PUPUH IX
Lihatlah imajinasi
khayal-mu,
ruh-ruh yang
terbang melayang-layang di angkasa
Dengan
sepasang sayap akal dan kesadaran
Mencari
jasad yang pantas baginya
Untuk
mewujudkan kekuatan dan
Keindahan-nya
Mereka,
sebagai
energi yang belum berjasad
kekuatan
yang dikeluarkan oleh kekuatan
terus
mencari teman berkoloni
membentuk wujud
jasad
sebagai keberadaannya di alam
Sebagai
makhluk,
dia pun tak
lepas dari baik dan buruk
mencampurnya
dengan hawa nafsu-lah
yang
menjadikannya segala duka
dan
penyesalan
berkompromi
dengan hawa nafsunya
adalah,
yang
merontokkan bulu-bulu sayap akal dan
kesadaran-nya
Jadilah ia yang bodoh dan terhina
BAGIAN 4
LAHIR & BATHIN
“Kami akan memperlihatkan
kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka
sendiri, sehingga
jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah
benar.....”
(QS
41:53)
U
|
raian pada bab-bab sebelumnya,
sungguh takkan menyentuh, bila tidak pula menguraikan keberadaan jasad, jiwa,
dan ruh sebagai unsur-unsur penyusun lahir dan bathin kemanusiaan yang tentunya
sebagai pelaku utama dalam pengokohan iman dan islam-nya. Hal ini
amatlah penting bagi usaha mengokohkan kembali keimanan agar mencapai
keberserah dirian (islam) secara murni atau ikhlas dalam menapaki jalan lurus
(agama Allah) diynul qayyimah.
Seperti yang telah diketahui, segala sesuatu yang Allah ciptakan
memiliki pasangannya, seperti apapun segala sesuatu tersebut, terlihat nyata
(lahir) maka memiliki pula wujud bathinnya sebagai yang tak terlihat nyata.
Juga pada umumnya pemahaman tentang kemanusiaan yang terdiri dari jasad sebagai
wadah atau media bagi bathin yang tak terlihat nyata, yaitu jiwa dan ruh. Ruh
adalah sebagai gerak hidup yang merupakan energi dari setiap materi
segala sesuatu sebagai makhluk ciptaan, dan jiwa sebagai pribadi berkarakter
(aku) yang membedakan satu dengan lainnya.
Karena di alam, maka setiap materi berubah-berubah bentuk. Atau dalam
bahasa Tuhan, adalah tidak kekal abadi, fana, atau juga bersifat hadits.
Dalam hal ini telah diuraikan sebelumnya di dalam sifat dua puluh, bahwa
segala sesuatu selain Allah adalah tidak kekal abadi.
Materi pada
wujud asalnya adalah energi, yaitu bersumber dari energi cahaya-Nya, sebab
itulah dikatakan laa hawla wa laa quwwata illa billaahi, tiada kekuatan
(energi) selain kekuatan (energi) Allah. Juga, inna lillaahi wa innaa ilayhi
raaji’uun, segala sesuatu berasal dari Allah dan kepada-Nya pulalah
tempat kembali.
Beriring
waktu, partikel-partikel cahaya kemudian saling berinteraksi dengan sesamanya
seperti membentuk koloni, sehingga memiliki massa untuk membentuk materi.
Inilah cikal bakal atom sebuah unsur yang pada mulanya memiliki inti dengan
hanya satu elektron yang mengelilinginya. Dan karena sifatnya, atau karena
ketetapan-Nya (sunathullah), bahwa setiap materi cenderung terus berkumpul
membentuk koloni yang semakin besar, maka kecenderungan ini semakin memperkaya
khasanah unsur-unsur yang ada di alam pun terjadi. Yang semula elektron yang
mengelilingi inti atom hanyalah satu, dan disebut sebagai atom unsur Hidrogen.
Kemudian merekrut elektron lainnya menjadi dua yang mengelilingi intinya,
berubah menjadi unsur lain yang lebih berat, yaitu disebut Helium. Begitu
seterusnya, tanpa menghilangkan yang pertama atau yang sebelumnya.
Di awal abad
20, setelah perkembangan teori relativitas telah banyak menguak dan
menjawab rahasia-rahasia yang sebelumnya tertutupi. Bila sebelumnya
penelitian-penelitian terhadap partikel materi untuk membuktikan keberadaan
benda terkecil sebagai penyusun segala sesuatu sempat mengalami kerancuan dan
menimbulkan kebingungan dalam menetapkannya antara materi atau malah energinya.
Pada
penelitian-penelitian sebelumnya, telah ditetapkan bahwa atom sebagai benda
terkecil, setelah beriring pula ditemukannya tekhnologi penemuan alat-alat
bantu yang semakin canggih seperti mikroskop elektron, ternyata atom masih
dapat dibelah-belah lagi menjadi inti atom dengan elektron-elektronnya. Dalam
skala besar, makrokosmos, hal ini seperti matahari dengan planet-planet yang
mengitarinya dalam suatu sistem tatasurya.
Sampai tahap
ini mereka merasa atau membayangkan adanya misteri di balik materi,
yaitu kemungkinan benda terakhir tersebut masih bisa dibagi-bagi lagi menjadi
jauh lebih kecil lagi. Teori relativitas tersebut akhirnya telah membuktikan
bahwa inti atom tersebut masih dapat dipecah-pecah lagi menjadi bagian partikel
yang jauh lebih kecil (sub atomik), yaitu proton dan neutron.
Sehingga ditemukannya energi Nuklir. Hingga terakhir yang dapat diketahui,
semakin dipecah-pecah, maka materi hanya
menyisakan pilinan rantai energi.
Di dalam materi hidup, sel-sel
di dalam tubuh manusia, mikrobiologi pun telah menemukan metabolisme
kehidupan di dalam inti sel yang
terdapat pula pilinan rantai genetika yang tersusun dari protein DNA
(Deoxyribo Nucleic Acid). Sebagai kode-kode genetika yang membawa
karakteristik sifat seseorang, yaitu seperti jenis kelamin, usia hidup,
kapasitas kemampuan diri manusia. Juga menyimpan jutaan perintah atau pesan
berupa kode-kode dalam bentuk kimiawi yang harus dikerjakan dan diterjemahkan
setiap sel tersebut dalam gerak perkembangan kehidupannya oleh protein lain
yang disebut RNA (Rybo Nucleic Acid). Ini lebih kepada program hidup
kehidupan dalam sebuah koloni multisel (milyaran sel) jasad atau tubuh manusia,
yaitu kodrat dan iradat kemanusiaan yang telah
ditetapkan Allah.
“,,,,,Orang-orang itu akan memperoleh
bahagian yang telah ditentukan untuknya.....” (QS 7:37)
“Tidaklah suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh mahfuzh) sebelum Kami
menciptakan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS 57:22)
“........., melainkan
Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi
ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari
itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(QS 10:61)
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki), dan di sisi-Nya lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS 13:39)
“Dan
tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga)
seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al Kitab, kemudian
kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan .” (QS 6:38)
“Dan pada sisi
Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia
mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada
sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak
jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah
ataupun yang kering, melainkan tertulis di dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(QS 6:59)
“............
Semuanya tertulis di dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(QS 11:6)
Sehingga penemuan (mikrobiologi,
yaitu DNA dan RNA) tersebut, mengarahkan pemahaman bahwa, selain yang hidup, di
dalam bathinnya sebuah materi pun, sekalipun disebut benda mati, ada energi
atau kekuatan tak terlihat yang menentukan arah nasib-nya sebagai qudrat
dan iradat-Nya yang sesungguhnya mengarahkan arah gerak kelanjutan hidupnya.
Yaitu, sesungguhnya Dia menggunakan para aparat-Nya pada qudrat dan iradat
tersebut, yaitu energi bawaan.
“...... dan
malaikat dalam naungan awan.........” (QS 2:210)
“Pada malam
itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin
Tuhannya untuk mengatur segala urusan.” (QS 97:4)
Agar lebih jelas, sehingga tak menimbulkan kesesatan dalam memahami
ayat diatas tersebut, maka ada ayat lainnya yang semoga mengarahkan pemahaman
kita kepada kebenaran yang Tuhan kehendaki kita mendapatkannya.
“Dia-lah
yang meniupkan angin sebagai ‘pembawa’ kabar
gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu
membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami
turunkan hujan di daerah
yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan.
Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu
mengambil pelajaran”. (QS 7:57)
Maka sumber energi (kekuatan)
segala sesuatu adalah Allah (laa hawla wa laa quwwata illa billaahi,
tiada kekuatan selain kekuatan Allah). Dan karena Dia meliputi segala sesuatu,
sehingga, seluruh materi atau wujud segala sesuatu adalah merupakan
perwujudan-Nya. Dan ini perlu digaris bawahi sebagai bentuk keimanan kepada
yang gaib. Yaitu percaya dan yakin akan kenyataan adanya kekuatan halus
(gaib) pada setiap benda yang tersebar di alam dunia yang serba materi ini.
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, .....”
(QS 2:3)
Bab XIX
MATERI sebagai PENYUSUN
JASAD
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa
yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara
manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau
petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.”
(QS 31:20)
J
|
ika dalam
setiap partikel penyusun materi, masing-masingnya membawa energi bawaan,
maka tentunya energi dari sebuah unsur, atau molekul, ataupun senyawa kimia
lainnya yang jauh lebih rumit, seperti pada benda-benda, tentu akan membawa
pula energi bawaan yang semakin terkumpul besarnya sesuai persenyawaan
unsur-unsurnya tersebut. Dan adalah manusia, sebagai susunan materi dengan
persenyawaan kimia terumit yang terdiri dari milyaran hingga trilyunan sel,
maka tentunya membawa energi bawaan yang amat dahsyat. Bayangkan berapa
banyak energi dari apa-apa yang dimakan dan diminumnya yang telah diserap
seorang manusia semenjak lahirnya hingga dewasa? Telah berapa huruf yang keluar
dari setiap pikir dan ucapnya? Telah berapa kilometer gerak langkah kakinya?
“Bukankah
telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia
ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS 76:1)
Energi
bawaan tersebut adalah energi yang berasal saat
penciptaan semesta alam, dan terus terbarukan sebagai yang berkembang
karena berinterkasi terus menerus. Seperti telah diulas sebelumnya pada bab
keimanan kepada para malaikat, bahwa pada awal penciptaan, segala sesuatu Allah
ciptakan dari pancaran cahaya-Nya. Cahaya-Nya itulah sebagai energi bawaan
yang merupakan para aparat Allah, sebagai struktur penyusun segala
sesuatu ciptaan-Nya, penyampai dan pembawa pesan serta kehendak-Nya. Cahaya-Nya
yang terpancar terus menerus itulah yang membuat seluruh aparat-Nya tersebut hidup
dan menghidupkan terus berlanjut silih berganti sampai kepada waktu yang
telah ditetapkan-Nya.
Energi-energi atau yang
merupakan juga para aparat-Nya tersebut mengalami perubahan wujud-nya,
dan tugasnya tergantikan oleh energi baru yang terpancar terus menerus tanpa
pernah berhenti melalui cahaya-Nya. Namun energi bawaan tersebut tetap
melekat sekalipun wujud-nya telah berubah menjadi wujud yang lain. Menjadi
makhluk ciptaan-Nya yang lain sebagai rahmat Tuhannya kepada semesta alam.
“Allah
(pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan
cahaya Allah, adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di
dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu)
pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah Timur (sesuatu) dan tidak pula di
sebelah Barat (-nya), yang
minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya diatas cahaya,
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang
Dia kehendaki, dan Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS 24:35)
Karena
itulah Dia sebagai Yang Maha Meliputi segala sesuatu, Yang Maha Halus dan
Lembut, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Mendengar, Yang Maha
Melihat. Sebab seluruh aparat-Nya tersebar kepada segala sesuatu
tersebut di seluruh pelosok langit dan bumi, sedangkan Dia tidak bergantung
kepada seluruh aparat-Nya tersebut, malah mereka-lah yang amat bergantung
kepada-Nya dalam segala hal.
Jasad, yang juga merupakan
kumpulan materi, dari waktu ke waktu mengalami perubahan sampai pada
kematiannya, terurai kembali sebagai unsur-unsur bebas. Dari semenjak di dalam
kandungan, lahir, mengalami masa-masa balita, remaja, dewasa, dan hingga masa
tuanya, sekalipun dengan identitas yang sama, pun mengalami
perubahan-perubahan. Hanya saja sebutannya yang berbeda-beda, masa-masa di
dalam kandungan disebut dengan masa perkembangan janin, masa balita
disebut dengan masa pertumbuhan, masa remaja disebut masa peralihan,
selanjutnya masa pendewasaan, dan di masa-masa akhir disebut dengan masa
senja. Bentuk lahirnya berubah berdasarkan waktu, menjadi tumbuh besar,
berubah gemuk atau kurus, kulitnya semakin gelap atau semakin terang, semakin
mengendur kekencangannya (keriput), dan rambut yang beruban (memutih). Yang
kesemuanya adalah bermakna perubahan wujud. Maka, begitupula dengan jiwanya,
sekalipun karakternya sebagai pribadi tidak berubah, akan tetapi kematangannya
tentu mengalami perubahan menuju kepada perbaikan (penyempurnaan) dari
sebelumnya.
“Dan demi
jiwa dan Yang menyempurnakannya.” (QS 91:7)
Dalam kenyataannya, bukti bahwa setiap materi mengandung energi bawaan,
yang sederhana, seperti air yang dipanaskan. Selain membutuhkan energi untuk
mengurai unsur-unsur penyusunnya, juga menghasilkan energi, seperti untuk
menggerakkan turbin yang dapat berguna bagi kehidupan. Dan sungguh, pada
kelanjutannya mempengaruhi materi di sekitarnya untuk berinteraksi lebih jauh
lagi.
Juga akan semakin dibutuhkan energi yang lebih besar lagi untuk
mengurai unsur-unsur tersebut menjadi yang lebih kecil lagi, sehingga wujud
materinya berubah atau menghilang dan menyisakan yang tinggal hanya energi yang
dihasilkannnya. Seperti pada proses fisi dan fusi nuklir, maka energi yang
dihasilkannya pun amat jauh lebih besar. Dahsyat.
Seperti itulah proses di permukaan matahari kita. Dimana tidak pernah
terbentuk unsur-unsur yang jauh lebih berat dari Hidrogen dan Helium saja,
karena selalu dilebur seperti memasak air di panci besar yang tertutup rapat
dan api yang terus menyala dengan konstan, sehingga uapnya tidak ada yang
keluar dan hilang, melainkan akan jatuh kembali dan dimasak kembali terus
berulang-ulang. Bayangkan, itu hanya dipermukaannya, tentu di dalam inti
matahari lebih dahsyat lagi. Sedangkan suhu dipermukaannya saja diperkirakan
6000 ⁰ Celcius.
Dan yang terlepas dari proses di permukaan matahari hanyalah pancaran
cahayanya, yang ternyata sedemikian besar manfaat kegunaannya bagi kebutuhan
energi di bumi, sehingga memperkaya bumi. Proses ini adalah sunathullah sebagai
hukum semesta, sebagaimana pada proses awal penciptaan alam semesta yang diawali
oleh pancaran cahaya-Nya. Nur Allah.
Cahaya ada
yang tak terlihat bentuk atau wujudnya, tetapi ada pula beberapa cahaya yang
memiliki warna dan ada pula yang tak memiliki warna alias gelap, kesemuanya
dikarenakan panjang gelombang (gerak partikel)-nya yang mempengaruhinya.
Disebabkan mata lahir kita yang hanya memiliki keterbatasan dalam menerima
panjang gelombang tertentu untuk dapat melihat, dan warna cahaya pun
dipengaruhi oleh panjang gelombangnya.
Energi yang
bersumber dari energi cahaya tersebut tidaklah hilang karena berubah menjadi materi,
melainkan tetap ada sekalipun ‘dia’ telah memiliki wujud baru akibat interaksi
dengan sesamanya dalam membentuk koloni. Wujudnya dapat terlihat karena telah
berkelompok sehingga semakin membesar. Mata telanjang kita takkan dapat melihat
atom sebuah unsur, akan tetapi setelah atom-atom tersebut berkelompok membentuk
senyawa barulah dapat terlihat.
Itupun tidak
pada semua senyawa, pada senyawa dalam bentuk gas tentu kita tak dapat
melihatnya, kecuali hanya mungkin baunya yang tercium untuk dapat diketahui
keberadaannya (seperti pada gas amoniak). Dalam keseharian, kita mengetahui
bahwa air hujan yang turun dari langit merupakan uap-uap air yang tak terlihat
kemudian berkumpul dan saling berinteraksi membentuk koloni awan mendung
setelah berkondensasi dan menimbulkan berat hingga akhirnya jatuh kembali ke
bumi sebagai wujud air hujan.
Energi merupakan bathin-nya,
dan setelah berkoloni kemudian terwujudlah bentuk lahir-nya. Itulah
materi, dimana setiap materi memiliki energi sebagai yang tak terlihat. Yang
perlu digaris bawahi adalah, bahwa materi dapat berubah wujud atau bentuknya
dengan membawa energi bawaan-nya bila ada kodrat dan iradat
yang menentukannya. Dengan kodrat dan iradat itulah bumi dan
langit terbentuk dan kemudian dipisahkan, kemudian di langit yang terlihat
sebagai ruang kosong dibentuk bintang-bintang yang jumlahnya milyaran, serta di
bumi yang sebelumnya mati atau tandus dan kering kemudian
dihamparkan-Nya dengan tumbuh-tumbuhan hijau sebagai awal mula kehidupan.
“Dan apakah
orang-orang yang kafir (tertutup hati dan akalnya) tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami
pisahkan antara keduanya ........” (QS 21:30)
“Kemudian
Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih
berupa asap, lalu Dia
berkata kepadanya dan kepada bumi, datanglah kamu berdua dengan sukahati ataupun
terpaksa. Kemudian keduanya menjawab, kami datang dengan sukahati. Maka Dia
menjadikannya tujuh langit dalam dua hari (masa) dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang
terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan
sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS 41:11-12)
Pada
orang-orang yang percaya ada kekuatan
halus yang dipercaya sebagai ruh atau roh yang tak terlihat (dinamisme)
yang menempati beberapa atau setiap benda (materi). Pemahaman ini benar tetapi
tidak tepat bila tak dimasukkan pula unsur kodrat-iradat yang melekat dan
menentukannya, karena kekuatan halus itulah yang merupakan sumber
keberadaan (mewujudnya) benda atau materi. Bukan telah ada bendanya dahulu baru
kemudian masuk kekuatan halus tersebut. Akan tetapi pada banyak kasus, ada pula
energi-energi yang terpancing masuk kedalam suatu benda oleh energi yang memang
telah ada pada benda tersebut sebelumnya.
Ini bukanlah
hal yang luar biasa, layaknya ilmu yang masuk sebagai pengetahuan kepada diri
kita. Inipun dapat terjadi, tentunya, tidak lepas karena kekuatan energi yang
mempengaruhi benda atau materi tersebut yang telah ditetapkan kodrat dan
iradat-nya.
Energi-energi
yang kemudian telah terbungkus badan jasad-nya sebagai materi, tetap
masih memerlukan cahaya sebagai asupan makanan untuk keberlangsungan gerak
hidup-nya, termasuk pula dengan materi dalam wujud makhluk hidup. Seperti
yang telah dijelaskan, bahwa energi tidaklah musnah melainkan hanya mengalami
perubahan wujud sebagai sifat bawaan. Seperti berubah menjadi energi
panas, menjadi energi listrik, menjadi energi bunyi, dan lain-nya yang karena
disebabkan interaksinya dengan energi lainnya, dan inilah yang disebut sebagai gerak
hidup-nya.
Sebenarnya,
begitupun kepada materi sebagai wujud jasad yang membungkus energi, yang
dibilang mati atau terurai, ternyata tidaklah musnah, melainkan mengalami gerak
hidup-nya dengan berubah wujud. Seperti wujud air yang dipanaskan hingga
menguap, materinya terurai berubah wujud menjadi wujud uap (gas), dan akan
kembali kepada wujudnya semula bila suhu yang mempengaruhinya kembali normal
seperti suhu asal saat berwujud cair. Dan perubahan-perubahan wujudnya selalu
memiliki atau membutuhkan waktu.
Maka sumber
energi (kekuatan) segala sesuatu adalah Allah, sehingga materi (wujud) segala
sesuatu adalah perwujudan-Nya. Dan ini perlu digaris bawahi sebagai bentuk keimanan
kepada yang ghaib. Yaitu percaya dan yakin akan kenyataan adanya kekuatan
halus (ghaib) pada setiap benda yang tersebar di alam dunia yang serba
materi ini. Ya, kekuatan halus (ghaib) yang merupakan aparat Allah yang
menjalankan apa yang telah menjadi kehendak-Nya.
Pada bab sebelumnya tentang keimanan kepada para malaikat,
telah diuraikan secara singkat, tentang bagaimana yang dengan pancaran
cahaya-Nya, Allah memulai penciptaan segala sesuatu. Dan sebagaimana telah
diketahui secara luas, bahwa para malaikat yang merupakan aparat-aparat Allah
diciptakan dari cahaya-Nya sebagai awal mula dan sebagai unsur dasar penciptaan
segala sesuatu, adalah juga merupakan energi dasar setiap materi seperti yang
telah diuraikan di atas.
“Segala
puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang
menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai ‘sayap’,
masing-masing dua, tiga dan empat. Allah menmbahkan pada
ciptaan-Nya
apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS 35:1)
Energi-energi
tersebut, yang disebut pula malaikat Allah, adalah yang membawa kekuatan (qudrat
dan iradat) -Nya dalam setiap kuasa dan kehendaknya dalam setiap
penciptaan segala sesuatu di seluruh hingga pelosok semesta alam raya ini.
Kekuatan ini sebagai yang dilambangkan dengan ‘sayap’ seperti pada
penafsiran ayat di atas. Kata ‘janah’
yang diterjemahkan sebagai sayap, sebenarnya bermakna tingkatan.
Sehingga pengertiannya agar mudah dipahami adalah kekuatan yang bertingkat-tingkat
pada kemalaikatan. Sayap atau kekuatan-nya tersebut berbeda-beda,
ada yang memiliki dua, tiga, atau empat kali lipat kekuatan dibanding yang lainnya.
Dan dalam teori relativitas-nya Albert Einstein disebutkan, bahwa
kecepatan cahaya adalah 300 ribu kilometer per detik. Hal ini mewakili
kecepatan tersebut sebagai kekuatan gerak atau kerja malaikat yang teramat
cepat, bahkan sebelum mata kita sempat berkedip. Bagaimana tidak? Bayangkanlah,
bagaimana cepatnya antara gerak-gerak tubuh kita pada saat kita baru
menginginkannya, atau yang lebih terasa pada gerak reflek kita terhadap sesuatu
yang datang mendadak dan terasa membahayakan diri kita.
“Demi
(malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan
(malaikat) yang mendahului dengan kencang.” (QS 79:3-4)
“Para
malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam
sehari yang setara dengan lima puluh ribu tahun.” (QS 70:4)
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut
perhitunganmu.”
(QS 32:5)
Dengan demikian, sesungguhnya energi
yang mendasari pembentukan setiap materi (benda) tersebut adalah sebagai yang
disebut ruh atau para aparat (malaikat) Allah dengan menyandang kodrat
dan iradat-Nya. Termasuk pula pada jasad atau tubuh kita yang terdiri
dari milyaran sel yang berbeda-beda dalam setiap jaringannya dan memiliki
fungsi dan kerja masing-masingnya yang bukan diri kita-lah sebagai yang
mengatur dan memerintahkannya, melainkan adalah karena Dia yang telah
menetapkan dalam suatu qudrat dan iradat-Nya.
“Dan kepunyaan-Nya lah segala yang di langit dan di
bumi. Dan
malikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh
untuk mengabdi kepada-Nya dan tiada (pula) merasa letih.” (QS 21:19)
Begitulah sesungguhnya keberadaan
malaikat-Nya, sebagai aparat-aparat Allah yang bertugas menjaga dan membantu
kehidupan kemanusiaan. Juga sebagai
makna malaikat yang bersujud kepada kemanusiaan (QS 2:34), bukan
malaikat yang menjadi pembangkang yang tak mau bersujud dan menjadi
disebut iblis, akibat kehendak kemanusiaan sendiri yang lebih
mengutamakan pengakuan (ego)-nya, dan tidak lagi berserah diri (islam)
kepada Tuhannya.
Dan mereka, para aparat Allah ini adalah merupakan energi-enrgi
yang tersebar memenuhi alam raya ini, baik yang kelihatan sebagai materi atau
benda, maupun yang tak kelihatan seperti unsur-unsur gas atau yang lainnya.
Mereka juga sebagai unsur-unsur dasar pembentuk segala sesuatu di semesta alam
raya ini, sebab mereka membawa energi bawaan yang disebut qudrat dan iradat (kuasa dan kehendak) Allah SWT. Dengan
demikian telah menjadi masuk akal-lah firman-Nya, “..... apabila Allah berkehendak
menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya, kun fa ya kun ( jadilah, lalu
jadilah dia).” (QS 3:45-47).
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....”(QS 41:53)
Jasad & Ruh
“...... Sesungguhnya
Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya
Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (para malaikat)
tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS 38:71-72)
Dari ayat
inilah timbul pemahaman yang kuat, bahwa kemanusiaan dengan jasad, ruh, dan
jiwa-nya memiliki perbedaan yang sangat nyata dengan segala sesuatu (materi)
lainnya sebagai makhluk ciptaan, bahkan termasuk dengan para malaikat yang
merupakan aparat Allah yang selalu dekat dan selalu bertasbih memuji-Nya.
Renungkanlah ayat diatas tersebut secara dalam dan seksama, semoga Allah
memberikan hidayah atau petunjuk-Nya agar kita mendapatkan hikmah yang haqq.
Segala sesuatu (materi) dalam
bentuk lahir atau nyata, termasuk materi yang menyusun jasad manusia, memiliki
ruh atau kekuatan (energi) halus yang tidak kasat mata sebagai bentuk
bathinnya. Pada jasad manusia yang multisel tentu dari ujung kaki sampai
ubun-ubunnya memiliki ruh-ruhnya pula. Karena diseluruh tubuh jasad, bukan hanya manusia, yang terdiri dari
sel-sel tersebut adalah tumbuh dan berkembang, juga mati dan tergantikan,
sehingga bermakna hidup. Dan hidup adalah bukti yang menunjukkan keberadaannya
ruh. Ruh inilah yang dimaksud dengan ruh ciptaan Allah. Lain halnya dengan Ruh-Ku seperti bunyi firman ayat di atas. Hal ini menunjukkan kedekatan
Allah terhadap manusia dibanding makhluk atau benda-benda materi lainnya.
“..... Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS 2:3)
Hal inipun
menegaskan bahwa manusia adalah wakil (waliiy) atau perwujudan-Nya di alam yang
sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn. Sebagai penebar rahmat Allah kepada sesamanya
(makhluk Allah). Penegasan lainnya adalah gelar Khalifah pada kemanusiaan,
sebagai pemimpin alam ciptaan-Nya ini. Dan perlunya membedakan ruh yang
mendasari setiap materi termasuk pada jasad dengan Ruh-Ku (Ruh Allah) seperti maksud ayat di atas. Karena ada
beberapa kata ruh yang disebut di dalam Al Qur’an dengan makna yang
jelas-jelas berbeda, seperti ruh al quds yang menunjuk kepada malaikat
(jibril), ruh Kami (kata Kami biasanya dimaknai bahwa Allah melibatkan
beberapa makhluk-Nya), dan ruh-Nya.
Bila kita
ingat tentang dosa syirik, yaitu menyekutukan Allah yang merupakan dosa besar
yang tak terampuni. Tetapi mengapa di dalam ayat tersebut (QS 38:71-72) justru
Dia malah memerintahkan kepada para malaikat untuk tunduk dan bersujud kepada
manusia. Sedangkan kepada mereka (para malaikat) yang menolak tunduk dan
bersujud kepada selain Allah malah disebut iblis dan dikutuk? (QS 2:30
dan 15:35).
Kepada
jasad sebagai materi, dan ruh sebagai yang bathin, tidak
diberi kebebasan seperti kebebasan yang diberikan kepada jiwa. Pada setiap
materi segala sesuatu yang didalamnya (tak terlihat) mengandung energi
bawaan, atau lebih akrab dengan sebutan ruh ini, hanya bekerja
berdasarkan kodrat dan iradat dari yang telah ditetapkan oleh-Nya, karena itu
mereka dapat bertumbuh, bergerak, ataupun berubah wujudnya sekalipun materi itu
banyak disebut sebagai benda mati. Ruh ini pula yang mewakili
sifat-sifat kemalaikatan yang secara sukarela penuh dengan kesucian, ketaatan
dan tunduk patuh, keikhlasan berserah diri, kasih sayang, serta akal sehat.
“Tidakkah kamu
perhatikan sesungguhnya Allah telah
menundukkan untuk (kepentingan)-mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin. Dan diantara manusia ada yang membantah tentang
(keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang
memberi penerangan.” (QS 31:20)
Nikmat Allah adalah segala sesuatu apa yang berada di langit dan
apa yang berada di bumi, dan segala sesuatu yang merupakan nikmat dari
rahmat-Nya adalah pula memiliki lahir dan bathin-nya. Jadi sebagai rahmat yang
dapat dinikmati lahir dan bathin-nya pula oleh kemanusiaan. Begitulah Allah
mengungkapkan rahmat-Nya, yaitu segala sesuatu di semesta alam ini sebagai yang
selain memiliki wujud lahir, sesungguhnya juga memiliki wujud bathinnya yang
adalah ruh atau energi bawaan sebagai yang membawa kodrat dan iradat-Nya untuk
sampai kepada kemanusiaan sebagai nikmat dari-Nya.
“...... dan
malaikat dalam naungan awan.........” (QS 2:210)
“Dia-lah yang meniupkan angin
sebagai ‘pembawa’ kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga
apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah
yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah yang tandus itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah
Kami membangkitkan orang yang telah mati,
mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”. (QS 7:57)
Semakin kompleks
persenyawaan kimia suatu materi maupun makhluk, tentu pula semakin tinggi
kualitas ruh di dalamnya. Hal ini dapat dilihat atau diamati baik kepada
materi-materi yang disebut benda mati maupun terhadap makhluk hidup selain
manusia, apakah itu bakteri yang hanya bersel tunggal maupun yang agak lebih
tinggi seperti tumbuh-tumbuhan, ataupun yang lebih tinggi seperti hewan-hewan.
Yang pasti mereka ini tidak mendapatkan tiupan Ruh-Ku oleh Allah.
Sebenarnya pada jasadnya,
manusia pun mengalami perubahan di setiap masanya. Yang jelas kelihatan
perubahan-perubahannya adalah dari masa bayi ke masa balita, ke masa remaja,
dewasa, kemudian perubahan di masa tuanya. Yang tidak kelihatan secara
signifikan mengalami perubahan hanya identitas pribadinya, yaitu jiwa-nya.
“...... Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna
atas
kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS 17:70)
Sehingga
yang membedakan manusia dengan selainnya sebagai makhluk-Nya juga adalah karena
jasadnya atau materi penyusun tubuhnya yang bila telah disempurnakan
kejadiannya maka Ruh-Ku (Ruh
Allah) akan bersemayam di dalamnya. Oleh karena itulah Allah memerintahkan
kepada para malaikat seluruhnya untuk tunduk dan bersujud kepada
manusia. Kita telah membahas bagaimana tunduk dan bersujudnya kemalaikatan,
bahkan iblis sebagai yang disebut pembangkang atau musuh yang nyata bagi
manusia pada bab keimanan terrhadap malaikat.
Jasad atau
tubuh manusia yang terdiri dari milyaran sel, yang bermula dari satu sel yang
membawa genre (sifat lahir, wujud atau bentuk rupa) ayah-ibunya. Di dalam rahim
perut ibunya, perkembangan dan pertumbuhannya, sel tersebut membelah diri
menjadi dua sel, dan keduanya kembali membelah diri menjadi empat sel. Begitu
seterusnya, setiap sel hasil pembelahan selalu kembali membelah dirinya hingga
menjadi bermilyar-milyar.
Tidak hanya
membelah saja sel-sel tersebut, di dalam perkembangannya, melainkan pula tumbuh
berkembang menjadi sel-sel yang berbeda bentuk dan fungsinya masing-masing
sesuai kodrat-iradat yang telah ditetapkan kepadanya. Menjadi jaringan yang
membentuk organ-organ hingga anggota tubuh. Sungguh kejadian yang teramat rumit
dan kompleks.
Bayangkanlah, bahkan dalam
setiap harinya, proses-proses setiap segala sesuatu yang sedang berlangsung di
bumi ini, berapa ribu atau juta ibu yang sedang mengandung, yang didalam
perutnya sedang terjadi milyaran proses kejadian pembentukan (penyempurnaan)
bayi manusia. Belum lagi pada hewan-hewan, tumbuhan, hingga kepada
bentuk-bentuk makhluk yang lebih sederhana strukturnya. Pada pergerakan angin
dan awan, serta lain-lainnya. Belum lagi pada keseimbangan semesta yang
terdapat bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya di dalam milyaran
galaksi. Subbahanallah, betapa
sibuknya Allah dari waktu ke waktu mengatur sekaligus memelihara semesta alam
ini (QS 2:255).
“Semua yang ada di langit dan di
bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia
dalam kesibukan.” (QS 55:29)
Jangankan
untuk dapat menentukan jumlah materi yang mengisi semesta alam ini, untuk
menentukan nilai ukuran besarnya alam ini pun tak pernah ada yang sanggup. Dan
tak akan sanggup. Bahkan nilai ukuran materi terkecil pun tak sanggup, dan
takkan pernah sanggup. Hanya mampu mengatakan “ke-tak-ber-hingga-an” (~), hampir-hampir
penulisannya pun membuat rancu dan membingungkan yang membaca. Ya,
ke-tak-ber-hingga-an besarnya alam ini, atau,
ke-tak-ber-hingga-an kecilnya sebuah partikel sub atomik penyusun
materi.
Itulah
kerumitan yang kita sadari dari membayangkan bentuk lahir yang hanya
terlihat oleh mata, tetapi perlu disadari bahwa Allah mencipta segala sesuatu
selalu dengan pasangannya. Yaitu juga bentuk bathin yang mengiringi
segala sesuatu yang belum kita sadari karena tak terlihat. Bentuk bathin yang
berupa energi (kekuatan)-nya inilah yang menjadikan segala sesuatu adalah
mudah bagi Allah. Kun fa yaakun.
Adalah energi bawaan yang membawa aparat-aparat (malaikat) Allah dalam
menjalankan perintah dari segala kehendak yang telah menjadi ketetapan-Nya.
Di dalam perkembangan dan
pertumbuhannya, kemanusiaan dengan setelah kesempurnaan wujud kejadiannya, dan
selain diliputi oleh sifat ke-Maha Kuasaan Allah, kemanusiaan diliputi pula
sifat ke-Maha Adilan-Nya, maka Dia-pun memberikan kebebasan kepada diri
kemanusiaan (dengan jasad dan ruhnya) berupa jalan kebaikan dan keburukan
sebagai yang hendak dipilih jiwanya. Disinilah mulai berperannya jiwa sebagai
yang bertanggung jawab atas pilihan tersebut. Tentu menunjukkan pula di saat
inilah keberadaan jiwa mulai ada dan terasa pada kemanusiaan.
“..... maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan
dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Seiring dengan pertumbuhan
kedewasaanya, jiwa kemanusiaan pun semakin berkembang kepada rasa tanggung
jawab dari setiap pilihannya. Kesulitan, kekurangan, kesedihan, dan yang
sejenis lainnya adalah suatu kondisi penempaan jiwanya, yang kelak,
dapat menjadikannya sebagai termasuk dalam manusia-manusia unggul.
Ya, dengan rahmat keburukan (sebenarnya adalah kebaikan, kelak
sebagai yang akan disadarinya), diri-diri kemanusiaan sesungguhnya sedang
mengalami penyucian atau pemurnian jiwa-nya menuju kepada kesempurnaan. Itulah fitrah
kemanusiaan-nya.
Jasad, Ruh & Jiwa
“Kemudia Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalam tubuhnya Ruh-Nya dan Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, tetapi kamu sedikit sekali
bersyukur” (QS 32:9)
Dan cahaya yang merupakan
energi adalah asal dari setiap materi, ternyata terus terbawa sekalipun cahaya
tersebut telah berwujud sebagai materi, bahkan sebagai materi yang bersenyawa
jauh lebih rumit, sehingga menentukan karakteristik-karakteristiknya. Dan pada
manusia, yaitu materi dengan bentuk senyawa sempurna yang jauh teramat
kompleks, maka sebagai penyusun jasadnya pun berlaku. Energi bawaan yang
berkarakter inilah sebagai yang disebut pribadi atau jiwa (aku). Yang sebelum
lahir ke dunia jiwa ini telah mengadakan persaksian dengan Tuhannya akan kodrat
dan iradat yang ditetapkan kepadanya.
“Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab, betul, kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak
mengatakan,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS 7:172)
Energi yang berkehendak dan berkeinginan, yaitu yang setelah sempurna
keadaannya, bentuk atau wujud kejadiannya di alam, maka memiliki kebutuhan. Dan
saat itulah timbul kehendak serta keinginannnya sebagai aku (ego) yang
sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dan angan-angan. Bila sebelumnya, kehendak
dan keinginan adalah merupakan gerak dari kehendak dan keinginan alami yang
murni atau sunathullah, sesuai kodrat dan iradat-Nya, tetapi kini
setelah jiwa melekat pada jasadnya, kehendak dan keinginan telah berkembang
dipengaruhi dan terkontaminasi oleh kebutuhan serta angan-angannya. Kini
dihadapkan kepada dua pilihan, kebaikan atau keburukan, manfaat atau mudharat
(merugikan), kefasikan atau ketakwaan, yang keduanya harus dipertanggung
jawabkan sebagai hari kemudian-nya, kelak.
Pada ayat 9 surah as Sajdah (32) tersebut diatas, maksud Allah dengan
Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati setelah ditiupkan-Nya Ruh-Nya,
adalah jiwa yang dapat me-rasa-kan seluruh inderawi yang berada pada
jasadnya. Telinga untuk dapat merasakan pendengaran, mata untuk merasakan
penglihatan, hidung untuk merasakan bau, kulit untuk merasakan
rabaan, dan lain-lainya yang kesemuanya terhubung dengan akal dan kesadaran
yang hidup dan berkembang dengannya agar bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun
selainnya sebagai wujud rasa syukur kepada-Nya.
Jiwa inilah
yang menjadikan rasa begitu dominan mempengaruhi kualitasnya. Nikmat kebaikan
atau sekalipun nikmat keburukan, sesungguhnya adalah rasa yang
menilainya dan akan berbekas di hatinya. Begitu pula pada nikmat kesenangan
ataupun sengsara, kebahagiaan dan kesedihan, ketentraman dan kegelisahan, dan
lainnya adalah merupakan pasangan yang dinilai oleh rasa dan amat
mempengaruhi kejiwaan.
Pada diri
atau jiwa yang hanya terpaku oleh pandangan mata saja, hanya tertarik kepada
yang nyata-nyata saja, atau dengan kata lain perhatiannya hanya pada materi
(materialisme) belaka, maka tidak akan pernah menemukan esensi
kehidupan sejati. Tiada pernah
memahami mengapa dadanya selalu menarik dan menghembuskan nafas, mengapa
jantungnya selalu berdetak, mengapa rambut-rambut dan kuku-kukunya selalu
bertumbuh panjang sekalipun sering dipotongnya. Mengapa pula putih atau hitam
kulitnya, mancung atau pesek hidungnya, besar kecil ukuran tubuhnya, dan lain
sebagainya yang bukan diri atau jiwanya menghendaki atau bahkan
memerintahkannya.
Juga tidak memahami kenapa bisa
timbulnya keresahan pikiran, pencarian solusi, penganalisaan
permasalahan, dan hingga kepada penyimpulan untuk mendapatkan
pemahaman.
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu)
orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil
berkata), ya Tuhan
kami, tidaklah
Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.” (QS 3:190-191)
Kelak setiap
diri akan memahami mengapa hal-hal tersebut terjadi pada dirinya, dan
mengarahkannya kepada mengenal Tuhannya sebagai realitas sejati,
sehingga dapat berserah diri (islam) secara kaffah (total) murni dan
ikhlas. Tidak sekedar tunduk patuh, mengabdi, menyembah, dan berserah diri
kepada tuhan yang dia sendiri tidak mengenalnya. Bisa-bisa, ternyata, hawa
nafsu (ego)-nya sendiri yang dianggap tuhannya (QS 45:23).
Bahkan mereka, diri-diri yang
menuhankan agamanya, yang karena lebih mengutamakan ego kelompok atau
golongannya dengan berlebihan rela melakukan kerusakan malah sampai kepada
saling menumpahkan darah. Bahkan mengatas namakan agama-nya, padahal mereka
telah menerima kitab, dan sebagai
ahli kitab. Manusia manakah yang tidak menerima kitab? Bahkan di dalam
dadanya pun telah ditanamkan kitab-Nya.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”. (QS 4:171)
“......... Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu
telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti
akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha
Kuat, Maha Perkasa”. (QS 22:40)
“Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia
sebagai umat yang satu, tetapi
mereka selalu berselisih pendapat.” (QS 11:118)
“......... Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami
berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi
Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, ......” (QS 5:48)
Jelas dan terang sekali keempat
ayat ini menerangkan Bahwa Dia-lah yang memberikan aturan dan jalan yang terang
kepada tiap-tiap umat diantara manusia, dan dengan perbedaan-perbedaan Allah
hendak menguji diri-diri kemanusiaan agar berlomba dalam berbuat KEBAJIKAN,
bukan kerusakan apalagi saling menumpahkan darah. Tidak cukupkah ini
menjelaskan?!
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang
Yahudi, orang-orang Nasrani, orang-orang
Sabi’in§, siapa saja diantara mereka yang meyakini adanya Allah dan hari akhir, dan
berbuat kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka
dan mereka tidak bersedih hati ”. (QS 2:62)
Berhati-hati
dan selalu waspadalah terhadap siasat iblis akan tujuan utamanya untuk
menjerumuskan setiap diri kemanusiaan hingga hari kiamat (QS 15:35-36). Demikianlah seperti yang digambarkan
firman-Nya di dalam ayat-ayat Al Qur’an
berikut ini pula.
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka (para
malaikat) berkata, mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan
padanya dan saling menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.” (QS 2:30)
Di setiap firman-Nya di dalam Al Qur’an, Allah tidak pernah
menyebutkan bahwa Dia meniupkan Ruh-Nya kepada selain manusia. Dan bila lebih
seksama merenungkan dan memahaminya secara mendalam, sesungguhnya Dia
menghendaki manusia agar menjadi wakil-Nya sebagai yang mewujudkan
sifat-sifatNya di bumi. Tidak hanya sekedar sebagai utusan yang membawa
pesan-pesan dari-Nya, tidak pula hanya sekedar sebagai khalifah (pemimpin)
melainkan juga amanah, sebagai perwujudan Dia ar Raahmanur-Rahiiym (Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang), yaitu sebagai khalifah yang saling
menebarkan rahmat-Nya kepada sesama makhluk-Nya.
“Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam. Maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS 2:34)
Satu hal utama yang harus menjadi
kewaspadaan pada setiap diri kemanusiaan, yaitu terhadap iblis dengan
sifat pembangkangannya terhadap perintah Tuhannya dan sifat takabur (sombong)
yang ternyata amat membuat Allah murka, sehingga sebagai yang terkutuk hingga
hari kiamat (QS 15:35) dengan neraka sebagai ganjarannya, hingga abadilah
kutukan-Nya. Maka hikmahnya adalah, bila diri kemanusiaan melakukan dua sifat
tersebut, sesungguhnya dia telah menciptakan iblis di dalam dirinya
sendiri untuk menjerumuskan kepada kesesatan yang semakin dalam yang amat
membuat Allah murka. Simak kembali bunyi ayatnya, ..... ketika Kami
berfirman kepada para malaikat, sujudlah.............. Maka sujudlah mereka
kecuali iblis, .......
Yang
diperintah sujud adalah malaikat, dan mereka yang tunduk patuh pun
bersujud. Sementara mereka (para malaikat) yang tidak tunduk patuh atau
membangkang karena takabur disebutlah sebagai iblis. Maka iblis
tercipta dari malaikat, yang sesungguhnya memiliki sifat yang taat dan tunduk
patuh pada dasarnya, menjadi pembangkang dan takabur karena sesungguhnya pula
sifat-sifat itu ada pada diri kemanusiaan. Pembangkangan dan ketakaburannya tertuju
kepada diri kemanusiaan, bukan kepada Allah. Wong, sebelum diciptakannya
Adam mereka senantiasa bertasbih dan memuji serta mensucikan nama Allah. Lihat
kembali juga pada bab keimanan kepada para malaikat sebelumnya.
Sehingga
mereka, diri-diri yang menurutkan hawa nafsu (ego)-nya, sesungguhnya, dirinya
sendirilah yang telah menciptakan atau menjadikan malaikat yang
sebelumnya tunduk patuh untuk membantu sebagai aparat-aparatnya, kini menjadi iblis
pembangkang yang justru menjadi musuh
yang menjerumuskan dan merugikan dirinya sendiri.
Sel-sel di
dalam tubuh menjadi tidak bersahabat lagi terhadap satu sama lainya. Mereka
membangkang, kerjanya menyimpang dari yang ditetapkan, membuat kerusakan hingga
terjadi kegagalan sistem (mal function) pada organ tubuh, sehingga,
sesungguhnya, dia sendirilah yang telah menetapkan kodrat-iradat bagi dirinya
di hari kemudian sebagai yang merugikan.
Dalam sebuah
hadits-nya Nabi memperingatkan, bahwa “ada segumpal daging
di dalam tubuh yang apabila rusak maka rusak pula seluruh tubuhnya, segumpal
daging itu ialah hati.” Tentunya hal ini membuktikan betapa
keterkaitan yang amat mempengaruhi antara yang bathin dapat menentukan
kepada yang lahir. Bagaimana hati seseorang yang kotor, yang selalu
menuruti hawa nafsunya, dapat merusak tubuh atau jasadnya. Yaitu penyakit hati
yang dapat menyebabkan penyakit di jasad atau tubuh seseorang. Yang telah
banyak terbukti, tentunya kita sering mendengar tentang penyakit darah tinggi.
Pada skala yang berat, pengaruh pikiran penderita amat berat menekan suasana
hati-nya, maka penyakitnya akan lebih meningkat lagi menjadi stroke yang
menyebabkan kelumpuhan pada beberapa organ tubuhnya, bahkan hingga pada
kematian.
Pikiran kotor yang
berada dalam hatinya ini adalah merupakan kebalikan atau lawan dari berserah
diri (islam) dengan murni atau ikhlas dan rasa syukur nikmat atas setiap
rahmat yang sesungguhnya telah diterima baik yang disadari maupun yang tak
disadarinya. Pikiran-pikiran kotor inilah yang menghalangi mata-hatinya
dalam memandang kebenaran dan kebaikan yang berada dibalik segala sesuatu yang
dilihat mata-lahirnya, yang didengar telinganya, bau yang dicium hidungnya,
rasa yang dikecap lidah dan rabaannya, dan lain sebagainya yang pada akhirnya
dapat menyesatkan dan menjauhkan diri atau jiwanya dari kebenaran yang haqq.
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan
jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka
semuanya.” (QS 15:39)
“....... kemudian
akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS 7:16-17)
“...... pasti aku akan
menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
“Wahai anak
cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan
sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari
surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat
keduanya. Sesungguhnya
dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin
bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
Begitulah
seharusnya memaknai islam (berserah diri), bukan malah sebagai komunitas atau
kelompok agama yang dengan eksklusivitasnya merasa berbeda sehingga tidak lagi
menjadi rahmat bagi semesta alam, dan bahkan malah merusak dan menumpahkan
darah. Memahaminya secara positif adalah
bahwa islam (berserah diri secara ikhlas) merupakan salah satu cara atau jalan
di dalam jalan lurus menuju Tuhan untuk saling berbagi dan menebarkan
rahmat-Nya.
Umat yang dikehendaki Allah
adalah komunitas manusia yang menetapkan keberserah dirian (islam)-nya secara
ikhlas, berlaku lurus dan selalu mensucikan amal perbuatan berupa kebajikan,
serta selalu ingat dan menyadari akan kuasa lindungan dan pemeliharaan Tuhan
Rabb semesta alam.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yitu berlaku
lurus, shalat
(mengingat) Allah yang tiada putus, dan mensucikan (apa-apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang
benar (Diynul
Qayyimaah)”. (QS 98:5)
“......... Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami
berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi
Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, ......” (QS 5:48)
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik
anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang
yang shalat, (yaitu) orang yang lalai
terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan)
bantuan”. (QS 107:1-7)
Bahkan Allah membenci orang yang shalat
tetapi amal perbuatan-nya tak mencerminkan shalat-nya. Seolah-olah orang
tersebut tak memahami untuk apa ia melakukan shalat. Seakan tak mengerti lagi,
bahwa shalat adalah agar diri terhindar dari perbuatan keji dan mungkar
(mengingkari Allah), apalagi perbuatan merusak dan saling menumpahkan
darah.
Mengapa kalimat “perbuatan merusak
dan saling menumpahkan darah” ini berulang-ulang dipakai ketika kita
mengulas umat dan agama? Ini,
tidak lain, karena seringnya terjadi perselisihan yang melibatkan banyak orang
sehingga kerusakannya pun tentu semakin besar. Dan yang paling mudah tersulut
emosi (ego)-nya adalah, dalam kebanyakan kasus, mengatas namakan agama. Dan
sepanjang sejarah peradaban manusia, banyak kejadian yang dilatari oleh isu-isu
keagamaan yang tercatat sebagai tragedi kemanusiaan. Ingat kembali surah al
Baqarah (2) ayat 35, yaitu ...... Mereka (para malaikat) berkata, mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan
padanya dan saling menumpahkan darah, ....... Pada
ayat tersebut sepertinya Allah menghendaki agar diri-diri kemanusiaan waspada
terhadap perbuatan tersebut yang menjadi perhatian dan kekhawatiran para
malaikat bahwa manusia tidak akan mampu menghindarinya. Atau kalimat itu
merupakan celaan malaikat terhadap sifat-sifat kemanusiaan? Renungkanlah
dengan hati yang tertuju kepada Allah semata, dan semoga Dia memberikan
hikmahnya kepada diri-diri kita. Amin.
Dalam kejiwaan ini, tahapan
kejiwaan mengalami tingkatan-tingkatan yang dilaluinya dalam kehidupannya yang
panjang. Dan sebagai yang perlu diingat dan menjadi dasar pemahaman, bahwa energi
bawaan sebagai yang disebut jiwa, mengalami penyempurnaan seperti penyempurnaan
yang terjadi pada bentuk-bentuk lahirnya, yang berasal dari partikel kemudian
membentuk unsur, kemudian lagi berinteraksi membentuk senyawa, dan terus
menyempurnakan diri kepada wujud-wujud yang lebih kompleks lagi persenyawaan
kimianya. Seperti yang telah diketahui
secara umum, tak ada salahnya bila diulas sekilas sebagai tambahan untuk
memahami yang akan diurai selanjutnya.
“Bukankah
telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia
ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS 76:1)
Dimulai dari tahapannya ketika masih
merupakan materi atau yang disebut benda-benda mati lainnya, sebagai yang
disebut al nafs al ammarah, adalah jiwa yang bekerja berdasarkan
kodrat dan iradat yang telah ditetapkan kepadanya (seperti di awal bab ini
telah diuraikan pula).
Kemudian tahapan kejiwaan berikutnya, al
nafs al law-wamah, jiwa yang interaksinya telah dapat merespon lebih
variatif lagi terhadap lingkungannya. Jiwa ini bekerja pada tumbuhan dan hewan.
Berikutnya adalah al nafs al mulham-mah,
yaitu jiwa yang dapat merespon lebih jauh lagi dari segala sesuatu
disekelingnya, yang pada awalnya sebagai petunjuk. Kemudian
menimbang-nimbang reaksi yang akan dilakukannya berdasarkan petunjuk tersebut
akan nilai-nilai, baik buruk, untung rugi, dan lain sebagainya.
Kemudian yang terakhir sebagai yang
tertinggi, al nafs al muthmain-nah, adalah merupakan jiwa yang
telah dapat mengendalikan segala sesuatunya demi nilai-nilai luhur.
Keempat tahapan kejiwaan diatas adalah ada yang telah, sedang, dan
akan dilalui setiap kemanusiaan. Dua tahapan yang pertama tentu telah dilalui,
dan yang ketiga kebanyakan umumnya kemanusiaan sedang menjalaninya sebagai
proses menuju tahapan yang terakhir agar dapat kembali pulang kepada
Allah SWT. Dan tahapan-tahapan ini sangat berhubungan dengan ulasan pada bab
berikutnya tentang yang mempengaruhi jiwa kemanusiaan.
Bab XX
HATI, AKAL & KESADARAN
bagi JIWA
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi
serta silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu)
orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil
berkata), ya Tuhan
kami, tidaklah
Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”
(QS 3:190-191)
H
|
ati atau kalbu
(qalb) adalah tempat akal dan kesadaran bekerja dan berperan lebih bernilai
lagi bagi kehidupan yang telah dibangkitkan oleh ruh terhadap jasad. Kedua hal
tersebut, akal dan kesadaran, sungguh amat mempengaruhi jiwa kemanusiaan. Bila
keduanya terganggu maka jiwapun menjadi terganggu pula. Pada tingkat keparahan
yang berat gangguan yang menimpanya, disebut gila, maka hukum manapun
tak berlaku lagi dikenakan kepadanya. Karena jiwanya dianggap tak ada,
sekalipun dia dikatakan hidup, jasadnya masih tumbuh dan berkembang, ruh-nya
pun masih melekat, serta masih butuh makan dan minum juga buang air apalagi
bernafas. Hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk Allah lainnya seperti
hewan, tumbuhan, maupun yang dikatakan sebagai benda mati. Yaitu jiwa-nya.
“Maka
apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu dapat memahami
atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
ialah hati yang di dalam dada.” (QS 22:46)
Kembali
kepada keberadaan jiwa, kapan jiwa mulai ada keberadaannya dan menyentuh jasad
serta ruh kemanusiaan. Karena begitu dominannya akal dan kesadaran bagi
kejiwaan seorang manusia, bahkan hukum manapun (termasuk hukum Tuhan) tak
berlaku bila akal dan kesadaran dalam gangguan berat, maka tentunya keberadaan
jiwa-pun bergantung dengan keberadaan akal dan kesadaran kemanusiaan. Bagi umat
muslim tentunya masa akil baligh, yaitu masa dimana hukum telah dapat
dikenakan kepadanya.
Dan dalam
kondisi sadar-lah, maka rasa-nya dapat merangsang akal untuk
bereaksi bekerja membuat hatinya menjadi lebih hidup lagi menerangi
jiwa. Begitupun sebaliknya, dimulai dari hati yang resah atau hati yang
memendam kekotoran, maka akal dan kesadaran-nya hanya tertuju pada apa yang ada
di dalam hatinya saja, sedang untuk hal-hal lainnya maka akal dan kesadarannya
menjadi lemah. Karena energi-nya tersedot kepada penggunaan akal & kesadaran
pada hatinya yang kotor, pada saat inilah hawa nafsunya menjadi semakin kuat
bergolak dan bisa tak terkendalikan lagi oleh jiwanya.
Keadaan seperti itu, tak
selamanya berlangsung, dan bila Allah berkehendak, maka Dia-pun berkuasa
menyentuh kesadaran-nya dengan petunjuk (cahaya yang menerangi).
Dan sekali lagi akalnya akan berperan, untuk segera beralih atau terus
melanjutkan kesesatannya. Bagi jiwa yang menjauhi terang cahaya-Nya, maka
diri-nya sendirilah yang sesungguhnya menjauhi cahaya Allah, dan semakin
butalah hatinya di dalam kegelapan yang jauh dari terangnya cahaya Allah.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia, niscaya di akhirat
akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan (kebenaran).” (QS 7:72)
Kesadaran adalah suatu
kondisi dalam keadaan ingat. Dan kesadaran pun dapat dilatih agar
dapat peka terhadap segala sesuatu bentuk kejadian ataupun keadaan, sehingga
akalnya dapat lebih jauh menjelajahi tahap demi tahap dari apa-apa yang
sebelumnya tidak diketahuinya (sebagai yang ghaib) dengan demikian hatinya
menjadi hidup dan jelas dalam melihat. Bila mata yang melihat, maka segala yang
dilihat adalah bentuk-bentuk (wujud) lahir. Sedang yang dilihat oleh hati
adalah sisi bathinnya, makna dibalik wujud lahir pun akan terlihat, tetapi tentunya
sesuai dengan tingkat tahapan akalnya.
“Hai
orang-orang yang beriman, berdzikirlah (mengingat) Allah, dzikir (ingat) yang sebanyak-banyaknya.” (QS 33:41)
“...... Dan berdzikirlah (mengingat) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya
kepadamu, dan
sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang
yang sesat.” (QS 2:198)
Kesadaran
dan akal menjadi dua unsur penting yang dapat menghidupkan hati setiap
diri kemanusiaan dengan kepekaan-nya dalam menerima segala sesuatu yang
dilihat, didengar, dan dirasa oleh inderanya menjadi sebagai sebuah petunjuk
yang bermanfaat. Begitu banyaknya kejadian setiap detiknya di alam, dan
sungguh, karena kesadaran dan akal yang terbatas, membuat kepekaan hati tak
setajam, yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa dahsyat dalam
pemanfaatannya.
Yang paling
terasa dan nyata bermanfaat bagi kehidupan kemanusiaan adalah, produk-produk
tekhnologi modern saat ini yang merupakan hasil eksplorasi kesadaran dan
akal yang pada awalnya dianggap gila dan tak masuk akal bagi kebanyakan orang
lainnya. Satu contoh saja produk terakhir yang ada sekarang ini, yaitu telepon
selular, maka tak terhitung manfaatnya bagi kemudahan kehidupan kemanusiaan.
Padahal, pada awalnya mungkin ratusan atau ribuan tahun yang lalu, seperti telepati
sebagai cikal bakal produk ini, dianggap sebagai produk takhyul yang tak
mungkin. Bila ternyata telepati berhasil dibuktikan, dianggap menggunakan jin
dan merupakan perbuatan syirik. Belum lagi pada eksplorasi kesadaran dan akal
pada bidang-bidang pengobatan dan kedokteran, yang pada masa-masa awalnya para
juru penyembuh disebut dukun atau tukang sihir. Begitulah diri-diri, yang
karena ketakutan mengalami kesesatan tetapi justru malah terpenjara
oleh ketakutan (kesesatan)-nya sendiri.
Maka
pikirkanlah, apa yang akan terjadi kepada mereka yang meremehkan peran
kesadaran dan akal bagi kehidupannya? Tentu, sama saja dengan menutup pintu
hati-nya dari menerima petunjuk yang dapat memberi kemudahan bagi dirinya
sendiri, kelak. Sehingga dirinya sebagai
yang tak dapat merasakan nikmat-nikmat Allah yang sesungguhnya telah banyak
diterimanya. Ya, nikmat-nikmat yang sesungguhnya Allah berikan adalah nikmat
tunggal, bukan saja tak dirasakan nikmat kebaikannya tersebut, tetapi pula
telah berubah menjadi nikmat keburukan. Karena di alam, diri kemanusiaan
menerima segala sesuatu selalu bersama pasangannya.
Mengingat Allah sebanyak-banyaknya di setiap waktu, agar tidak tersesat.
Dan sungguh luas makna tersesat dalam ayat ini. Yang dalam makna
keseluruhannya adalah menjaga kesadaran dengan mengingat Allah, maka akan terhindar dari segala macam
kesalahan atau tersesat, yang justru, sesungguhnya, akan merugikan dirinya
kelak.
Mengingat Allah sebanyak-banyaknya di
setiap waktu adalah menciptakan kondisi kesadaran yang peka terhadap segala
sesuatu yang di lihat, di dengarnya, di penciumannya, di rasanya, hingga di
pikirnya. Akan tetapi kemanusiaan tidak akan langsung mencapai kesadaran
tersebut, ada beberapa tahapan sedari awalnya yang pasti dilaluinya jenjang per
jenjang.
Kesadaran Jasad (Inderawi)
Kesadaran ini adalah kesadaran yang bekerja pada tahap indera-indera
kemanusiaan telah berfungsi. Dimana indera-indera seperti mata telah dapat
melihat dengan jelas baik rupa dan bentuknya juga warna-warnanya, telinga pun
telah dapat mendengar dengan jelas, hidung dapat mencium bau-bauan, dan lain
sebagainya seperti yang telah diketahui secara umum, sehingga dirinya telah
dapat berintraksi dengan lingkungannya.
Kesadaran
ini telah hadir pada diri kemanusiaan di masa kanak-kanak atau balita, paling
tidak usia dua tahun. Maka akan lucu bila ada orang dewasa yang telah matang
secara intelektual yang tidak mau mempercayai suatu hal, dan merasa harus
melihat dengan mata kepalanya sendiri, atau mendengar langsung dari sumbernya.
Maka orang tersebut masih berada pada tahap kesadaran kanak-kanak. Yang segala
sesuatunya dipandang secara nyata terlihat oleh matanya, terdengar oleh
telinganya, dan teraba oleh kulitnya. Yaitu serba materi, terjebak dengan paham
materialisme sendiri.
Ketahuilah,
paham ini sungguh akan mengkungkung jiwanya dari penjelajahan ke tingkat
pemahaman-pemahaman yang jauh lebih luas dan tinggi dari sebelum-sebelumnya,
sehingga jiwa tidak mendapatkan wawasan yang maksimal.
Seperti
gunung yang terlihat jauh adalah berupa onggokan berwarna biru kusam. Setelah
didekati ternyata warnanya berubah menjadi hijau kusam. Dan semakin didekati
lagi warnya hijau tua. Setelah semakin dekat kita menyadari bahwa warna yang
berubah-ubah itu adalah kumpulan pepohonan yang terlihat rapat berwarna hijau
tua. Setelah sampai di gunung tersebut, kita tidak lagi melihat onggokan yang
berubah-ubah warnanya tersebut, melainkan warna-warni dedaunan dan rerumputan.
Bahkan tidak hanya itu, hawa sejuk yang sebelumnya tidak kita rasakan pun hadir
menerpa indera-indera kita sebagai yang baru. Belum lagi aneka penghuni di
dalam ekosistemnya yang dapat kita ketahui. Itulah salah satu contoh
penjelajahan pemahaman yang menggugah kesadaran manusia menuju ke tingkat yang
lebih tinggi lagi.
Di kali yang lain, masih
terhadap orang seperti ini, yang takkan pernah percaya bila tak melihat dengan
mata kepalanya sendiri, dan dia merasa telah beriman dengan baik dan
benar. Termasuk percaya kepada nabi-nabinya, yang tak pernah dapat lagi
dilihat, didengar, apalagi diraba atau dicium keberadaanya. Bagaimana mungkin,
sedangkan foto atau gambar nabi saja tidak pernah ada. Dalam hal ini dia dapat
mempercayainya. Maka bagaimana pula imannya kepada Tuhan?
“Dan jaganganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung jawaban.” (QS 17:36)
Suatu
dualisme yang saling bertentangan. Di satu sisi di dalam kehidupan sehari-hari
dia hanya mau menerima yang realita saja, tetapi di sisi lainnya, yang
menyangkut keagamaannya, dia secara taklid dapat menerima sebagai yang
diyakininya tanpa pengetahuan yang mendasari segala sebab akibat. Sehingga
makna ikhlas dalam keberserah dirian (islam)-nya tidak menjadi hal yang
mendasari setiap amal perbuatannya.
Begitulah Allah menghendaki
setiap diri kemanusiaan menggunakan hati dan akalnya untuk memahami tanda-tanda
kekuasaan-Nya yang banyak tersebar di alam ini, yang juga dapat bermanfaat bagi
kehidupannya.
“Dan
sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, siapakah
yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi itu sesudah matinya?
Tentu mereka akan menjawab, Allah. Katakanlah, segala
puji bagi Allah. Tetapi kebanyakan mereka tak
memahaminya.” (QS 29:63)
Bila kita mau jujur, justru yang
seperti inilah yang ternyata menghinggapi kebanyakan manusia. Dimana imannya
adalah merupakan warisan dari orang tua atau leluhurnya. Sekali lagi,
kesadaran ini adalah tahap kesadaran kanak-kanak. Layaknya anak-anak yang
ketika ditanya bukti-bukti atas pernyataanya maka mereka akan menjawab, “begitulah
yang dibilang ayah dan ibuku kepadaku.”
Kesadaran Ilmiah (Rasional)
“Sebenarnya
Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada
orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali
orang-orang yang zhalim.” (QS 29:49)
‘ilm al yaqqin
Kesadaran setiap diri kemanusiaan seharusnya berkembang, dari yang
semula hanya merupakan kesadaran kanak-kanak naik kepada yang diatasnya, yaitu
kesadaran yang lebih dapat dipertanggung jawabkan. Ya, kesadaran ilmiah yang
berdasarkan tingkat rasionalitas yang ada pada dirinya yang juga
seharusnya berkembang dari waktu ke waktu.
Sesungguhnya,
orang-orang yang telah mengamalkan ilmunya, baik yang didapat dari bangku
pendidikan atau selainnya, sebagai orang yang telah menggunakan kesadaran
ilmiahnya. Jika belum sampai diamalkan atau dipraktekkan, tetap saja merupakan
kesadaran inderawi. Teori, atau hanya angan-angan belaka. Karena bila ditanya
bukti-bukti pernyataannya, jawaban yang adapun seperti layaknya jawaban
anak-anak, “begitulah yang dibilang guruku kepadaku.” Atau jawaban
seperti ini, “begitulah yang dibilang si fulan kepadaku.”
Seperti di
masa kecil, kita mendapat pengetahuan bahwa bumi-lah sesungguhnya mengelilingi
matahari. Padahal yang dilihat matanya yang bergerak adalah matahari, saat pagi
matahari terbit di Timur dan tenggelam sore harinya di Barat. Akalnya belum
bisa menerima pengetahuan itu, dan hatinya tak puas.
Lama sekali
setelah sampai di masa remajanya, dan hampir-hampir saja terlupakan, hatinya
yang masih tak puas terhadap pengetahuan
tentang gerak revolusi bumi itu, saat ia bepergian ke luar kota bersama
teman-teman dengan menggunakan kereta api, yang dalam lamunan dengan kepala
menyender ke jendela kaca dan melihat pemandangan, tiba-tiba hatinya tersentuh,
akalnya terbuka. Ya betul, apa-apa yang dilihatnya barusan, yang berada di luar
kereta api, pepohonan dan rumah-rumah serta benda lainnya yang sebenarnya tak
bergerak menjadi terlihat bergerak, sedangkan dirinya yang
sebenarnya sedang bergerak bersama kereta api yang ditumpanginya terasa tak
bergerak. Begitupun ketika seseorang di dalam pesawat dalam perjalanannya,
tentu tak merasakan dirinya sedang bergerak dengan kecepatan tinggi, bahkan
jauh melebihi kecepatan kereta api, kecuali bila kesadarannya mengingatkan itu.
Begitulah
Allah memberi petunjuk kepadanya, dan masih banyak cara Allah dalam
memberikan petunjuk-Nya secara misterius, yang tak disangka-sangka
ketika datangnya.
Suatu
kesadaran yang disandarkan kepada ilmu tentunya harus dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah. Sebenarnya tahapan kesadaran inipun masih dalam taraf
materi atau bentuk lahir. Belumlah menyentuh kepada yang bathinnya. Karena,
ternyata, begitu banyaknya yang tak terlihat dibalik yang kita lihat dengan
mata lahir kita.
Kesadaran
inipun sebenarnya terbantukan oleh hadirnya banyak alat-alat bantu canggih
modern yang canggih, seperti mikroskop elektron-optik, teleskop, satelit,
radar, GPS, radio, televisi, komputer, handphone dan lain-lainnya yang sungguh-sungguh
membuat kemudahan bagi manusia untuk dapat membuka kesadaran-kesadaran
tahap-tahap selanjutnya.
Contohnya, bila kita buka Al
Qur’an Surah al Mu’minuun ayat 14, yang memberitatakan tahap pertumbuhan janin
di dalam rahim sang ibu, maka dengan adanya alat USG kita pun dapat memonitor
secara langsung bagaimana pertumbuhan seperti yang diungkapkan ayat
tersebut. Jadi tidak lagi menjawabnya
seperti anak-anak menjawab, “begitulah yang aku baca di dalam Al
Qur’an.”
“Adakah
orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
adalah kebenaran, (maka) sama dengan orang buta (mengetahui)? Hanya orang-orang yang
berakal sajalah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS 13:19)
Sekalipun kita meyakini Al Qur’an adalah kitab berisi wahyu Tuhan yang
penuh kebenaran, tetapi jauh lebih sempurna kita meyakininya dengan keyakinan
yang nyata yang dapat dipertanggung jawabkan, bukan keyakinan buta.
Di alam ini begitu banyak tersebar petunjuk kepada pemahaman yang
menggugah kesadaran kita serta dapat menggiring jiwa kita kepada
kesadaran-kesadaran pada tahap-tahap selanjutnya yang lebih tinggi dari
sebelumnya. Serasa masih banyak lagi yang belum diketahui bagaikan
rahasia-rahasia yang menyelimuti kedalaman lautan, yang dari luar permukaannya
terlihat tenang tetapi banyak misteri
kehidupan di dalamnya.
Contohnya
lagi adalah, bintang-bintang yang bertebaran di langit malam yang menggugah
kesadaran manusia untuk mempelajari ilmu-ilmu astrologi (dulu ilmu falak)
kemudian berkembang kepada mempelajari musim-musim sehingga berguna pada
perkembangan pemahaman dalam penentuan musim tanam pada pertanian, dan pada
kelautan yang berguna bagi nelayan, bahkan juga kepada pengetahuan navigasi
bagi para penjelajah yang tertarik pada penemuan-penemuan daerah-daerah baru
sebagai daerah jajahan yang hendak dikuasainya.
Dan dunia pun semakin kesini
semakin terasa sempit setelah kesadaran demi kesadaran terkuak satu per
satu. Sekarang ini bahkan, setelah internet telah dapat diakses oleh siapapun,
dalam hitungan detik kita dapat mengetahui keadaan suatu daerah sekalipun nun
jauh di negri atau benua lain. Akan tetapi, semakin diketahui satu per satu,
semakin pula mengundang yang lain berikutnya untuk diketahui dan dikenalnya,
seakan tak pernah habis-habisnya.
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan
barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang besar. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil
pelajaran.”
(QS 2:269)
Allah memang
kuasa berkehendak memberikan hikmah (pemahaman) kepada siapapun yang
dikehendaki-Nya, seperti diterangkan diawal ayat di atas, akan tetapi Dia pun
menyatakan kepada mereka yang mau menggunakan akalnya itulah maka Allah
berkehendak menganugerahkan hikmah-Nya.
Jadi,
semakin manusia menggunakan akalnya, maka semakin terbukalah
kesadaran-kesadaran yang akan ditemuinya sebagai yang wajib disyukurinya,
kelak. Karena telah memberinya kemudahan-kemudahan bagi yang sebelumnya terasa
menyulitkannya. Yang kelak pada kesadaran tahap tertinggi, dimana hati pun ikut
berperan selain akalnya, maka keimanan bukan lagi sekedar keyakinan, melainkan
sebagai realitas yaitu kenyataan yang terlihat, terdengar, terrasa, tercium,
bahkan terraba. Bahwa keyakinannya bukanlah cerita omong kosong para orangtua
pendahulunya, melainkan perjalanan panjang kesadaran jiwa menuju sebuah
kenyataan yang hakiki.
Sebenarnya,
dari ayat di atas pula, menjadi timbul pemahaman pada diri ini, bahwa adanya
paham Jabariyah dan Qadariyah adalah pasangan paham yang tumbuh di dunia
pemikiran muslim, seperti layaknya pasangan malam dan siang atau yang lainnya,
yang keduanya adalah kebenaran, dan akan menjadi kesalahan bila
salah satunya dihilangkan atau dianggap tiada. Kita takkan mencapai pemahaman
ini, bila sebelumnya tak mencapai pula kesadaran bahwa segala sesuatu Allah
ciptakan saling berpasangan. Bahkan termasuk dengan pemikiran kita.
Jika
inderanya saja belum mampu mengetahui dan menyadari segala sesuatu yang nyata
wujudnya, maka bagaimana hendak beralih hendak memahami kepada segala yang
bathin dan masih ghaib serta jauh sekali dari akal pemikirannya? Tetapi
keyakinannya terhadap adanya segala sesuatu yang tak tampak dari apa-apa yang
dilihat oleh mata lahirnya, membuat jiwanya terus menerawang berusaha dapat
menembus selaput-selaput yang menyelimuti pandangan mata hatinya.
Pada saat itulah jiwanya
mengalami awal transformasi kesadaran menuju kepada kesadaran yang lebih
tinggi. Yaitu menuju kepada kesadaran ruhani yang halus dan lembut, yang sesungguhnya
hanya dapat ditembus juga oleh hati yang halus dan penuh kelembutan.
Kesadaran Ruhani
“Katakanlah, ruhulkudus menurunkan al Qur’an itu dari Tuhanmu dengan
kebenaran, agar meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk
serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS 16:102)
‘ayn al yaqqin
Seperti yang telah kita ketahui
sebelumnya, ruh adalah eksistensi yang tersembunyi dan bersifat halus (ghaib)
tak terlihat, tak terdengar, tak
tercium, bahkan tak terraba. Tetapi bagi hati yang peka maka akan terrasa
keberadaannya. Maka tentunya kesadaran pada tahap ini sungguh adalah kesadaran
yang amat sulit bagi umumnya jiwa kemanusiaan, kecuali mereka yang di dalam
hatinya sebanyak mungkin menghilangkan kekotorannya.
“.....sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Apa hubungannya hati yang
bersih dengan hal ini? Tidak usah kepada kesadaran tahap yang tinggi ini,
kepada kesadaran yang terendah saja, yaitu kesadaran jasad (inderawi), akan
menjadi tidak berguna bila hati kita sedang dipenuhi kekotoran, seperti lamunan
misalnya. Terkadang orang di sekitar
berbicara apapun kita takkan mengerti, jangankan untuk paham, mendengar sajapun
tidak. Terkadang guru atau dosen menerangkan sejauh manapun, murid atau
mahasiswanya pun yang sedang dilanda problema di hatinya, menjadi percuma,
karena jangankan akan dimengerti, didengarnya saja pun tidak. Atau bahkan bila
sedang disibukkan lamunan, kita tak menyadari kehadiran seseorang atau apapun.
“Dan banyak
sekali tanda-tanda di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang
mereka berpaling daripadanya.” (QS 12:105)
“.......
Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
ialah hati yang di dalam dada.” (QS 22:46)
“Demikianlah
Allah mengunci mati hati orang-orang yang tidak
(mau) memahami.” (QS 30:59)
Hatinya
sedang sibuk, sedang galau, dan sedang tak keruan, maka bagaimana kesadarannya
dapat berkembang, sedangkan informasi yang seharusnya dapat masuk malah tidak
diacuhkannya. Informasi yang masih perlu diolah dan diproses lagi saja tidak
dapat masuk, maka pemahamannya pun menjadi “jauh panggang dari api”.
Menjadi hal yang tak mungkin.
Itulah
sebabnya Allah mengingatkan kita agar ber-ta’awudz, memohon perlindungan-Nya
dalam setiap mengawali membaca ayat-ayat al Qur’an, agar terlindung dari
bisikan-bisikan yang menyesatkan yang dilakukan oleh utusan-utusan iblis
(setan) untuk menyimpangkan makna-makna
yang dibaca.
Memohon perlindungan-Nya agar
terhindar dari kesalahan, penyimpangan, ataupun kesesatan. Sungguh di dalamnya,
Al Qur’an itu, banyak terkandung petunjuk dan hikmah sebagai kebenaran yang
haqq dari Tuhan Yang Maha Haqq. Jika membaca Al Qur’an yang suci saja
kita dianjurkan untuk berlindung dari penyesatan setan, maka apalagi kepada
hal-hal yang jelas kesuciannya meragukan, akan menjadi wajib bagi kita untuk
terus benrlindung dalam kuasa Tuhan.
“Apabila
kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan
yang terkutuk.” (QS 16:98)
Kesadaran ini adalah tahap kesadaran awal untuk dapat mengenal
Tuhannya. Suatu kesadaran untuk dapat memahami segala apa yang sebelumnya hanya
sekedar diimani atau diyakini, tanpa pernah dapat memuaskan hatinya. Dimana hal
inilah yang menyebabkan hatinya mudah berubah-rubah, sebagaimana dikatakan
banyak orang sebagai yang tak memiliki keteguhan di hatinya. Selalu dalam
kebimbangan, keresahan, kesempitan, bahkan hingga kepada tak dapat mensyukuri
segala rahmat Tuhan yang telah banyak diterimanya selama ini.
Untuk mengasah dan masuk lebih dalam lagi kepada kesadaran ini, maka selalu
ingat dan memohon perlindungan-Nya dari kesesatan pemahaman yang
dibisikkan setan atau iblis kepadanya, sebagai awal mengasah kepekaan
menjadi lebih tajam dari sebelum-belumnya.
Di perjalanannya, menghilangkan segala bentuk pengakuan (ego)
dengan berusaha berserah diri secara ikhlas, menyempatkan diri dengan
mengambil waktu-waktu tertentu di kesunyian dan keheningan malam untuk
melakukan perjalanan malam (isra’) menuju dan mendekati Tuhannya. Maka
tunggulah dengan kesabaran juga rasa syukur dan ikhlas berserah diri, hingga
pada suatu waktu kelak, yang dengan kehendak-Nya, maka Dia akan memberikan
hikmah-Nya sebagai karunia yang besar. Sempatkanlah.
Kesadaran ruhani ini adalah kesadaran yang mulai menyadari bahwa adanya
eksistensi Yang Maha Sempurna yang mencipta segala sesuatu yang telah
diketahuinya, kemudian mengatur keseimbangannya agar terjaga, hingga kepada
memelihara hidup dan kehidupannya. Dan itu berlangsung terus menerus, tiada
henti dari awal yang tak pernah diketahui siapapun dan berakhirnya pun tanpa
pernah diketahui siapapun. Hanya Dia Yang Maha Sempurna sendirilah yang
mengetahuinya.
Sayangnya
kesadaran ini mulai timbul dan terasa, pada umumnya kemanusiaan, adalah pada
usia produktivitasnya sedang tinggi-tingginya, yaitu pada kisaran usia antara
30-50 tahun. Dimana pada usia-usia tersebut umumnya kemanusiaan disibukkan oleh
urusan dunia-nya, seperti antara karir dan nafkah kebutuhannya saling berebut
untuk mendahului, membuat kesadaran ini menjadi terabaikan oleh hatinya yang
sibuk.
Kesadarannya
ini tergugah karena rasa kekerdilan dirinya setelah menghadapi
kenyataan-kenyataan yang justru setelah banyaknya pemahaman yang masuk dan baru
disadarinya. Bahwa dirinya bagaikan sebutir pasir diatas gurun pasir yang luas,
yang sewaktu-waktu hilang entah kemana hanya oleh tiupan angin. Atau bagaikan setetes air di dalam luasnya
samudera. Sungguh sesuatu yang bisa tak dianggap keberadaannya.
Bagaimana
tidak, dia hidup di permukaan bumi yang berisi milyaran manusia, belum termasuk
pepohonan, hewan, atau benda-benda lainnya. Sedangkan bumi sebagai tempat
hidupnya adalah salah satu planet pada matahari, dan ternyata terdapat milyaran
(bahkan tak berhingga jumlahnya) matahari-matahari lainnya sebagai yang disebut
bintang-bintang, bertaburan di jagat raya.
Bumi yang bisa tak dianggap
keberadaanya saja, bila membandingkannya dengan luasnya jagat raya ini,
ternyata banyak wilayah di bumi itu yang belum pernah didatangi untuk dapat
dikenalnya. Jangankan mengenal pelosok-pelosok bumi, wilayah kelurahannya saja
belum semua sempat ia datangi dan kenali seluruhnya. Begitulah diri-diri
kemanusiaan, yang dengan segala keterbatasannya, selalu saja terus berusaha memahami
banyak hal yang sungguh amat teramat luas jangkauannya.
“Yang telah
menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali
tak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang
(kecacatan). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu
lihat sesuatu yang tidak seimbang (cacat)?.” (QS 67:3)
Maka hatinya yang terpesona pun
bertanya-tanya, tentulah ada eksistensi Yang Maha Sempurna, yang dengan
kecerdasan, kuasa, dan kemurahan dari Yang Maha Sempurna-lah yang dapat
mewujudkan semesta alam dengan segala isinya ini. Sungguh ciptaan yang amat
sempurna pada bentuk lahir-nya sehingga terlihat indah menakjubkan
setiap mata yang memandangnya, dan sempurna pula bentuk bathin-nya
hingga terjaga keseimbangannya bahkan terpelihara – tumbuh dan berkembang serta
terjamin hidup kehidupannya. Jumlah isinya yang tak terhitung, besar-kecilnya
pun tak terukur, kapan mulai ada dan kapan berakhir tak ada yang dapat
mengetahuinya.
“Kemudian
pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun
dalam keadaan yang payah.” (QS 67:4)
Menyadari
kekerdilan dan keterbatasannya-lah yang dapat membuat atau mengarahkan jiwanya kepada rasa berserah diri
(islam) kepada wujud tersembunyi Yang Maha Sempurna yang sesungguhnya
mencipta, menguasai, serta memelihara semesta alam ini berikut isi di dalamnya
secara amat sempurna dan menakjubkan.
Keterbatasannya yang membuatnya
hampir-hampir merasa putus asa dalam mencari wujud tersembunyi yang
sesungguhnya mencipta, menguasai, serta memelihara segala sesuatu tersebut.
Maka terasa asing-lah dirinya di dalam keramaian segala sesuatu.
Kesadaran Sejati (Realitas Tunggal)
“Hai
manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu
akan menemui-Nya.” (QS 84:6)
haqq al yaqqin
Kesadaran
ruhaninya telah mengakui eksistensi Yang Maha Sempurna yang sesungguhnya
berperan dalam segala hal terhadap segala sesuatu di jagat raya ini. Tetapi,
baginya, keberadaan-Nya tersebut masih tersembunyi.
Ya, matanya memang belum
melihat, telinganya pun belum mendengar,
akan tetapi hatinya-lah yang merasakan kehadiran-Nya. Membuat jiwanya
semakin merasa dahaga menginginkan untuk dapat bertemu demi menyatakan
keyakinannya menuju yakin yang dapat diketahuinya. Tentu mudah untuk
mengetahui keberadaan hujan dari mengalami kehujanan. Akan tetapi
keyakinannya tersebut tentu pembuktiannya tak semudah itu.
“Dan demikianlah Kami perlihatkan
kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami) di langit dan di bumi, dan agar
Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia
melihat sebuah bintang dia berkata, inilah Tuhanku. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia
berkata, saya tidak
suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia
berkata, inilah
Tuhanku. Tetapi setelah bulan itu terbenam sia berkata, sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian
tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, inilah Tuhanku, ini yang lebih besar. Maka tatkala matahari itu telah
terbenam, dia
berkata, hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari
apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan
diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada
agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS 6:75-79)
Renungkanlah makna bunyi ayat di atas
.... sesungguhnya aku berlepas diri dari
apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi ..... Setelah beliau (Ibrahim) kebingungan sendiri, akhirnya dia berserah
diri kepada siapapun yang sesungguhnya menciptakan langit dan bumi dari
usaha pencariannya yang tak memuaskan hatinya. Begitulah wujud manusia yang hanif,
yang berusaha meluruskan kembali tujuan utamanya agar tak tersesat.
Perjalanan
jiwa dalam menapaki kesadaran demi kesadaran amatlah panjang dan tak mudah. Hal
ini karena amat pula dipengaruhi oleh kejernihan hati serta penggunaan akal
dari setiap apa yang dilihat, didengar, dicium, diraba, yang kesemuanya agar
dapat dirasakan untuk dapat diolah lagi sebagai informasi yang berguna bagi
pemahaman yang haqq atas segala sesuatu.
Sesungguhnya ini pula sebagai
proses menuju kedewasaan dan kebijakan
yang amat berguna bagi jiwanya. Tentu di perjalanannya pasti bertemu
dengan segala macam yang menjadi rintangan, yang sesungguhnya bila direnungkan,
justru adalah bagian dari proses penyucian yang dapat memurnikan segala tujuan
kepada hanya tujuan tunggal. Tujuan dari
segala tujuan, yaitu Dia Yang Maha Sempurna, sesungguhnya Dia-lah Yang Maha
Tunggal.
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku
dan laksanakanlah
shalat untuk dzikir (mengingat) kepada-Ku.” (QS 18:14)
Kesadaran
ruhaninya pula yang berjasa membawanya kepada Realitas Tunggal, bahwa segala
apa yang dilihatnya adalah karena telah diberi penglihatan sebagai
anugerah dari-Nya, sekalipun tak pernah ia merasa minta untuk diberi
penglihatan.
Sekarang,
setelah menyadari betapa penting dan bergunanya penglihatan bagi kehidupan,
baru menyadari bahwa ia diberi tanpa meminta. Tentu dulunya, ketika masih di
dalam kandungan ibunya sebagai waktu yang tepat untuk meminta, maka jangankan
meminta penglihatan dengan perangkatnya berupa bola mata serta
syaraf-syarafnya, mengerti fungsinya pun tidak.
Begitupun
kepada pendengaran, penciuman, dan banyak lagi yang lainnya yang kesemuanya
diberikan Allah sebagai anugerah yang lupa untuk dapat disyukurinya. Bagaimana
dapat mensyukurinya, memahami fungsi pentingnya bagi kehidupannya saja baru
saat ini. Sungguh lalai jiwa ini terhadap kasih dan karunia-Nya. Dan telah
puluhan tahun kelalaian ini berlansung tanpa disadari.
Padahal
masih banyak lagi yang belum kita sadari, dan ternyata telah bekerja membantu
dan mempermudah kita dalam kehidupan ini. Apakah jiwa kita menyadari, siapa
sesungguhnya yang mengatur dan memerintahkan jantung untuk berdetak dan memompa
darah keseluruh tubuh agar terpenuhi suplay makanan dan oksigen bagi sel-sel
yang membangun tubuh kita?
Dan siapa
sesungguhnya yang mengatur dan memerintahkan paru-paru untuk bekerja demi
pernafasan yang dibutuhkan tubuh kita?
Dan siapa
pula yang sesungguhnya mengatur dan memerintahkan sel-sel untuk membelah dirinya
untuk mengganti sel-sel lain yang telah mati?
Siapa
sesungguhnya yang mengatur dan memerintahkan syaraf-syaraf menyalurkan setiap
informasi yang masuk dari penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa panas atau
dingin, rasa yang menyenangkan atau yang menyedihkan, rasa puas atau kecewa?
Bagaimana
bila Dia Yang Maha Sempurna libur sehari saja dalam pemeliharaan-Nya
terhadap kita seluruh makhluk-Nya?
Tentunya
masih banyak lagi yang belum kita ketahui sesungguhnya, yang telah terjadi dari
semenjak lahirnya kita, bahkan membuat lupa diri dengan menjadikan pengakuan
(ego)-nya lebih kuat. Merasa sombong, berbangga diri, merasa kuasa dan
sekehendak hati, bahkan terhadap tubuh sendiri, karena merasa memiliki, merasa
telah mengetahui banyak hal, maka menyepelekan hal-hal lainnya dan mengutamakan
apa yang menjadi hawa nafsu-nya. Yang padahal sesungguhnya Allah-lah
pemilik, penguasa, dan pemelihara langit dan bumi serta apa-apa yang berada dan
diantara keduanya, termasuk segala sesuatu yang berada di tubuh atau jasad
kita. Semuanya, termasuk dengan ilmu, akal, dan rasa kita adalah karena
kemurahan-Nya.
Bernafas pun
karena kemurahan-Nya. Pernahkah merasakan sakit flu? Dimana saat malam tiba,
mengalami kesulitan tidur yang disebabkan tenggorokan gatal membuat batuk-batuk,
telinga tersumbat dan berdengung yang mengganggu pendengaran, di sekitar mata
terasa bengkak dan berair yang mengganggu penglihatan, hidung tersumbat terasa
susah untuk bernafas. Begitulah tubuh ini menjadi banyak terganggu hanya karena
virus flu yang menyerang kita. Hanya karena satu sebab, maka efek berantainya
amat mempengaruhi banyak yang lainnya, kemudian menjadi sebab-sebab lainnya
yang menyebar sehingga menyulitkan banyak hal dalam beraktivitas.
Dia Yang
Maha Sempurna sebagai Eksistensi dari segala eksistensi-Nya, Wujud dari segala
wujud yang menjadi perwujudan-Nya, dan Dia-lah Realitas Sejati Yang Maha
Tunggal dari setiap realita yang memenuhi langit dan bumi.
Dia-lah yang memulai segala
sesuatu, dan Dia pulalah yang mengakhiri segala sesuatu tersebut. Sedang Dia
sendiri tak berawal juga tak berakhir (wa awalu wa akhiru).
Dia-lah sumber segala sesuatu, pusat dari segala sesuatu berangkat dan pusat
segala sesuatu kembali pulang (inna lillahi wa inna ilay’ihi raji’un).
“Dan,
orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki
yang Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak
kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir.” (QS 13: 22)
Ada hikmah yang dapat kita ambil dari
penggalan ayat di atas yang mengatakan, .... menolak kejahatan dengan kebaikan, .... Yaitu dengan memaknainya, bahwa
mendahului perbuatan kebaikan sesungguhnya dapat terhindar dari kejahatan yang
akan datang kepada dirinya. Bagaimana mungkin orang tega melakukan kejahatan
kepada orang yang selalu melakukan kebaikan, sedangkan kebaikan-kebaikannya
itulah yang ternyata menjaga dirinya dari kejahatan karena tertanam di
benak orang-orang di sekitarnya.
Jika menanam kebaikan maka yang tumbuh dan berkembang
adalah kebaikan pula, disamping itu tumbuh pula keburukan sebagai
rintangan dan cobaan yang harus dilalui, dan itu sesungguhnya pula adalah
proses menuju kemurnian atau kebersihan diri. Ibarat menanam padi (sebagai
kebaikan) di sawah, maka yang tumbuh dan berkembang adalah tanaman padi, tetapi
secara bersamaan tumbuh pula rerumputan di sekitarnya yang mengganggu (sebagai
keburukan). Sedangkan bila yang ditanam adalah rerumputan (keburukan), maka
jangan sekali-kali berharap akan tumbuhnya tanaman padi (kebaikan). Suatu hal
yang mustahil. Begitulah sunathullah sebagai ketetapan-Nya, dan tidak
ada yang berubah dari fitrah ketetapan-Nya, kecuali Dia menghendaki lain.
“...... maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, ......” (QS 5:48)
Dan kita
akan mengulas lebih jauh dan lebih luas lagi mengenai kebaikan atau kebajikan
ini, disebabkan telah mulai sedikit memahami keberadaan Realitas Sejati sebagai
Wujud dari segala wujud yang menjadi perwujudan-Nya. Dan tiada keburukan
sedikitpun yang Dia berikan kepada makhluk-Nya. Tetapi, karena di alam, maka
manusia pun menilai segala sesuatu sebagai yang berpasangan, menilainya sebagai
baik atau buruk, senang atau sedih, pahit atau manis, dan lain sebagainya.
Padahal segala sesuatu yang Allah berikan adalah rahmat (kebaikan), maka bagi
jiwa yang di hatinya banyak kekotoran, rahmat yang merupakan kebaikan menjadi
hal yang buruk dirasakan menimpanya. Yang ternyata pula, pada akhirnya, kelak,
hal tersebut berguna bagi dirinya, yaitu karena sedang mengalami pelatihan atau
pembersihan bagi memurnikan jiwanya dari kekotoran.
Bila dapat
merasakan nikmatnya makan makanan yang enak-enak yang menggugah selera hingga
kenyang dan puas, maka nikmatilah pula perut kencang dan mulas hingga ingin ke
belakang untuk buang air. Begitulah di alam.
Bagai cahaya
matahari yang sampai ke bumi yang merupakan rahmat Tuhan yang besar bagi
kehidupan, tetapi ada pula bagian bumi yang tidak terkena cahaya tersebut
sebagai bagian dari wilayah bumi yang gelap, tentu bukanlah berarti sebagai
keburukan dari rahmat-Nya melainkan yang
sedang mengalami malamnya.
Bila dapat
menerima malam yang gelap sebagai kebaikan pula seperti layaknya menerima siang
yang terang, mengapa tak dapat menerima kesedihan seperti layaknya menerima
kebahagiaan? Mengapa tak dapat menerima kesulitan layaknya menerima kemudahan?
Hingga tak dapat menerima kematian layaknya menerima kehidupan?
Tahapan kesadarannya
meningkat lagi kepada menyadari dan bersyukur atas apa-apa yang telah
diterimanya adalah merupakan rahmat dari Tuhannya. Yaitu telah dapat menikmati
keburukan sama seperti ketika menerima kebaikan, menikmati sakit sama
seperti menerima sehat, menikmati kesulitan sama seperti ketika
menerima kemudahan, menikmati kesedihan sama seperti ketika menerima
kebahagiaan, menikmati kekurangan sama seperti ketika menerima
kecukupan, dan lain-lainnya. Baginya semuanya itu adalah sama, tiada dualitas.
Merupakan pasangan dari segala sesuatu, sedangkan segala sesuatu bersumber dan
mengarah kepada Allah sebagai Yang Maha Tunggal. Pada tahap inilah, kesadaran
telah mencapai tahap tertinggi yang hendak menuju tempat terakhir.
Dan pada usaha mencapai
tahap kesadaran ini pula, maka berdzikir (mengingat) Allah sebanyak-banyaknya
di setiap waktu adalah suatu cara paling baik dalam melatih diri untuk
menciptakan kondisi kesadaran yang peka terhadap segala sesuatu yang
dilihat, didengar, dipenciumannya, dirasa, hingga dipikirnya. Hingga pada suatu
waktu kelak sampai kepada, Allah-lah yang sesungguhnya ada dilihatnya,
didengarnya, diciumnya, dirasanya, sampai kepada yang ada dipikirnya. Sehingga
pula dirinya pun telah sampai kepada menyadari, bahwa sesungguhnya yang
melihat adalah Allah, sesungguhnya yang mendengar adalah Allah,
sesungguhnya yang mencium bau adalah Allah, sesungguhnya yang
merasa adalah Allah, bahkan sesungguhnya yang berpikir pun adalah Allah.
Dan dimanakah jiwanya? Jiwanya hanya ada di setiap nikmat-Nya.
Manusia itu hanya menerima
segala rahmat dari Allah raahmanur-rahiiym (Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang), tidak kurang dan tidak lebih sebagai yang telah ditetapkan-Nya.
Dari mulai nafas, hidup dan rezeki kehidupan, mati, dan dibangkitkan. Maka
apakah yang utama dari hal-hal tersebut? Dapat merasakan nikmatnya-lah
yang utama, oleh sebab itu bersyukurlah yang banyak pula kepada-Nya.
Itulah ketauhidan
murni, telah memahami Realitas Tunggal sebagai sejatinya realita dari segala
realita yang ada di alam. Sehingga kemanapun menghadap, timur, barat, selatan
dan utara, atas dan bawah maka yang ditemuinya adalah Dia. Sejauh
manapun akal berpikir, maka tiada lepas dari semakin menyadari keagungan Dia
Yang Maha Tunggal, yang sesungguhnya menguasai, mencipta, dan memelihara segala
sesuatu. Maka jiwanya pun akan menjaga hawa nafsunya dari kesesatan yang dapat
disesalinya kelak. Karena telah menyadari dirinya adalah wujud sempurna yang
terpuji (muhammad, yang dimaksud bukan Muhammad bin Abdullah nabi SAW) sebagai
perwujudan dari Dia Yang Maha Sempurna dan Maha Terpuji. Sebagai wujud yang
mewakili perwujudan sifat-sifat Allah di alam.
Bab XXI
PERJALANAN KEHIDUPAN
JIWA
“Yang menciptakan kematian dan kehidupan, supaya Dia
menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
(QS 67:2)
R
|
asanya tidak tepat bila diterjemahkan sebagai menguji, karena tentu Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu, maka tentu telah mengetahui pula siapa-siapa yang lebih baik
amalnya. Sehingga ayat ini akan lebih tepat dimaknai, bahwa melalui kematian
dan kehidupan, Allah sesungguhnya melatih manusia untuk mencapai amal
terbaiknya. Bila belum (bukannya
tidak) seperti itu, tidaklah mengapa, karena segala sesuatunya akan
mengalami prosesnya sesuai kehendak dan ketetapan-Nya. Sekalipun prosesnya
panjang, berliku, dan berkali-kali sebagai suatu siklus, tidaklah menjadi soal
bagi-Nya, karena tempat (alam) dan program (sunathullah)-nya
semua telah disediakan dan disiapkan oleh-Nya.
Ya, kematian dan kehidupan serta kebangkitan merupakan alam tempat penggodokan
kekotoran yang melekat agar terlepas dari jiwa manusia, sehingga mencapai
kemurnian atau kesuciannya agar dapat kembali pulang kepada-Nya. Jadi,
kematian bukanlah perjalanan langsung untuk kembali pulang, melainkan
salah satu proses penyucian jiwa. Karena yang dapat kembali pulang kepada-Nya
hanyalah jiwa-jiwa yang telah suci. Ketika diciptakan dalam keadaan
suci, maka saat kembali pun harus dalam keadaan suci. Apakah mungkin jiwa yang
masih melekat padanya kekotoran, dapat kembali masuk kepada Dia Yang Maha
Tunggal dan Maha Suci?
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kami-lah
kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Perjalanan
jiwa diantaranya sebagai yang mengalami kehidupan dan kematiannya, yang
merupakan sarana pemurnian dan pembersihan jiwa-nya agar dapat
kembali pulang kepada Allah, adalah seperti pula proses-proses segala sesuatu
lainnya di alam ini. Seperti proses tidur dan bangun, proses terjadinya hujan,
proses terurai-bergabungnya unsur-unsur pada senyawa kimia, dan masih banyak
lagi yang lainnya. Yang kesemua proses-proses tersebut merupakan siklus
atau kejadian yang berulang-ulang sebagai yang harus dilalui.
Apakah lebih jauhnya, makna ini
dikaitkan dengan reinkarnasi-nya agama Hindu dan Budha, adalah tak
menjadi soal. Apakah bila adanya perbedaan menjadi sebuah kesalahan, dan
bila adanya persamaan pun juga merupakan kesalahan? Apakah hal yang
penting, menjadi berbeda dengan lainnya? Masalahnya bukan pada perbedaan
atau persamaan, melainkan adalah kebenaran yang haqq. Mendapatkan
makna atau pemahaman yang benar adalah hal utama. Mari kita simak ayat di bawah
ini,
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal
kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya
lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)
Bila
kehidupan dimaknai hanya di alam dunia
(saat ini) saja, dan setelah mati maka tak ada lagi kehidupan, tentu
juga adalah pemahaman yang salah. Tentu semua umat muslim percaya bahwa alam
kubur sebagai alam penantian menunggu kebangkitan, maka jelas itu sebuah bukti
ada kehidupan di alam kubur. Dan setelah melewati alam kubur, yaitu
kebangkitan, maka ada lagi alam selanjutnya yang harus dilalui, yaitu alam
akhirat. Dan banyak ayat-ayat Al Qur’an yang memberitakan tentang kehidupan di
alam akhirat selain kehidupan di alam kubur dan alam dunia.
Kehidupan di alam-alam
tersebut, yaitu dari mulai kehidupan di masa sekarang yang dibilang kehidupan
alam dunia, kehidupan alam kubur
(barzakh), dan kehidupan alam akhirat adalah merupakan bagian dari hari-hari
agama Allah (yawmid-diyn). Dimana Allah sebagai penguasanya.
“Yang
menguasai hari-hari agama.” (QS 1:4)
Yaitu
hari-hari atau masa-masa yang dinaungi agama (aturan jalan hidup), tidak
hanya dimaknai sebagai hari pembalasan, hari akhirat, hari kemudian, melainkan
hari-hari di kehidupan dunia pun adalah termasuk di dalamnya. Karena jelas ayat
tersebut menyebutkan hari-hari yang dinaungi agama, dan Allah sebagai
penguasanya, seperti juga layaknya kehidupan di dunia. Sebenarnya ini sempat
diurai ringkas di bab keimanan kepada hari akhir.
Kehidupan di alam-alam tersebut
pun, semuanya, sebenarnya, sekarang pun sedang berlangsung di alam dunia ini
pula, bahkan telah sejak lama berlangsungnya, di dalam alam semesta ini pula.
Hanya karena keterbatasan mata jasad kita saja yang menjadikannya tak dapat
melihat keberlangsungan kehidupan tersebut. Bila Allah menghendaki seseorang
dapat melihatnya, maka bukan tak mungkin dia akan melihat kehidupan-kehidupan
tersebut.
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam
surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki
(yang lain), sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS 11:108)
Maka jelas
sekali ayat ini menegaskan bahwa hari kemudian (akhirat) pun sedang
berlangsung, karena hari-hari itu berlangsung selama masih adanya langit
dan bumi. Bukan malah setelah hancurnya langit dan bumi.
Pemahaman dari ayat tersebut
diatas maka akan melebar, pernah salah seorang sahabat rasul Allah Muhammad SAW
bertanya, “dimanakah
neraka ya rasul Allah, bila surga telah memenuhi langit dan bumi?” Maka dijawab rasul dengan bijak dan balik
bertanya, ”berada dimanakah malam bila siang telah datang?”
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
Pemahaman sebelumnya tentang
kehidupan di alam-alam tersebut menjadi bias, adalah karena disebabkan tentang
pemahaman hari akhir (kiamat) yang salah persepsi. Sebenarnya makna kematian dan
hari akhir telah sempat pula diurai pada bab keimanan sebelumnya.
“(Ingatlah)
pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah
Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang
pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan
melaksanakannya.” (QS 21:104)
Ayat ini menggambarkan kejadian
hari akhir (kiamat qubra), yaitu peluruhan semesta alam beserta isinya,
yang digulung menjadi padat dan mengecil, seperti menggulung lembaran kertas.
Begitulah Allah menerangkan kejadian akhir alam semesta beserta isinya, yang
prosesnya seperti memulai penciptaan pertama
alam semesta yang juga beserta isinya. Dan kejadian-kejadian tersebut pun
merupakan proses siklus hidup-mati alam semesta, karena Allah dengan
tegas mengatakan sebagai yang akan mengulanginya kembali, bahwa hal
tersebut merupakan janji yang pasti akan ditepati-Nya. Kemudian simak
pula ayat di bawah ini yang menerangkan pula masa-masa awal penciptaan bumi dan
langit.
“....
bahwasanya langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang
padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.......” (QS 21:30)
Setelah kejadian kiamat qubra
(QS 21:104), dan berpadunya kembali langit dan bumi. Mulai kembalilah proses
siklus penciptaan kembali langit dan bumi, yang memisahkan keduanya dari
keterpaduan sebelumnya (QS 21:30). Pada saat inilah sebagai yang disebut, bahwa
segala sesuatu dibangkitkan dan dikumpulkan di padang masyhar
untuk menjalani perhitungan hisab yang menentukan kehidupan selanjutnya, yaitu
di bumi yang baru dan langit yang baru.
“Dan apakah
mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian
mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS 29:19)
Itu adalah
merupakan siklus besar kehidupan semesta alam. Sedangkan siklus kecilnya
adalah, mengalami hidup dan mati serta dibangkitkan yang tidak hanya sekali
(QS 2:28) dan mengalami hari pembalasan selama masih adanya langit dan bumi (QS
11:106-108), sebelum hancur lebur atau kiamat qubra. Layaknya mengalami tidur
dan bangun beberapa kali dalam hidupnya.
Bila hari
akhir hanya dipahami sebagai hari kiamat qubra saja, jelas kehidupan
di alam dunia menjadi hanya satu kali saja, kemudian hanya menunggu hancurnya
bumi dan langit dan segala isinya, baru kemudian dibangkitkan dari alam kubur
secara bersama-sama.
Akan tetapi,
jika memahami hari akhir adalah tidak hanya kiamat qubra saja, melainkan
akhir dari sesuatu, misalnya akhir kehidupan yaitu kematian, maka akhiratnya
adalah kehidupan di alam kubur, kemudian menunggu kebangkitan sebagai hari
akhir dari kehidupan alam kubur, dilanjutkan setelah kebangkitan adalah
mengalami kehidupan di hari pembalasan, yang semuanya itu adalah
termasuk dalam hari kemudian (hari selanjutnya).
Hidup dan mati kemudian
dibangkitkan adalah seperti keadaan orang yang setelah lelahnya aktivitas
seharian kemudian tidur dan bangun kembali esok harinya. Itu berada dalam skala
periode kehidupan didunia, yaitu dari lahir hingga matinya. Maka berapa kali kita mengalami tidur
dan bangun?
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan
kamu
kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2: 28)
Begitupun pada hidup, mati dan
dibangkitkan dalam skala periode siklus kehidupan semesta alam ini, dari
semenjak diciptakan hingga kiamat (qubra)-nya. Maka kehidupan dan kematian
serta dibangkitkannya pun tentu tak terhitung. Yaitu mengalami, dari mulai
dilahirkan, mati dan dibangkitkan hingga
hari pembalasan (surga atau neraka)-nya pun adalah masa-masa selama
masih adanya langit dan bumi (QS 11:106-108). Seperti rerumputan yang mati di
musim kemarau, maka setelah datangnya musim hujan menjadi tumbuh menghijau
kembali.
“Dan
sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu
melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan
yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (QS 41:39)
Bukan hanya
setelah kematian maka baru kita akan menghadapi hari pembalasan, di
kehidupan dunia pun ada hari pembalasan-nya. Sebagai makhluk, segala sesuatu
(baik yang lahir maupun yang bathin) akan tersentuh kematian
(akhir), begitu pula pada kondisi atau keadaan pun memiliki akhir.
Kesedihan yang diakhiri kebahagiaan, atau sebaliknya. Kekurangan diakhiri oleh
kecukupan, juga begitupun sebaliknya. Maka kepada amal perbuatan pun memiliki
akhirnya, seperti pekerjaan atau berdagang maka setelah hari akhirnya,
akan dilanjutkan pula dengan hari pembalasan yang merupakan akibat dari
amal perbuatan sebagai sebab hingga terjadinya kondisi atau keadaan sebelumnya.
Pekerjaannya
dan perdagangannya pun adalah amanah yang harus dipertanggung
jawabkannya. Bila pekerjaannya buruk dan malah merugikan perusahaannya bukan
tidak mungkin turun jabatan atau malah dipecat sebagai hari pembalasan-nya.
Dan bila dalam perdagangannya hanya demi menguntungkan dirinya sendiri tetapi
merugikan pembeli, bukan tidak mungkin para pembeli dan langganannya kabur
bahkan meninggalkan kebangkrutan sebagai hari pembalasan-nya.
Begitu banyak kategori hari
akhir untuk dimaknai, seperti akhir dari hari ini adalah pas jam 24.00
malam nanti. Lewat dari dari itu sudah besok atau lusa namanya, dimana keduanya
adalah sebagai hari kemudian disebut namanya.
Pada masa-masa sekolah, hari
akhir-nya adalah saat bel tanda pulang berbunyi. Besok-besok kembali
sekolah lagi sebagai hari kemudian-nya. Saat bagi rapor pun adalah hari
akhir masa-masa tingkat kelasnya sekarang, masa liburan pun adalah masa
penantian menunggu untuk kembali ke kehidupan kelasnya yang telah meningkat.
Begitulah bertingkat-tingkat dan semakin berkualitas.
Masing-masing tingkatan
memiliki nilainya sendiri-sendiri. Semakin tinggi nilainya dan berbekas bagi
jiwanya, maka semakin sedih dan berat dia menghadapi hari akhir-nya.
Begitu pulalah pada kematian, begitu banyak kenangan yang indah yang
memberatkan jiwanya untuk mau berpisah. Padahal jelas kualitas hari kemudian-nya
jauh lebih baik.
Jika di kehidupan dunia,
menghadapi masa-masa akhir, seperti kenaikan kelas, lulus sekolah, atau bila
diterima kerja, bahkan naik jabatan, hati terasa dag dig dug, bisa timbul rasa
senang atau rasa takut, yang jelas pula merupakan kegelisahan akan masa-masa
yang akan dihadapinya sebagai hari kemudian-nya.
Bagi mereka yang telah mantap
dan siap untuk menghadapinya, tentu kegelisahannya takkan membuat rasa takut
yang menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri. Akan tetapi bagi mereka yang
tak siap dan mantap hatinya, tentulah kegelisahannya dapat saja malah membuat
dirinya menemui kesulitan-kesulitannya kelak.
Hari kemudian setelah kematian
pun sebenarnya seperti itu, karena amal perbuatan, atau bagi yang menyadari
bahwa amal perbuatan di dunia adalah merupakan tugas kerasulan yang juga
merupakan fitrah-nya sebagai khalifah (wakil Tuhan) di muka bumi. Sebagai tugas
besar, maka pertanggungan jawabnya pun adalah hal yang besar. Ingatlah,
hidup dan mati adalah seperti tidur dan bangun tetapi dengan skala waktu
yang panjang.
Maka menjadi penting dan sangat
utama seseorang menghadapi kematiannya dalam keadaan islam. Memaknainya
pun jangan hanya “dalam keadaan beragama islam”, melainkan islam
yang dimaknai sebagai dalam keadaan berserah diri secara ikhlas hanya
kepada Allah semata.
Kebanyakan
orang menjadi salah kaprah dan berlebihan dalam menilai makna islam jika
dikaitkan sebagai agama, akan menjadi berkembang kemana-mana dan membuat kabur
atau hilangnya makna asal yang sesungguhnya amatlah penting. Renungkanlah
kembali makna islam (berserah diri secara ikhlas) yang sesungguhnya
hanyalah salah satu jalan dari jalan-jalan terang-Nya, sebagai salah
satu aturan hidup dalam menuju-Nya.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah
dengan ikhlas semata-mata
karena menjalankan agama, yaitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan mensucikan (apa-apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan
yang demikian itulah agama qayyimaah (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Makna-makna yang salah kaprah
dan berlebihan yang dikembangkan kemana-mana yang mengaburkan makna asalnya
dapat menyebabkan pula mengaburnya bahkan hilangnya kesadaran diri, hingga
malah menyesatkan jiwa kita sendiri. Saat seperti itulah malaikat berubah
menjadi iblis pembangkang yang membisikkan fanatisme berlebihan dalam segala
tindakan amal perbuatan. Inilah yang menyimpangkan makna seperti timbulnya rasa
paling benar sendiri, paling tahu sendiri, paling suci sendiri. Yang kesemuanya
adalah rasa superioritas sebagai perwujudan sifat iblis, sehingga
menganggap selain kelompoknya yang tidak sealiran dengannya adalah salah,
sesat, kafir, dan musyrik.
Justru
amal perbuatan seperti tersebut adalah yang menghilangkan keberserah dirian (islam)
kita yang seharusnya selalu terjaga. Bayangkanlah, bahkan penyesatan iblis
telah menyeret diri-diri kita kepada amal perbuatan yang merusak dan saling
menumpahkan darah dengan mengatas namakan agama. Sehingga, sesungguhnya, kita sendiri
pulalah sebagai yang membuat baik atau buruk-nya agama kita, kita
pulalah yang menjaga kesucian atau tercemarnya agama kita.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu
melampaui batas dalam agamamu, ......”. (QS 4:171)
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan
jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS 15:39)
Iblis telah begitu banyak
menyesatkan diri-diri kemanusiaan kepada keburukan dan kehinaannya, seakan tak
puas-puasnya dengan cara-cara yang keji pula dalam tujuannya, bahkan dengan
cara seperti diterangkan ayat di atas. Ya, kejahatan
yang terasa indah bagi pandangan. Dengan cara inilah dia menggelincirkan
mereka yang semula dalam kebaikan kepada kehinaan yang amat buruk.
Iblispun bermain dengan
mengatas namakan seni dan kecantikan, mengatas namakan hukum dan hak asasi,
mengatas namakan harga diri dan kehormatan, mengatas namakan ideologi dan
nasionalisme, mengatas namakan budaya dan tradisi, mengatas namakan
keluarga-suku-etnis, bahkan dengan mengatas namakan agama dan tuhan.
Kebenaran dijungkir balikkan
dengan keinginan dan kebutuhan, kemudian dibumbui dengan bujuk rayu dan godaan
hingga dikemas dengan kenyataan semu yang terlihat dan terkesan indah oleh
pandangan mata dan hati. Dan inipun seolah tak asing lagi hadir di hadapan mata
kita hampir di setiap harinya.
Segala sesuatu adalah dari
Allah yang merupakan rahmat-Nya, dan setiba di dunia (alam) maka kemudian
menjadi berpasangan (sunathullah), layaknya rahmat cahaya matahari-Nya yang
sampai ke bumi maka akan juga terdapat bayangannya sebagai sisi gelap
yang tak terkena cahayanya, layaknya seperti rahmat hujan yang diturunkan-Nya
ke bumi maka akan menjadi bencana banjir bagi mereka yang tak dapat menjaga
kelestarian lingkungannya, serta layaknya rahmat rezeki makanan dan minuman
yang diberikan-Nya kepada kita maka harus ke belakang untuk buang air setelah
menikmatinya. Yang semua rahmat tersebut dipandang setiap diri kemanusiaan
dengan nilai baik atau buruk-nya. Semuanya, segala sesuatu yang
merupakan rahmat anugerah dari-Nya, maka adalah yang memiliki pasangan-nya
pula.
Karena itulah, rahmat-rahmat
tersebut agar dapat disyukuri sebagai yang pasti akan kembali kepada-Nya, dan
itulah bentuk kesadaran tunggal dengan berserah diri (islam)
secara ikhlas semata-mata hanya kepada-Nya, baik ketika aktivitas amal
perbuatan selama di kehidupannya maupun saat detik-detik menghadapi ajalnya.
Itulah mengapa menjadi betapa pentingnya islam dimaknai sebagai keadaan
berserah diri hanya kepada Allah, apalagi
saat menghadapi ajal. Agar yang kembali pulang kepada Allah
adalah kemurnian yang tunggal pula
Sebab karena itulah maka kepada
orang yang sedang menghadapi ajal (kematian)-nya, dibimbing dengan kalimat
tauhid atau syahadat sebagai pengingatnya kembali akan tugas besar sebagai
fitrah-nya, asy-hadu an-laa illaha
illaallaah wa asy-hadu anna muhammadan rasulullaah. Ya, tentu dengan
makna yang harus tepat dimengerti atau dipahami, sesungguhnya diri ini bersaksi
bahwa tiada tujuan dari segala tujuan adalah hanya kepada Allah dan diri ini
bersaksi bahwa wujud yang terpuji ini yang merupakan perwujudan Allah
Yang Maha Terpuji (muhammad, yang bukan Muhammad bin Abdullah) adalah yang
telah menyelesaikan tugasnya di dunia sebagai utusan (rasul) Allah.
Yang
sesungguhnya diri-diri manusia adalah juga merupakan utusan Allah yang
menyampaikan rahmat-rahmat Tuhan kepada sesama sebagai makhluk-Nya di semesta
alam sebagai fitrah kehidupannya.
“Allah
memilih para utusan (rasul-rasul) dari malaikat dan manusia, ........” (QS 22:75)
Segala sesuatu makhluk Allah
adalah utusan-Nya, apalagi pada diri-diri kemanusiaan sebagai wujud yang dalam bentuk sesempurna-sempurnanya (QS
95:4). Segala sesuatu telah Allah jadikan kemudahan bagi manusia. Dan segala
sesuatu itu adalah membawa manfaat bagi manusia, dari mulai taburan bintang di
langit yang sebagai petunjuk penentuan arah, matahari dan bulan sebagai petunjuk
waktu penanggalan, dan padahal masih banyak lagi petunjuk-Nya yang
bermanfaat dari matahari dan bintang-bintang di langit. Segala macam tumbuhan
dan hewan selain berguna sebagai makanan, juga menjadi petunjuk bagi keilmuan
bahkan tekhnologi. Pergerakan angin dan awan yang dapat di monitor menjadi ilmu
metreologi dan geofisika. Mineral-mineral di dalam perut bumi sebagai ilmu
geologi. Seluruhnya, di alam ini adalah merupakan segala sesuatu yang saling
berbagi rahmat dan petunjuk Allah.
“...... dan
malaikat dalam naungan awan.........” (QS 2:210)
Begitupun diri-diri kita, juga merupakan utusan Allah dalam menyampaikan
kebenaran-Nya, bisa kepada umat bagi yang memiliki kekuatan besar, sampai hanya
kepada keluarga, atau cuma kepada anak-anaknya. Atau bahkan paling tidak, hanya
kepada dirinya sendiri. Ingatlah, dirinya sesungguhnya, terdiri dari milyaran
sel, adalah wujud akbar di dalam kesen-diri-annya bila tak menyadari
keberadaan wujud-wujud lain di dalam jasadnya. Ada yang bekerja bagi
kelangsungan hidup kita, ada yang menyampaikan petunjuk, ada yang
sebagai penjaga, kesemuanya adalah merupakan kebaikan.
Dan perlu disadari juga, kesemuanya pun memiliki pasangannya sebagai keburukan
bila jiwanya lebih cenderung kepada kesesatan yang menjauh dari cahaya
Tuhannya, yang semula bekerja bagi kelangsungan hidupnya menjadi pembangkang
yang malah merusak organ-organ kehidupannya, yang semula menyampaikan
petunjuk menjadi pembangkang yang malah membisik dan menggoda agar
tersesat jalan, serta yang semula menjaga menjadi pembangkang yang malah
menjerumuskan kepada kecelakaan dan kehinaan. Begitulah memaknai iblis yang
membangkang perintah Tuhannya untuk tunduk bersujud kepada kemanusiaan yang
ternyata lebih tertuju kepada sifat pembangkangan jiwa kemanusiaan itu sendiri.
Hal ini
menjadi terasa asing kedengarannya adalah karena selama ini kita memaknainya
tidaklah demikian, sehingga pemahamannya pun menjadi berbeda. Kita memaknainya
hanya Muhammad bin Abdullah sajalah rasul Allah, sedang kita tak pernah
menyadari sesungguhnya fitrah diri kita ini juga sebenarnya adalah
utusan Allah, sebagai muhammad-muhammad, wakil-Nya di bumi. Dan saat itu
disadari dan dinyatakan adalah sebagai penegasan bahwa tugasnya di dunia
sebagai utusan-Nya telah selesai, dan telah siap pula untuk
mempertanggung jawabkannya.
Sebagai nabi, ya beliau, putra
pasangan Abdullah dan Fathimah yang pertama kali mendapat gelar muhammad,
adalah nabi terakhir (khataman nabiyyin), akan tetapi rasul-rasul Allah,
yang juga sebagai penerus risalah yang dibawa nabi Muhammad SAW, tidak akan
berhenti setelah wafatnya beliau, melainkan terus berlanjut pada diri-diri
kemanusiaan yang juga sebagai pewaris pula gelar ke-muhammad-an.
“....
Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih
hati”. (QS 2:112)
Mereka yang
telah menemukan atau memahami realitas sejati, tentu telah kokoh keimanannya,
takkan lagi ada rasa takut dan rasa sedih pada dirinya. Tuhan takkan pernah
meninggalkannya, karena dengan kesadarannya ia tak pernah merasa lepas dari
rahmat-Nya. Tuhannya selalu hadir di setiap kemana pun arah penglihatannya, di
setiap suara pendengarannya, di setiap gerak langkah dan ucapnya, di setiap
pemikiran dan bathinnya. Serta takkan mungkin pula ia dapat meningggalkan atau
menjauhi Tuhannya, karena di setiap keinginan dan kehendak-nya adalah merupakan
keinginan dan kehendak Dia Yang Maha Kuasa yang meliputi segala sesuatu, yang
tidak ada kekuatan selain kekuatan-Nya. Dan begitu pulalah sesungguhnya yang
terjadi pada seluruh diri kemanusiaan. Sehingga takkan lagi dapat hinggap
kepadanya segala jenis rasa takut dan
segala jenis rasa sedih.
Mengapa jiwa takut menghadapi
kematian? Naluri kemanusiannya tak dapat ditipu, bahwa jiwanya belum siap untuk
mempertanggung jawabkan amal perbuatannya, tak siap mempertanggung jawabkan
gelar ke-muhammadan-nya.
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS 89:27-30)
Manusia, dengan jiwanya yang
tenang dan terkendali (nafs al
muthma’inah) serta telah menyadari fitrah dirinya yang merupakan
rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil
‘aalamiiyn) yang saling menebarkan kebajikan kepada sesama. Tiada takut
akan siksa neraka dan tak tertarik akan nikmat-nya surga.
Jiwa-nya hanya tertuju kepada Dia Yang Maha Tunggal.
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah
Allah
disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada
perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
(QS 30:30)
Bab XXII
ALAM SURGA & NERAKA
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya)
di dalam neraka, di
dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di
dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain)....... Dan
adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya)
di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki
(yang lain), sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.”
(QS
11:106-108)
A
|
llah menciptakan Alam
Semesta ini, sebagai tempat, atau media, atau juga wadah bagi segala
makhluk-Nya, termasuk alam akhirat, alam kubur, dan alam surga dan neraka.
Semua ya berada di alam ini, alam yang sekarang kita tempati.
Layaknya jasad manusia sebagai wadah, yang ternyata adalah
pula merupakan susunan berstruktur dari milyaran sel-sel yang juga adalah
makhluk ciptaan-Nya. Sehingga, bila kita telah sampai kepada pemahaman tunggal,
bahwa segala sesuatu, dari yang terkecil atau mikro partikel, kemudian materi,
benda-benda yang disebut mati atau yang disebut hidup yang
memiliki senyawa yang kompleks dan rumit, kemudian bumi dan bintang-bintang
atau bahkan koloninya yang lebih besar lagi seperti galaksi-galaksi kumpulan
milyaran bintang, hingga kepada yang terbesar yaitu alam semesta (jagad
raya) ini, ternyata memiliki kemiripan atau kesamaan arah gerak hidup
sebagai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu sistem tunggal, kehendak
Dia Yang Maha Tunggal (sunathullah). Awal dan akhirnya pun adalah kepada Dia
Yang Maha Tunggal.
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)
Dengan demikian, menjadi pentingkah surga untuk dituju dan neraka
untuk dihindari? Jika tujuannya adalah Dia, mengapa pula kita disibukkan untuk
menghindari neraka dan terlena akan kenikmatan surga bila jalan telah terang?
Hanya mereka yang buta akan tujuan akhir yang sejati sajalah yang dapat
tersesat akibat terlena, baik karena tersesat kepada neraka maupun hendak
menggapai nikmatnya surga. Padahal telah terang jalan menuju tujuan akhir yang
sejati, yaitu kembali kepada Dia Yang Maha Tunggal, ilayhi raji’un.
Pilihan & Godaan
Surga dan neraka hanyalah alam, tempat
persinggahan rasa yang membawa balasan dari amal perbuatan di kehidupan
sebelumnya. Hidup dan kehidupan adalah suatu yang diberi berikut
pilihan-pilihan yang dibebaskan kepada kita hendak menggunakannya yang pada
kenyataannya menyesuaikan kapasitas diri, tentunya.
Seperti sebagai sebuah contoh, bila
tujuan hendak ke Bali dari Jakarta, maka ada beberapa pilihan yang dapat
digunakannya. Yaitu, jalan darat, jalan laut, dan jalan udara, yang kesemuanya,
sekarang tarifnya tidaklah berbeda jauh. Tapi renungkanlah.
Dari segi waktu tempuh perjalanan,
tentu jalan laut lebih memakan waktu dibanding jalan darat, dan jalan darat pun
lebih memakan waktu dari jalan udara. Kemudian dari segi biaya lain yang akan
dapat dikeluarkan selain tiket kendaraan atau alat transportasi yang digunakan,
seperti makan dan minum selama di perjalanan, maka waktu perjalanan yang
panjang akan mengeluarkan biaya tambahan, tentu juga sebagai efek samping dari
pilihan transportasi yang hendak kita pilih.
Di dalam perjalanannya pun, terdapat
pilihan-pilihan yang menggoda hati dan menimbulkan hasrat yang justru dapat
menunda atau bahkan menyimpangkan dari arah tujuannya semula, bahkan lebih
lagi, dapat menggagalkan sampai kepada tujuan utamanya. Bila pada pilihan transportasi
laut atau transportasi darat yang lebih ada kemungkinan transit di
kota-kota yang telah ditentukan, dan pada saat itulah timbul godaan-godaan yang
dimaksud. Entah karena adanya sanak famili di kota tersebut, atau karena
terbujuk promosi wisata kota tersebut, atau hal-hal lainnya sehingga menunda
atau bahkan malah dapat menggagalkan perjalanan selanjutnya sebagai tujuan
utamanya.
Dengan demikian, bagi mereka, yaitu
diri-diri yang telah memahami dan menyadari tujuan hidup dan
kehidupannya, maka tak tergoda lagi akan kenikmatan surga, apalagi terhadap
godaan yang dapat menyebabkan dirinya singgah dan merasakan neraka. Dan
ternyata, pilihan pun sesungguhnya tak ada, sebab tujuan hanyalah satu
atau tunggal, yaitu kembali pulang kepada-Nya. Segala sesuatu berasal dari
Allah, dan pasti akan kembali pulang kepada-Nya. Inna lillaahi wa inna ilayhi
raji’un. Allah, kepada Dia-lah tujuan utama
segala sesuatu, termasuk diri-diri kita.
Jadi, surga dan neraka ternyata hanyalah pilihan dan godaan,
hanyalah berada pada rasa yang sesungguhnya fana, sehingga adalah
angan-angan semu. Yang ada hanyalah keberadaan Dia Yang Maha Tunggal. Dia-lah
hakikat segala sesuatu, sebagai tujuan dari segala tujuan. Bila yang ada
hanya-lah keberadaan Dia, maka keberadaan selain Dia, termasuk dengan diri-diri
kita adalah semu (tidak ada). Apalagi rasa yang menyentuh pada
setiap diri kemanusiaan, tentunya lebih semu lagi, karena semu
yang berada di dalam yang semu.
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS 53:24-25)
Jalan hidup ini sesungguhnya adalah
tunggal, yaitu dari Dia Yang Maha Tunggal. Di dunia (alam), maka manusia dengan
keterbatasan melihatnya menjadi berbayang, seakan-seakan ada pilihan.
Padahal tidak demikian, angan-angan dari keinginan dan kebutuhannyalah yang
menjadikannya banyak, dan sebagai yang baginya merasa memiliki pilihan. Segala
sesuatu berasal atau bersumber dari Allah dan pasti akan kembali pulang
kepada-Nya. Asal dan tujuan Yang Tunggal. Bila dalam prosesnya berulang-ulang,
maka ini adalah yang disebut siklus yang harus dijalaninya untuk dapat
kembali pulang dalam keadaan murni, suci dan bersih kepada-Nya Yang Maha Suci.
Perhatikan dan renungkanlah hidup dan kehidupan ini, telah berapa
kali kita tidur dan bangun yang sama selama ini? Telah berapa kali kita
makan dan minum yang sama selama ini? Telah berapa kali kita pergi dan
pulang yang sama selama ini? Telah berapa kali kita melewati jalan yang
sama selama ini? Telah berapa kali kita bertemu dengan orang-orang yang
sama selama ini? Telah berapa kali kita mengalami senang dan susah yang
sama selama ini? Semua aspek kehidupan kita adalah siklus. Dan ternyata
alam pun seperti itu, siang dan malam, bulan dan matahari, hujan dan kemarau,
awan dan angin, gunung-gunung yang marah, begitu pula pada tumbuhan dan
hewan, bahkan pada hidup dan mati.
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal
kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya
lah kamu dikembalikan”. (QS 2:28)
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kami-lah
kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Sesungguhnya pula, bila kesadaran jiwa-nya telah memahami hal
tersebut, maka tak ada lagi yang disebut pilihan dan godaan, maka
tak ada lagi baik dan buruk, maka tak ada lagi susah dan
senang, maka tak ada lagi surga dan neraka, karena asal
dan tujuan yang telah jelas, dan jalannya pun lurus dan lebar lagi
terang–benderang dibanjiri cahaya Tuhan yang penuh akan petunjuk dan kebenaran.
Rasa Bathin
Tidak jarang firman-firman Allah di
dalam ayat-ayatNya memberitakan kehidupan surga yang berupa
nikmat-nikmat lahiriah, bahkan kebanyakannya. Yaitu penggambaran seperti berupa
taman-taman sejuk yang tak terkena terik matahari, kebun-kebun dengan
buah-buahan yang tak pernah habis, sungai-sungai dari susu dan anggur atau
khamar yang nikmat rasanya, bahkan bidadari-bidadari yang menemani lagi muda
dan cantik jelita. Sebagai nikmat-nikmat keduniaan.
Bila di kehidupan dunia, hal-hal tersebut sebagai yang perlu
diwaspadai atau malah dihindari, bahkan kepada istri dan anak sebagai musuh yang dapat menjerumuskan (QS 9:24 dan 64:14), dan dikehidupan
akhirat seakan-akan malah diberikan, atau seakan tak berlaku lagi
hukum-hukum seperti ketika di dunia, seolah-olah sebagai kebebasan. Tetapi
jangan terburu-buru dalam menafsirkannya, ada pula ayat yang memberitakan di
surga Adn juga ada kejahatan yang dapat mengganggu dan menjerumuskan
penghuninya. Simaklah ayat-ayat di bawah ini, tentang malaikat yang mendoakan
untuk orang-orang yang beriman agar dihindarkan dari kejahatan.
“ya Tuhan
Kami, dan
masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga
‘Adn yang
telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara
bapak-bapak mereka, dan
istri-istri mereka, dan
keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana, dan
peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau
pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau
anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Begitupula sebaliknya dengan
penggambaran neraka, yang diberitakan di dalam ayat-ayatNya, berupa
azab-azab lahiriah yang selalu berhubungan dengan rasa sakit jasad penghuninya
yang tak berkesudahan.
Perhatikan dan renungkan pula, tentang ‘ramalan’ Allah terhadap segeranya kemenangan imperium Romawi
(sebagai wakil agama samawi atau nasrani
yang ahli kitab pula) setelah baru dikalahkan oleh imperium Persia (penyembah
api atau berhala sebagai wakil agama musyrik), dalam wahyu-Nya kepada Nabi
Muhammad SAW di masa-masa awal kenabiannya, dikarenakan pada masa-masa awal
kenabiannya, kaum muslimin mendapatkan cercaan dan hinaan dari kaum musyrikin
Mekkah. Konon, malah Abu Bakar, sahabat nabi, dianjurkan nabi untuk ikut bertaruh
sebanyak seratus unta, untuk membuktikan keyakinan kebenaran wahyu Allah
tersebut (QS 30:2-7).
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka
tentang akhirat adalah lalai.” (QS 30:7)
“Dan barangsiapa yang
buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di
akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan
(yang benar).” (QS 17:72)
Akhirat dalam ayat tersebut tidaklah dimaksudkan Allah sebagai alam
setelah kematian saja, atau bahkan setelah kiamat (setelah hancurnya langit dan
bumi), melainkan juga sebagai hari kemudian yang bermakna masih di kehidupan
dunia, bisa dengan hari-hari esok, lusa, bulan depan, tahun depan, atau
masa-masa yang akan datang. Sekalipun banyak pula ayat-ayat yang menerangkan
kehidupan akhirat setelah kematian, setelah hari kiamat, atau bahkan setelah
kebangkitan. Maka jelas, di kehidupan dunia ini pun ada akhirat-nya
sebagai yang bathin, atau belum diketahui (ghaib).
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kami-lah
kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Adalah fungsi kesadaran manusia
yang membuatnya tertarik memahami yang lahir (nyata), berinteraksi dan
saling mengambil manfaat darinya. Kemudian meningkat kepada kesadaran untuk
pula dapat memahami makna dari yang lahir (nyata), yaitu bathin.
Di saat itulah diri kemanusiaannya,
sekalipun pada masa-masa perkembangan kejiwaan ini, yaitu hati dan akalnya
sedang pula terkontaminasi oleh keinginan dan kebutuhan, merasa tertuntut pula
untuk dapat memahami makna-makna yang bathin yang sesungguhnya, dapat saja atau
malah akan menimbulkan kontradiksi dengan keinginan dan kebutuhannya. Sehingga
kini, telah tercipta dua kutub kekuatan tarik menarik yang sangat akan
mempengaruhi kejiwaan serta arah kehidupannya.
Di saat itu pulalah terciptanya
keragaman pada setiap diri kemanusiaan, yang menimbulkan berbagai macam
perbedaan. Yang masing-masingnya membawa kebenaran, sekalipun masing-masingnya
merasa dirinyalah yang benar dan yang lain adalah salah, disebabkan sudut
pandang yang mendasari kebenaran merekapun yang beraneka ragam. Akan tetapi,
justru, disitulah bukti keaneka ragaman kebenaran di dalam kebenaran tunggal.
Sebagai bukti ke-akbar-an Dia Yang Maha Tunggal.
Jangankan kebenarannya, diri-dirinya
pun beraneka ragam. Ya, diri-diri yang akbar didalam wujud kemanusiaan. Yang
pada satu diri saja kita takkan pernah mampu menentukan berapa jumlah sel yang
membangun struktur tubuhnya, maka ragam kerja dan fungsinya pun berbeda-beda
satu sama lainnya.
Semakin banyak kesadaran-kesadaran yang
mengarahkan pemahaman terhadap segala sesuatu yang ditemuinya, maka mata
hatinya menjadi hidup dalam menangkap setiap makna yang memberikan
hikmah yang tiada ternilai. Hati yang hidup adalah kehidupan yang
sempurna sebagai sejatinya kehidupan, karena tiada lagi rasa takut, gelisah,
bingung, dan tak tahu arah. Sekalipun masih banyak yang belum diketahuinya
secara lahir dan bathin, namun pemahamannya menyatakan
keyakinannya untuk tetap dalam keberserah dirian (islam)-nya dengan murni dan
ikhlas tertuju hanya semata kepada-Nya, Dia Yang Maha Tunggal.
Suatu hari, diri ini pernah tercengang
ketika disuruh menyembelih seekor ayam untuk membuat makanan bacang
sebagai isi dalamnya. Dia minta setelah dipotong agar dipisah bagian per
bagiannya, maka setelah selesai sesuai dengan permintaannya, diantarlah
kepadanya. Masing-masing bagian ditempatkan diatas piring-piring, ada piring
yang berisi daging, tulang-tulang, kepala, usus-usus, hati, dan ampela. Bahkan
bulunya pun ditunjukkan di dalam plastik kresek untuk dibuang. Kemudian dia
berkata, “loh, ayam-nya kemana?”
Maka, segala sesuatu adalah bathin, fana, atau tidak ada.
Hanya Dia yang wujud, dan segala sesuatu wujud selain Dia adalah karena perwujudan-Nya,
yaitu karena kehendak-Nya.
Alamnya Hari Pembalasan
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di
dunia ini, niscaya di
akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan
(yang benar).” (QS 17:72)
Seperti yang telah di ketahui dan
diulas sebelumnya di awal, hari pembalasan tidak hanya masa-masa setelah
kematian dan dibangkitkan saja, melainkan juga masa-masa masih di kehidupan
dunia pun ada pula hari pembalasannya sebagai akibat dari gerak amal
perbuatan. Jangan tertipu oleh hawa nafsu sehingga menyangka tidak adanya
pembalasan selama masih hidup di dunia, yang merupakan akibat dari
perbuatannya. Sadarilah, tidak hanya diri kita sendiri saja yang memiliki hawa
nafsu, yang lain pun memilikinya. Maka apabila sampai kita terperosok dengan
mengakibatkan kerugian kepada pihak lain, jelas dia pun akan balik bereaksi yang menuntut kerugiannya.
Tidak hanya kepada manusia, bahkan kepada hewan, tumbuhan, ataupun alam ini,
mereka pun dapat balik bereaksi buruk terhadap perilaku kita.
Sebenarnya, diri-diri kita kebanyakan,
telah terjebak memaknai hari kemudian, hari yang setelah
kematian (hari akhir), yang didalamnya termasuk dengan hari penantian
di alam kubur, hari kebangkitan di padang mashar, dan hari pembalasan
di surga atau neraka, lebih tertuju kepada alam-alam lain, yaitu alam-alam
tersendiri selain alam semesta yang ada sekarang ini, sebagai alam-alam yang
terpisah dari alam kita sekarang ini. Padahal makna sesungguhnya, hari kemudian
adalah masa-masa di kemudian hari yang jiwa-jiwa kita melalui kehidupan
selanjutnya tanpa pernah terpisah dengan alam yang kita tempati ini. Hanya
waktu atau masanya yang berbeda, yaitu waktu atau masa kemudian.
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (QS 67:2)
Jika umumnya orang mengatakan, bahwa
setelah kematian maka jiwa tersebut telah memasuki alam yang berbeda sebagai
alam yang lain dari alam ini, tetapi mengapa pula ada rasa takut pada diri
mereka bila sempat bersinggungan dengan makhluk-makhluk atau jiwa-jiwa yang
mereka anggap telah berada di alam lain tersebut?
Sekali lagi, betapa
banyak pemahaman yang menjadi berbelok atau berbias hanya dikarenakan kesalahan
dalam memaknai. Dan ini dapat saja berakibat kepada melemahnya keimanan bahkan
kepada rasa berserah diri (islam)-nya. Maka hidup dan kehidupan menjadi
tak tentu arah, karena jiwa yang seharusnya hanya melihat satu jalan,
menjadi melihat banyaknya jalan yang terbias bagai fatamorgananya. Maka
timbullah rasa semu yang mengatakan banyak pilihan. Timbul pula merasa
pentingnya menghindari neraka. Juga menjadi timbul rasa ingin menikmati surga.
Padahal, keduanya adalah godaan.
Ya, godaan yang menghambat tujuan utama kita sebagai diri-diri kemanusiaan yang
hendak kembali pulang kepada-Nya, yaitu Dia Yang Maha Tunggal. Godaan yang
membuat kita merasa harus mampir sejenak untuk beristirahat dan
merasakan nikmatnya surga, sedang tujuan
utama kita belumlah sampai. Jangan-jangan, ternyata, bukanlah nikmat surga yang
kita dapati, melainkan panasnya neraka yang kita rasakan.
Layaknya seorang yang
keluar rumah untuk mencari nafkah bagi anak dan istrinya, sehingga dia tahu dan
sadar bahwa dirinya sangat dinanti kepulangan-nya. Akan tetapi tentunya
diperjalanan pulangnya pun menjadi banyak godaan, seperti teman yang mengajak
mengobrol santai di cafe atau warung kopi, atau tempat-tempat hiburan malam
yang dapat menggiurkannya setelah rasa lelah bekerja seharian, bahkan hal-hal
lain yang sungguh dapat menyesatkannya lebih jauh lagi dari tujuan utamanya,
yaitu pulang ke rumah karena telah dinanti anak dan istrinya. Begitulah jalan
kehidupan.
Bila tujuan utama telah hilang makna asalnya, dan fatamorgana yang
timbul membias dari penglihatan aslinya, maka bukan tidak mungkin kesadarannya
akan tujuan utama untuk dapat kembali pulang pun menjadi sirna, tertutup
oleh bayang-bayang maya kenikmatan dunia yang dibiaskan iblis penggoda.
Sehingga bersiaplah untuk menghadapi hari kemudian-nya, bersiap pula
menerima balasan di hari pembalasan-nya.
“Dan barangsiapa yang
buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di
akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan
(yang benar).” (QS 17:72)
Ketika kehidupan di dunia, setiap
diri yang baik tidak pernah lepas dari kesalahan, begitu pula setiap
diri yang buruk tidak lepas dari kebaikan. Jadi, kebaikan dan
keburukan seberat zarrah pun akan menerima balasannya. Maka di alam
akhirat kelak, setiap diri yang baik (di dalam surga) akan terancam sedikit
merasakan neraka-nya pula dari keburukan seberat zarrah akibat kelalaiannya
yang diperbuat sebelumnya. Dan setiap diri yang buruk dan mendapat balasan
neraka-nya, mendapat harapan pula merasakan sedikit kenikmatan surga-nya
dari kebaikan seberat zarrah yang pernah dilakukannya. Allah Maha Adil lagi
tidak lalai sedikitpun dari pengetahuan-Nya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (titik), niscaya dia akan
melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat
zarrah
(titik), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya”. (QS 99:7-8)
Kehidupan
berikutnya, atau hari kemudian, digambarkan sebagai kehidupan akhirat
dengan surga dan nerakanya sebagai suasana bathin berupa nikmat atau siksa
bagi mereka yang berada di dalamnya. Sebenarnya, di dunia sekarang inipun, kita
mengalami yang terkadang berupa nikmat dan terkadang pula berupa siksa. Hanya,
disebutkan seperti dalam firmannya (QS 11:106-108),
bahwa kekekalannya-lah yang lebih ditegaskan dalam membedakan kehidupan
di dunia dengan di akhirat.
Akan tetapi kekekalan
hari kemudian pun berupa makhluk ciptaan-Nya, yang pasti memiliki umur atau
waktu, atau sementara, dan hanya Dia-lah yang kekal serta berkuasa juga pada
kehidupan baik di dunia, di akhirat, serta kehidupan kemudiannya lagi, bila
ada. Dan apa-apa yang ditunjukkan-Nya, melalui kejadian-kejadian di alam
ini, mengarahkan pemahaman, bahwa kehidupan ini akan terus dilanjutkannya
sebagai pengulangan atau siklus penciptaan-Nya.
“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti
menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang
pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”
(QS 21:104)
Bab XXIII
MENGHINDARI TAQLID
yang
MENYESATKAN
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi
serta silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu
mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini
sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”
(QS 3:190-191)
A
|
l
Qur’an, sebagai kitab kumpulan wahyu Tuhan, yang banyak memberikan penjelasan
secara universal tentang alam dan kehidupan isinya, adalah sebuah panduan yang
memerlukan penafsiran serta membutuhkan akal-pikir manusia dalam interaksinya
terhadap fenomena yang terjadi di sekitarnya, sehingga memiliki makna bagi
kehidupannya.
Segala macam pembuktian terhadap firman-firman Allah di dalam Al
Qur’an oleh sains, yaitu akal pikir manusia, ternyata belumlah cukup mencapai
kepada taraf memuaskan semakin dalam pemahaman kita terhadap alam. Sementara,
keterbatasan akal pikir serta dalam penafsiran ayat adalah juga sebagai faktor
penentu keberhasilannya. Tetapi dengan petunjuk dan hidayah dari Allah saja lah
yang merupakan suatu faktor keberhasilan sehingga memiliki makna yang besar
bagi kehidupan kemanusiaan dan peradabannya.
Dalam setiap penafsiran tentu akan
menimbulkan perbedaan-perbedaan makna dari masing-masing diri yang
menafsirkannya. Ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya minat
(ketertarikan), latar belakang kehidupan, wawasan, emosi dan kecerdasan, serta
lain-lainnya. Masing-masing tentulah akan mempertahankan sampai kepada
pelemahan pemahamannya, dan bagi mereka yang telah terbukanya pintu kesadaran
akan lemahnya pemahamannya, tentu dapat menerima dan beralih kepada pemahaman
baru yang lebih memiliki nilai kebenaran.
“Barangsiapa
Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri
(islam).
Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya
Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ” (QS 6:125)
Sedangkan mereka yang pintu kesadarannya tidak terbuka,
jelas akan mempertahankan pemahamannya layaknya seorang buta yang teriak memaki
tidak suka ketika akan dituntun untuk dibantu sewaktu hendak menyeberang
jalan. Hal seperti inilah, yang sesungguhnya menyebabkan perbedaan-perbedaan
yang tak pernah terselesaikan, bahkan sampai menyebabkan pertentangan-pertentangan
paham, apalagi bila masing-masing memiliki pengikut atau umat. Sehingga
timbullah taqlid terhadap madzhab-madzhab yang dijadikan dogma oleh
dirinya sendiri.
“Dan jaganganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung
jawaban.” (QS 17:36)
Lebih jauh lagi pertentangannya, akan lebih jauh pula dalam
menyesatkannya, bahkan sampai kepada saling tuduh sesat atau kafir. Seperti
yang terjadi setelah masa-masa sepeninggal keempat sahabat rasulullah
SAW. Bahkan pada masa itu, teori evolusi (sebelum teori Darwin) penciptaan
kehidupan pun telah mengemuka dan menimbulkan banyak pertentangan. Sejak abad
ke 6 SM (sebelum Masehi), pemikiran-pemikiran evolusi telah ada. Pencetus
pertamanya adalah seorang filsuf Yunani, Anaximander, bahkan biologiawan Arab
Al Jahiz, filsuf Persia Ibnu Miskawih, Ikhwan as Shafa, dan filsuf Cina
Zhuangzi.
Seiring dengan pengetahuan biologi pada abad ke 18 M, pemikiran
evolusi mulai ditelusuri lagi oleh beberapa filsuf di eropa, seperti Piere
Maupertuis dan Erasmus Darwin. Pemikiran biologiawan Jean Baptiste Lamarck
tentang transmutasi spesies memiliki pengaruh yang sangat luas saat itu. Hingga
Charles Darwin merumuskan pemikirannya
dalam struggle for life dan survival of fittest (seleksi alam).
Alam semesta berikut kehidupan di dalamnya, termasuk kehidupan
kemanusiaan, yang luasnya tak terkira oleh akal pikir maupun pemahaman, juga
ternyata telah berada di dalam dada setiap diri kemanusiaan. Yaitu, bagi mereka
yang menyadari dan menggali, serta hati yang peka akan petunjuk dari kemurahan Sang Pencipta.
Cahaya-Nya akan menerangi segala pemahaman, yang terbuka sedikit demi sedikit
dan tahap demi tahap, sesuai dengan kebersihan hati dari lunturnya kekotoran
yang menghalangi cahaya-Nya untuk masuk dan mengungkap segala hakikat.
Dari atom sampai bintang dan dari sel
sampai pada wujud manusia seutuhnya, adalah memiliki keidentikan struktur
penyusunannya. Pola yang diterapkan oleh suatu Yang Tunggal dalam setiap
penciptaan-Nya. Dialah yang meng-awali dan meng-akhiri, Dialah yang tak
ber-awal dan tak ber-akhir, Dialah yang Maha Hidup dan Maha Mandiri. Dialah
yang tidak ber-anak dan tidak diper-anak-an. Dialah Allah tuhan yang Tunggal.
Dan segala sesuatu bergantung kepada-Nya.
“,,,,,Orang-orang
itu akan memperoleh bahagian yang telah
ditentukan untuknya.....” (QS 7:37)
“.........melainkan
Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi
ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari
itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(QS 10:61)
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di
bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun di dalam al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan .” (QS 6:38)
“Dan pada
sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada
yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di
lautan, dan tiada
sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak
jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah ataupun
yang kering, melainkan tertulis di dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(QS 6:59)
“............
Semuanya tertulis di dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(QS 11:6)
Seperti yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya, bahwa segala sesuatu materi, baik yang diklasifikasikan sebagai
makhluk hidup maupun materi yang disebut benda mati, memiliki energi bawaan-nya
yang disebut pilinan rantai genetika (pada sel makhluk hidup, atau DNA)
dan pilinan rantai energi (pada energi di dalam partikel materi). Keduanya
inilah yang sama-sama berfungsi sebagai cetak biru arah gerak hidup-nya,
dalam bahasa ruhani adalah kodrat dan iradat yang telah
ditetapkan Tuhannya. Dan dalam bahasa Al Qur’an, adalah sebagai kitab-nya
yang nyata (kitab mubiyn).
“Allah, tidak ada tuhan
melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi Yang Memelihara, tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang di langit dan
di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui
apa-apa yang dihadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka
tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa
berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.” (QS 2:255)
Inilah sesungguhnya, sebagai dasar
pijakan akal dan pemikiran, bahwa Allah tiada pernah tersentuh kelelahan,
kerepotan, ataupun rasa kantuk dalam mencipta, menguasai, hingga memelihara
segala sesuatu di alam ini berikut isinya yang tak terhitung banyaknya. Karena
Dia telah menciptakannya secara sistematis dan amat sempurna. Dari sinilah,
bahwa segala sesuatunya tiada yang lepas telah tercatat dan ditetapkan arah gerak
hidup-nya oleh Allah, sebagai ar rahmaan. Dia Yang Maha Pemurah, maka jelas kemurahan-Nya adalah merahmati
segala sesuatu yang diciptakan-Nya, makhluk-Nya, yang tersebar seantero jagad
raya ini, maka Dia tentunya mengetahui segala sesuatu itu, disebutlah Dia
sebagai Yang Maha Mengetahui. Dengan pengetahuan-Nya tentu membuatnya tak
pernah tersentuh kelelahan, kerepotan,
ataupun rasa kantuk di setiap waktu, maka disebutlah Dia sebagai Yang Maha
Kuasa.
“Sucikanlah nama Tuhan-mu Yang Maha Tinggi, yang
menciptakan, dan menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang
menentukan kadar dan memberi petunjuk.” (QS 87:1-3)
“Yang telah
menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali
tak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang
(kecacatan). Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu
lihat sesuatu yang tidak seimbang (cacat)?.” (QS 67:3)
“Kemudian
pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu yang cacat dan penglihatanmu itupun
dalam keadaan yang payah.” (QS 67:4)
Proses
penciptaan semesta alam ini, yang dalam Al Qur’an disebut sebagai penciptaan
langit dan bumi, banyak dijelaskan Allah melalui ayat-ayat Nya secara
terpisah-pisah dan dengan gaya bahasa yang universal dapat diterima oleh semua
kalangan. Jika ayat-ayat tersebut diurutkan maka akan dapat disimpulkan bahwa
prosesnya melalui tahapan-tahapan yang panjang skala waktunya. Tidak ujug-ujug
jadi.
Kebanyakan para penentang teori
evolusi, tidak hanya dari sebagian umat muslim saja melainkan pula dari
kalangan gereja, karena merasa teori tersebut bertentangan dengan penafsiran
mereka terhadap kitab sucinya. Dan memang, penafsiran terhadap segala
sesuatu adalah sangat dipengaruhi oleh peran fungsi akal dan kesadaran setiap
diri kemanusiaan, begitu pula penafsiran terhadap firman Tuhan.
Padahal telah ada pelajaran berharga
pada abad pertengahan, yaitu hukuman mati yang dijatuhkan oleh gereja Katholik
Roma terhadap Galileo Galilei, karena pernyataannya yang berdasarkan penelitian
melalui teleskop bahwa bumi-lah yang ternyata mengelilingi matahari.
Dan baru beberapa ratus tahun kemudian pihak gereja mengakui kesalahannya.
Disinilah nama baik atau kesucian agama menjadi taruhan. Janganlah karena taqlid-nya
pada penafsiran sehingga membuat kita malah tersesat seperti tersesatnya
mereka, karena firman Tuhan di dalam ayat-ayat masih memerlukan penafsiran yang
mendalam yang perlu juga didukung oleh akal pemikiran bahkan tekhnologi. Yang
pada akhirnya manfaatnya akan kembali pula pada diri kita.
Seperti pula penafsiran kun fayaa kun (jadilah, maka
terjadilah), yang ditafsirkan bahwa, bila Allah berkata jadi, maka jadilah
seketika itu juga. Sehingga mereka yang menafsirkannya seperti itu,
tergesa-gesa pula menjadi penentang teori evolusi-nya Darwin, seperti
pihak gereja tergesa-gesa menentang teori sistem planeter-nya Galileo
Galilei. Padahal di ayat-ayat yang lainnya menunjukkan hal tersebut memerlukan
waktu proses.
“.....
Sesungguhnya sehari di sisi Tuhan-mu adalah seperti
seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS 22:47)
“Dia
mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS 32:5)
“Para
malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari
yang setara dengan lima puluh ribu tahun (untuk ukuran manusia).” (QS 70:4)
Dan pada kisah Maryam, saat malaikat
Jibril membawa berita dari Tuhannya, bahwa dia akan memiliki seorang putra yang
bernama al Masih Isa putra Maryam. Kemudian Jibril pun meyakinkannya dengan
berkata, ..... apabila
Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya, jadilah, lalu jadilah dia. (QS 3:45-47)
Para cendekiawan agama yang terjebak dalam perdebatan
pertentangannya terhadap teori evolusi, yang secara terang-terangan menolak
teori ini karena didasarkan dogma kitab suci yang ternyata memerlukan penafsiran
pula dalam memahaminya, sebenarnya selain mempertaruhkan keilmuannya, juga
telah berani mempertaruhkan kesucian kitabnya yang tentunya mutlak kebenarannya
dengan penafsiran yang benar. Maka bila kesalahan ada pada penafsirannya,
sungguh ia telah turut menjatuhkan martabat kesucian kitabnya. Seperti kasus
Galileo Galilei yang telah disebut di atas.
Tidak ada kitab suci yang menerangkan
proses penciptaan manusia dan penciptaan semesta alam selengkap Al Qur’an.
Tetapi mengapa masih sering terpancing pada perdebatan yang tiada guna, dan
jelas-jelas memang pada setiap ciptaan-Nya pasti mengalami proses evolusi
(tahapan perubahan) sebagai suatu ketetapan-Nya (sunathullah). Mana lebih
kompleks susunan unsurnya pada tubuh kera atau tanah? Bila
demikian, mengapa terusik egonya bila teori evolusi ini menyebutkan manusia
berasal dari kera? Ingatlah, iblis dikutuk Allah karena kesombongannya
yang merasa asal kejadiannya lebih sempurna dari manusia.
Dan penciptaan Isa al Masih itupun memerlukan proses, yaitu proses
di dalam kandungan selama sembilan bulan, kepayahan, dan melalui juga proses
kelahirannya. Tidak langsung jadi. Dan itulah ketetapan-Nya.
“Maka
Maryam mengandungnya, lalu ia
menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon
kurma, ia berkata, aduhai,
alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi
dilupakan.” (QS 19:22-23)
“Dan
sungguh, Kami telah
menciptakan manusia dari saripati tanah. Kemudian
darinya Kami menjadikan air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kukuh. Kemudian
dari air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu
sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal
daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan
daging.
Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Suci
Allah Pencipta yang paling sempurna.”
(QS
23:12-14)
“Dan
mengapa mereka tak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara
keduanya
melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan........” (QS 30:8)
Pahamilah dengan seksama ayat-ayat tersebut di atas, sangat jelas menerangkan
proses tahapan penciptaan manusia, dari mulai sebagai yang belum bisa disebut (unsur-unsur materi, seperti
senyawa-senyawa protein, asam amino, dan senyawa organik lainnya) yang berasal
dari saripati tanah yang dihisap oleh tumbuhan sebagai makanannya, kemudian
tumbuhan itupun menjadi makanan manusia, dan di dalam tubuhnya di cerna yang
sebagian hasil pencernaannya untuk pembentukan sperma-sperma yang selalu
terbarukan. Selanjutnya setelah sperma yang bertemu dengan sel telur dan
tersimpan di dalam rahim pun melalui tahapan-tahapan proses perubahan bentuk
(evolusi) kejadiannya yang menuju
kesempurnaannya. Belum cukupkah itu membuktikan terjadinya proses evolusi pada
penciptaan kehidupan?
Maka makna penafsiran kun fayaa kun (jadilah, maka terjadilah), tidaklah
selalu harus terjadi dengan seketika atau sekejapan mata, melainkan melalui
proses-proses yang telah ada dalam setiap ketetapan-Nya (sunathullah). Dan tahapan prosesnya adalah
merupakan proses perubahan bentuk atau wujud yang juga tidak seketika dan
memerlukan waktu, atau disebut pula evolusi. Sedangkan tahapan yang
prosesnya berlangsung cepat disebut revolusi.
Seperti ulat daun yang makan
sebanyak-sebanyaknya sebagai bekalnya untuk waktu berpuasa di dalam kepompong
selama berminggu-minggu, dan ketika keluar telah bersayap indah sebagai
kupu-kupu yang cantik mempesona. Begitupun pada larva-larva di dalam air,
setelah masanya menjadi bentuk yang lain, yaitu nyamuk-nyamuk. Atau
belatung-belatung yang menjijikkan yang berada pada sisa-sisa makanan yang
membusuk, maka setelah masanya pun akan menjadi lalat-lalat.
Begitulah segala sesuatu yang selain Dia adalah ciptaan-Nya,
makhluk yang tidak kekal (hadits) mengalami perubahan dan selalu terbarukan
dalam berbagai bentuk dan wujudnya, baik yang nyata terlihat maupun yang nyata
tak terlihat.
“Bukankah
telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia
ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS 76:1)
“......
maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan
kamu dari tanah, kemudian
dari stetes mani, kemudian
dari segumpal darah, kemudian
dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang
tidak sempurna, agar Kami
jelaskan kepadamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang
Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur)
sampailah pada kedewasaan, dan diantara kamu ada yang diwafatkan dan ada pula yang
dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi
sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. ......” (QS 22:5)
“Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati.” (QS 16:78)
Juga pada proses penciptaan yang lebih
besar dibandingkan penciptaan manusia atau makhluk hidup lainnya, yaitu proses
penciptaan langit dan bumi, juga tentu memerlukan waktu.
Ulasan ini hanyalah sebagai contoh
kasus bahayanya taklid terhadap segala sesuatu, apalagi taqlid kepada
penafsiran ayat-ayat Al Qur’an. Yang namanya penafsiran tentu selalu berkembang
sesuai perkembangan peradaban. Belum lagi penafsiran yang pasti berbeda-beda.
Jangankan pada penafsiran, pada penerjemahan ayat-ayat Al Qur’an saja memiliki
perbedaan penggunaan istilah di setiap masanya. Jika ingin lebih jelas,
coba saja cek terjemahan keluaran cetakan lima atau sepuluh tahun yang lalu
dengan terjemahan yang keluaran cetakan terbaru, maka pasti terdapat perbedaan
pemakaian istilah yang mungkin saja menyulitkan pembacanya untuk mendapatkan makna yang seharusnya. Bila hal tersebut
diperkuat lagi dengan ketaqlidan, maka tentu dapat pula membawa kita kepada
kesesatan dalam pemahaman.
Taqlid sungguh akan mematikan akal kita
dalam setiap petunjuk yang sesungguhnya setiap saat hadir di hadapan kita,
karena taklid yang mempertahankan pemahaman lama dari datangnya pemahaman baru
yang lebih mencerahkan. Sedangkan seperti yang kita sadari, bahwa Al Qur’an tak
pernah lekang oleh masa.
Penafsiran ayat-ayatnya pun berkembang
sesuai perkembangan peradaban kemanusiaan yang semakin menunjukkan kebenaran-nya.
Ilmu pengetahuan dan tekhnologi semakin membuka tabir-tabir segala seuatu yang
sebelumnya ghaib di alam ini untuk dapat diketahui, dikenal, dan dipahami serta
mengambil manfaat-manfaat darinya. Begitulah Allah menunjuki kepada siapapun
yang mau menggunakan akalnya.
Penafsiran adalah merupakan produk kemanusiaan, yang diliputi
keterbatasan. Karena itulah selalu diperbaharui sepanjang masa. Bila
diri kita ini terjebak, dan tidak mau menerima petunjuk-petunjuk berupa
pemahaman baru, dan lebih kuat dalam mempertahankan pemahaman lama tanpa
mengusahakan terlebih dahulu akalnya untuk menimbang, maka jelaslah diri kita
termasuk golongan orang-orang yang menutup pintu hatinya dari petunjuk (cahaya
Tuhan). Orang-orang inilah yang lebih memiliki peluang terjerumus kesesatan,
karena tidak pernah mau melatih akalnya untuk bekerja. Kepekaan hatinya menjadi
tumpul dalam melihat yang bathin dari segala sesuatu, sehingga lebih mudah
terjerumus pada kesesatan.
Setelah
shalat shubuh, Bilal
bertanya,“Ya
Rasulullah, apa
gerangan yang telah membuatmu menangis. Bukankah Allah SWT telah mengampuni
segala dosamu yang lampau dan yang akan datang?” Kemudian
beliau menjawab, “Celaka
kamu Bilal, bagaimana
aku tidak menangis jika pada malam ini Allah SWT telah mewahyukan kepadaku ayat
‘Sesungguhnya
pada penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal.’ (QS 3:190) Kemudian beliau berkata lagi, “Celakalah bagi siapa saja yang membacanya, tapi tidak
merenungkan kandungan maknanya.” [Tafsir Ibnu Katsir (1/441)]
Dibawah ini disajikan beberapa ayat Al Qur’an, yang sengaja dicoba
untuk diurutkan berdasarkan proses kejadian alam semesta (langit dan
bumi serta isinya), yang insya Allah, dapat membantu mempermudah pemahaman kita
kepada proses tersebut.
“.....Allah
tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) benar dan waktu yang ditentukan......” (QS 30:8)
“Dan apakah
orang-orang yang kafir (tertutup hati dan akalnya) tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami
pisahkan antara keduanya.....” (QS 21:30)
“Dan Dia
menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya
dan Dia menentukan kadar makanan-makanan
(penghuninya) dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai
jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (QS 41:10)
Setelah langit dan bumi terpisah, dan
Allah membentuk langit dan menghiasinya dengan bintang-bintang. Demikian pula
bersamaan waktunya Dia menetapkan kepada penciptaan di bumi. Pada masa-masa
inilah sebagai masa penciptaan sarana bagi kehidupan, dengan terlebih dahulu
menyiapkan makanan-makanan bagi penghuni bumi, nantinya.
“Kemudian
Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih
berupa asap, lalu Dia
berkata kepadanya dan kepada bumi, datanglah kamu
berdua dengan sukahati ataupun terpaksa. Kemudian keduanya menjawab, kami datang dengan sukahati. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua
hari (masa) dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami
hiasi langit yang terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami
memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui.” (QS 41:11-12)
Ketentuan-Nya diantaranya adalah,
Gaya-gaya serta energi yang terjadi
saat langit telah dilengkapi segala isinya, kemudian matahari dengan tata
suryanya yang juga telah terbentuk sebagai lingkungan atau habitat bagi bumi,
amat mempengaruhi apa-apa yang terjadi kemudian pada bumi. Diantaranya adalah
mempengaruhi posisi tata letak kedudukan bumi yang amat menentukan
proses-proses selanjutnya pada terciptanya kehidupan di bumi.
Pertama, gaya berputar pada porosnya
(spinself) akibat gaya magnet pada kedua kutubnya yang menyebabkan terjadinya
siang dan malam, sehingga terbentuklah suatu sistem waktu yang konstan, serta
suhu permukaan yang dipengaruhi oleh keadaan siang maupun malam.
Kedua, pergeseran kemiringan poros bumi sebesar 23,5⁰ tegak lurus
terhadap garis edar bumi yang mengelilingi matahari, menyebabkan ada malam atau
siang yang lebih panjang di suatu wilayah tertentu. Dan hal ini menyebabkan
perbedaan musim atau iklim suatu wilayah dibanding wilyah lainnya di permukaan
bumi.
Kedua hal tersebut telah sangat
mempengaruhi semakin kaya dan beragamnya pembentukan unsur-unsur di bumi karena
dipengaruhi suhu permukaan dari adanya siang dan malam, yaitu perubahan
temperatur dan iklim yang ekstrim pada awalnya, sehingga mengakibatkan keadaan
dan kondisi bumi kepada aktivitas perubahan pada kontur lapisan kerak permukaan
bumi. Baik pada pembentukan kekayaan mineral yang terkandung di dalamnya, dan
kekayaan gas yang keluar akibat perubahan kontur di permukaan, seperti gerak
akibat pergeseran kerak bumi, terbentuknya gunung-gunung berapi purba, lembah
dan ngarai, rawa-rawa, danau, laut dan samudra, dan sebagainya. Inilah penghamparan
bumi bagi persiapan pembentukan dari setiap ciptaan di masa kemudian.
Kekayaan mineral gas yang keluar dari
aktivitas gunung-gunung api purba dan aktivitas lempeng yang mengeluarkan uap
panas bumi, yang dipengaruhi gaya gravitasi sehingga tertahan tidak terus
bergerak menjauhi permukaaan dan membentuk lapisan-lapisan atmosfir yang akan
berguna melindungi bumi dari hantaman-hantaman benda langit yang datang,
seperti meteor, asteroid, dan komet. Juga radiasi sinar matahari yang
sebagiannya berbahaya bagi kehidupan, dan sebagiannya lagi yang berguna tetap
menembus masuk dan mempengaruhi di atas permukaan bumi. Selain itu juga sebagai
pelindung masuknya pengaruh suhu luar yang mencapai 270⁰ C di bawah nol. Selain
atmosfir, bumi pun memiliki pelindung lain seperti Sabuk Van Allen, adalah
radiasi medan magnet yang terbentuk karena kerapatan massa dari inti bumi yang
terdiri dari Nikel dan Besi. Sabuk Van Allen ini ternyata ikut melindungi bumi
dari jilatan lidah api matahari ketika terjadi badai di matahari yang suhunya
ketika mendekati bumi mencapai 2500⁰ C secara tiba-tiba dan menimbulkan radiasi
gelombang kejut.
Kemudian pada
gas-gas yang molekul-molekulnya berinteraksi berupa uap air akan diturunkan
kembali dalam bentuk hujan yang membasahi permukaan bumi. Yang tidak keluar
dari permukaan, berinteraksi membentuk sumber-sumber air tersebar dan
terkandung di dalam perut bumi. Dan mengeluarkannya melalui mata-mata air di
permukaan.
Mari kita telaah kembali kalimat penutup ayat 30 surah Al Anbiya,
“........ Dan
dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.” (QS 21:30)
“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan Kami pancangkan padanya gunung-gunung serta Kami
tumbuhkan
di sana segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan
padanya
(bumi) sumber-sumber kehidupan untuk keperluanmu, dan makhluk-makhluk yang bukan kamu
pemberi rezekinya.” (QS 15:19-20)
Proses penciptaan yang tiada henti-hentinya ini, semakin
melimpahkan kekayaan akan unsur-unsur yang terbentuk di permukaan bumi. Selain
air dan mineral, serta cahaya yang melimpah, ditambah perubahan-perubahan iklim
yang ekstrim menciptakan hujan-hujan petir sebagai gelombang kejut yang juga
merupakan pemicu interaksi yang lebih dinamis dan kompleks lagi, maka mulailah
pembentukan protein dan asam amino sebagai senyawa molekul organik dari
interaksi atom-atom beberapa unsur tersebut, yang juga adalah merupakan
pembentuk sel kehidupan primitif seperti, fungi, protozoa dan bakteri-bakteri
bersel tunggal, sel yang terdiri atau berbasis kabon dan air.
“Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat (halilintar) untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia
menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan
bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.” (QS 30:24)
Air sebagai sumber dasar kehidupan, tidak perlu diulas mendetail
lagi, dan telah dipertegas kembali oleh penutupan ayat tersebut (QS 21:30) di atas. Dan
keberadaannya yang melimpah, meliputi 70% permukaan bumi dalam bentuk lautan
dan samudra, belum lagi kandungan-kandungannya di dalam perut bumi, sehingga
bumi merupakan ibu kandung bagi kehidupan yang melahirkan begitu banyak
kehidupan. Sebagai ibu pertiwi.
“Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan
bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang
memandangnya.” (QS 15:16)
“Dan Allah
menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan
matahari sebagai pelita?” (QS 71:16)
“Dan Dia
telah menundukkan bagimu matahari dan bulan yang terus
menerus beredar, dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.” (QS 14:33)
“Apakah
kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah
telah membangunnya. Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya, dan Dia
menjadikan malamnya gelap gulita, dan
menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi
sesudah itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan daripadanya mata air-nya, dan
(menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung
dipancangkan-Nya dengan kokoh, (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk
binatang-binatang ternakmu” (QS 79:27-33)
“Dan langit
itu Kami bangun dengan kekuasaan dan sesungguhnya
Kami benar-benar meluaskannya.” (QS 51:47)
“Dan langit
telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan
merusak keseimbangan
itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)
Kembali kepada proses terbentuknya kehidupan pertama yang memakan
waktu ribuan bahkan jutaan tahun, dengan proses reaksi sintesa terhadap tanah
permukaan bumi yang telah didukung air yang melimpah dalam bentuk rawa-rawa,
serta energi panas matahari sehingga terbentuklah zat-zat anorganik, dan
kemudian zat-zat organik, sebagai benih dasar sel-sel generatif.
Dan fungsi air sebagai pelarut, yang membawa dan mengumpulkan
zat-zat organik dan segala macam unsur-unsur mineral, air yang melimpah
tersebar merata di permukaan bumi, selain dalam bentuk lautan dan samudra,
danau dan sungai, juga yang diduga kuat andilnya sebagai dapur penciptaan
adalah rawa-rawa purba yang dangkal dan kental serta kaya akan mineral serta
zat organik seperti protein dan asam amino. Seperti kaldu purba.
Dan peranannya dalam kelahiran
kehidupan pertama ini, rawa-rawa purba yang banyak tersebar di seluruh
permukaan bumi, keberadaannya tersebutlah sebagai rahim bagi janin-janin
makhluk hidup pertama. Penciptaan manusia dengan kerumitan strukturnya
yang terdiri dari milyaran sel penyusun tubuhnya, adalah pula karya gemilang
yang merupakan kesempurnaan dari seluruh ciptaan.
“(Ingatlah)
pada hari langit Kami gulung seperti menggulung
lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami
tepati, sungguh, Kami akan
melaksanakannya.” (QS 21:104)
“(Yaitu)
pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi
yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang
mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (QS 14:48)
Dua ayat terakhir ini menjelaskan
keadaan alam semesta pada hari akhir (kiamat qubra), yang
disebutkan pula ternyata memiliki keadaan atau proses yang sama saat pada hari
awal (penciptaan pertama). Dan Allah sungguh-sungguh menegaskan,
bahwa proses tersebut merupakan siklus pengulangan penciptaan.
Perumpamaan proses kejadian pada hari
akhir (kiamat qubra), dimana langit dengan bintang-bintangnya hancur luluh
melebur bersama bumi, seperti mengulung lembaran-lembaran kertas yang berlapis-lapis (QS 21:104), agar
kita mudah memahami proses singularitas
(berpadunya kembali langit dan bumi), termasuk tujuh lapis langit,
galaksi-galaksi dengan bintang-bintangnya, bumi, matahari, bulan, serta seluruh
benda-benda langit lainnya, menjadi suatu yang padu kembali seperti kejadian awal yang dijelaskan pada QS 21:30. Yaitu,
kembali pulang-nya segala sesuatu kepada sumber-nya Dia Yang Maha
Tunggal, inna lillahi wa inna ilayhi raji’un.
Demikianlah ulasan ini hendak
mengingatkan kita agar tidak tersesat oleh pemahaman kita sendiri, seperti di
waktu-waktu yang lalu, bahwa sesungguhnya Dia-lah tujuan utama kita dalam
kehidupan ini dan kehidupan nanti. Artinya, segala sesuatu tiada yang kekal dan
abadi, baik dari segi waktu-nya maupun kebenaran-nya. Akan selalu
ada kebenaran lain yang memperbaikinya.
Hanya Dialah Kebenaran Sejati, karena itu janganlah mengunci
mati hati kita dari setiap yang akan datang sebagai petunjuk dari Tuhan
untuk memperbaiki kebenaran sebelumnya yang telah ada pada kita. Petunjuk
yang merupakan kebenaran adalah rahmat Allah yang takkan pernah berhenti,
sebagai yang akan terus datang bagaikan cahaya matahari yang selalu hadir
menerangi segala sesuatu untuk diketahui dan dipahami seluruh makhluk-Nya di
bumi. Maka dengan selalu memohon perlindungan kepada-Nya dari penyesatan iblis
yang menjadikan kesalahan dan keburukan terlihat indah oleh pandangan mata,
serta terasa indah di dalam angan-angan, semoga Allah selalu memberikan
petunjuk kepada yang haqq sebagai kebenaran sejati.
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....”
(QS 41:53)
§ Umat-umat yang mengikuti syari’at nabi-nabi zaman dahulu atau
sebelum nabi Muhammad SAW, orang-orang yang menyembah bintang atau yang menyembah
dewa-dewa.
(Al
Quran & Terjemah, Mujamma’ al Malik Fahd Li Thiba’at al Mush-haf
asy-Syarif Medinah Munawwarah – Kerajaan
Saudi Arabia)
Semoga bermanfaat.....insya Allah.
BalasHapus