanya seperti hidup menanti di alam kubur.
Bila kita fokus kepada ‘hari-hari agama’, maka itu jelas mengarahkan makna kepada, bahwa kehidupan ini dan kehidupan nanti akan selalu dibawah naungan Dia yang maha menunjuki, merahmati dan menguasai-nya. Sehingga tidak tepatlah, anggapan sebelumnya, di alam akhirat setelah kematian,  bahwa telah terputus-nya segala amalan. Sebagaimana kita diajarkan untuk selalu mendoakan orangtua, para salihin, muslimin dan dan muslimat, serta bershalawat kepada nabi Muhammad SAW. Karena ternyata secara tegas disebutkan agama masih tetap berperan, sekalipun pada kehidupan di hari kemudian.
“ya Tuhan Kami, dan masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Pada ayat diatas dijelaskan, bahwa para penghuni surga pun masih memerlukan keselamatan dari kejahatan yang ada pada hari itu. Karena ketetapan Allah adalah mutlak untuk di segala ruang (alam) dan waktu (yang lalu, sekarang, maupun kemudian). Dan Allah pun menegaskan, bahwa alam surga dan neraka pun adalah berada di alam dunia ini, dan sedang berlangsung sekarang ini.
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain).......”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Dengan demikian, apakah sekarang ini, kita sedang berhadapan dengan orang-orang yang sedang mengalami surga dan neraka-nya? Berarti, diri kita ini pun sedang mengalaminya? Hal ini akan semakin jelas, setelah kita masuk pada uraian tentang kematian dan kebangkitan. Bersabarlah dalam memahami makna-makna yang terkandung dalam Al Qur’an, dan mohonlah perlindungan-Nya, agar kita tidak mudah tersesat.
“Apabila kamu membaca Al Quran, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari (penyesatan) syaitan yang terkutuk.”  (QS 16:98)
“..... dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Quran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”  (QS 20:114)
Pada hari akhir, kata ‘akhir’ adalah lawan kata ‘awal’, bermakna ujung dari sesuatu, yang lebih menekankan waktu atau saat kejadian berujung. Hari Akhir dapat berarti, akhir dari suatu urusan dalam kehidupan dunia, dan dapat pula merupakan berakhirnya hidup di dunia (kematian), serta bermakna yang jauh lebih luas lagi, yaitu akhirnya dunia atau semesta (kiamat). Akan tetapi hari akhir hanyalah masa transisi atau peralihan atau pula penantian, yang berisi masa pengadilan atau penilaian, perhitungan, maupun hisab, untuk menentukan kemana kemudian kehidupan selanjutnya tertuju, yaitu hari kemudian.
Seperti adanya esok setelah hari ini, adanya nanti setelah sekarang, dan adanya memetik setelah menanam. Seperti pula, naik atau tidak naik kelas, lulus atau tidak lulus sekolah, dan naik atau turun jabatan, yang membuat seseorang melanjutkan kehidupan pada suasana baru sebagai  alam lain-nya, yang tentunya amat dipengaruhi oleh kehidupan sebelumnya. Akan tetapi tetap dalam suasana yang sama, yaitu dalam suasana berlatih (belajar) untuk menuju suatu kesempurnaan, serta kesucian jiwa (diri)-nya agar dapat kembali pulang kepada-Nya. Ilayhi raji’un. Hanya diri-diri yang telah bersih dari kontaminasi kekotoran yang dapat kembali kepada-Nya, yaitu jiwa-jiwa yang tak lagi membawa keinginan dan kebutuhan, apalagi jiwa yang tersesat. Itulah tauhid murni.
Pada suatu urusan, masih didunia, malu dan terpojok ataupun rasa sakit sebagai balasan langsung adalah sebagai neraka dunia-nya (neraka wayl), dan rasa puas dan nikmat sebagai surga dunia-nya (surga firdaus). Dan di akhirat (setelah kematian), semua rasa yang sangat tidak enak dan sangat menyakitkan terwujud sebagai neraka akhiratnya (neraka safiil), serta semua rasa kenikmatan terwujud sebagai surga akhiratnya (surga adniin). Serta di tempat tunggal-Nya, yaitu di kalbu yang paling dalam, yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu baik di dunia maupun nanti di akhirat, hati yang sempit terhimpit akibat rasa bersalah, apapun menjadi serba salah, adalah nerakanya (neraka jahanam), serta damai dan tentram serta sejahtera sebagai surganya (surga na’im).
Dari ketiga uraian tersebut, adalah rasa yang merupakan unsur dominan sebagai objek yang menerima balasan dari setiap amal perbuatan sebelumnya. Sementara wujud diri dan alam sebagai tempat diri berada, tidaklah menjadi hal penting, sekalipun suasana tempat ikut mempengaruhi, akan tetapi tetap rasa-lah sebagai yang merasakan nikmat atau tidaknya. Dalam kehidupan sekarang pun rasa-lah yang dicari dan dihindari. Yaitu rasa nikmat sebagai yang dicari, dan rasa tidak nikmat sebagai yang dihindari. Berapapun harga kenikmatan itu akan dibayar untuk mendapatkannya, begitupun sebaliknya, berapapun harga yang dikeluarkan akan dibayar untuk menghindari ketidak nikmatan.
Kematian
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”  (QS 67:2)
Kematian adalah hari akhir-nya kehidupan di dunia bagi diri kemanusiaan. Dalam kehidupannya selama di dunia, yang dalam satu harinya, disibukkan oleh kegiatannya dari pagi hingga sore, dan setelah lelahnya, dia merasakan kantuk yang luar biasa saat malam tiba, kemudian tertidur untuk beristirahat. Nah, begitu pulalah kehidupan dan kematian. Mati dan hidup adalah proses tidur dan bangun yang dalam skala panjang waktunya. Kematian merupakan pula hari akhir  kehidupan, dimana terpisahnya antara ruh, jiwa, serta jasad (tubuh) untuk beristirahat, dan menunggu dibangunkan (dibangkitkan) lagi. Masing-masing berada pada alam yang berbeda atau terpisah, tetapi dalam satu sebutan tempat tunggal, yaitu alam penantian (barzakh), tempatnya di alam kita ini juga.
Kematian pun merupakan akhir satu fase kehidupan yang diisi dengan beristirahat atau menanti di alam kubur untuk dibangkitkan melanjutkan kehidupan selanjutnya, untuk mengalami balasan sebagai tuai-an amal perbuatan kehidupan sebelumnya. Seperti kita bangun dari tidur dan melanjutkan atau mempertanggung jawabkan kembali kesibukan yang kita perbuat kemarin yang belum selesai. Bila pertanggung jawaban yang belum terselesaikan adalah hal yang besar, mungkin akan terbawa sebagai mimpi yang menyusahkan di dalam tidurnya semalam, maka seperti itu pulalah azab kubur.
Jiwa akan disimpan oleh Allah di tempat tunggal Dia yang Maha Tunggal, dan kelak akan ditiupkan-Nya saat dibangkitkannya kembali bersama jasad-nya. Karena jiwa manusia adalah ‘bagian’ dari Ruh Allah  yang dianugerahkan pada kehidupan sebelumnya, maka harus kembali lagi kepada-Nya.
...... Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Ku-sempurnakan kejadiannya dan Ku-tiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”  (QS 38:71-72)
Setelah kematian, maka kehidupan selanjutnya adalah penantian di alam kubur (barzhak), yaitu menunggu untuk dibangkitkannya kembali bersama jasad dan ruh-Nya. Lamanya penantian adalah relatif waktunya. Tentunya, bagi jiwa yang tersesat, adalah biasa baginya tidak pernah bersabar di kehidupan sebelumnya, maka pada masa penantian inipun akan terasa lama sekali dan amat menyiksa bagi jiwa-jiwa seperti ini dalam menunggu.
Sedangkan jiwa, ada dua kemungkinan kemana dia bertempat tinggal. Yang pertama, adalah bagi jiwa-jiwa yang di kehidupan di dunianya telah bersama Tuhan-nya, yaitu bagi jiwa-jiwa yang damai, tenang tentram dan terkendali (mutma’innah), maka dia akan mengikuti karena telah terbiasa manunggal, mengikuti bersama ruh-nya menuju tempat tunggal Dia yang Maha Tunggal.
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”  (QS 39:42)
Yang berikutnya adalah, bagi jiwa-jiwa yang tersesat kala di kehidupan dunianya, terpukau dan hanyut oleh kemegahan serta kemewahan dunia, maka setelah kematiannya pun, setelah terpisah dengan ruh dan jasad, tinggallah jiwa tertambat di alam dunia meratapi jasadnya yang lama kelamaan hancur, kemudian tersesat bergentayangan di tempat-tempat dahulu disenangi dan sering disinggahinya. Dia tersesat, dan tersiksa oleh rasa ketertarikan pada kemegahan dan kemewahan kehidupan dunia yang tak dapat dinikmatinya lagi namun tetap menggodanya. Dia lebih memilih begitu, sekalipun sudah tak bersama jasadnya lagi, karena tak rela meninggalkannya,  terus tersiksa menunggu hingga waktu dibangkitkannya sebagai jiwa yang merana, untuk mengalami pembalasan pula di kehidupan selanjutnya.
Kematian, seharusnya adalah kesempurnaan. Karena itu di kehidupannya kemanusiaan selalu mencari jalan untuk mendapatkan kesempurnaan-kesempurnaan dalam segala hal. Dan dalam meniti jalan-jalan tersebut, tentu tidaklah mudah, selalu ada halangan ataupun godaan bujuk rayu dari hawa nafsu (iblis)-nya sendiri yang hendak menyesatkannya. Akan tetapi, setiap diri selalu hendak mencapai kesempurnaan dalam tujuan hidupnya, sekalipun harus mengalami berkali-kali jatuh dan bangun. Sekalipun harus mengalami hidup dan mati, serta dibangkitkan beberapa kali, namun dengan itulah jiwanya menjadi kuat, dan semakin dirinya mendekati pada kesempurnaan, maka segera pula hendak meraih kesempurnaan berikutnya yang lebih sempurna lagi dari sebelumnya. Begitu seterusnya hingga dirinya akhirnya menemukan kesempurnaan sejati, yaitu kesempurnaan jiwanya untuk dapat kembali pulang kepada Dia Yang Maha Tunggal.
Tidaklah sempurna uraian ini bila tidak mengulas pula kebangkitan sebagai awal kehidupan selanjutnya di hari kemudian. Banyak ayat al Qur’an yang berisi keterangan tentang kebangkitan, mengasumsikan seolah-olah bahwa sesungguhnya Allah meragukan keyakinan manusia akan kejadian kebangkitan diri-nya. Atau sekedar memperingatkan kepada manusia yang meragukan kekuasaan Allah dalam hal membangkitkan mereka. Karena begitu banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang kebangkitan yang menggunakan perumpamaan kejadian-kejadian di alam, sehingga menafsirkan bahwa Allah meragukan keyakinan diri-diri kemanusiaan terhadap adanya kebangkitan.
Padahal sesungguhnya, kebangkitan adalah hal yang mutlak harus terjadi setelah hari perhitungan atau penghakiman, yaitu untuk menjalani kembali kehidupan yang berisi balasan atas setiap amal perbuatan di kehidupan sebelumnya. Sekalipun dunia ini belumlah kiamat. Dan itu merupakan ketetapan-Nya, sunathullah yang pasti terjadi pada setiap makhluk ciptaan-Nya. Tidak hanya pada diri kemanusiaan saja, melainkan seluruh alam raya ini berikut isinya. Seluruhnya mengalami peluruhan, kematian, kemudian terurai dan dibangkitkan kembali dengan wujud baru sebagai siklus gerak kehidupan dalam sistem semesta untuk mencapai kesempurnaan.
Siklus Kebangkitan
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2:28)
Itulah ayat yang menegaskan kejadian kebangkitan yang berulang-ulang yang merupakan siklus mati-hidup, seperti siklus tidur-bangun tetapi dalam skala panjang waktunya, atau pada siklus proses terjadinya hujan sebagai air yang menguap naik-turun kembali kebumi, atau pada makhluk-makhluk Allah lainnya. Sampai pada akhirnya kepada-Nya lah kemudian diri-diri (jiwa) dikembalikan sebagai yang telah murni, suci dan bersih.
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”       (QS 29:19)
Jadi, ini adalah siklus perubahan bentuk atau wujud karena terurai kembali sebab dari yang telah ditetapkan oleh kehendak-Nya atau lebih dikenal dengan sebutan sunathullah. Termasuk siklus perubahan bentuk pada jasad dan wajah dari waktu ke waktu yang semakin keriput dan rambut yang memutih, sekalipun tanpa menghilangkan atau merubah identitasnya. Dan dengan siklus kematian dan dibangkitkan sebagai tujuan penyucian jiwa agar bisa kembali berpulang dalam kesucian kepada-Nya sebagai Yang Tunggal. Suci dari segala macam pengakuan (ego)-nya yang mengotori jiwa-nya, sehingga menghambat jiwa-nya untuk dapat kembali kepada Yang Tunggal, karena harus mengalami dibangkitkan atau dihidupkan kembali untuk membersihkan kekotoran yang masih melekat di kehidupan sebelumnya.
“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur).”  (QS 30:19)
Bila kebangkitan adalah hal yang harus dan pasti terjadi setelah hari perhitungan atau penghakiman, yaitu untuk menjalani kembali kehidupan yang berisi balasan atas setiap amal perbuatan di kehidupan sebelumnya, maka berarti, kehidupan sekarang ini adalah merupakan balasan dari amal perbuatan pada kehidupan kita sebelumnya.
Kemudian timbul pertanyaan, sungguhkah kehidupan sekarang ini, di dunia ini, adalah kehidupan akhirat yang merupakan pembalasan dari kehidupan dunia sebelumnya? Jadi, telah berapa kalikah masing-masing kita mengalami kebangkitan?
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”    (QS 21:35)
Mungkin pertanyaan ini akan menjadi polemik, dikarenakan pemahaman sebelumnya, yang pada umumnya tidaklah demikian. Melainkan dikarenakan pemahaman sebelumnya yang secara umum mempercayai, bahwa kebangkitan tersebut di alam akhirat setelah alam dunia ini hancur atau kiamat. Dan menganggap tabu kebangkitan yang berulang-ulang, seperti reinkarnasi-nya ajaran umat lainnya. Apakah menjadikan penting dan merasa harus berbeda? Ataukah hanya sekedar agar tak dianggap mengikuti ajaran umat lain? Dan apakah dengan begiitu kita mau menutup mata terhadap kebenaran-Nya? Janganlah kita menjadi terjerumus kepada taqlid yang pada akhirnya kufur terhadap kebenaran yang seharusnya kita terima sebagai perwujudan ikhlasnya rasa  berserah diri (islam) kita terhadap apa-apa yang turun dari-Nya sebagai kebenaran yang hakiki.
Kembali lagi di sini, pengakuan (ego) yang merasa harus berbeda, atau merasa tidak mau disamakan dengan umat lainnya.  Perasaan congkak inilah yang sesunguhnya akan dapat menjerumuskan jiwa kita. Bukanlah hal yang sulit bagi Allah, bila Dia kuasa membangkitkan, mengapa hanya sekali saja? Sedangkan ayat diatas tersebut tegas menyatakan kebangkitan yang berulang-ulang. Jiwa akan terus menanggung beban pensucian-nya selama kekotoran atau dosa masih melekat. Apakah kita mau memakan makanan yang akan masuk ke dalam tubuh kita yang ada penyakit, ada kotoran, dan najis yang melekat padanya? Tentu kita akan sabar menunggu dengan mencuci dan memasaknya terlebih dahulu.  Hanya pada jiwa yang telah suci dari kekotoran sesungguhnya yang dapat pulang kembali bersama ruh-Nya kepada Dia Yang Maha Tunggal, ila’ihi raji’un.
Betapa banyak ayat-ayat mengenai kebangkitan yang Allah gambarkan dengan mengambil kejadian-kejadian di alam ini sebagai contoh yang nyata. Dan sesungguhnya Allah menciptakan satu alam ini untuk semua alam, baik yang dimaksudkan dengan alam dunia maupun alam kubur dan juga alam akhirat. Karena jelas, bahwa alam kubur, dimana terpisahnya ruh dan jiwa dengan jasad yang dikuburpun memakai alam ini pula, sedangkan jiwa dan ruh yang merupakan gaib atau bathin tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Buktinya, banyak jiwa-jiwa penasaran (tersesat) sebagai energi yang masih dapat ditemui di alam ini juga, memakai alam ini pula. Dan setelah dibangkitkan, apakah perlu Allah menciptakan alam lain sebagai tempat pembalasan? Apakah untuk alam pembalasan tidak dapat memakai alam ini pula? Dia-lah Allahu rabbul ‘aalamiyn.
Bila surga dan nerakanya seperti yang dibayangkan pada umumnya, mungkin saja. Akan tetapi bila telah memahami surga dan neraka adalah rasa bathin, maka tidak diperlukan lagi alam yang seperti dibayangkan pada umumnya. Cukup di alam ini. Toh, begitu banyak contoh mereka yang mengalami surga dan nerakanya masih di alam ini juga tanpa harus menunggu kematian, sebagai balasan langsungnya akibat amal perbuatan sebelumnya. Bahkan diri kita sendiri pun pasti pernah mengalaminya.
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain).......”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Ayat tersebut jelas menjelaskan neraka dan surga sebagai hari pembalasan yang termasuk di dalam alam akhirat  adalah berada di alam ini pula, yang kekal selama masih adanya langit dan bumi. Jadi cukuplah alam ini pula sebagai tempat pembalasan bagi jiwa-jiwa untuk merasakan surga dan neraka-nya, akibat amal perbuatan di kehidupan sebelumnya. Maka, penafsiran dari ketiga ayat di atas lebih mengarah kepada pengertian bahwa alam ini adalah tempat bagi kehidupan dunia maupun sekaligus sebagai tempat bagi kehidupan akhirat.
Yang jelas kehidupan sekarang ini adalah merupakan lanjutan kehidupan sebelumnya, serta amat sangat mempengaruhi pada kehidupan selanjutnya. Hari ini adalah karena hari kemarin, dan hari ini menjadi penentu hari esok. Begitu seterusnya baik dilihat ke belakang maupun dilihat ke depan, sampai pada akhirnya, kembali pulang kepada Tuhannya.
Dan kematian pun, sebagai akhir hidup, terus belanjut mengalami suatu fase penantian untuk dibangkitkan kembali menjalani kehidupan selanjutnya dengan membawa beban dosa atau nikmat pahala sebagai akibat bawaan perbuatan sebelum kematiannya. Dan itu terus berulang sebagai siklus hidup-mati (kebangkitan) sebagai pembersihan (suci) jiwa untuk mencapai kesempurnaan sejati, sebagai syarat mutlak  agar dapat kembali pulang kepada Dia Yang Maha Suci lagi Maha Tunggal.
Alam semesta (langit dan bumi) inipun mengalami kematian sebagai hari akhirnya, yaitu kiamat. Kemudian dibangkitkan (dibangun) lagi sebagai kejadian yang berulang-ulang. Seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya di bawah ini.
“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”  (QS 21:104)
Kemudian ditegaskan lagi oleh ayat diatas, bahwa kiamat, kejadian akhir dunia atau semesta alam, ternyata juga merupakan fase peralihan menuju pembentukan kembali awal semesta alam yang baru. Begitu seterusnya sebagai siklus semesta yang amat panjang dan tak terukur waktunya. Janji Allah adalah ketetapan mutlak, yang pasti akan terjadi. Tidak ada perubahan pada ketetapan Allah.
Akan lebih melengkapi ulasan tentang hari akhir ini bila didukung pula kejadian awalnya, sehingga akan membawa kita kepada pemahaman tentang proses siklus semesta yang dimaksud di atas.
“Dan apakah orang-orang yang kafir (tertutup hati dan akalnya) tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.......” (QS 21:30)
Suatu keadaan “awal” diterangkan Allah dengan istilah suatu yang padu, dimana ini mengandung makna bahwa satu obyek yang dapat dipecah, dibelah, atau dipreteli hingga terpisah menjadi minimal dua bagian. Kata padu pun dalam ayat ini mengandung makna pula, sebagai suatu keadaan berkumpul menjadi satu (singularitas) dari sebelumnya yang terpisah atau berjarak. Karena Allah tidak memakai kata “awalnya” atau “dimulai” melainkan kata dahulunya. Sedang kata dahulunya lebih menunjukkan kepada suatu masa atau waktu sebelumnya, yang tidak hanya mengandung makna waktu awal dari segala sesuatu, maupun dimulainya segala sesuatu. Atau pula dapat bermakna, telah mengalami beberapa kali awal dan berapa kali akhir. Sehingga lebihlah tepat adalah suatu keadaan atau kondisi masa-masa awal penciptaan alam semesta, yaitu dengan memisahkan langit dan bumi. Yang bermakna unsur-unsur pembentuk langit dan bumi telah ada sebelum dipisahkan.
Setelah dipisahkannya langit dan bumi, kemudian diluaskanlah langit, dalam bahasa astrofisika, alam semesta yang terus mengalami mengembang atau memuai volume ruangnya. Sehingga kemudian dengan ketetapan-Nya, terciptalah bintang-bintang serta gugusan-gugusan yang mengelompokkannya.
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan, dan sungguh Kami benar-benar meluaskannya.”  (QS 51:47)
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, datanglah kamu berdua dengan sukahati ataupun terpaksa. Kemudian keduanya menjawab, kami datang dengan sukahati. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua hari (masa) dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”  (QS 41:11-12)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandangnya.”  (QS 15:16)
Alam semesta yang sebelumnya adalah suatu yang padu, kemudian dipisahkan oleh-Nya langit dan bumi, dan mengembangkan langit menjadi jauh lebih luas hingga terciptanya bintang-bintang (jumlahnya hingga milyaran). Hingga pada suatu waktu tertentu yang telah ditetapkan-Nya, Allah mengembalikan prosesnya seperti menggulung lembaran kertas, mempersatukan kembali (singularitas) langit dan bumi sehingga meleburlah milyaran bintang yang berada di langit, sebagai alam semesta yang menyusut. Begitulah proses kelahiran dan kematian alam semesta sebagai suatu siklus penciptaan yang akan diulangi-Nya kembali.
Tempatnya tetap satu, semesta alam ini, akan tetapi hidup-mati dan kebangkitan yang berulang-ulang sebagai siklus, sampai pada suatu waktu akhir, yang hanya Dia yang tahu kapan waktunya, yaitu hari akhir bagi alam semesta (kiamat kubra). Dimana segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi, serta yang berada diantara keduanya, kembali menyatu menjadi sebagai suatu yang padu kembali seperti diterangkan pada ayat QS 21:30 dan prosesnya seperti diterangkan pada ayat QS 21:104, manunggal kembali kepada Tuhannya, ila’ihi raji’un. Dan pada ayat itu pula diterangkan, sebagai yang akan diulangi-Nya kembali, sebagai siklus besar penciptaan alam semesta.
......... Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”  (QS 21:104)
Bila dalam masa kehidupan alam dunia, dari lahir hingga kematiannya, proses tidur dan bangun kita tak terhitung jumlahnya, maka jangan heran atau bingung, bila pda proses kematian dan dibangkitkan pun akan terjadi berulang kali karena amat panjangnya waktu berakhirnya alam semesta ini.
Dan sepanjang sejarah kehidupan manusia, telah diberitakan turun temurun akan kejadian akhir itu sebagai suatu yang harus diyakini, dengan segala macam ‘mitos-mitos’ yang mengerikan dan menyenangkan untuk hari kemudiannya, sebagai wujud balasan atas kehidupan sebelumnya. Maka jelaslah hal tersebut ikut mempengaruhi pemahaman tentang surga dan neraka. Sehingga penggambarannya memiliki banyak ragam, tetapi tetap memiliki makna yang sama, yaitu agar setiap diri dapat mencapai akhlak yang baik dan terpuji dengan mengingat adanya balasan di hari kemudian. Itu karena petunjuk dari Allah juga kepada orang-orang terdahulu, hanya mungkin lebih bervariasi akibat penyampaian dari mulut ke mulut yang telah berlangsung lama, dari masa ke masa.
Surga dan Neraka
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain).......”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Pemahaman sebelumnya, bahwa surga dan neraka adalah alam baru atau tempat baru setelah hari kiamat, dimana alam tempat pembalasan terhadap amal perbuatan semasa hidup di dunia sebelumnya, adalah pemahaman yang mengkungkung manusia pada keterbatasan harapan yang lebih memberatkannya kepada keputus asaan. Tiada bersemangat lagi menebarkan kebaikan yang merupakan rahmat dari Allah yang sesungguhnya harus ditebarkan merata kepada sesama makhluk Allah, apapun itu.
Balasan yang terbawa pada kehidupan selanjutnya tersebut, seperti uraian sebelumnya, berupa suasana rasa nikmat atau rasa sengsara yang menempel terus mengikutinya sebagai ketetapan dari-Nya. Tidak peduli apakah terlihat bagi orang lainnya mengalami hidup mewah dan megah, akan tetapi rasa bathin-nyalah yang dirasakan jiwanya, dan hanya dirinya sendirilah yang merasakannya, bukanlah orang lain. Sedangkan kemewahan serta kemegahan kehidupannya pun sebenarnya adalah balasan pula yang dibawa dari kehidupan sebelumnya, dan begitu pula pada kesengsaraannya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya.”   (QS 99:7-8)
Segala sesuatu, sekecil apapun akan dibalas Tuhannya dengan adil dan bijaksana. Itulah makna neraka dan surganya yang merupakan suasana rasa bathin. Sedangkan suasana tempat atau alam tidaklah penting, dengan segala kemewahan ataupun serba keterbatasan, tetaplah rasa bathin yang merasakan. Sekalipun segala kemewahan merupakan balasan pula, tidak menjamin bathinnya telah terbebas dari rasa kesulitan, kekurangan, kesengsaraan, maupun dosa. Karena mereka melanjutkan kehidupan tersebut masih dalam suasana  pembersihan atau penyucian  jiwa. Selama masih mengalami kehidupan di alam ini, apakah itu alam kubur dan alam akhirat sebagai pembalasan, jelas merupakan masih mengalami suasana pembersihan dari segala kekotoran dan dosa-dosa yang ada dan melekat dari amal perbuatan sebelumnya.
“ya Tuhan Kami, dan masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Ayat di atas pun menjelaskan, bahwa di surga pun tak lepas dari ancaman kejahatan, dan makin menjelaskan pentingnya peran agama untuk mengatur kehidupan di alam tersebut. Itulah makna Allah sebagai penguasa hari-hari yang dinaungi agama (aturan hidup) dan rahmat-Nya. Karena kuasa-Nya pun meliputi segala sesuatu, termasuk semesta alam ini sebagai wadah kehidupan makhluk-Nya yang didalamnya pun terdapat alam pembalasan (surga dan neraka).
Selama jiwa masih dilekati oleh kekotoran sekecil apapun, maka tetaplah dia harus melanjutkan kehidupannya untuk disucikan. Maka dia mengalami neraka sekaligus surganya dalam kehidupannya di hari kemudian. Itulah balasan dari yang Maha Adil lagi Bijaksana. Yang tidak dirugikan sekecil apapun kerugian tersebut dari seseorang, apakah itu amal perbuatan baiknya maupun amal perbuatan buruknya. Jadi surga dan neraka merupakan keaadaan atau suasana jiwa yang sedang mengalami hari-hari pembalasan dari amal perbuatan di kehidupan sebelumnya. Dan perlu diingat, pembalasan itu masih pula membawa kepada pembalasan pada kehidupan selanjutnya lagi, bila jiwa masih juga dalam kesesatannya.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”   (QS 17:72)
Begitulah kehidupan ini, hidup dan mati kemudian dibangkitkan untuk mengalami pembalasannya sebagai yang berulang-ulang selama masih adanya langit dan bumi, sebagai pula penyucian jiwanya agar dapat kembali pulang kepada-Nya. Yaitu pada berakhirnya semesta alam ini (kiamat qubra), dimana segala sesuatu, tak terkecuali mengalami peluruhan dan kembali kepada asalnya Yang Maha Tunggal. ‘ilayhi raji’un.
Akan tetapi, bagi yang telah sadar diri atau jiwanya, dan yang berusaha memurnikan amal perbuatannya, serta pula tetap menjaga kesadarannya pada dirinya yang sesungguhnya adalah kefanaan, hampa, kosong, dan dirinya bukanlah siapa-siapa bila tanpa gerak para penyampai, yaitu aparat Allah atau malaikat-Nya, maka tiada lagi dia berharap kelak mendapatkan surga dan tiada pula resah terhadap ketakutannya akan mendapatkan neraka. Mereka merasa hanya menjalankankan apa adanya sesuai dengan perintah dari dalam kalbunya yang paling dalam, yang tanpa beban, serta penuh kedamaian dan ketentraman yang sejati.
Entah bagaimana kesalah pahaman akibat kerancuan makna ini akan berlanjut sampai kapan, sehingga menyimpangkan makna dan pengertian yang seharusnya telah berkembang sejauh-jauhnya menuju kepada hikmah yang haq (sejati), akibat kerancuan makna yang berlarut-larut. Kerancuan tersebutlah yang menjadi penyumbat aliran pengembangan pikir para pencari yang takut kepada cap sesat bila hendak melancarkan alirannya kembali normal, maka yang ada, tetap yang terjadi adalah kebuntuan.
Nikmat Sejati
Inilah yang sebenarnya patut menjadi arah tujuan dari segala tujuan. Kejaran bagi orang-orang yang hendak merasakan nikmat yang sesungguhnya. Seperti yang selalu diminta dalam setiap membaca suratul Fatihah, yang paling tidak dalam setiap shalat-nya. Adalah, .... tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, dan bukan jalan mereka yang ingkar lagi berbuat kerusakan.
Tidak ada nilai yang pantas untuk dapat mencapai sebutan harga nikmat yang dimaksud. Sementara segala sesuatu selain itu adalah fana, hampa, dan kosong. Akan tetapi, jangan pula terkecoh dari setiap keinginan, sekalipun itu adalah kebaikan. Kemurnian Diri dari segala macam keinginanlah yang sesungguhnya menjadikan seseorang sempurna, karena hanya diri atau jiwa yang murni atau bersih dari keinginan dan peng-aku-an (ego) yang dapat menuju kepada-Nya yang Maha Tunggal. Yang berada dan sebagai penguasa arsy atau taman nikmat sejati.
Kita tidak akan pernah dapat merasakan nikmat sejati bila belum dapat mengenal diri kita sendiri yang akan mengarahkan pemahaman tentang realitas sejati (diulas kemudian secara ringkas pada Bagian-4 Lahir & Bathin). Pemahaman ini tidak mudah didapatkan, akan melalui proses yang panjang juga melelahkan, kecuali bila Allah menghendaki lain. Semoga kita akan dimudahkan untuk dapat menerima hikmah ini sebagai karunia yang besar dari-Nya.
 Segala macam nikmat adalah rasa, yang sesungguhnya ada dan bertempat di dalam hati atau kalbu. Hanya kalbulah yang dapat mengetahui kehadiran rasa, baik itu berupa kenikmatan ataupun sebaliknya. Akan tetapi, lebih jauh lagi ke dalam, pada kalbu yang paling dalam, maka tidak segala sesuatu pun dapat masuk, kecuali bila dengan kehendak Dia yang Maha Tunggal yang bersemayam di situ. Sehingga, kenikmatan sejati tersebut hanya bisa diraih bila telah dapat menghilangkan segala macam keinginan, maka diri menjadi jiwa yang murni dari pengakuan (ego).
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.”  (QS al 15:39)
....... kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur. (QS 7:16-17)
...... pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.”  (QS 38:82-83)
Bahayanya pengakuan, yang merupakan salah satu sasaran serangan iblis, salah satunya adalah kuatnya rasa memiliki apa-apa yang telah dianugerahi Allah kepadanya. Seperti, anak dan istri, harta benda berupa perhiasan,rumah tinggal, dan kendaraaan, juga ladang pekerjaan ataupun perniagaan, bahkan pengakuan kepemilikan tubuh atau jasadnya (lihat kembali uraian Malaikat Min ‘Indillahi).
Terjerumusnya diri kepada segala macam pengakuan tersebut, bahkan yang berada di jasadnya, seperti penglihatan dengan mata-ku, pendengaran dengan telinga-ku, kata-kata yang keluar dari mulut-ku, dan lain sebagainya, sungguh dapat menjerumuskan dirinya kepada perbuatan syirik. Akibatnya seperti, “coba kalau aku tidak melihat ...”, atau “coba kalau aku tidak dengar ...”, dan “kan aku sudah bilang ...”. Seolah-olah tiada peran Tuhan, dan yang ada hanya peran diri-nya saja.
“Katakanlah:  jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (QS 9:24)
Bila semua itu lebih dicintai daripada mencintai Allah, jelaslah itu adalah perbuatan syirik. Dosa besar yang tak terampuni, bila tak segera bertobat. Maka jelaslah, bahwa iblis telah menyeret kebanyakan setiap diri kemanusiaan sebegitu jauhnya dari jalan Tuhannya, kemudian menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Sungguh tidak disadari, ternyata diri ini begitu gampangnya terhanyut oleh pengakuan-pengakuan seperti itu, dan bila salah satu saja dari semua yang dimilikinya diambil atau hilang, maka goncanglah jiwa-nya, seakan-akan tidak terima. Itulah pengakuan yang ternyata sangat menjerumuskan.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
....... pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Keikhlasan pada setiap amal perbuatan yang disertai dengan melepaskan segala macam rasa keinginan atau harapan, dan menyerahkannya hanya kepada kehendak Dia, adalah cara terbaik menjaga kemurnian jiwa dari bisikan dan godaan iblis. Sehingga tanpa terasa dan mengharap, sesungguhnya kita sedang menuju Nikmat Sejati yang diridhai dan diberkati oleh Dia sebagai ar Rahman.

Maka sejatinya Nikmat Sejati adalah terbebas dari rasa keinginan, harapan, maupun cita-cita sekalipun nikmat sejati tersebut adalah terlihat dan terasa sebagai kebaikan. Nikmat Sejati yang sejati adalah ketenangan dan ketentraman bathin yang membawa jiwa dapat terkendali bahkan tanpa terganggu lagi oleh iming-iming nikmat sejati itu sendiri, kebaikan, ataupun surga. Jiwa-nya tidak lagi disibukkan oleh keinginan yang justru dapat meresahkannya sendiri.