PUPUH IV
Tuan-mu
memancarkan cahaya-Nya
Ke segenap
penjuru
Maka,
segala yang
mewujud adalah
bayang-bayang
Dia,
perwujudan-Nya
Dia-lah
keberadaan sesungguhnya,
bayang-bayang
adalah tiada
Dia-lah
Hidup sesungguhnya,
bayang-bayang
tiadalah hidup
Dia-lah yang
Yang Dzahir,
bayang-bayang adalah Bathin-Nya
Cahaya-Nya
tiada berwarna
Mewujud
menjadi banyak warna
Maka,
menjadi
salahkah warna merah
bila warna hijau-lah yang kau sukai?
Bayang-bayang
ada karena Dia
Dia yang
berkehendak mewujudkan
Bila tak
suka warna merah
Maka
tak suka kehendak Tuan-nya
Ketahuilah
Tuan-mu
Dia Yang
Maha Kuasa
Yang memberi
segala rahmat
bahkan pada
warna merah
adapula bagian rahmat-Nya bagimu
IKHLAS
BERSERAH DIRI (ISLAM)
“.... Barangsiapa menyerahkan diri (islam) ‘sepenuhnya’ kepada
Allah, dan dia
berbuat baik, dia
mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa
takut
pada mereka dan mereka tidak pula bersedih hati.”
(QS 2:112)
M
|
akna ayat ini, adalah penyerahan
diri secara total, tanpa keraguan, hanya kepada-Nya sebagai wujud kemurnian
(keikhlasan) dalam setiap gerak amal perbuatannya, maka tidak ada rasa takut
dan sedih hati lagi pada dirinya. Inilah diri atau jiwa yang telah mencapai
ketenangan, ketentraman, dan kedamaian sebagai wujud surga-nya di alam dunia.
Keikhlasan ini dapat menyertai setiap
amal perbuatannya, bila telah hilangnya pengakuan (ego)-nya sebagai yang
mengotori jiwa, dan telah kenal diri-nya, serta mengenal Tuhan bersama
wujud iman lainnya (malaikat-Nya, rasul-Nya, kitab-Nya, hari akhir-Nya, dan
kadar baik-buruk-Nya), kemudian selalu menjaga itu semua tetap dalam kesadaran
(ingatan)-nya. Sehingga memahami sepenuhnya, bahwa tiada kekuatan-nya melainkan
adalah karunia kekuatan dari-Nya, tiada kuasa-nya melainkan karunia kekuasaan
dari-Nya, tiada keinginan-nya melainkan keinginan-Nya, dan tiada sesuatupun
yang terjadi tanpa seizin-Nya.
Menyadari semua itu membuat dada-nya
terbuka untuk menerima kenyataan, yang sesungguhnya mengakui dengan sadar bahwa
keikhlasan sebagai yang mutlak menyertai setiap amal perbuatannya, tanpa
basa-basi ataupun keraguan. Inilah makna islam (berserah diri) yang
sesungguhnya.
“(Iblis)
menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Justru keikhlasan
inilah yang menjadi sasaran iblis agar manusia menjauhi keikhlasan dalam setiap
amal perbuatannya. Dan berhati-hatilah serta selalu waspada terhadap tipu daya
iblis yang memberikan pemandangan indah pada setiap bujuk rayunya,
tetapi justru menjerumuskan. Dan dia tiada pernah berhenti membisikkan bujuk
rayunya yang menyesatkan.
Sungguh, amal perbuatan yang tak
diawali keikhlasan akan mejadikan amal perbuatan yang sia-sia, dan malah
kembali kepada dirinya sebagai keburukan yang pasti akan disesalinya. Sebab,
keikhlasan jelas tidak membawa beban ambisi dari pengakuan (ego) yang
mengharapkan balasan (imbalan) dari hasil amal perbuatannya. Keikhlasannya
adalah wujud fitrah jiwa kemanusiaannya sebagai wujud Tuhannya di alam, yang
menyebarkan rahmat Tuhannya kepada sesama makhluk-Nya
Mengenal diri terlebih dahulu, baru
kemudian dapat menyerahkan dirinya secara total. Bagaimana mungkin dapat ikhlas
menyerahkan diri-nya, jika belum mengenal kepada diri-nya sendiri? Menyerahkan
sesuatu yang tidak dikenal dan diketahuinya, tentu tidak masuk akal. Maknanya,
menyerahkan segala sesuatu tentu yang terbaik, apalagi kepada Tuhannya.
Menyerahkan diri, maka perbaiki diri terlebih dahulu, sehingga bukan hanya
pantas untuk diberikan, melainkan pula mengerti dan memahami untuk apa
menyerahkan, serta atas dasar apa menyerahkan, sehingga mengenal arah tujuan
kemunian (keikhlasan)-nya.
Bila tiada keikhlasan, bagaimana bisa terjadi penyerahan?
Yang ada adalah keterpaksaan, yang diserahkan pun bukan diri-nya,
melainkan keadaan-nya. Jiwa (diri)-nya tetap di tempatnya, menolak.
Tuhan pun Maha Mengetahui, maka Dia-pun menolak segala bentuk keterpaksaan, “tiada
paksaan dalam agama Allah”.
“Tidak ada paksaan untuk (ber)-agama, sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. ......” (QS 2:256)
Pada tahap ini, bagi mereka yang telah mengkokohkan keimanan dan
ikhlas dalam beragama, maka tiada lagi menginginkan atau mengharapkan
surga, serta takut dan menghindari neraka (QS 2:112). Keimanan (keyakinan) dan keikhlasan-nya lah yang
menyadarinya dengan yakin bahwa Allah Maha Adil dan Dia Maha Benar terhadap
firman dan janji-Nya. Tidak ada keraguan bagi orang-orang yang yakin kepada
Tuhannya. Keikhlasan atau memurnikan, sesungguhnya, adalah usaha untuk kembali
kepada fitrah kemanusiaan-nya yang dikehendaki Allah, yaitu sebagai rahmat
bagi semesta alam.
“Maka
hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah
menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah)
jalan yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS 30:30)
Bila sebelumnya, pemahaman makna ‘islam’
lebih ditekankan kepada tunduk patuh. Maka sekarang, bermakna berserah
diri. Bila sebelumnya, lebih pada penekanan, dikatakan kepada mereka yang
menolak islam adalah “rasakanlah olehmu azab Tuhan”. Maka
sekarang, “rasakanlah olehmu akibat dari perbuatanmu sendiri”.
Hal ini, bukanlah untuk lebih
memperhalus penyampaian makna, akan tetapi lebih kepada penekanan, bahwa
bukanlah Allah sebagai yang otoriter atau diktator juga kejam, melainkan bahwa
segala gerak amal perbuatan akan kembali kepadanya sebagai buah dari yang
ditanam-nya sendiri. Bila yang ditanam saja yang bermanfaat, seperti
padi misalnya, maka akan pula tumbuh rumput disekitarnya sebagai pengganggu.
Maka, bagaimana mungkin menanam rumput, berharap padi pun ikut tumbuh di
sekitarnya? Mustahil. Maknanya, bagaimana bisa berharap menghasilkan kebaikan,
bila yang dikerjakan adalah amal perbuatan buruk. Renungkanlah.
Jangan lagi terjebak oleh pemahaman yang dapat membuat salah
langkah. Kembali kepada pemahaman sebelumnya, “rasakanlah olehmu azab Tuhan
(sebagai balasan dari perbuatanmu)”. Yang seolah bermakna, bahwa Allah-lah
yang membalas, dan berharap dalam doa-nya agar diampuni Tuhan-nya, sebab
Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Padahal tidaklah demikian, sifat-sifat
Tuhan tersebut adalah sebagai sifat yang dianugerahkan kepada diri kemanusiaan
untuk diwujudkan di alam (dunia), sedangkan segala amal perbuatan-nya tetap
akan kembali kepada dirinya sendiri, baik-buruknya pasti akan diterimanya
dengan terpaksa maupun sukarela. Sesungguhnya, diri-nya sendirilah yang
membalas. Jadi, jangan berharap mimpi di siang bolong. Bagaimana mungkin
dapat tidur nyenyak dan bermimpi indah, saat itu kan waktunya hiruk pikuk
dan hingar bingar. Belum terlelap, sudah terbangun karena suara berisik.
Segala sesuatu telah ada dalam kehendak dan ketetapan-Nya, sebagai keadilan
hukum Allah (sunathullah).
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat
zarrah (titik), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan
barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (titik), niascaya dia akan
melihat (balasan)-nya”. (QS 99:7-8)
Kemurnian atau keikhlasan dalam amal perbuatan, yaitu shalat,
ibadah, hidup, dan mati-nya, yang didasari dan ditujukan hanya kepada-Nya,
adalah karena telah mengenal diri dan Tuhan-nya, serta sedang dalam keadaan
ingat (sadar). Mengenal diri dan Tuhan-Nya, adalah memahami fitrah
kemanusiaan-nya sebagai perwujudan dari wujud Tuhan-nya di alam, yang mewujud
bersama dengan sifat-Nya, dan keluar dalam bentuk amal perbuatan yang merupakan
rahmat bagi sesama makhluk-Nya. Sehingga akan menjaga dirinya dari amal
perbuatan buruk sekecil apapun itu.
“....sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena)
Allah, Tuhan
seluruh alam, tidak ada
sekutu bagiNya, dan
demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Berserah diri (islam) bukanlah bermakna
pasrah karena tanpa pengetahuan, akan tetapi rela dengan ikhlas karena telah
memahami dan menyadari, bahwa keberserah dirian-nya adalah demi
mengembalikan kepada fitrah asal-nya yang sungguh mulia, yaitu fitrah
diri insan kemanusiaan sebagai perwujudan Yang Maha Terpuji di alam untuk
saling menebarkan rahmat Tuhan kepada semesta alam, rahmatan lil
‘aalamiiyn.
Berserah diri (islam) pun
bukan hanya mengandung makna hanya menyerahkan diri-nya kepada Tuhan-nya, akan
tetapi pula, dengan ikhlas berusaha menghilangkan pengakuan (ego)
yaitu menyerahkan segala sesuatu yang
sebelumnya dirasakan sebagai milik-nya. Seperti anak-istri, harta benda, rumah
tinggal, kendaraan, hewan ternak atau peliharaan, ladang pekerjaan, dan lain
sebagainya. Kemudian pula pada apa-apa yang ada didalam jasad atau tubuh-nya,
apa-apa yang diingat dan dipikir-nya, apa-apa yang diucap-nya, apa-apa yang
didengar-nya, dan apa-apa yang dilihat-nya, serta gerak dan tenaga-nya, bahkan
pada nafas-nya, yang semua itu, ternyata bukanlah dia sebagai pemilik-nya,
melainkan Dia-lah pemilik yang sesungguhnya.
Tidak ada sedikitpun
kekuasaan dan kekuatan-nya terhadap semua itu, kecuali bila atas izin dan
kehendak-Nya. Diri-nya hanyalah cuma menerima semua itu sebagai anugerah
dari Allah yang masih harus dikelola-nya secara lurus, baik, dan benar, serta
sebagai yang akan dipertanggung jawabkan-nya, kelak. Menerima karena
hidup yang diberikan atau dianugerahkan oleh Dia Yang Maha Hidup.
Alam raya ini, langit dan
bintang-bintang, gunung-gunung, awan, burung-burung, dan seluruhnya tunduk
berserah diri dan bertasbih kepada-Nya. Secara sukarela maupun terpaksa, sadar
ataupun tidak sadar, sesungguhnya manusia telah ada dalam kekuasaan ketetapan
dan kehendak-Nya, hanya jiwa yang didominasi pengakuan (ego)-lah yang
merasa diluar kuasa-Nya. Padahal tidaklah demikian, semua telah tetap dalam
kuasa dan kehendak-Nya. Tiada sesuatu sekecil apapun yang luput dari ketetapan
dan kehendak-Nya.
Ingatlah, istri serta anak-anak,
saudara-saudara, kaum keluarga, harta benda, ladang pekerjaan, dan rumah-rumah,
bahkan diri dan tubuh-nya sendiripun bukanlah milik yang dikuasainya, melainkan
milik Allah SWT. Yang, segalanya tersebut, sewaktu-waktu, dapat saja hilang
atau pergi meninggalkannya.
Apa-apa yang disedekahkan pun adalah
karena rizki dari dan kehendak-Nya. Kekuasaanpun dari dan akan kembali
kepada-Nya. Akal dan ilmu juga adalah karena kemurahan-Nya. Tidaklah ada
secuilpun yang dimilikinya secara hakiki, dan abadi, serta merupakan hasil dari
kekuatannya sendiri. Berserah dirilah, karena sesungguhnya tiada kekuatan
(kekuasaan) selain dari kekuatan (kekuasaan)-Nya.
Sesungguhnya telah berserah diri
apa-apa yang berada di langit dan bumi serta apa-apa yang berada diantara
keduanya. Peredaran bintang-bintang serta gugusannya, dan matahari juga bulan
serta siang dan malamnya, bumi beserta gunung-gunung dan gerakan peredaran
awan-awan pembawa hujan, hewan-hewan dan tumbuhan dalam siklus ekosistem.
Bahkan pada tubuh insan kemanusiaan, pada peredaran darahnya dengan
jantung yang memompa mengirimkan makanan kepada setiap sel tubuh, paru-paru
yang mengatur pernapasan, sel-sel yang tumbuh dan saling menunjang. Akal
pikiran dan ilmu, seluruhnya tunduk dan berserah diri pada ketetapan hukum-Nya.
Semua itu adalah karena kuasa Tuhan yang bukan atas kehendak diri
kemanusiaan-nya. Hanya jiwa yang didominasi pengakuan (ego)-lah yang
merasa diluar kuasa-Nya.
“Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di
langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan, binatang-binatang
melata, dan sebagian besar dari
manusia? ...........” (QS 22:18)
Berserah diri dengan menyatakan
kelima rukunnya, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan hajji. Ternyata
hanya baru pernyataan, maka belumlah sah bila tidak mewujudkan secara
ikhlas dengan mengeluarkan-nya dalam bentuk amal perbuatan yang sesuai
dengan pernyataan-nya tersebut. Dan kembali, untuk memurnikan keberserah
dirian (islam)-nya sangatlah didukung oleh mengkokohkan kembali rasa iman
yang telah dibahas pada bab pertama sebagai dasar pijakan dalam mencapai
keikhlasan.
Dikarenakan kelima rukun-nya tersebut
sebenarnya merupakan cara-cara ibadah yang lebih bertujuan mencapai
kemurnian (keikhlasan) dalam berserah diri pada setiap insan kemanusiaan,
atau sebagai sarana latihan pensucian dan pembersihan dari pengakuan
(ego) sebagai penyebab segala sesuatu yang menyesatkan jiwa. Yaitu jiwa-jiwa
yang diharapkan telah mencapai ketenangan melalui pengendalian diri-nya yang
dapat diaturnya secara stabil dan membawanya pada ketentraman hidup.
Keyakinan-nya yang membuat jiwa-nya
merasa selalu di dalam perlindungan serta pemeliharaan Dia yang menguasai
langit dan bumi dengan segala isinya, sehingga tiada lagi rasa takut pada
diri-nya dan tidak pula bersedih hati. Sebab wujud diri-nya adalah
perwujudan-Nya, keinginan-nya adalah kehendak-Nya, kekuatan-nya adalah
kekuatan-Nya, nafas-nya pun hawa-Nya, apa yang dimiliki-nya adalah anugerah
dari-Nya, bahkan apa yang dirasakan-nya adalah karena hidup yang
dihidupkan-Nya.
Itulah kesaksian sejati, yang
dengan mata hatinya telah dapat melihat serta merasakan secara langsung akan
keagungan Dia Yang Maha Pemurah lagi Yang Maha Tunggal, sehingga membawa
jiwanya kepada rasa berserah diri (islam) secara ikhlas total semata
hanya kepada-Nya.
“Allah, tidak ada
tuhan melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi Yang Memelihara, tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang di langit dan
di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui
apa-apa yang dihadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka
tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa
berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.”
(QS 2:255)
Bab VIII
SYAHADAT
Asyhaadu’allaa ilaaha
illaallahu, wa
asyhadu anna muhammadur-rasulallahu.
“Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab, betul, kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”
(QS 7:172)
S
|
emoga ulasan-ulasan pada dua bab sebelumnya, keimanan dan agama, secara
keseluruhan telah cukup menambah sedikit pemahaman kepada mengenal Allah
selangkah lebih mendekat lagi dari sebelumnya, dan membawa keinginan jiwa untuk
lebih mengkokohkan keimanan-nya kembali. Dan dengan begitu, maka makna syahadat
yang sering diucapkan dalam shalat, yang kalimatnya diawali dengan persaksian
bahwa tiada tuhan selain Dia, menjadi lebih bermakna dan tidak sekedar
ucapan sambil lalu. Yang pula, insya Allah, dapat mengarahkan jiwa untuk
memimpin kepada amal perbuatan lurus, ingat, dan suci
secara tulus ikhlas berserah diri hanya kepada-Nya.
Menyaksikan Dia sebagai Tuhan
Yang Tunggal tidak hanya sekedar ucapan tanpa kenyataan, akan tetapi dapat
nyata terasa segala nikmat dari setiap rahmat Dia Yang Maha Pemurah. Yaitu Dia
yang telah menganugerahkan segala-galanya, bahkan wujud-Nya sebagai wujud yang sesempurna-sempurnanya.
Dan juga dapat nyata terlihat wujud-Nya dalam setiap segala sesuatu sebagai
ciptaan-Nya yang sesungguhnya adalah perwujudan Dia, Allahu Akbar.
“Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap
disanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (QS 2:115)
Kemudian
kepada kalimat persaksian selanjutnya. Dengan tidak mengurangi nama besar
beliau, nabi Muhammad rasulullah SAW, dan tidaklah siapapun yang sanggup
mengurangi atau melebihkan dari apa-apa yang telah ditetapkan dan dikehendaki
Allah, dalam mengulas makna syahadat ini, akan tetapi lebih kepada
mengembalikan arti dan makna asalnya. Kata ‘muhammad’
pada bunyi syahadat adalah bukanlah bermaksud menunjuk nama “Muhammad bin Abdullah”, nabi dan rasul junjungan
kita, melainkan adalah menunjuk kepada salah satu sifat atau nama
Allah sebagai Yang Maha Terpuji
yang dianugerahkan kepada manusia.
Memang
benar, kemanusiaan yang pertama mendapat gelar tersebut dari Allah adalah Ahmad
bin Abdullah (nama yang diberikan oleh kakek beliau, Abdul Muthalib), kemudian
nama Muhammad, yang sesungguhnya adalah sebuah gelar tersebut, jadi lebih melekat kepada beliau dibanding
nama asal-nya, yaitu Ahmad. Bukan pula hendak melepaskan nama beliau
dari bunyi syahadat, akan tetapi memang begitulah makna sesungguhnya
berdasarkan penerjemahan dari bahasa yang digunakan, sebagai usaha memahami
makna-makna yang masih tersembunyi untuk menambah kokohnya keimanan kepada
kebenaran sejati (al haqq).
Bila telah memahami hal ini,
maka makna syahadat akan menjadi lebih bertanggung jawab bersama segala
konsekuensinya kepada diri yang mengucapkannya. Yang insya Allah, setelah memahami maknanya, maka akan lebih
meresap kedalam jiwa pengucapnya, sehingga jauh lebih mengenal kepada diri-nya
sendiri sebagai perwujudan Tuhannya, dan lebih pula mengenal kepada fitrah dan
tugas-nya sebagai khalifah dan wakil-Nya yang mewujudkan
sifat-sifat Tuhan di muka bumi dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Rahmatan lil ‘aalamiyn. Itulah amanat
yang ditanggung oleh kemanusiaan.
“Dan
(ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab, betul, kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak
mengatakan,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS 7:172)
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan
gunung-gunung,
maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan
dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” (QS 33:72)
Begitulah
sesungguhnya kemanusiaan telah bersaksi dan berjanji sebelum di kehidupan sebelumnya,
yaitu dengan berani memikul amanat tersebut. Dan dengan mengucapkan kembali
persaksian (perjanjian) tersebut berupa syahadat sebagai penegasan
kembali bahwa kemanusiaan kita tidaklah akan lalai terhadap amanat
tersebut. Dengan demikian, kehadiran Tuhan akan jauh lebih terasa di
dalam dada pada diri-diri yang mengucapkan syahadat ini, karena telah
memahami bahwa Tuhannya selalu bersama dalam setiap amal perbuatannya. Maka
dirinya akan selalu menjaga amal perbuatannya pada nilai-nilai kebaikan dan
kebenaran yang merupakan sifat-sifat terpuji.
Tentu dalam
mengucapkan syahadat bukanlah hanya sekedar mengucapkan pernyataan perjanjian
atau persaksian yang bermakna kiasan, kita bersaksi kepada sosok mulia, yang
wujud beliau seperti kita (kemanusiaan) yang kita tidak pernah melihat dan tahu
rupa beliau, telah lama tidak ada, dan hanya tertinggal kisah beliau. Syahadat
atau persaksian itu adalah suatu ikrar persaksian yang tentunya mengikat setiap
diri sebagai pengucapnya dengan Dia sebagai Tuhannya. Janji mengakui dirinya
yang adalah perwujudan dari wujud Dia Yang Maha Terpuji, sebagai rasul-rasul
Allah atau utusan-utusan Allah yang saling menebarkan rahmat Tuhannya
kepada sesama makhluk Allah di seluruh semesta alam, seperti yang telah
ditauladankan nabi dan rasul Allah junjungan kita Muhammad SAW.
“.... dan
siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang menyembunyikan
syahadat
(persaksian) dari Allah yang ada padanya? Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu
kerjakan.” (QS 2:140)
Bila disadur atau diterjemahkan
kedalam bahasa kita, maka bunyi maknanya adalah, “aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan muhammad
(wujud yang terpuji sebagai perwujudan dari Yang Maha
Terpuji, ini ) adalah utusan
Allah”. Maka segala tanggung jawab serta segala macam konsekuensinya
akan menjadi beban bagi diri pengucapnya. Sedang bagi mereka yang tak
dapat menangkap makna ini, tentulah tak akan menyadari beban tugas tersebut,
dan pengaruh pada kehidupannya pun tak membawa ketugasannya sebagai wakil
Tuhan di muka bumi yang rahmatan lil
‘aalamiiyn.
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar
diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dibawa turun oleh Ruh Al Amin (Jibril) ke dalam hatimu menjadi
salah seorang yang memberi peringatan.” (QS
26:192-194)
Dan bila makna ini telah
meresap disadari, melekat dalam setiap shalat, diucapkan pada setiap
tahiyatnya, insya Allah akan menemukan sejatinya diri sendiri sebagai fitrah
asal-nya, dan kepada siapa sesungguhnya diri ini bergantung. Serta kepada
siapa dia menujukan keikhlasan dalam setiap amal perbuatan, sebagai wujud
keberserah dirian-nya. Dan kepada setiap diri kemanusiaan diharapkan menyadari,
bahwa segala firman Allah di dalam kitabnya tidaklah hanya ditujukan
kepada Muhammad bin Abdulah sebagai rasul, melainkan pula, justru kepada setiap
diri kemanusiaan yang membacanya. Dan beliau sebagai manusia pertama yang
diberi gelar muhammad oleh Allah, dan dijadikan-Nya sebagai teladan dan
contoh bagi setiap diri kemanusian baik pada masa-nya maupun pada masa-masa
kemudian setelah-nya.
“Wahai orang yang berkemul (berselimut)! Bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Agungkanlah
Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaian-mu, dan tinggalkanlah
segala yang keji, dan
janganlah engkau memberi (untuk) memperoleh yang lebih banyak. Dan karena Tuhanmu,
bersabarlah.” (QS 74:1-7)
Pada penggalan
ayat inilah, sesungguhnya makna kerasulan setiap insan kemanusiaan, yaitu pada
perintah-Nya, ...... Bangunlah, lalu berilah peringatan ! ..... kemudian selanjutnya, ..... dan bersihkanlah
pakaian-mu,
dan tinggalkanlah segala yang keji ...... maknanya adalah mensucikan atau membersihkan apa
yang ada pada dirinya (sebagai anugerah Tuhannya) layaknya pakaian, sehingga
pantas dan sesuai antara ucap, tekad, dan lampah-nya sebagai pembawa
atau penyampai petunjuk dan peringatan.
Sekalipun amal perbuatan
nyatanya bersentuhan kepada orang-orang lain, diri-diri lain, atau makhluk
lainnya, tetapi diri-nya telah menyadari dan mengenal sepenuhnya,
wujud dari perwujudan siapa diri mereka sesungguhnya. Maka, dengan
begitu, akan terjagalah segala amal perbuatan-nya pada kelurusan,
selalu sadar (ingat), dan suci dari pengakuan
(ego) yang menyesatkan.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah
dengan ikhlas semata-mata
karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan mensucikan (apa-apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang
benar (Diynul
Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Menyadari
kembali bahwa diri-nya sebagai wujud
terpuji yang merupakan perwujudan dari Yang
Maha Terpuji, dan pelaksana tugas kerasulan sebagai penyampai
kebenaran dan rahmat dari Tuhan-nya, juga sebagai yang telah diberi kitab (ahli kitab). Mengucapkan pernyataan
syahadat ini dalam setiap shalat-nya, kemudian menyatakan
(mewujudkan)-nya dengan melaksanakan tugas-nya dalam setiap amal perbuatannya
dengan rasa ikhlas.
Dan tugasnya hanyalah
menyampaikan, hasilnya merupakan kehendak dan izin-Nya. Murnikan
(sucikan)-lah tugasnya tersebut dari pengakuan (ego) yang dapat
mengotori amal perbuatan. Jauhkan dari keinginan dan ambisi yang berlebihan
dari yang ditugaskan, karena iblis akan ikut masuk bersama penyesatannya yang
menjerumuskan.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”. (QS 4:171)
”......... aku pasti akan jadikan
(kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka
semuanya.” (QS 7:39)
Padahal iblis tidak memiliki
kekuasaan atas diri setiap insan kemanusiaan yang ikhlas dalam setiap
gerak amal perbuatan, dia hanya merangsang angan-angan keinginan. Dikuatkannya
keinginan jiwa melalui angan-angan yang dikemas dengan rapi agar kelihatan
indah dan menarik hati diri yang mengharapkannya. Semakin dikuatkannya lagi
harapan itu kepada ambisi untuk cepat dapat meraihnya. Dan kekuasaannya inipun dapat
terwujud kepada jiwa-jiwa yang berpaling dari jalan Allah, yaitu yang
didominasi oleh pengakuan (ego). Karena itu setiap diri kemanusiaan diharapkan
dapat tetap memurnikan keikhlasan dalam
setiap amal perbuatannya agar tetap terjaga dari kuasa gelap yang justru
dapat menjerumuskannya kepada kehinaan diri-nya.
Sedikit mengulas kembali, bahwa
penciptaan segala sesuatu dimulai dari cahaya-Nya (nur Allah), kemudian darinya
diciptakanlah para aparat-Nya atau para malaikat (nur Cahya). Pada cahaya
selain bersifat menerangkan, ada pula yang bersifat panas. Mungkin, dari yang
bersifat panas inilah malaikat pembangkang (QS 2:34) menjadi ada, dan
disebut iblis oleh Allah SWT. Seperti kita tahu, malaikat tercipta dari
cahaya sedangkan iblis dari api.
Cahaya yang berubah menjadi api begitu
banyak ditemui dalam kehidupan sehari-sehari. Prosesnya, untuk dapat berubah
menjadi api, maka cahaya memerlukan benda yang mudah terbakar untuk
mendapatkan api, dan bukan
benda yang terbakar itulah api-nya, bukan pula terangnya, tetapi nyala-nya. Jelas kita dapat membedakan
antara wujud cahaya, terang, dan nyala api. Yaitu cahaya yang menjadikan terang, dan kita dapat mengambil manfaat
dengannya, juga cahaya yang menjadikan nyala api yang membakar. Dan keduanya membutuhkan benda (sebagai
fasilitas) untuk diketahui keberadaannya. Semua benda ada terlihat karena ada
cahaya yang menyentuhnya. Terangnya pun ada pada benda.
Keduanya pun dapat bertempat pada diri
kemanusiaan, sebagai media benda tersebut, agar fungsinya lebih berarti.
Yang satunya menyampaikan petunjuk, sedangkan yang satunya lagi menghasut. Yang
satunya memberi petunjuk dengan terangnya, sedangkan yang satunya lagi
menghasut dengan membakar. Akan tetapi, ketahuilah, keduanya sungguh bermanfaat
bagi setiap diri insan kemanusiaan untuk mencapai tingkat kesempurnannya.
Bila dicermati dan dipahami secara
mendalam, dengan hati bersih dan netral dalam berfikir, sesungguhnya diri-nya
sendirilah yang sebenarnya mewujudkan iblis itu hadir atau berpengaruh,
dan semakin kuat mencengkeram jiwa selalu dalam pengaruhnya. Begitupun pada
malaikat, bila selalu mengingat Allah dan bertawakal untuk terus berada pada
cahaya-Nya, maka terangnya (malaikat) akan semakin kuat mempengaruhi
jiwanya. Diri yang secara tak sadar terus menjauh dari cahaya Tuhannya, maka
justru dia semakin mendekatkan diri-nya kepada kesesatan bujuk rayu iblis
(kegelapan).
Pada dasarnya diri insan kemanusiaan
amat menyukai terang, dan merasa takut di dalam kegelapan karena menjadi tidak
mengetahui apa-apa, hatinya menjadi sempit karena keterbatasan mata memandang.
Tetapi sayang, jiwa-nya tiada dapat menyadari ini hingga tidak dapat
menerapkannya kedalam memahami akan
tempat kemana dia seharusnya bergantung dan mendapatkan perlindungan.
Jangan
biarkan jiwa kita terperosok kepada tipu daya iblis, yang dengan berbagai cara
menginginkan setiap jiwa kemanusiaan ikut menemaninya di neraka. Tipu dayanya
dapat berupa membakar gairah semangat, sekalipun itu membawa-bawa nama agama
dan Tuhannya. Seperti semangat mati syahid di jalan Allah melalui jihad yang
salah, padahal ternyata malah merusak dan menumpahkan darah melalui jalan
terorisme. Atau pada hal-hal sederhana, berusaha menghambat atau menghalangi
umat lain dalam kebebasan beribadahnya. Apalagi sampai merusak rumah ibadah
mereka atau menghalangi mereka (umat lain) beribadah kepada Tuhannya, yang
ternyata merupakan Tuhan kita sendiri juga. Dan merusak rumah ibadah mereka,
yang merupakan rumah Tuhan kita sendiri. Sesungguhnya, bila demikian, maka
perbuatan itu menzhalimi diri kita sendiri.
“Dan tidaklah terpecah belah orang-orang ahli kitab (yang diberi
kitab) melainkan setelah datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS 98:4)
Sekali lagi,
pengakuan (ego) sebagai biang kerok rusaknya hubungan antar kemanusiaan.
Semakin dibuka pengetahuan dan bukti-bukti kebenaran, bukannya semakin membuka
akal dan kesadarannya, tetapi malah semakin kuat kepada kepentingan ego-nya.
Ya, Al Qur’an sendiri selalu mengisahkan para nabi dan rasul Allah datang
kepada kaumnya, sebagai pembaharu yang membawa pesan dan peringatan dengan
bukti-bukti yang nyata pun selalu ditentang oleh mereka yang telah lama mapan
dan merasa akan terganggu kemapanannya.
“dia
menjawab (setan), karena
Engkau telah menghukumku tersesat, sungguh akan
kutahan untuk mereka (manusia) itu dari jalan-Mu yang lurus, kemudian
akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
Dengan
selalu menyadari (ingat) syahadat (persaksian) serta dengan kemurnian
(keikhlasan) dalam melaksanakan tugas kerasulan melalui amal
perbuatan-nya, setiap diri, maka terhindarlah diri-nya dari penyesatan yang
diupayakan iblis. Tentu, karena dengan melakukan tugasnya, selain menyampaikan
segala petunjuk Tuhannya kepada sesama, diapun akan menjaga diri-nya dari
penjerumusan iblis.
Iblis menyesatkan setiap diri
kemanusiaan melalui apa-apa yang dicintainya, anak dan istri, harta benda,
kekuasaan, dan lain sebagainya. Bahkan kepada yang mengatas namakan agama dan
tuhan, tidak akan segan iblis berupaya menipu diri-diri kemanusiaan agar
terjerumus pada kesesatan dan kehinaan, seperti dia telah menghinakan Adam
pertama kali.
“(Iblis)
menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Hamba-hamba
yang ikhlas dalam amal perbuatannya dengan berserah diri kepada-Nya
adalah wujud kemuliaan Tuhan, karena pada diri mereka-lah iblis menyerah,
tak dapat menyesatkan, dan menjadi tunduk seperti wujud asalnya yang
merupakan aparat atau malaikat Allah.
Itulah sesungguhnya yang
dimaksud dengan, menyatakan kemuliaan Tuhan sehingga menjadi nyata
kemuliaan-Nya, yaitu dengan mewujudkan Yang Maha Terpuji kepada diri
kemanusiaan-nya yang telah berserah diri secara ikhlas dalam setiap amal
perbuatan-nya. Itu pulalah sesungguhnya mengembalikan kepada fitrah diri
kemanusiaan-nya seperti persaksian di dalam syahadat-nya.
“....... maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga
(dari malaikat) di depan dan di belakangnya. Agar Dia mengetahui, bahwa rasul-rasul itu sungguh
telah menyampaikan risalah Tuhannya, sedangkan (ilmu-Nya) meliputi apa yang ada
pada mereka, dan
Dia menghitung segala sesuatu satu per satu”. (QS 72:27-28)
Dengan
memahami makna syahadat yang mengembalikan kepada fitrah kemanusiaan-nya
ini yang juga menyadari diri-nya pun sebagai rasul Allah, dan ternyata masih
perlu diawasi dalam menjalankan tugasnya oleh aparat-Nya (malaikat), maka
tentu ini akan membuat diri-nya berusaha menjaga dan mensucikan niat serta amal
perbuatan-nya yang berguna sebagai peredam gejolak pengakuan (ego) yang
amat mendominasi diri (jiwa) setiap insan kemanusiaan, selain karena diawasi
dan dicatat segala amal perbuatannya, juga agar tidak terjerumus
pada kesesatan, dan akan membawa jiwa kepada ketenangan dan ketentraman, serta
akan membuka pintu-pintu pemahaman lainnya sebagai rahmat petunjuk dari-Nya
sebagai karunia yang berguna bagi hidup dan kehidupan yang menuju pada keselamatan,
yaitu tidak ada rasa takut pada
diri-nya dan tidak pula bersedih hati.
Bab IX
SHALAT
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan
selain Aku,
maka sembahlah Aku dan laksanakanlah
shalat untuk
dzikir (mengingat) kepada-Ku.”
(QS 18:14)
K
|
ita sempat mengulas makna shalat pada bab-bab sebelumnya. Secara umum,
makna shalat adalah sebagai mengingat Tuhannya dengan melakukan ritual acara
pertemuan antara makhluk dengan Tuhannya. Yang hukumnya wajib dilakukan 5
(lima) kali dalam sehari, yaitu pada waktu terbit matahari (subuh), tengah hari (dzuhur), sore (ashar), tenggelam matahari (maghrib),
serta malam (isya).
Dan ada pula shalat-shalat
lainnya yang tak terbatas jumlahnya, dan merupakan tambahan, serta sunah
hukumnya atau yang tidak diwajibkan, maka waktunya disesuaikan dengan rasa
keinginan atau kebutuhannya. Akan tetapi ulasan bab ini hanya menitik beratkan
makna shalat, yaitu sebagai yang mengarahkan kemanusiaan kepada amal perbuatan
yang terpuji, dan yang mencerminkan atau merefleksikan shalatnya, sehingga
terciptalah jiwa-jiwa dengan akhlak yang
mulia lagi terpuji, sebagai fitrah kemanusiaannya yang membawa amanat
sebagai wakil-Nya yang mewujudkan sifat-sifat Allah dan sebagai khalifah di
muka bumi yang menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan
lil ‘aalamiiyn.
“...... Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih
besar.
Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak
yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang
yang shalat, (yaitu) orang yang lalai
terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan)
bantuan”. (QS 107:1-7)
Akan tetapi, setelah ayat-ayat
tersebut di atas direnungkan secara mendalam, maka maknanya semakin
khusus mengarah pada amal perbuatan yang menyentuh kepada orang lain, sebagai perwujudan
shalat-nya. Yaitu amal perbuatan yang merupakan rahmat dari Tuhannya kepada
sesama makhluk. Shalat sebagai pengingat dan penyadar bahwa
diri-nya adalah perwujudan dari Yang Maha Terpuji, Allahu raahmanur-rahiiym,
dan mengarahkan amal perbuatan yang terpuji, yaitu yang suka menolong
dan kasih sayang terhadap sesama makhluk Tuhan. Dan akan celaka, bila
shalat-nya tidak berwujud pada amal perbuatan terpuji seperti disebut ayat-ayat
di atas, yaitu amal perbuatan yang malah tidak terpuji, seperti tidak suka
menolong, perbuatan keji, dan merusak atau zhalim.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan
kepadamu dan laksanakanlah
shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir
(mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
Makna mengingat
pada ayat ini, adalah mengingat yang tiada putusnya (li dzikri) dengan
ikhlas berserah diri. Segala amal perbuatan yang diiringi ingat
kepada-Nya, tentu akan mensucikan dari kekotoran pengakuan (ego) dan
terhindar dari penyesatan dan kesesatan yang menjerumuskan diri kepada kecelakaan.
Ini-lah makna shalat-nya pun tetap mengiringi setiap gerak amal
perbuatannya, dalam setiap tarikkan dan helaan nafas-nya.
Bila sempat
terputus ingat (li dzikri)-nya, mohon ampunlah dengan mengucap istighfar sebagai penyambung kembali (wustha),
lanjutkan mengingat kembali sebagai yang dhaim terus berkelanjutan atau
abadi, dan bersyukurlah dengan mengucap syukur alhamdulillah sebagai tajali-nya.
Sehingga tiada ada waktu yang kosong tanpa mengingat-Nya, dalam segala
kegiatan, kecuali tidur. Dan bila telah terbiasa, maka di dalam tidurnya pun
hati atau kalbu-nya akan tetap bergerak mengingat-Nya. Perlu pula
diperhatikan kembali, bahwa gerak mengingat tersebut pun janganlah di-aku
oleh pengakuan (ego), melainkan adalah mengakui hanya karena diberi
anugerah kekuatan oleh-Nya untuk dapat mengingat. Sebab, disinilah dasar awal
iblis dalam usahanya membelokkan arah kepada penyesatan yang
menjerumuskan setiap diri kemanusiaan.
Dan dengan selalu mengingat
Allah, akan menyadarkan diri-nya, bahwa dengan mewujudkan kehendak-Nya menjadi kehendak-nya yang mewujud di alam sebagai
amal perbuatan-nya. Maka, itulah yang disebut manusia yang berketuhanan,
yang mewujudkan shalat-nya dalam setiap gerak amal perbuatan-nya.
Menjadikan kehendak-nya dengan mensucikan-nya, karena sebagai perwujudan
dari kehendak Dia sebagai Yang Maha Suci.
Juga sebagai bentuk telah berserah diri seutuhnya secara ikhlas bersatu
atau manunggal bersama Tuhannya dalam mewujudkan setiap kehendak-Nya di alam,
sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
“....sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
“.....
hanyalah
untuk (karena) Allah ......”, adalah ungkapan yang menunjuk
kepada kemurnian di hati-nya. Pada Dia-lah sesungguhnya segala sesuatu berasal,
dan segala sesuatu tersebut kembali menuju kepada-Nya. Maka segala sesuatu
tersebut haruslah murni (suci) dari kekotoran pengakuan (ego),
agar dapat kembali kepada pemilik sesungguhnya (yaitu Allah, pemilik segala
sesuatu dan Yang Maha Suci). Bila tidak, dan diaku oleh ego, maka akan kembali
menuju kepada yang mengaku, sebagai yang harus dipertanggung jawabkan.
Logikanya, jika telah dapat kembali kepada pemilik yang sesungguhnya, maka tiada
perlu lagi ada pertanggung jawaban.
Sah
shalat-nya bila suci pakaian, tempat, dan badan-nya. Pernyataan
ini mengandung dua makna kesucian. Yaitu suci dan bersih dari kekotoran
atau kenajisan baik nyata kelihatannya dan bathinnya. Suci nyatanya,
yaitu pakaian, tempat, dan badan yang telah dibersihkan sebelumnya sehingga
pantas dan layak, sehingga tidak mengganggu kemurnian shalat-nya dari
penglihatan, penciuman, pengucapan, rasa dan pikiran kepada pihak lain dan diri-nya
sendiri. Begitupun pada suci bathinnya, yaitu pakaian, tempat, dan badan
yang telah dibersihkan sebelumnya dari pengakuan (ego) yang merasa
memiliki dan menguasai baik pakaian, tempat, dan badan (tubuh)-nya. Dan bila sebelum
shalat-nya diwajibkan bersih (suci), maka setelah shalat-nya pun
diwajibkan bersih (suci) amal perbuatan-nya.
Shalat juga
adalah salah satu sarana mencapai kemurnian dalam berserah diri.
Shalat seharusnya dapat menjaga-nya tetap mengingat Tuhannya sebagai
bentuk kedisiplinan yang dapat mempengaruhi pola hidup-nya agar lurus
sesuai shalat-nya. Dan bukanlah sebagai orang yang melakukan shalat,
tetapi malah lalai terhadap
shalat-nya (QS 107:1-7).
Di dalam kehidupan,
terkadang ditemui kejadian-kejadian yang dapat menjadi pelajaran sebagai hikmah
dari Tuhan. Sekedar cerita, ketika seorang bapak sedang melakukan shalat
maghrib berjamaah bersama seluruh keluarganya, terdengar diluar, pagarnya yang
terkunci diketuk-ketuk orang. Dia tetap pada shalat-nya hingga selesai, dan
suara di luar sudah tak terdengar lagi. Beberapa hari kemudian, di waktu dan
keadaan yang sama, dalam shalat-nya, terdengar keras sekali diluar rumahnya,
“kebakaran...kebakaran...kebakaran...!!”. Maka dia-pun segera menghentikan
shalat-nya, dengan diikuti seluruh keluarganya, diapun bergegas keluar.
Ternyata tetangga di seberang rumahnya mengalami kebakaran, untungnya api masih
kecil dan banyak orang membantu, tidak ketinggalan dia bersama keluarganya ikut
membantu. Sampai api tersebut akhirnya dapat dipadamkan, dan merekapun kembali
pulang ke rumahnya. Sambil menutup pintu, ketika semua keluarganya telah masuk,
dia bergumam, “haram hukumnya, bila kita tadi tidak segera menghentikan
shalat kita, untuk membantu memadamkan api”.
Besoknya, dia mengetahui ada
tetangganya yang meninggal dunia. Ketika dia datang melayat, dan mendengar dari
pelayat lainnya, bahwa istri dari yang meninggal dunia tersebut, sempat
mengetuk-ngetuk pintu pagar rumah-nya untuk meminta pertolongan dengan
kendaraan miliknya agar dapat membawa ke rumah sakit, sebelum meninggal. Maka
lemaslah seluruh tubuhnya, karena rasa bersalah menyelimuti-nya.
“......... Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya,
yang
berbuat riya, dan enggan (memberikan)
bantuan”. (QS 107:1-7)
Dia merasa telah lalai
dari bunyi ketukan yang dianggap sebagai suatu hal yang sepele, ternyata
adalah hal yang sangat penting bagi tetangganya tersebut. Yang dia
sesali adalah kepekaan yang tidak segera disambut dengan gerak reaksi
dari-nya. Penyesalannya tersebut pun telah membuka dada-nya semakin lebar untuk
menerima hikmah sebagai petunjuk dari Tuhannya. Insya Allah, penyesalan-nya
akan diterima Allah dan kembali kepada diri-nya dalam bentuk ampunan
dari-Nya.
“...... dan dirikanlah shalalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu
lebih besar. Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
Begitu pentingnya memahami
makna shalat dan dzikir (mengingat Allah), sehingga menghindarkan diri kita
termasuk golongan celaka sekalipun tidak pernah lepas dari ibadah
shalatnya. Golongan yang celaka adalah mereka yang tetap melakukan shalat
sebagai ibadah kepada Tuhannya, tetapi tetap pada perilaku atau amal perbuatan
yang mengingkari Allah. Shalat untuk mengingat, bukan hanya sekedar
kewajiban apalagi mengingkari atau melupakan, mengingat agar dirinya selalu
tetap berada pada jalan lurus-Nya.
“Wahai orang yang beriman ! Janganlah kamu
mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar (mengerti) apa yang kamu ucapkan......” (QS 4:43)
Ayat di atas
menjelaskan, bahwa diri kita dilarang melaksanakan shalat bila dalam keadaan mabuk.
Maka pikirkan dan renungkanlah, bagaimana kepada diri-diri yang sedang
mengalami mabuk kehidupan dunia? Apakah itu mereka yang sedang dimabuk
cinta-asmara, mabuk kekuasaan, mabuk harta, dan lain sebagainya.
Apakah hal tersebut menjadi
berhubungan maknanya, bila kemudian kita pahami pula pada penjelasan ayat
berikut di bawah ini,
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah
yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang
shalat, (yaitu) orang yang
lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan
(memberikan) bantuan.” (QS 107:1-7)
Allah mengecam pula mereka yang
shalat tapi tak mengerti apa-apa yang telah diucapkannya di dalam
shalat, sebagai kelalaiannya, sehingga masih saja tergoda melakukan amal
perbuatan yang telah diketahuinya dilarang Tuhannya. Diri yang seperti itu,
sebenarnya pun, dalam keadaan mabuk, yaitu mabuk kehidupan atau
perhiasan dunia. Mabuk kepada hal-hal yang merugikan, menyakiti atau mendzalimi
orang lain, atau sesungguhnya malah menyakiti atau mendzalimi, bahkan merugikan
dirinya sendiri. Jika demikian, maka larangan mengerjakan shalat seharusnya pun
dikenakan kepadanya. Sebagai pula perbuatan yang mendustakan agama, yaitu
ajaran lurus dari Tuhannya.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan
diminta pertanggung jawaban.” (QS 17:36)
Bukan hanya sekedar
menyadari, mendengar, melihat, mengucap, serta mencium yang semua itu adalah
anugerah pemberian Tuhannya, melainkan pula dengan kepekaan-nya untuk
menanggapi atau bereaksi yang sesuai dengan shalat (ingat)-nya agar
tidak timbul penyesalan di hari kemudian, sebagai kelalaian-nya.
Jadi makna lalai yang dimaksud
Allah adalah menjadi tidak bermanfaatnya shalat (sebagai ibadah ritual
kepada-Nya) bagi kehidupan, akibat kebodohannya. Ya, orang yang tidak ingat
adalah orang yang kehilangan kepekaan keasadarannya, layaknya orang yang
linglung dan bodoh. Apalagi yang tidak mau menggunakan akal pikirannya dalam
memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya.
“Dan ingatlah Tuhan-mu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa
takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu
termasuk orang-orang yang lalai”. (QS 107:1-7)
Mengingat
Tuhan yang tiada putus, sebagai wujud yang penuh dengan Keagungan dan
Kemuliaan serta mewujud di alam kepada setiap diri insan kemanusiaan sebagai
perwujudan dari Yang Maha Terpuji. Maka, dengan selalu menyadari dan
mengingat-Nya adalah “hal utama” yang dapat
membuat hati menjadi hidup oleh hidayah (petunjuk)-Nya, sehat
oleh karena selalu mensucikan-nya dari pegakuan (ego)-nya, dan peka
terhadap kehidupan karena merasa rendah hati dan takut akan
mengalami penyesalan akibat tersesat oleh ego-nya sendiri,
sebagai kelalaian-nya.
“....... Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar. Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
Bab X
PUASA
“.... Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
(QS 2:184)
P
|
uasa memiliki makna serta manfaat yang
beragam, diantaranya dari beberapa
aspek, seperti aspek kesehatan, aspek kejiwaan, dan aspek kehidupan sosial
sampai pada kehidupan ekonomi. Bagi kesehatan, puasa adalah menahan lapar dan
haus, untuk pembersihan pada sisa-sisa makanan di dalam pencernaan, untuk
pembakaran lemak berlebih, juga sebagai waktu istirahat beberapa organ tubuh.
Pada aspek kejiwaan, puasa
melatih kedisiplinan, kesabaran, menekan hawa keinginan, dan lain-lainnya yang
merupakan pengelolaan hati atau jiwa kedalam ketenangan dan ketentraman.
Sedangkan pada aspek kehidupan sosial, puasa dapat menumbuh-timbulkan rasa
peka atau kepedulian terhadap sesama dan rasa kebersamaan. Selain
itu, dari semua aspek diatas yang dapat disimpulkan, memiliki makna kearah penekanan
atau pengurangan dari kebiasaan sebelum-belumnya, maka secara ekonomi
seharusnya, puasa adalah wujud penghematan. Apalagi bila pada
waktu bulan Ramadhan, sebagai kewajiban satu bulan penuh, maka seharusnya dampaknya
akan lebih terasa bagi tubuh dan jiwa.
Namun pada kenyataannya malah
terbalik, justru pada bulan Ramadhan-lah, semua harga kebutuhan melonjak naik,
orang sibuk mencari kerja tambahan untuk mendapatkan penghasilan lebih, dan
aksi kriminalitas pun ikut meningkat. Apakah ini yang dimaksud Nabi Muhammad
rasulullaah SAW dengan, “(pada saatnya
nanti) puasa hanya meninggalkan haus dan lapar”? Energi-nya
menjadi hilang dengan percuma tanpa menghasilkan makna apa-apa, dan jangankan pahala
dari Tuhannya, malah akan menjadi beban yang tetap harus dipertanggung
jawabkan, kelak.
Ibarat
petani yang menanam di ladang atau kebunnya, tetapi tak ada tanamannya yang menghasilkan
buah. Kemanakah kemudian tanaman itu dimanfaatkan? Tentu, digunakan sebagai kayu
bakar, yang sebagai bahan bakar memasak bagi keluarganya, paling
tidak masih ada manfaat dari-nya. Perhatikan ayat berikut untuk direnungkan
maknanya.
“Dan adapun yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi bahan
bakar
bagi neraka jahanam”. (QS 72:15)
Padahal,
puasa di bulan Ramadhan yang dimaksudkan Allah, sesunggguhnya adalah sebagai
sarana pelatihan dan penggemblengan pembentukan disiplin
jiwa-jiwa yang kuat, serta baik bagi kesehatan tubuh atau jasad. Sehingga
terbentuklah insan kemanusiaan yang kuat siap tubuh, mental dan jiwa-nya, serta
terpuji dan mulia akhlak-nya sebagai perwujudan dari Yang Maha Terpuji dan Maha
Mulia.
Bagaimana mungkin dapat
terwujud sesuai dengan kehendak-Nya, bila dalam latihannya saja, suasananya
bukan lagi pada penekanan, pengurangan, dan penghematan. Malah
sebaliknya, kebutuhan pokok malah meningkat tajam, menyebabkan meningkatnya
kebutuhan lainnya yang secara ilmu ekonomi adalah disebut sebagai pemborosan
yang menyebabkan masalah-masalah sosial baru yang dapat juga dipolitisir secara
tidak bertanggung jawab oleh pihak-pihak yang hendak mengambil keuntungan dari
keadaan seperti ini, dimana waktunya telah tertentu disetiap bulan Ramadhan.
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.” (QS 2:183)
Maka suasana
seperti ini tidak lagi mendukung pembentukan jiwa-jiwa seperti yang dikehendaki
Allah. Tabungan hasil kerja payah selama sebelas bulan ternyata habis untuk
satu bulan di bulan Ramadhan. Belum lagi, energi yang dikeluarkan untuk pulang
mudik. Sebenarnya bukan kepada sekedar hilangnya seluruh energi atau tabungan
tersebut yang menjadi keprihatinan, akan tetapi juga, kepada makna kehidupan
dan keberserahan diri-nya kepada yang seharusnya pun menjadi terbelokkan,
ternyata hanya sebatas ‘wah’-nya suasana di bulan puasa dan suasana saat
mudik. Kembali kepada fitrah lebih diartikan dengan mudik dengan atribut
yang ‘wah’, sebagai lambang kesuksesan diri-nya. Kembali, pengakuan
(ego)-nya yang menjadi momok atau biang kerok terjerumusnya insan
kemanusiaan kepada kesesatan.
Budaya-nya yang ternyata
selaras dengan pengakuan (ego)-nya telah ikut membentuk dan mempengaruhi
jiwa-nya secara lebih dominan ikut membelokkan arah jalan lurus yang telah
ditetapkan, melunturkan ingatan kepada-Nya, serta mengotori kesucian
niat dan amal perbuatan, sehingga keikhlasan hanya sebatas
pengakuan (ego) diri dan keluarga-nya saja. Riya, atas nama tuntutan budaya
mudik, dan ini adalah hal yang dapat melunturkan nilai-nilai religius puasa
Ramadhan itu sendiri.
“Mereka itulah
orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa
dengan ampunan. Maka alangkah beraninya
mereka menentang api neraka.” (QS 2:175)
Hal ini
semakin berbahaya, karena jelas mempengaruhi kepada pola hidup kehidupan
sebelas bulan berikutnya setelah Hari Raya. Tentu, bila tidak segera mengokohkan
keimanan pada Tuhannya sebagai arah tujuan keikhlasan termasuk pada puasa-nya,
pada malaikat atau aparat-Nya yang sebagai penggerak dan pencatat
niat serta amal perbuatan, pada kerasulan-nya sebagai yang saling
menyampaikan rahmat petunjuk-Nya dan sebagai teladan, pada kitab-Nya
sebagai yang telah diwariskan dan harus dinyatakan atau diamalkan, pada hari
akhir dan hari kemudian-Nya sebagai hari diri-nya menuai
apa yang ditanam sebelumnya, serta pada kadar baik dan buruk-nya sebagai
sesuatu yang pasti akan diterima-nya. Yang kesemuanya tersebut merupakan
sebagai yang membawa jiwa-nya kepada keselamatan hidup yang sehat, tenang,
tentram dan damai.
Lihat dan
rasakan sendiri kehidupan yang terjadi sekarang ini, serba menjadi mahal dan
tidak sehat. Dan hal ini disebabkan pola melatih diri atau jiwa yang salah
melalui puasa yang seharusnya dapat mengekang hawa nafsu keinginan jiwa yang
berlebihan. Akibatnya pun meluas kepada aspek-aspek kehidupan lainnya, karena
jiwa yang tak mudah lagi dikendalikan, bahkan kepada pelemahan keimanan, dan
semakin membuat jauh kedalam kesesatan.
Memang
kehidupan di bulan Ramadhan menjadi lebih semarak, akan tetapi orientasinya
hanyalah materi, dan pandangan kepada akhiratnya menjadi tertutup karena
terbawa tuntutan. Banyak mereka yang rela berbuat apapun tanpa batas, hanya
demi materi menghadapi bulan puasa dan lebarannya. Norma-norma agama yang mengarahkan
jalan lurus pun dilanggarnya, tidak lagi ingat kepada
Tuhannya, dan lebih berani mengotori jiwanya ketimbang mensucikannya.
Dan hilanglah keberserahan diri (islam)-nya sebagai makhluk kepada Tuhan
yang sesungguhnya menguasai hidup dan kehidupan, Allaahu
Rabbul ‘Aalamiiyn. Semua hanya karena tuntutan kebutuhan yang telah
membudaya di negri ini. Maka janganlah heran bila KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) banyak menjerat para pejabat negri ini. Bayangkan jika KPK pun
menangani kasus-kasus korupsi yang kecil-kecil, bukan tak mungkin sebagian
warganegara negri ini akan terjerat. Itupun bila penjaranya cukup.
Jika Puasa
saja, sebagai yang seharusnya melatih jiwa agar dapat mengekang hawa nafsu
diri-diri kemanusiaan, tetapi malah berbelok arah tujuannya, maka dengan apa
lagi untuk memperbaiki keadaan ini? Apapun kesulitannya, tetaplah keadaan ini
harus segera diperbaiki, terutama menggugah kesadaran setiap diri
kemanusiaan untuk mengembalikan Puasa Ramadhan kepada makna dan tujuan
utamanya sebagai pelatihan jiwa-jiwa dalam pengekangan hawa nafsunya. Tidak
lain pula pengkokohan keimanan kembali, dan selalu menjaga kesadaran
dengan ingat kepada Tuhannya adalah sebagai dasar pijakan melangkah
untuk dapat memperbaiki keadaan ini.
Akan jauh
lebih penting memperbaiki keadaan dibanding menjerat atau menghukum, karena
dengan memperbaiki keadaan adalah menciptakan kondisi yang sehat dalam jangka
panjang kehidupan bersama. Paling tidak, beberapa generasi akan terbaiki. Dan
adalah diri-diri kita sebagai yang memiliki andil dan tanggung jawab memikul
tugas tersebut, demi kehidupan sehat anak cucu kita sebagai pelaku generasi
mendatang.
Sungguh, jika ini dibiarkan
akan menjadi preseden yang buruk bagi generasi-generasi selanjutnya, yang akan
semakin mengikis makna melatih pengekangan hawa nafsu melalui ibadah
puasa. Apa yang terjadi selanjutnya adalah, kita malah menurunkan generasi yang
bermental lembek dan tidak tahan banting, yang terus hanyut menuruti hawa
nafsunya. Maka kehancuran umat-lah yang akan terjadi di masa kemudian. Masa
kemudian adalah masa-masa bagi anak cucu keturunan kita sendiri. Maka adalah
menjadi tanggung jawab diri-diri kita sebagai penentu hari esok.
“Dan sungguh akan Kami beri cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu)
orang-orang yang bila ditimpa musibah mengucapkan: segala sesuatu
datangnya dari Allah dan kembali pula kepada-Nya. Mereka itulah yang mendapat
keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS 2:155-157)
Ayat di atas
menjelaskan, bahwa Allah akan memberi cobaan diantaranya ketakutan, kelaparan
dan kekurangan harta. Maka bagaimana diri-diri kita dapat melaluinya, bila
sekarang saja dudah tidak ada kepedulian pada masalah-masalah tersebut yang
seharusnya telah dapat dibendung melalui latihan puasa.
Dan
sadarilah, lihatlah bagaimana ketakutan, kelaparan dan kekurangan harta malah telah
jadi sebagai yang mencengkeram masyarakat kita. Seperti yang telah kita lihat
dan ketahui, pada momen-momen tertentu, pembagian sedekah atau zakat yang
dihadiri dan dikerubuti orang yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan, tanpa
koordinasi yang baik, sehingga menimbulkan kecelakaan, ada yang terinjak-injak,
terhimpit, dan pingsan demi uang yang tak seberapa, bahkan mungkin akan habis
dalam sehari itu juga, tapi lihatlah perjuangan mereka.
Kemudian pada setiap masa-masa
pemilihan pemimpin daerah atau Pemilu, tidak jarang yang memakai politik uang
kepada masyarakatnya. Dan mereka, sebagai objeknya, berani mempertaruhkan lima
tahun kehidupannya kedepan, hanya demi uang yang tak seberapa, dan akan habis
dibelanjakan dalam satu hari itu juga. Tidak lagi berpikir pada memperbaiki
kehidupan jangka panjang.
“Mereka
itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa
dengan ampunan. Maka alangkah beraninya
mereka menentang api neraka.” (QS 2:175)
Mereka sebagai objek, dan para
pemberi zakat atau calon pemimpin yang membagi-bagikan uang adalah sama-sama
yang memprihatinkan. Kedua hal yang menyayat hati tersebut di atas,
merupakan indikasi betapa negri ini tengah mengalami krisis moralitas, tidak
lagi perduli kehidupan masa depan, hanyalah demi kepentingan sesaat. Bukan lagi
merupakan kehidupan yang sehat, dan sangatlah jauh dari nilai-nilai fitrah
kemanusiaan seperti yang dikehendaki Allah SWT. Sampai kapan hal ini akan
terus berlangsung bila kita segera mengambil sikap? Seakan tidak ingat lagi
kepada amanat yang diembannya sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna, dan
sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang mewujudkan sifat-sifat Tuhannya yang
merupakan rahmat bagi semesta alam.
“.....
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka merubah keaadaan yang ada pada diri mereka sendiri,....” (QS 13:11)
Bila juga
tidak segera kembali kepada agama,
secara murni atau ikhlas menerima dan menjalankan segala niat
dan amal perbuatan secara lurus sesuai fitrah yang telah ditetapkan-Nya, secara
murni atau ikhlas selalu dalam kesadaran atau mengingat
kepada-Nya yang tiada putus, serta secara murni atau ikhlas
menghilangkan segala bentuk pengakuan (ego)-nya dalam setiap niat dan
amal perbuatan hanya karena dan akan kembali kepada-Nya.
Sekali lagi, seharusnya, puasa
adalah sebagai sarana pelatihan dan penggemblengan kepada
pengendalian serta pembentukan kedisiplinan jiwa agar dapat mencapai kesadaran
penuh pada keutamaan kemurnian atau keikhlasan berserah diri
dalam shalat-nya, ibadah-nya, hidup-nya, dan mati-nya
adalah
karena dan untuk Allah semata. Sebagai perwujudan di alam dari Dia Yang Maha Terpuji dan
Mulia melalui insan kemanusiaan yang saling menebarkan rahmat-Nya kepada sesama
sesuai fitrah-nya, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Bab XI
ZAKAT
“Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja
yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
(QS 3:92)
A
|
da sebuah cerita yang membuat tercengang, ketika seorang tamu
bertanya, “bagaimana keadaanmu?”. Sang tuan rumahpun menjawab, “al-hamdulillah, jika aku memperoleh rezeki
maka aku makan, dan jika tidak, aku bersabar”. Maka si tamu-pun kembali
menyambung dengan berkomentar, “begitulah
anjing-anjing yang ada di kampung kami. Tetapi lain halnya dengan orang-orang
di sana, jika memperoleh rezeki dari Tuhannya dibagikannya kepada yang butuh,
dan bila tidak memperoleh rezeki, mereka bersyukur”.
Zakat adalah pensucian,
maknanya akan jadi berbeda bila diartikan sebagai penyucian atau pencucian.
Pensucian lebih kepada pembersihan bathin, yang tak kelihatan, yaitu
jiwa-nya. Sedangkan penyucian atau pencucian jelas nyata kelihatan dan lebih
menunjuk kepada adanya kekotoran terlebih dahulu, barulah kemudian dibersihkan.
Pembersihannya pun lebih condong kepada materi. Bukanlah harta yang
sesungguhnya dibersihkan atau disucikan dalam berzakat, melainkan jiwa-nya. Ya,
jiwa-lah yang sesungguhnya menerima anugerah harta-benda, bagaimanapun
cara-cara dalam mendapatkannya. Hanya saja yang dikeluarkannya atau dalam
menunaikannya haruslah dengan kelebihan harta atau materi yang dimilikinya
sebagai bentuk kepeduliannya kepada yang lemah dan berkekurangan.
“.....sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Makna
pensucian lebih kepada bathin, adalah memurnikan secara ikhlas
(bathin) segala niat yang merupakan anugerah yang diberikan Allah,
sebelum dikeluarkan dalam bentuk gerak amal perbuatan yang juga
merupakan anugerah-Nya, dari kekotoran hawa nafsu pengakuan (ego)
sebagai penyebab utama segala bentuk penyesatan dari jalan lurus-Nya. Jadi
suci-nya niat dan amal perbuatan yang sedari awal, jelas ini
adalah tindakan menghindari penyakit. Bukan setelahnya, barulah kemudian
disucikan akibat adanya kekotoran.
Sedangkan makna penyucian atau
pencucian, lebih kepada ada terlebih dahulu kekotoran atau kecacatan
yang melekat pada niat dan amal perbuatan, maka barulah dibersihkan. Dan
ini adalah tindakan mengobati penyakit. Itulah perbedaannya. Disini,
dosa telah ada, maka merasa perlu untuk disucikan.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah
dengan ikhlas semata-mata
karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan mensucikan (apa-apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan
yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Segala sesuatu, amal perbuatan
baik atau buruk, sekecil atau seringan apapun, memiliki akibat (ganjaran). Dan
itu adalah ketetapan-Nya sebagai yang mutlak dari Yang Maha Adil. Selain
itupun, Dia adalah Maha Bijaksana, maka Dia-pun mengingatkan dengan
petunjuk-petunjuk, kitab, dan nasehat-nasehat, bahkan dengan kesulitan atau
kesempitan, yaitu, berhentilah memperbanyak hutang dosa dan mulailah
dengan sebanyak-banyaknya menabung kebaikan (pahala).
“Tahukah kamu (perbuatan)
yang mendustakan agama? Maka itulah
yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya,
yang berbuat
riya, dan enggan(
memberikan) bantuan.” (QS 107:1-7)
Kebanyakan
kita telah salah memahami, bahwa mensucikan-nya hanya dengan membayar
zakat-nya, dan zakat pun dimaknai dengan harta-benda. Padahal, inti maknanya
adalah mensucikan, salah satunya adalah membayar sebagai
cara bagi yang ‘terlambat’ mensucikan anugerah Tuhannya, sehingga
kekotoran masuk mencemari anugerah tersebut. Disucikan karena ada kekotoran,
ada yang dengan membayar-nya dengan uang (zakat, sedekah dan infak),
fidiyah (memberi makan orang miskin), ataupun puasa.
Bila diri telah melaksanakan
perintah-Nya, dan menjalankan agama dengan ikhlas (QS 98:5), serta tidak pula dikotori oleh perbuatan yang
mendustakan agama (QS 107:1-7), maka tidak ada lagi tindakan membersihkan
(penyucian atau pencucian), melainkan karena diri-nya telah selalu mensucikan
atau menghindari kekotoran dengan cara berlaku lurus, mengingat-Nya yang tiada
putus, mensucikan segala anugerah-Nya, serta pada perbuatan seperti mengayomi anak yatim, mendorong memberi makan orang miskin,
hilangnya pengakuan (ego), dan mudah dalam memberikan
bantuan kepada sesama, serta banyak amal perbuatan baik lainnya yang
berupa kebajikan yang dapat dilakukan secara murni dan ikhlas. Menunaikan
zakat-nya tidak lagi karena terlambat, tetapi karena kepekaan
kesadaran-nya telah semakin tajam terhadap sekitarnya.
“Yang menafkahkan hartanya untuk membersihkan, dan tidak ada seorangpun
memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya, tetepi karena mencari keridhaan Tuhannya yang
Maha Tinggi. Dan niscaya dia akan mendapat kesenangan sejati”. (QS
92:18-21)
Kehidupan ini adalah merupakan lanjutan kehidupan
sebelumnya, serta amat sangat mempengaruhi pada kehidupan selanjutnya. Hari ini
adalah karena hari kemarin, dan hari ini menjadi penentu hari esok. Begitu
seterusnya baik dilihat ke belakang maupun dilihat ke depan sampai kepada kematian,
maka beruntunglah
mereka yang mensucikan
jiwa-nya, dan merugilah mereka yang mengotori jiwa-nya (QS 91:7-10).
Dan kematian pun, sebagai akhir hidup,
terus belanjut mengalami suatu fase penantian untuk dibangkitkan kembali
menjalani kehidupan selanjutnya dengan membawa beban dosa atau nikmat
pahala sebagai akibat bawaan perbuatan sebelum kematiannya. Dan itu terus
berulang sebagai siklus hidup-mati (kebangkitan) sebagai pembersihan (suci)
jiwa untuk mencapai kesempurnaan sejati, sebagai syarat mutlak agar dapat kembali pulang
kepada yang Maha Tunggal.
“..... Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada
mereka, (bahwa mereka akan mendapat)
siksa yang pedih.” (QS 9:34)
Diri-diri
yang masih kuat melekat pengakuan (ego)-nya, yang gemar mengumpulkan
harta-benda, dan yang mengikuti hawa nafsu ego-nya dengan menumpuk harta benda karena
takut akan kekurangan, kelaparan, dan kesulitan pada hidupnya dikemudian hari.
Mereka adalah seperti seorang yang mengalami obesitas (kegemukan),
tubuhnya dipenuhi lemak (cadangan sumber makanan) yang justru membahayakan
hidup-nya, menghalangi kelancaran aliran darah dan sirkulasi pernafasannya,
yang malah merupakan sebagai penyebab banyak penyakit yang siap menggerogoti
tubuh-nya. Sebagai yang akan menyulitkan diri-nya sendiri. Juga tak enak
dipandang oleh pihak lain atau sedikit mengganggu.
“Adakah
orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
adalah kebenaran, (maka) sama dengan orang buta (mengetahui)? Hanya orang-orang yang
berakal sajalah yang dapat mengambil pelajaran.” (QS 13:19)
Bukan
mereka tak menyadari, akan tetapi pengakuan (ego)-nya telah kuat mendominasi
dan mengalahkan pemahaman akal di hatinya, bahkan petunjuk-petunjuk dari
Tuhannya yang merupakan suatu kebenaran yang mutlak sebagai kebenaran sejati.
Harta bendanya sungguh akan menjadi sumber penyakit yang mengundang
bermacam-macam keburukan. Selain membuat silau pandangan pihak lain, melainkan
pula banyak timbulnya pengaruh buruk pada kejiwaan-nya sendiri dan keluarga.
“Dan
barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia, niscaya di akhirat akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan
(kebenaran).” (QS 17:72)
Rasa
takut dan keresahan akan kehilangan jelas pasti meliputi dan menghantui-nya. Keserakahan
atau tamak, kesombongan dan riya pun akan mengiringi. Belum lagi, salah dalam
pengelolaan, menggunakan dan memanfaatkannya kepada jalan yang sesat dan
semakin menyesatkan jiwa-nya. Pola hidup diri dan keluarganya akan banyak
berubah dan semakin terjerumus lebih dalam tanpa disadarinya. Dan hanya
kepada-Nya sesungguhnya arah tujuan tempat-nya kembali.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya.
Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan
melihat
(balasan)-nya.” (QS 99:7-8)
Segala sesuatu, sekecil apapun
akan terbalas sebagai ketetapan (sunathullah) dari Tuhannya yang adil
dan bijaksana. Itulah makna neraka dan surganya yang merupakan suasana rasa
bathin. Sedangkan suasana tempat atau alam tidaklah penting,
dengan segala kemewahan ataupun serba keterbatasan, tetaplah rasa bathin
yang merasakan. Sekalipun segala kemewahan merupakan balasan pula, tidak
menjamin bathinnya telah terbebas dari rasa kesulitan, kekurangan,
kesengsaraan, maupun dosa. Karena mereka melanjutkan kehidupan tersebut masih
dalam suasana pembersihan atau
penyucian jiwa.
Itulah bahayanya pengakuan
(ego) terhadap apa-apa yang ternyata hanyalah titipan atau amanah yang
dianugerahkan kepadanya untuk dikelola dengan baik dan benar, serta tidak untuk
diakui kepemilikannya. Bahkan kepada jasad, jiwa, serta ruh yang ternyata milik
Allah, tidak untuk diakui sebagai miliknya sendiri. Apalagi kepada harta benda,
perhiasan, kendaraan, anak-istri, ladang pekerjaan, perniagaan, kekuasaan, dan
lain sebagainya yang dianugerahkan kepadanya.
“...... dan orang-orang yang dalam hartanya menyiapkan
bagian tertentu, bagi orang-orang yang meminta dan yang tidak
meminta, dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang
takut azab Tuhannya, sesungguhnya terhadap azab Tuhan mereka, tidak ada seorangpun
yang merasa aman”. (QS 70:24-28)
Harta-benda, yang dipandang dan
menjadi ukuran sebagai salah satu hasil atau wujud dari jerih payah usaha atau
amal perbuatan setiap diri insan kemanusiaan. Akan tetapi yang perlu disucikan
tidak hanya itu, melainkan pula tenaga atau kekuatan yang menggerakkan (daya)-nya,
niat atau rencana yang masih bathin (karsa)-nya, kemudian upayanya yang
menghasilkan (cipta)-nya. Yang sesungguhnya, kesemuanya tersebut, adalah
anugerah dari Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang.
Makna zakat takkan berarti
apa-apa, dan takkan menyentuh hati, bila di dalam bathinnya tiada kepekaan
kesadaran hatinya, bahwa segala sesuatu selalu berhubungan dan memiliki sebab
akibat, sekecil apapun segala sesuatu tersebut. Baik itu amal perbuatannya,
apa-apa yang ditahan hatinya, dan sekalipun baru berupa niat. Karena ketiganya
tersebut pun memancarkan energi, atau telah mengeluarkan energi-nya, dan itulah
yang diketahui oleh-Nya sebagai Yang Maha Mengetahui.
Kepekaan kesadaran jiwanya
terhadap sekitarnya, dan pengaruh diri-nya terhadap kehidupan sekitarnya pun
sebagai ikut berperan dalam kehidupan bersama yang menciptakan saling berbagi
merasakan rahmat Tuhan bersama dengan sesamanya. Besar kecilnya apa-apa yang
dikeluarkannya sebagai wujud syukurnya adalah sebanding dengan apa-apa
yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya. Serta apa-apa yang dimilikinya
sebagai anugerah Tuhannya tersebut adalah juga sebagiannya merupakan hak para
fakir-miskin, anak-anak yatim, mereka yang lemah dan dalam kesulitan.
Yang dituju dari zakat ini
adalah kebersihan diri atau jiwa dengan kepekaan kesadaran-nya
untuk selalu berbagi rahmat Tuhannya kepada sesamanya, terutama
memberikan bantuan kepada yang berkekurangan, yang membutuhkan, dan yang lemah
tak berdaya. Menafkahkan sebagian rezeki yang dimiliki sesuai jalan lurus-Nya,
tidak akan mengurangi atau menghilangkan apa-apa yang dimilikinya tersebut.
Tidak ada kerugian pada jalan lurus-Nya tersebut. Ibarat memberikan
uangnya kepada Bank untuk ditabung, uangnya memang tidak dipegangnya
lagi akan tetapi kepemilikannya akan tercatat, dan bila suatu waktu diperlukan
akan kembali kepadanya.
Dan
yang perlu di-garisbawahi zakat, infak dan sedekah, adalah termasuk
dalam menafkahkan sebagian rezeki yang diterima dari Tuhannya.
Pengertian atau makna menafkahkan adalah menginvestasikan, dan
investasi dengan Allah dijamin takkan merugi, bahkan keuntungan yang akan
didapatnya berlipat ganda, sampai 700 kali lipat. Tentu dengan rasa ikhlas
dalam menginvestasikan-nya hanya di jalan-Nya yang lurus. Bank manakah
yang berani memberikan bunga sampai 700 kali lipat nilai investasi?
“Perumpamaan
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa
dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir ada seratus butir biji. Allah melipat gandakan bagi siapa
yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS 2:261)
Keuntungan berlipat ganda
tersebut barulah dalam bentuk materi, Allah pun memberikan keuntungan lainnya
yang dalam bentuk rasa bathin yang pasti tidak kalah luar biasanya. Maka
diri-diri kita sendirilah yang dapat melukiskan rasa-nya tersebut. Itulah surga
dunia-nya. Bila jalan lurus-Nya ini telah memasyarakat, bayangkanlah. Akan
tercipta kehidupan bersama yang sehat dan murah, itulah wujud berserah diri
(islam) yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Tetapi hal ini akan terasa nyata kebenaran manfaat-nya oleh mereka yang telah
kokoh keimanan-nya.
Tiada
sesuatu pun yang lepas dari kuasa dan kehendak-Nya. Selama jiwa masih
dilekati oleh kekotoran sekecil apapun, maka tetaplah dia harus melanjutkan
kehidupannya untuk disucikan. Maka dia mengalami neraka sekaligus
surga-nya dalam kehidupan di hari kemudian. Itulah balasan dari yang Maha
Adil lagi Bijaksana. Yang tidak dikurangi atau dilebihkan sedikitpun apa-apa
yang harus diterima sebagai buah dari amal perbuatan sebelumnya dari setiap
diri, apakah itu amal perbuatan baiknya maupun amal perbuatan buruknya.
“.....sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Sebaliknya, bagi yang telah
sadar diri atau jiwa-nya, dan yang berusaha memurnikan amal
perbuatannya, suci dari segala macam pengakuan (ego), dan tetap menjaga
kesadaran (ingat)-nya pada diri yang sesungguhnya adalah kefanaan, hampa,
kosong, dan bukanlah siapa-siapa bila tanpa gerak para penyampai, yaitu
aparat Allah atau malaikat dan rasul-Nya, petunjuk melalui kitab-Nya, menyadari
hari akhir dan hari kemudian-Nya sebagai waktu menuai segala amal
perbuatan sebelumnya, serta baik dan buruk sebagai yang harus dapat
diterimanya, maka tiada lagi dia berharap kelak mendapatkan surga dan tiada
pula resah terhadap ketakutannya akan mendapatkan neraka. Diri-nya merasa hanya
menjalankankan apa adanya, sesuai dengan perintah dari dalam kalbu-nya yang
paling dalam, yang tanpa beban, serta penuh kedamaian dan ketentraman yang
sejati.
“.... Barangsiapa menyerahkan
diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih hati.” (QS 2:112)
Bab XII
HAJJI
(bila mampu)
“Dan
serulah setiap diri kemanusiaan untuk mengerjakan hajji, niscaya mereka akan
datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari
segenap penjuru yang jauh,”
(QS 22:27)
I
|
badah hajji adalah merupakan tahap puncaknya
pelatihan dalam mencapai keberserah dirian (islam). Ini disebut sebagai
puncaknya pelatihan, sebab, selain sebagai rukun berserah diri (islam)
yang terakhir, juga, ibadah hajji ini ditutup dengan ber-qurban sebagai
lambang kemurnian (keikhlasan) berserah diri atau islam.
Sekarang ini, untuk melakukan
ibadah hajji semakin terasa berat dan sulit. Tidak semudah sebelumnya, tidak
dibatasi kuota bagi masing-masing negara. Di negara kita, harus mengantri (indent),
menunggu giliran hingga tiga tahun lamanya. Bila yang punya duit saja masih
diberi kesulitan, apalagi yang belum punya biaya tetapi berharap bisa melaksanakannya
di suatu waktu. Allah Maha Tahu, hanya Dia-lah yang akan memudahkan bila tiba
waktunya untuk dapat mampu melaksanakan ibadah hajji, sebagai panggilan
dari-Nya.
Kemampuan-nya adalah karena
diberi kemampuan yang diberikan Allah, juga adalah anugerah yang tetap perlu
dipertanggung jawabkan, kelak. Kehendak serta ketetapan-Nya (sunathullah)
meliputi segala sesuatu, termasuk anugerah dan karunia-Nya kepada setiap diri.
Dan pada ibadah ini, yang bermakna luas sebagai pembelajaran diri
agar dapat membaur serta berintraksi secara sehat bersama keragaman-keragaman
yang terdapat di alam, yang pasti ditemui-nya dalam kehidupan nyata
sehari-hari.
Kemampuan berinteraksi dan beradaptasi
tanpa keluar atau menyimpang dari arah jalan lurus-Nya, bersama-sama saling
menebarkan kebaikan yang merupakan rahmat karunia dari Tuhannya Yang Raahman
dan Rahiim. Menyadari alam yang penuh keragaman akan makhluk-makhluk
ciptaan-Nya, yang sesungguhnya pula sebagai perwujudan Dia yang Akbar, sebagai
yang bersama-sama ikut pula mengabdi seperti diri-nya, dengan selalu bertasbih
dan mengagungkan Tuhan.
Pembelajaran
agar memahami, bahwa diri-nya adalah bagian dari susunan keseluruhan alam semesta
yang ada dalam sistem ketetapan ciptaan-Nya, atau Af’al Tunggal dari Dia Yang
Maha Tunggal. Dari atom, sebagai materi terkecil, sampai kepada bintang wujud
benda langit terbesar, semuanya sebagai yang tunduk patuh pada hukum dan
ketetapan-Nya (sunathullah), seluruhnya mengarah pada yang Maha Tunggal.
“Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di
langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan, binatang-binatang
melata, dan sebagian besar dari
manusia? ...........” (QS 22:18)
Ibadah
hajji, di dalamnya banyak mengandung keutamaan atau makna dari
kisah-kisah Ibrahim dan keluarganya, yang sesungguhnya adalah sebagai sarana
pelatihan dan pengajaran yang berguna bagi kehidupan keseharian kemanusiaan
sebagai wujud keberserah dirian (islam)-nya. Insya Allah, makna-makna tersebut dapat dipahami dan
menjadikan ibadah-nya diterima-Nya sebagai Hajji Mabrur, dan dapat membawa-nya
terus di kehidupan kepada amal perbuatan-nya yang mabrur pula. Dan bagi mereka
yang belum dapat melaksanakan panggilan-Nya ini, namun akan mendapatkan
makna-makna yang amat berguna bagi kehidupannya dan merupakan maksud inti dari
penyelenggaraan ibadah hajji ini. Keutamaan tersebut mengandung makna-makna,
diantaranya adalah,
Makna Diri yang Polos (Suci)
Pakaian
Ihram yang dikenakan ketika beribadah hajji, adalah lambang kepolosan
atau kesucian bagi setiap insan kemanusiaan, sebagai kehendak Allah agar
setiap diri menyadari fitrah sesungguhnya yang ada pada diri-nya.
Pada masa pra (sebelum)
kenabian Muhammad SAW, malah dilakukan dengan telanjang bulat, tanpa sehelai
pakaian pun. Hal ini, mungkin merupakan persepsi yang berlebihan dalam
memahami petunjuk agama-nya. Dan setelah kenabian-nya, beliau pun merubah cara
ritual peribadatan lama yang menyesatkan, seperti itu, tanpa menghilangkan
makna-makna yang dikehendaki Allah kepada setiap diri kemanusiaan.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”. (QS 4:171)
Menyadari fitrah dirinya
yang merupakan wadah kosong yang telah disempurnakan
kejadian-nya, kemudian barulah diisi (ditiupkan) ruh Allah sebagai
perwujudan sifat-sifat Allah (QS
38:71-72), yang merupakan rahmat bagi semesta alam. Untuk dapat
mengenal diri-nya, maka kenalilah Tuhan-nya. Dan untuk dapat
mengenal Tuhan-nya, maka kenalilah diri-nya. Setelah mengenal
keduanya, maka hikmah sejati telah terbuka sebagai sesuatu yang amat tak
ternilai.
“......
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka
apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka
hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS 38:71-72)
Sempurnanya
kejadian wadah kosong (jasad) insan kemanusiaan, adalah sempurna terbentuknya
organ-organ tubuh-nya sebagai pendukung kehidupan sehingga layak menerima
hidup dari-Nya. Jadi jelaslah, bahwa hidup diri kemanusiaan adalah
karena ruh-Nya, yang pada suatu waktu nanti, yang telah ditetapkan-Nya, akan
kembali lagi kepada Dia yang memiliki, begitu pun jiwa yang telah dapat selalu
bersama-Nya (manunggal), akan ikut bersama ruh-Nya kembali pulang. Akan tetapi
pada jiwa yang tersesat dan terlena pada kehidupan dunia, maka akan tertinggal
di alam dunia, sebagai jiwa tanpa jasad yang masih penasaran pada
keduniaan-nya, menggapai tidaklah bisa, dan kembali pulang pun tidak bisa.
Terjebak pada kesesatan-nya sendiri.
Diri, juga
merupakan wadah yang menerima anugerah dari Allah, berupa, wujud sebagai
kewujudan, hidup sebagai kehidupan, ilmu sebagai keilmuan,
kuasa sebagai kekuasaan, dan lihat maka dapat melihat, dengar
maka dapat mendengar, ucap maka dapat mengucap, dan lain-lainnya
yang merupakan anugerah yang sesungguhnya hanyalah titipan yang pada saatnya
nanti akan diminta pertanggung jawabannya. Janganlah pengakuan (ego)
menjadi dominan berlebihan hingga malah menjerumuskan diri pada kesesatan dari
jalan lurus-Nya.
Adalah nyata-nya
ketiadaan sesungguhnya insan kemanusiaan. Karena hanya Dia yang wujud,
sedangkan selain-Nya adalah fana (berubah-ubah), menerima wujud-Nya, serta
merupakan perwujudan-Nya, bahkan hidup-nya adalah karena diberi kehidupan
oleh-Nya. Dari ujung kaki hingga ujung rambut adalah anugerah wujud dari
perwujudan-Nya, dan tidak secuilpun yang dimiliki serta dikuasai
oleh dirinya sendiri. Jangankan memiliki, memberikan rizkinya pun bukanlah
dirinya yang sebagai pemberinya, melainkan Allah-lah pemberinya. Bukan pula
dirinya yang memerintahkan kepada kuku-kukunya untuk bertumbuh panjang, kepada
rambut untuk bertumbuh panjang, kepada jantung untuk memompa darah dan
mengalirinya ke seluruh tubuh, bukan pula dirinya yang memerintahkan sel-sel
tubuhnya untuk membelah diri sebagai pengganti sel-sel lainnya yang telah mati.
Diri ini
hanya menerima saja semua itu berlangsung tanpa pernah, bahkan merasa ikut
berperan. Maka sungguh naif, tidak layak dan pantas, merasa mengaku-ngaku
sebagai pemilik, penguasa, dan pemerintah dari rakyat yang berupa
milyaran sel yang membentuk organ dan jaringan seperti, jantung, paru-paru,
mata, telinga, mulut, kulit, tulang, otot, dan lain sebagainya. Itu seluruhnya
adalah anugerah yang dititipkan, yang suatu saat, kelak, pasti akan diminta
pertanggung jawabannya. Hanya rasa yang sampai kepada diri, yaitu nikmat
bila seluruh rakyat-nya sehat, dan sengsara bila salah
satu rakyat-nya sakit. Pengakuan (ego)-lah yang menyebabkan rasa
menjadi dominan hingga tak terkendali, nikmat dapat menyebabkan
keangkuhan atau riya, dan sengsara yang dapat menyebabkan kekufuran.
Itulah akibat pengakuan (ego) yang mengaku-aku sebagai pemiliknya.
Kebanyakan diri terlena dan
memanjakan keinginan-keinginan jiwa (hawa nafs)-nya, sehingga mau berbuat untuk
orang lain bila ada keuntungan bagi diri-nya. Dan bila sedikit
keuntungan yang didapat-nya, maka dia melakukannya dengan setengah hati
atau malas, tidak berusaha sebaik bila besar keuntungan yang akan diterima-nya.
Kemurnian atau keikhlasan dalam berbuat pun menjadi tidak ada, maka rasa
tidak ikhlas-nya tersebut pun akan kembali kepada diri-nya. Seperti masakan
yang kurang bumbu dan garam, menjadi hambar tiada rasa. Tiada spirit (ruh)
dalam mengerjakannya. Maka akibat-akibat buruk lainnya akan siap-siap
mendatanginya, menyusul kemudian.
“....sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku
hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Ketiadaan
diri sebenarnya adalah telah hilangnya pengakuan (ego), dan mengakui
yang ada (wujud) hanya milik Allah. Bahkan nafsu (nafs) pun adalah milik-Nya,
karena itu selalu luruskan dan ingatilah Dia. Kemudian sucikanlah
sebelum dipertanggung jawabkan kelak. Hidup dan kehidupan pada kemanusiaan,
sesungguhnya, hanyalah menerima. Yaitu, menerima segala sesuatu baik
disadari maupun tidak, juga baik sukarela maupun terpaksa.
Bila dirinya lebih memaksakan
kehendak hawa nafsunya atau lebih memaksakan keinginan buruknya, maka menerima
akibat atau balasannya pun akan secara terpaksa. Memaksakan dan
keterpaksaan itulah sebagai dosa yang ditanam dan yang akan dituai-nya.
Hilangnya pengakuan (ego), adalah dengan melenyapkan aku-nya,
dan lebih menghidupkan Aku-nya, maka setiap gerak laku (amal
perbuatan)-nya adalah perwujudan sifat-sifat Dia yang Maha Terpuji lagi Maha
Mulia.
Makna Tauhid (Yang Maha Tunggal)
Ka’bah adalah perlambangan
sebagai pusat atau sumber segala sesuatu mengarah untuk kembali pulang. Karena,
Dia-lah Yang Maha Tunggal sebagai awal segala sesuatu bersumber, dan arah tujuan
segala sesuatu kembali pulang.
Dia-lah Allah yang
Maha Tunggal,
Allah tempat meminta (bergantung) segala sesuatu, tidak ber-anak dan tidak diper-anak-kan, dan tidak ada sesuatu
pun yang setara dengan Dia.
Ibadah
Hajji ini, pada saat mengelilingi Ka’bah (tawaf), adalah pembelajaran agar
memahami, bahwa diri-nya adalah bagian dari struktur makro semesta alam
yang ada dalam sistem siklus ciptaan-Nya (sunathullah),
atau Af’al Tunggal dari Dia Yang Maha Tunggal. Dari mulai atom, sebagai salah
satu materi terkecil, sampai kepada bintang wujud benda langit terbesar,
semuanya sebagai yang tunduk patuh pada hukum dan ketetapan-Nya (sunathullah),
seluruhnya mengarah kepada yang Maha Tunggal.
“Dan apakah
orang-orang yang kafir (tertutup hati dan akalnya) tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya ........” (QS 21:30)
Semesta alam ini, yaitu langit
dan bumi, diciptakan-Nya dari sesuatu yang padu (satu wujud), kemudian
Dia pisahkan menjadi dua wujud (langit dan bumi). Dalam bahasa ilmiah uraiannya
menjadi, dari cahaya-Nya (sebagai sesuatu yang padu), dengan
partikel-partikelnya yang ber-massa berat dan ber-massa ringan
sebagai penyusun struktur cahaya, Allah memisahkan keduanya melalui ketetapan
hukum-Nya, yang bermassa lebih berat berkumpul menyatu kemudian
membentuk bumi. Sedangkan yang bermassa jauh lebih ringan memisahkan
diri semakin menjauhi massa yang lebih berat (melawan gaya grafitasi karena
terdesak keluar oleh yang lebih berat) dan kemudian membentuk langit. Proses
ini seperti proses terbentuknya lapisan atmosfir, yang berlapis-lapis sesuai
berat massa-nya.
Allah menyebut diri-Nya sebagai
Kami pada penjelasan ayat di atas, yang bermakna Dia menugaskan
pekerjaan ini kepada para aparat (malaikat)-Nya. Keyakinan (iman) adanya
malaikat telah diuraikan panjang lebar pada bab keimanan, sebelumnya, dan akan
lebih sedikit detail lagi diulas pada bagian ke 4 Lahir & Bathin di
belakang. Termasuk pekerjaan-pekerjaan yang diperintahkan Allah kepada mereka
sebagai tugas yang diembannya bagi keberlangsungan secara keseluruhan sistem
kerja semesta alam.
“Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali iblis.
Ia menolak dan
menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS 2:34)
Malaikat, secara ilmiah, adalah
merupakan energi (energi cahaya), yang bersumber dari cahaya-Nya (nur Allah),
yang meliputi dan menggerakkan
segala sesuatu di alam raya ini yang hanya atas perintah dan
kehendak-Nya. Itulah, sesungguhnya yang dimaksud dengan kata ‘Kami’ pada
setiap firman-Nya. Dan melimpahnya cahaya yang menuju bumi, baik siang dan
malam, membuktikan begitu banyaknya pekerjaan malaikat bagi memudahkan kehidupan
kemanusiaan di bumi, sesuai dengan perintah Allah agar mereka tunduk sujud
kepada kepentingan kemanusiaan (QS 2:34). Akan tetapi, perlu diingat, segala
sesuatu Allah ciptakan bersama pasangannya, bahwa ada pula yang sebagai pembangkang
yang menolak tunduk sujud, yaitu sebagai yang disebut iblis, yang justru
timbul dari kuatnya hawa nafsu kemanusiaan itu sendiri, yang malah menyesatkan dirinya
pada kecelakaan.
Jadi
berdasarkan ayat QS 21:30, dengan cahaya-Nya (nur Allah), Dia menciptakan
malaikat sebagai aparat-Nya, disebut pula nur Cahya. Kemudian Dia perintahkan
aparat-Nya untuk bekerja memisahkan dan membentuk bumi dan langit beserta
isinya, yaitu semesta alam yang penuh berisi partikel struktur cahaya-Nya,
sebagai sumber penciptaan atau pembentukan segala sesuatu isi semesta alam
melalui ketetapan-Nya (sunathullah). Istilah ilmiahnya adalah proses gravitasi
semesta, yaitu gerak berkumpul atau gaya tarik menarik antar
partikel-partikel cahaya ke masing-masing pusat kawasan yang tersebar,
disinilah proses persenyawaan antar partikel membentuk senyawa-senyawa
kompleks. Maka terbentuklah bintang-bintang di dalam banyak kawasan yang
disebut galaksi. Seluruh benda langit ini berasal dari partikel-partikel
cahaya-Nya (nur Allah). Hingga pada pembentukan senyawa-senyawa yang jauh lebih
kompleks lagi, apalagi setelah ada atau terbentuknya air di bumi, yaitu
sebagai unsur-unsur dasar kehidupan, dari mulai tumbuh-tumbuhan sampai kepada
hewan bersel tunggal, bahkan semakin jauh lebih kompleks yang terdiri dari
milyaran sel, hingga penciptaan manusia.
“Sungguh Kami telah menciptakan insan kemanusiaan
dalam bentuk
yang sesempurna-sempurnanya.” (QS 95:4)
Seluruh
pemahaman tersebut, bersumber dan mengarah kepada Dia Yang Maha Tunggal, baik
karena terpaksa maupun secara sukarela. Hanya karena, pada diri kemanusiaan,
struktur unsur pembentuk sel-selnya yang amat-teramat kompleks, maka lebih
kompleks pula untuk dapat menyadari keberadaan dan kuasa-Nya, kecuali hanya
karena petunjuk yang atas kehendak-Nya. Dan ini merupakan salah satu dari
sarana-sarana pelatihan keberserah
dirian (islam), seperti lebih menyatakan syahadat tidak
hanya sekedar pernyataan-nya saja, shalat juga yang direfleksikan dalam setiap gerak amal perbuatan,
puasa untuk menekan segala keinginan yang tak terkendali, zakat
mensucikan segala niat sebelum bergerak kepada amal perbuatan, ibadah
haji untuk keberserah dirian melalui ber-qurban yang sesungguhnya adalah kenyataan,
bahwa hidup adalah pengorbanan. Yang ternyata kesemuanya adalah mengarahkan
diri menghilangkan pengakuan (ego)-nya. Yaitu
dengan melenyapkan aku-nya, dan lebih menghidupkan Aku-nya,
maka setiap gerak laku (amal perbuatan)-nya adalah perwujudan
sifat-sifat Dia yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Menyadari bahwa diri
kemanusiaannya adalah wakil-Nya yang mewujudkan sifat-sifat Tuhan di
alam, dan sebagai khalifah di muka bumi yang rahmatan
lil ‘aalamiiyn. Seperti itulah fitrah kemanusiaan yang telah
ditetapkan Allah.
“Dia menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam) kemudian darianya Dia
ciptakan pasangannya dan Dia menurunkan delapan pasang hewan ternak untukmu,
Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga
kegelapan. Yang (sanggup berbuat) demikian itulah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang memiliki kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia, maka mengapa kamu dapat dipalingkan?” (QS 39:6)
Makna Akbar (Keragaman)
“Katakanlah,
kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan
(dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan
anak cucunya, dan kepada
apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan
kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.” (QS 2:136)
Kumpulnya berbagai kaum, etnik,
dan bangsa dari seluruh penjuru dunia saat melaksanakan ibadah Hajji. Dengan
membawa keragaman warna kulit, logat dan bahasa, tabiat, dan lain sebagainya
yang juga merupakan keragaman perbedaan yang menambah hidupnya suasana di
Masjidil Haraam. Itulah kenyataannya, agama Allah yang merangkum diri-diri
dengan aneka keragaman dan perbedaan, dari mulai makanan, warna kulit, logat,
bahasa, sampai kepada watak tabiat.
“Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia
sebagai umat yang satu, tetapi
mereka selalu berselisih pendapat.” (QS 11:118)
Adalah
sebagai pembelajaran diri agar dapat membaur serta berintraksi secara
sehat bersama keragaman-keragaman sekaligus bersama perbedaannya yang
terdapat di alam, yang pasti ditemui-nya dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Kemampuan berinteraksi dan beradaptasi tanpa keluar atau menyimpang dari arah
jalan lurus-Nya, bersama-sama saling menebarkan kebaikan yang merupakan rahmat
karunia dari Tuhannya Yang Raahman dan Rahiim.
Menyadari alam yang penuh
keragaman akan makhluk-makhluk ciptaan-Nya, yang sesungguhnya pula sebagai
perwujudan Dia yang Akbar, sebagai yang bersama-sama ikut pula mengabdi seperti
diri-nya, dengan selalu bertasbih dan mengagungkan Tuhan.
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di
dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada sesuatu pun melainkan bertasbih
dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS 17:44)
Memahami
betapa akbar, semesta alam ini amat dipenuhi oleh kekayaan dan keragaman segala
sesuatu yang tak terkira banyaknya. Yang bila semakin dihitung, maka semakin
takkan pernah habisnya selesai terhitung. Dan bila semakin ingin diketahui,
maka semakin pula tidak selesai dapat tersimpulkan. Semakin kaya dan beragamnya
alam ini, dengan pula perbedaan-perbedaan antara satu dengan yang lainnya,
membuat bervariasi dan semakin sempurna terlihat keindahannya. Sekalipun tak
terhitung dan tak terpahami, tetapi nikmat-nya yang sampai kepada diri sebagai
yang merasakannya, dan rasa syukur yang berisi puji-pujian yang mengarah kepada
Dia sang Pencipta langit dan bumi beserta segala sesuatu isinya.
Tahap kesadaran ini seharusnya
membawa insan kemanusiaan kepada rasa kebersamaan yang merupakan bagian dari
setiap keragaman dan perbedaan-nya sebagai pengisi keindahan sistem
semesta, melenyapkan pengakuan (ego) rasa eksklusivitas dan suprioritas-nya,
dan melenyapkan ego kepentingan diri-golongan-etnis-bangsa sendiri, serta lebih
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan secara global, demi keseimbangan
sistem semesta yang mengarah kepada Dia Yang Maha Tunggal.
“Dan langit
telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)
Diciptakan-Nya berbagai macam
keragaman dan perbedaan, tentu bukanlah dengan maksud terciptanya kondisi atau
keadaan mereka yang saling bertentangan hingga saling merusak dan melenyapkan.
Merasa paling benar sendiri, merasa paling hebat sendiri, merasa paling pintar
sendiri, dan lain-lainnya yang lebih mengutamakan pengakuan (ego)-nya ketimbang
rasa kebersaman inilah yang menyebabkan terganngunya sistem keseimbangan
kehidupan yang justru yang akan kembali kepada diri-nya sendiri sebagai yang menuai
bencana. Bukan itu yang dikehendaki Tuhan.
“......... Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu
telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti
akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha
Kuat, Maha
Perkasa”.
(QS 22:40)
“Dan kalau
Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat saja, tetapi Dia memasukkan orang-orang
yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zhalim tidak ada seorang
pelindung
pun dan tidak pula seorang penolong.” (QS 42:8)
Dia ingin kita memahami dan
mengetahui keindahan yang sempurna hanya bisa didapat dari berbagai keragaman
dan perbedaan yang selalu diiringi rasa kebersamaan. Bersama-sama di satu
tempat (alam) dalam kebaikan, sebagai suatu yang berpadu, yaitu keindahan
yang sempurna. Berbagai keragaman dan perbedaan bukanlah hal yang buruk
yang harus dihindari, justru keduanya adalah rahmat dari Tuhan yang dapat
memperkaya khasanah segala sesuatu di dalam kehidupan. Bukanlah keseragaman
monoton yang membosankan. Keragaman adalah Sifat Tunggal Dia, yaitu Allahu
Akbar (pada bab keimanan). Bukan disebut sebagai keragaman jika tak ada
perbedaan atau seragam. Tidaklah sulit jika Dia menghendaki keseragaman. Hal
ini sama tidak sulitnya dengan jika Allah menghendaki kemanusiaan ini menjadi
satu umat. Maka jawaban Dia-pun, tersirat di dalam firman-Nya, yaitu seperti
bunyi ayat di bawah ini.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat, Aku hendak menjadikan
khalifah di bumi. Mereka berkata, Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak
dan menumpahkan darah disana, sedangkan
kami bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama-Mu? Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
Jika Allah hanya menghendaki
yang tunduk patuh atau berserah diri saja yang memenuhi alam-Nya ini, maka cukuplah
adanya malaikat, yang telah selalu bertasbih memuji dan mensucikan nama-Nya,
tak perlu menciptakan kemanusiaan yang tak pernah merasa puas. Akan tetapi, Dia
menginginkan pada insan kemanusiaan, yang merupakan wujud ciptaan-Nya yang
sungguh amat-teramat kompleks lahir dan bathin-nya, yang sesempurna-sempurnanya
(QS 95:4), pada akhirnya dapat menjadi perwujudan Dia Yang Maha Terpuji di
alam. Yaitu yang saling menebarkan rahmat-Nya kepada sesama-nya, sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Makna Godaan
Dalam keberserah dirian-nya,
Ibrahim sebagai yang hendak ber-qurban atas perintah Allah dan telah ikhlas,
serta Ismail sebagai yang hendak dikorbankan pun telah ikhlas karena perintah
Tuhannya, mereka berdua tidaklah lepas dari godaan iblis yang berusaha menggagalkan
ibadah mereka. Dan mereka berdua pun membalas iblis dengan melemparinya
menggunakan batu-batu kerikil agar iblis pergi menjauh dan tidak menghalangi
ibadah mereka.
“(Iblis)
menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.” (QS 38:82-83)
Mengapa Allah perlu bukti
keikhlasan mereka berdua? Padahal Dia Maha Mengetahui termasuk rahasia hati
yang paling dalam. “........ Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.” (QS 2:30). Dia
(Allah) menghendaki kejadian ini dapat menjadi pelajaran sebagai contoh teladan
dari bukti-bukti nyata rasa ikhlas keberserah dirian pada setiap diri
insan kemanusiaan.
“....sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Kebanyakan diri melupakan atau bahkan
menyepelekan hal ini, sehingga kehilangan esensi hidup islaminya yaitu
keberserahan dirinya kepada yang Maha Kuasa, yang Maha Bijaksana, yang Maha
Pengasih dan yang Maha Penyayang. Padahal ayat ini sering diucapkan sehari
sebanyak lima kali didalam setiap shalat, tetapi kebanyakan tidak memahami
maknanya dan mengeluarkannya tidak kepada bentuk amal perbuatan yang dilandasi
penyerahan diri dan keikhlasannya hanya kepada Allah semata. Sehingga, amal
perbuatannya hanya sebatas dari apa-apa yang diharapkannya saja, tidak sampai
kepada ridha Allah SWT. Diri-nya lupa, bahwa kekuatan untuk dapat berbuat
adalah juga karena kehendak dan kekuatan yang di berikan Allah kepadanya, dia
lupa menyadari bahwa Allah meliputi segalanya, dan dia lupa, sesungguhnya
perbuatannya itu akan terus menjauhkan dirinya dari Allah SWT.
Penyerahan diri juga mencakup makna memuliakan Tuhan yang maha
Mulia, dan diharapkan tetap menjaga kemuliaan-Nya itu serta tidaklah pantas
malah mengotori kemuliaan-Nya. Menghindari penyesatan yang dibisikkan setan
yang kelihatan indah dipandang mata, akan tetapi malah menjerumuskan. Yang
bermakna pula, tidak mengotori dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang tercela.
Banyak perbuatan yang dengan mengatas namakan Tuhan dan menyebabkan kerusakan
atau bahkan pertumpahan darah. Bila diri-nya mengorientasikan amal ibadahnya
kepada ke-Muliaan Tuhan yang maha Benar, maka caranya pun sebaiknya dengan
cara-cara yang mulia dan benar.
“....
Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih
hati”. (QS 2:112)
Tiada lagi susah ataupun senang, sedih dan bahagia, kesulitan dan
kemudahan, hina maupun mulia, semua dianggapnya sama. Yaitu sama karena
pemberian Allah SWT yang tiada daya upaya bagi siapapun untuk menolaknya.
Karena ia menyadari dibalik kesulitan ada kemudahan, maka pasti semuanya itu
beriringan silih berganti menemuinya berdasarkan ketetapan-Nya. Bukan berarti
hanya pasrah menerima tanpa pernah berbuat, akan tetapi justru malah ikut serta
dalam menciptakan kondisi yang harmonis dengan alam dan seluruh makhluk
disekitarnya.
Makna Keberserah Dirian
Seperti yang
telah diketahui dan diakui, bahwa Ibrahim As adalah bapak dari beberapa bangsa
besar. Dari sinilah kisah diambil agar menjadi contoh teladan bagi problematika
kehidupan sesudahnya. Terutama teladan dari keikhlasan istri kedua-nya
dan anaknya, Siti Hajjar dan Ismail putra mereka yang masih belia, yang ketika
itu ditempatkan untuk tinggal berdua tiada tetangga, di daerah tandus,
kering, dan tiada air. Yaitu di sekitar Ka’bah, yang dahulunya masih berupa
situs reruntuhan rumah peribadatan kuno, dan belum berpenghuni.
Hal ini
terjadi karena masalah-masalah kerumah tanggaan, yaitu kecemburuan Siti Sarah,
istri pertama Ibrahim As, setelah hamilnya Siti Hajjar. Sekalipun, adalah ide-nya
sendiri agar suaminya memperistri Siti Hajjar untuk mendapatkan keturunan, akan
tetapi, itulah sifat dasar kemanusiaan. Begitu lekatnya pengakuan (ego)
mempengaruhi diri-nya. Dia tak dapat rela melihat kebahagiaan suaminya
bersama bersama wanita lain dan putra mereka.
Keikhlasan
seorang istri (Siti Hajjar) kepada suami-nya, yang bersama anaknya yang masih
kecil, ditinggal di tempat terpencil tak berpenghuni, dan tandus tiada air.
Kepada siapa lagi ia dan anak-nya akan bergantung, selain hanya berserah
diri kepada Allah. Momen-momen inilah yang akhirnya diabadikan Allah yaitu
dengan dijadikannya sebagai contoh teladan keberserah dirian seseorang kepada
Tuhannya. Yaitu, saat panik berlarian bolak-balik kebingungan mencari air. Yang
dengan izin Allah, maka keluarlah air dari dalam pasir tersebut. Itulah mata
air zam-zam. “............ Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.” (QS 2:30).
Dia panik, berlari-lari kecil bolak
balik dari saffa ke marwah, kebingungan mencari air untuk anaknya. Tidak
ada lagi kepada siapa dia berharap dan bergantung, selain hanya kepada-Nya.
Momen inilah yang diabadikan dalam bagian ibadah hajji. Tiada yang tidak
mungkin bagi Dia bila telah berkehendak, maka keluarlah air dari sela-sela di
bawah kaki anaknya. Dan air yang keluar, akhirnya sebagai mata air di tengah
gurun tandus, yang tak pernah habis hingga sekarang, sejak ribuan tahun lalu,
dan diambil jutaan orang setiap tahunnya. Bukan hanya itu, karena keberserah
dirian mereka yang ikhlas, serta doa Ibrahim, maka kelimpahan rezeki bagi
keturunan-keturunannya yang tinggal di situ hingga sekarang, menjadi bangsa
yang makmur dengan kelimpahan rahmat dari Tuhan mereka.
“Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di
lembah yang tak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (baithullah)
yang dihormati, ya Tuhan agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati bagi sebagian manusia
cenderung kepada mereka dan berikanlah mereka rezeki dari buah-buahan, semoga mereka
bersyukur.” (QS 14:37).
Ini bukanlah
tugas kenabian-nya, bukan tugas dari Tuhan-nya, akan tetapi ini jelas adalah jalan
hidup-nya, istri dan anak keturunan-nya. Jalan hidup yang sekilas tampak
tak memiliki harapan ke depan. Bagaimana mungkin berharap dapat tinggal dan
hidup di daerah terpencil, tak berpenghuni, dan gersang tak ada air. Dan dengan
keberserah dirian (islam)-nya
ternyata telah ikut mempengaruhi kehendak Tuhan sebagai contoh dan
teladan bagi orang-orang sesudahnya. Tentu akan menjadi lain halnya, bila diri
ini menggunakan akal pikiran dalam menghadapi permasalahan tersebut. Tidak akan
mungkin akal sehat menyetujui untuk mau tinggal di tempat yang terpencil,
gersang, dan tak ada air. Ternyata, Dia membuktikan, bahwa tak ada yang tak
mungkin bila Allah telah berkehendak.
Itulah makna berserah diri,
yang diambil dari kisah keikhlasan seorang yang hanif, bersama istri dan
anak-nya dalam sebuah keluarga, yang dengan penuh keikhlasan mereka
berserah diri kepada Tuhannya, telah menentukan kebaikan bagi anak keturunannya
hingga ribuan tahun setelahnya.
“............ Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
Hikmah yang dapat diambil
sebagai teladan dari ritual hajji ini, yang dilambangkan melalui kisah keluarga
nabi Ibrahim, adalah seluruhnya mengenai keikhlasan dalam keberserah
dirian (islam)-nya hamba kepada Tuhannya, seperti keikhlasan seluruh segala
sesuatu yang berada di semesta alam ini berserah diri kepada-Nya.
“Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di
langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pepohonan, binatang-binatang
melata, dan sebagian besar dari
manusia? ...........” (QS 22:18)
Keberserah
dirian akan terasa maknanya bila diri kita telah terpojok dalam suatu masalah
dan tidak dapat berbuat apa-apa lagi, kecuali datangnya mu’jizat atau pertolongan
dari yang menguasai masalahnya. Semakin berat ketidak berdayaannya maka semakin
besar pula rasa keberserah diriannnya kepada yang sesungguhnya berkuasa. Maka
bayang-bayang akan dosa-dosanya pun bermunculan dan menghantui sebagai yang
disesalinya. Pada saat itulah diri menyadari diperlukan keikhlasan turut
menyertai berserah diri (islam)-nya.
Dan kemudian
terbukalah hijab yang sebelumnya menutupi hatinya. Bila dirinya dapat tetap
menjaga kesadaran keadaan dan kondisi tersebut, maka kepekaannya pun semakin
bertambah lagi dalam melihat kebenaran-kebenaran. Hingga dirinya telah dapat
melihat hakikat segala sesuatu yang seluruhnya mengarah kepada Yang Maha
Tunggal. Pada saat itulah dirinya barulah menyadari keikhlasan berserah diri
(islam) yang sejati hanyalah kepada-Nya yang sesungguhnya menguasai segala
sesuatu. Menyadari betapa diri-nya amat bergantung pada setiap rahmat-Nya.
Menyadari bahwa hanya kepada Dia-lah tempat dirinya berlindung dari segala
kelemahan dan keterbatasan-nya sebagai makhluk.
Makna Pengorbanan (Ber-qurban)
Berangkat
dari kisah tentang perintah ber-qurban kepada Allah, dengan menyembelih Ismail
(umat Nasrani dan Yahudi beranggapan adalah Ishak) putra sulung Ibrahim As yang
dikisahkan dalam al Qur’an sebagai pelajaran bagi umat sesudahnya. Bila
ada pertentangan yang menganggap siapa sesungguhnya (anak sulung Ibrahim) yang
hendak dikorbankan, seperti umat Nasrani dan Yahudi yang beranggapan Ishak-lah
yang hendak dikorbankan, sesungguhnya hal itu tidak menjadi penting. Malah
menimbulkan masalah-masalah pertentangan. Akan tetapi lebih kepada makna
kejadiannya-lah sesungguhnya kisah ini dapat menjadi teladan bagi umat-umat
kemudian. Dan bila masih merasa menganggap pentingnya tentang siapa
sesungguhnya anak sulung yang dikorbankan, maka berarti diri-nya masih dilekati
pengakuan (ego)-nya yang dapat menyeretnya kepada pertentangan akibat
perbedaan.
Renungkanlah
kisahnya, seorang yang telah memasuki masa tua-nya, dan belum dikaruniakan
keturunan, kemudian setelah harapan-nya dikabulkan oleh “pemilik”-nya, dan di
saat-saat hatinya sedang berbahagia dengan kehadiran seorang anak, tiba-tiba
datang perintah agar memberikan “pengorbanan” berupa anak satu-satunya yang
baru saja dimilikinya itu. Sekalipun, sungguh, sudah pasti Allah mengganti atau
membalas pengorbanannya tersebut sebesar maupun sekecil apapun itu. Keyakinan
seperti apakah itu? Setinggi apakah rasa keberserah dirian-nya terhadap yang
sejatinya memiliki, menguasai, serta memelihara kerajaan langit dan bumi ini?
Itukah sejatinya berqurban? Maka,
ini merupakan pelajaran berharga bagi siapa saja yang hendak sejatinya berqurban. Tentu tidaklah
mungkin kita akan mengalami hal seperti kisah tersebut, akan tetapi sungguh
banyak dan sering kita temui di sekitar kita yang membutuhkan bantuan sedangkan
kita pun merasa pas-pasan, pas hanya tinggal untuk kita sendiri. Tinggal
satu-satunya, lantas bagaimana untuk kita nantinya?
Justru karena, yang tinggal
(hanya) satu-satunya yang kita miliki itulah yang membuatnya menjadi bernilai
tinggi dan mulia, kemudian ikhlaskanlah perbuatan itu hanya karena
dan untuk Allah semata. Seperti kisah Ibrahim diatas yang difirmankan Allah
sebagai pelajaran bagi orang-orang sesudahnya. Itulah sejatinya ber-qurban.
Kapan lagi kita dapat berqurban yang sebenar-benarnya berqurban? Ingatlah inti
dari ibadah Haji adalah (dan) ditutup dengan ber-qurban. Sedangkan Rukun
Islam (berserah diri) pun ditutup dengan ibadah Haji. Maka syarat sah-nya
muslim (orang-orang yang telah berserah diri) adalah ikhlas, yaitu amal perbuatan yang murni hanya karena
dan untuk Allah semata.
“....sesungguhnya
shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Di dalam kehidupan-nya, setiap
diri selalu mengalami bentuk-bentuk pengorbanan dari diri yang masih
mengaku sebagai pemilik-nya, atau masih melekat pengakuan (ego)-nya.
Wujud pengorbanan tersebut dilambangkan dengan ber-qurban, menyembelih
hewan ternak saat menutup ibadah hajji-nya. Dan yang perlu direnungkan, bahwa
keutamaannya adalah ada pada keikhlasan-nya dalam berqurban. Ber-qurban
adalah bentuk pelatihan keberserah dirian, dan ada di dalam rukun ibadah haji.
Sedangkan dalam kenyataan hidup di kehidupannya, setiap diri pasti telah
mengalami, baik disadari ataupun tidak disadari dalam pengorbanan-nya, maka
oleh karena itulah, Allah menghendaki setiap diri melakukannya didasari
kemurnian atau keikhlasan.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah
dengan ikhlas semata-mata
karena menjalankan agama .......”. (QS 98:5)
Umumnya,
kebanyakan orang lebih kepada pemahaman keutamaan berqurbannya hanya pada
bulan-bulan Hajji saja, sebagai amal perbuatan (ibadah) yang telah ditetapkan
dan direncanakan. Padahal, itu hanya sekedar seremoni atau perayaan saja.
Sedangkan hakikinya adalah yang menjadi kehendak-Nya, yaitu adalah kepekaan
serta kepedulian rasa dari setiap diri insan kemanusiaan terhadap
sesama-nya yang sedang berada dalam kekurangan, yang sedang berada dalam
kebutuhan yang amat mendesak memerlukan bantuan atau pengorbanan
dari-nya. Keadaan atau kondisi tersebut bukan hanya ada pada bulan-bulan Hajji
saja, melainkan di setiap waktu tentu kita banyak menemui situasi dan keadaan
tersebut. Pada saat-saat itulah diri-diri kita hendaknya lebih peka kepada
mereka yang membutuhkan.
Bila telah dapat seperti itu, dengan murni
dan ikhlas semata hanya karena Allah dalam membantu, maka itulah wujud sejatinya
ber-qurban. Dan yakinlah, bahwa Allah tidak akan meminta kepada yang tidak
mampu memberi. Karena itulah kepada mereka yang tidak peka hatinya, maka Allah
pun tak menghendaki bantuannya. Dan Allah sungguh Maha Kaya serta tidak
membutuhkan bantuan makhluknya, yang diinginkan-Nya hanyalah keikhlasan.
“...... dan orang-orang yang dalam hartanya menyiapkan bagian tertentu, bagi orang-orang yang
meminta dan yang tidak meminta ......”. (QS 70:24-25)
Tidak ada
bedanya ritual berqurban pada bulan Hajji dengan ritual-ritual berqurban pada
umat-umat agama lainnya, yang memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai wujud
ibadah kepada Tuhannya. Akan tetapi, lebih kepada makna yang diwujudkan
dalam amal perbuatan kesehariannya lah yang lebih utama, bahwa keikhlasan
berkorban dalam setiap amal perbuatannya-lah yang akan sampai kepada Allah
dan sebagai wujud dari keberserah dirian-nya. Itulah makna islam yang
sesungguhnya sebagai wujud sejatinya berserah diri dengan ikhlas.
Renungkanlah
sedalam-dalamnya, selain menerima, hidup juga adalah berkorban,
karena sesungguhnya dipenuhi oleh pengorbanan untuk kepentingan pihak
lain. Dan kemurnian atau keikhlasan berkorban adalah wujud berserah diri
seorang hamba kepada Tuhannya. Yaitu hamba yang menerima segala
anugerah, yang kemudian untuk disebarkan kembali kepada sesamanya, sebagai
rahmat dari Tuhannya. Tidak-lah mengakui anugerah tersebut sebagai milik-nya
dan sebagai yang dikuasai-nya, tidak pula semena-mena terhadap pengelolaan-nya,
serta tidak pula menyebabkan kesesatan pada diri-nya. Anugerah tersebut adalah
karunia Tuhannya yang Maha Pemurah dan Penyayang, yang suatu saat, kelak akan
dipertanggung jawabkan-nya. Dan anugerah tersebut dapat berupa kekuasaan dan
jabatan, anak keturunan dan istri, harta benda dan perhiasan, ladang pekerjaan,
kendaraan, dan lain sebagainya yang merupakan karunia serta sekaligus
cobaan dari-Nya.
Pengorbanan
bila menerima anugerah kekuasaan dan jabatan, adalah mengorbankan hati,
pikiran, waktu, tenaga, serta daya lainnya demi peningkatan kesejahteraan dan
kemakmuran mereka yang dikuasai-nya. Pada anugerah anak keturunan dan istri,
pengorbanannya adalah dengan mencurahkan hati, pikiran, waktu, tenaga, serta
daya lainnya demi pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohaninya. Pada anugerah
harta benda, adalah mengorbankan ego-nya demi pekanya hati melihat sesama yang
sedang kesulitan dan membutuhkan bantuan sebagian dari harta-nya. Pada ladang
pekerjaan, pengorbanannya adalah mencurahkan hati, pikiran, waktu, tenaga,
serta daya lainnya demi suksesnya pekerjaan sesuai yang diharapkan. Dan lain
sebagainya, yang dalam kehidupan-nya tiada yang lepas dari pengorbanan-nya,
sebagai pemeliharaan, perawatan dan pengelolaan yang bertanggung jawab dari
setiap anugerah yang dikaruniakan-Nya.
Terkadang,
diri ini begitu memaksakan pada keinginan, sekalipun keinginan tersebut
merupakan kebaikan. Seperti keinginan untuk melakukan ibadah hajji yang
berulang-ulang kali, yang dianggapnya adalah suatu kebaikan bagi diri-nya. Hal
tersebut tidaklah salah, akan tetapi akan menjadi kesalahan bila disekeliling
kita masih banyak orang yang membutuhkan bantuan akibat kesulitannya. Jauh
lebih bernilai ibadahnya bila disalurkan kepada membantu meringankan beban
kesulitan orang-orang yang membutuhkan bantuannya, ketimbang pergi hajji untuk
yang kesekian kalinya. Karena kewajiban ibadah hajji tersebut hanyalah satu
kali.
Ada pula mereka yang merasa
masih belum sempurna dalam ibadah hajji sebelumnya, sehingga merasa perlu
mengulanginya. Padahal ibadah tersebut adalah untuk melatih kemanusiaan
memahami makna-makna yang ada di dalam ritual ibadah tersebut untuk diwujudkan
dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga tercapailah maksud dan tujuan ibadah
tersebut sebagai yang disebut hajji mabrur. Maka, dengan demikian
menjadi tak wajib lagi ibadah-ibadah hajji berikutnya, dan menjadi kewajiban
baginya merefleksikan atau mewujudkan ibadah hajji pertamanya kepada amal
perbuatan kebajikan yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Yaitu, dengan
mewujudkan makna-makna yang telah disebutkan di atas di dalam gerak
hidup kesehariannya. Begitulah seharusnya kita memahaminya, sehingga
kemanusiaan dapat lebih memaksimalkan ibadah-ibadah yang jauh lebih utama untuk
terwujudnya insan-insan yang menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiyn.
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak
yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang
yang shalat, (yaitu) orang yang lalai
terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan)
bantuan”. (QS 107:1-7)
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan
Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintai
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang yang benar (imannya), dan mereka itulah
orang-orang yang
bertaqwa.” (QS 2:177)
Mengorbankan keinginan,
sekalipun hal tersebut merupakan ibadah, dan suatu kebaikan, akan tetapi ada
ibadah lain yang lebih utama yaitu memberikan bantuan. Sehingga
menyelamatkan diri-nya dari termasuk orang-orang yang celaka dalam
shalat-nya, yaitu termasuk ke dalam orang-orang yang mendustakan agama, seperti
bunyi ayat di atas. Renungkanlah, sesungguhnya iblis telah membiaskan keinginan
tersebut, agar terlihat indah bagi kebaikan, sehingga banyak diri-diri
kemanusiaan yang terjerumus pada kecelakaan.
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan
jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku
akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS 15:39)
“Mereka
itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan
petunjuk
dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah
beraninya mereka menentang api neraka.” (QS 2:175)
Itulah
hidup, yang ternyata isinya adalah hanya berkorban belaka. Sedang bagi
diri-nya adalah hanya rasa nikmat puasnya setelah tercapai. Bahkan untuk
makan saja, diri ini harus berkorban dahulu, apalagi untuk hal-hal besar lagi
mulia. Dan yang kembali kepada Allah pun, adalah cuma hanya rasa ikhlas
dalam melakukannya saja. Dan tak ada yang sia-sia dari setiap pengorbanan yang
diirngi keikhlasan. Pengorbanan terbesar dari insan kemanusiaan adalah jihad fi sabilillahi. Sedangkan jihad terbesar
(akbar) adalah melawan hawa nafs
(keinginan jiwa)-nya sendiri, yaitu melawan pengakuan (ego)-nya
sendiri.
Dan bagi mereka yang belum juga
kesampaian untuk mampu beribadah hajji yang membutuhkan biaya yang cukup besar,
tidak perlu kecewa, sambil menunggu kesanggupan tersebut, maka sadarilah pula
bahwa baithullah (rumah Allah) di Mekkah itu adalah yang dzahir,
maka adapula baithullah yang bathin, yaitu yang berada di dalam
dada, kalbu kita yang paling dalam. Hampirilah rumah Allah
tersebut dan menemui-Nya dengan mensucikan hati yang selalu berdzikir
(mengingat) Allah. Kelak kita akan memahami hal ini, setelah Dia bukakan dada
kita untuk mendapatkan karunia hikmah-Nya yang begitu luas yang sebagian
besarnya masih tersembunyi (ghaib). Insya Allah, Dia akan menerima keberserah
dirian (islam) kita yang didasari keikhlasan.
“.... sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
(QS 91:7-10)
Bab XIII
MEREKA yang IKHLAS
(Mukhlis)
“Dia-lah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda
(kekuasaan)-Nya dan menurunkan rezeki untukmu dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah).
Maka sembahlah Allah dengan ikhlas menjalankan agama-Nya, meskipun
orang-orang kafir tidak menyukai-(nya).”
(QS
40:13-14)
C
|
ukuplah bagi setiap diri insan kemanusiaan mencapai tahap ini, yaitu
tingkat keikhlasan berserah diri (islam) dalam setiap niat dan
amal perbuatannya yang terjaga kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya yang
didasari oleh kokohnya keimanan. Biarkanlah tahap-tahap selanjutnya berjalan
berdasarkan kehendak Dia Yang Maha Pemurah menganugerahkan kepada diri-nya.
karena mereka yang ikhlas telah lepas dari segala macam bentuk keinginan,
sekalipun keinginan tersebut mulia kebaikannya. Sehingga, telah lepasnya segala
bentuk keinginan dari jiwa adalah kemuliaan itu sendiri.
Ada
kejaran-kejaran lainnya yang sungguh menggiurkan bagi para pencari,
seperti tahap tarikhat, hakikat, ma’rifat, dan hikmah, namun kehendak Dia
pulalah yang menentukan segalanya. Akan tetapi, sama sekali, kita tidak akan
menyentuh kejaran tahap berikutnya tersebut, mungkin di waktu-waktu yang lain,
insya Allah, barulah kita akan dapat mengulasnya. Sekali lagi, menjaga
kokohnya keimanan dan keikhlasan berserah diri adalah hal yang amat mutlak,
yang bila hal tersebut sampai terjadi kelalaian, maka pengakuan
(ego)-lah yang akan meruntuhkannya.
Jangankan harapan menerima anugerah mencapai tahap-tahap
kejaran selanjutnya tersebut di atas, jiwa-nya akan kerepotan sendiri dan
disibukkan oleh kebutuhan ego-nya tersebut. Itulah makanya banyak ulama
yang menyarankan memulai langkah tahapan kejaran dari kekokohan syariat,
sehingga tidak akan tersesat. Tetapi, apalagi yang dibutuhkan jiwa-jiwa yang
telah ikhlas, selain telah lenyapnya segala bentuk keinginan? Sesungguhnya,
tahapan kejaran tersebut, akan datang dengan sendirinya atas kehendak Allah
sebagai petunjuk, bila jiwa ini memang telah siap menerimanya. Dan hanya Dia
yang mengetahui jiwa-jiwa yang telah siap, serta hanya dengan kehendak Dia pula
kepada siapa hendak diberikan.
“..... Laa
Quwwata illaa BILLAH (tiada kekuatan kecuali atas kehendak Allah).” (QS 18:39)
Kembali
kepada makna, tiada daya upaya selain daya upaya-Nya. Dan segala
kekuatan apapun geraknya, sesungguhnya adalah karena kekuatan Dia. Tiada yang
luput dari-Nya, termasuk keinginan jiwa yang kekuatannya adalah karena
diberikan oleh-Nya. Maka kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya akan menjaga
keinginan tersebut tetap sebagai kehendak-Nya. Dan yang lebih mulia
adalah terhindar dari segala bentuk keinginan yang ternyata beresiko
menjerumuskan kepada kesesatan. Pada setiap keinginan tersebutlah
sesungguhnya iblis ikut menumpang sambil membawa bujuk rayu penyesatan
yang dikemas agar terkesan indah pada pandangan.
Apakah tidak
menjadikan orang-orang yang apatis bila telah tidak memiliki keinginan?
Pertanyaan seperti ini pasti akan timbul dan menyebabkan kekhawatiran, seolah
telah ikut pula menggerus kembali kokohnya keimanan yang telah dibangun.
Hal ini menjadi perlu diluruskan karena keinginan yang dapat menyesatkan, lebih
jauhnya, adalah keinginan yang didasari atau dipengaruhi oleh kebutuhan. Belum
lagi keinginan, yang dalam perjalanannya, dipengaruhi oleh angan-angan menggoda
dan menggiurkan yang diperlihatkan iblis sebagai pemandangan yang indah.
Agar tidak terjadi kesalah pahaman yang berlanjut, maka akan
dibuka kembali makna-makna yang sebelumnya telah terurai dan dibahas
sebelum-belumnya, namun mungkin masih belum lengkap menuntaskan sehingga
ternyata masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang timbul setelah ada bahasan
baru. Hal tersebut merupakan kewajaran yang lumrah dan juga ada pada
ketetapan-Nya (sunathullah), yaitu betapa luasnya ilmu Allah, tak terkira dan
terhitung. Membuka yang satu, maka akan ada kebutuhan untuk membuka yang
lainnya, begitu seterusnya tanpa pernah tiada lagi yang tak bisa lagi dibuka
atau telah terpenuhi. Sebab Dia-lah Allahu Akbar.
Sebagai dasar
pijakan pertama adalah, bahwa keinginan bukanlah niat. Jangan
diidentikkan keduanya sebagai yang satu makna. Niat yang mengawali segala amal
perbuatan, dan masih bathin berada di dalam kalbu, sehingga membuat umumnya
niat adalah selalu suci atau bersih, yang dapat mengotorinya justru keinginan
yang hadir kemudian, menambahkan. Karena itu pula ada ungkapan, kembalilah
ke niat awal.
Sedangkan
keinginan, yang hadir kemudian, selalu dipengaruhi pikiran-pikiran yang
tersimpan di dalam memorinya, dan kekotorannya adalah karena kebutuhan-kebutuhan
yang secara tiba-tiba ikut pula hadir. Memori pikiran yang mempengaruhi dapat
berupa ketakutan, keserakahan, ingin dipuji, dan lain-lainnya sebagai yang
pernah terekam di dalam otak-nya.
Dan keinginan ini dapat hadir pula sebelum niat telah
menjadi amal perbuatan yang diwujudkan. Tetapi, yang jelas, setelah adanya
niat. Itulah mengapa keinginan harus terjaga kelurusannya, ingatnya, dan
kesuciannya agar tetap sebagai kehendak-Nya. Jadi, bukanlah dilarang,
melainkan diarahkan agar tetap terjaga dan terkendali. Inilah yang dimaksud
dengan nafs al mutma’innah, sebagai jiwa yang tenang terkendali, bukan
yang justru dikendalikan oleh keinginan.
Dasar pijakan kedua adalah, keinginan
merupakan rahmat yang dianugerahkan Allah. Dan perlu diingat kembali,
bahwa setiap anugerah-Nya bukanlah hibah kepemilikan, dan tetap akan
diminta pertanggung jawabannya, kelak. Sehingga keinginan harus terjaga
kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya agar tetap sebagai kehendak-Nya,
serta membawa kepada amal perbuatan yang bermanfaat bagi sesama makhluk-Nya.
Sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Dasar pijakan ketiga adalah, tanpa keinginan
bukan berarti tidak dapat mewujudkan niat. Seringkali, justru jiwa yang telah
memiliki niat malah dipengaruhi oleh keinginan-keinginan yang dapat membelokkan
niat awalnya. Padahal yang utama adalah niat-nya yang sebagai penentu
mewujudnya amal perbuatan, serta penentu baik atau buruk hari kemudian-nya.
Bila telah terkontaminasi kekotoran keinginan yang menyesatkan, maka
amal perbuatannya pun akan ikut terkotori, pada akhirnya, di hari
kemudian-nya, dia akan membawa beban-beban pembersihan akibat kekotoran
tersebut.
Bila kita
kembalikan kepada kitab, firman Tuhan, yang menyatakan haramnya khamar
(sebagai yang memabukkan), dikarenakan lebih banyak mudharat daripada
manfaatnya, maka demikian pula dengan keinginan. Dapat pula memabukkan
dan menyesatkan, bahkan bahkan akibat dampaknya pun adalah dapat merugikan
orang lain, selain dirinya sendiri sebagai pelakunya.
Banyak
sekali contoh-contoh dimana niat mulia pada awalnya, dapat dibelokkan
atau disesatkan oleh keinginan-keinginan, seperti pada halnya para politikus
yang pada niat awal-nya mulia dengan mengatas namakan rakyat, akan tetapi
setelah dalam perjalanannya dapat dibelokkan oleh keinginan-keinginan yang
datang kemudian akibat kebutuhan atau terlena oleh empuknya kursi jabatannya.
Seperti para pedagang yang tergiur keuntungan kemudian menimbun saat mengetahui
akan terjadi kenaikan harga. Karyawan atau pegawai negri yang terpaksa korupsi
akibat dibelokkan keinginan dari kebutuhan-kebutuhan yang datang kemudian, yang
membiaskan dari niat awal yang mulia, yaitu bekerja demi keluarga.
Kembalikan keinginan
sebagai yang terjaga kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya agar tetap sebagai
kehendak-Nya. Karena sesungguhnya, tiada daya upaya selain daya upaya-Nya.
Dan segala kekuatan apapun geraknya, sesungguhnya adalah karena kekuatan Dia.
Tiada yang luput dari-Nya, termasuk keinginan jiwa yang kekuatannya
adalah karena diberikan oleh-Nya. Demikianlah wujud keikhlasan dalam berserah
diri (islam).
“........ Barangsiapa menyerahkan diri ‘sepenuhnya’ kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak pula bersedih
hati”. (QS 2:112)
Itulah
bahayanya keinginan yang tiada terkendali. Dan pada umumnya, keinginan
tersebut ditimbulkan oleh ketakutan. Sedangkan rasa takut dapat timbul
karena disebabkan beberapa faktor pemicu. Seperti rasa takut yang timbul karena
ketakutan akan kemiskinan, ketakutan akan mengalami
kesulitan, ketakutan jatuh bangkrut atau mengalami kerugian, ketakutan
turun dari jabatan, serta banyak ketakutan lainnya yang amat mempengaruhi niat
serta amal perbuatan-nya, sehingga timbullah keinginan-keinginan yang dapat
menyesatkan jiwa-nya, bahkan sampai kepada menggadaikan keimanan-nya, merontokkan
kembali keimanan yang sebelumnya telah diperkokoh-nya. Bagaimana mungkin
seseorang yang telah kokoh keimanan (keyakinan)-nya masih memiliki rasa takut?
Tidak pula bersedih hati, bagi
mereka-mereka yang telah dapat melepaskan segala bentuk keinginan. Umumnya,
mereka-mereka yang bersedih hati adalah karena tidak tercapai keinginan-nya.
Sehingga, apabila mereka hendak lepas dari kesedihan-nya, maka mereka
dengan segera mengorbankan atau melepas keinginan-nya tersebut.
Sayangnya, masih saja terjebak dengan mencoba keinginan-keinginan
lainnya yang masih menggiurkan angan-angannya.
Tuhan kita
adalah Allahu raahmanur-rahiiym,
sebagai Yang Maha Pemurah dan Maha Kasih Sayang. Kokohnya keimanan kepada-Nya
seharusnya membawa kepada keyakinan setiap diri, bahwa Dia telah
menganugerahkan seluruh rahmat-Nya baik berupa anugerah yang telah kita terima,
maupun yang belum kita terima (sebagai hari kemudian). Artinya,
segala macam anugerah yang belum diterima, apakah itu kebaikan atau keburukan,
adalah ditentukan berdasarkan usaha (upaya) jerih payah
kita pada setiap kebaikan atau keburukan amal perbuatan pada saat ini. Tentunya
ada pula anugerah kebaikan atau keburukan yang belum diterima (dituai) saat ini
dari amal perbuatan sebelumnya.
Sedangkan
kebaikan atau keburukan amal perbuatan dinilai dari rasa ikhlas-nya
berserah diri kepada apa-apa yang telah diyakini (iman)-nya. Dan rasa ikhlas-nya
berserah diri ini sebenarnya adalah sebagai usaha memelihara kekokohan
keimanan-nya, sebagai pemandu arah kepada jalan lurus-Nya yang menuju
keselamatan dan kenikmatan hidup, baik hidup di kehidupan saat ini (dunia)
maupun kehidupan di hari kemudian (akhirat).
Sekedar
untuk mengingatkan agar menggugah syaraf-syaraf kesadaran kita. Maka
bayangkanlah, bila amal perbuatan kebaikan yang tidak disertai rasa
ikhlas, seperti sekolah untuk menuntut ilmu, menjadi guru untuk mendidik,
bekerja untuk keluarga, menjadi penegak hukum untuk keadilan, menjadi pemimpin
untuk mereka yang dipimpin. Tentulah hasilnya bisa ditebak dengan mudah, maka
akan terjadi hidup kehidupan yang tidak murah dan tidak sehat, bahkan saling
menularkan seperti halnya wabah penyakit. Sesungguhnya itu sebagai yang
kembali lagi kepada masing-masing diri-nya sebagai hasil yang dituai, dan biaya
hidup kehidupan yang mahal dan berpenyakit tersebut, ternyata,
mereka sendirilah yang menciptakannya.
Bayangkanlah
betapa telah menjadi mahalnya kehidupan sekarang ini, seperti di terminal, di
stasiun, atau di pasar sebagai fasilitas umum, untuk buang air kecil saja harus
bayar. Parkir kendaraan pun begitu, sekalipun hendak berbelanja yang jelas
mengeluarkan biaya. Untuk berdagang di emperan pasar saja, terkena bayaran
retribusi, belum lagi pungutan lainnya seperti preman. Bahkan untuk pengurusan
izin-izin dan surat-surat yang berhubungan dengan birokrasi pemerintahan,
selalu ada pungutan-pungutan tambahan. Tentunya hal ini akan menular,
karena biasa ditodong, maka sekarang gantian, diri-nya pun akan menodong, karena tuntutan kebutuhan biaya hidupnya yang
telah tinggi akibat sering ditodong.
Maka hal ini
akan menular terus, seperti harga-harga pun akan terus cenderung menaik
akibat terus meningginya pula biaya-biaya penodongan tersebut. Dan ternyata,
itu kembali lagi kepada masing-masingnya menjadi seperti proses siklus penodongan, hanya saja biayanya
terus meninggi. Sebenarnya bukan masalah tinggi biayanya, akan tetapi nilai
kebaikan dan kebenaran sebagai moralitas hidup kehidupannya yang menjadi rusak.
Keikhlasan berbuat telah sirna tergantikan tuntutan kebutuhan. Sportivitas
kehidupan hilang dan hanya meninggalkan saling sikut-sana sikut-sini. Bapak dibohongi
anaknya, suami dibohongi istrinya, bos dibohongi kacungnya, pembeli dibohongi
penjual, pencari keadilan dibohongi penegak keadilan, begitupun sebaliknya.
Semua saling membohongi demi memenuhi tuntutan kebutuhan dan keinginannya.
Itulah bukti telah sakit-nya kehidupan saat ini.
Begitu
reformasi bergulir, dan segala permasalahan dibuka seluas-luas dan
sebebas-bebasnya oleh media, yang terkadang pula tak jarang berlebihan dalam
penyajiannya, dari mulai KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), pungli, pemerasan,
premanisme, bahkan sampai kepada bahayanya narkoba, maka seperti bom waktu
yang baru saja meletus. Banyak pengamat dadakan yang bermunculan yang
angkat bicara tidak hanya di televisi, akan tetapi juga, malah sampai
warung-warung kopi di setiap sudut jalan, hingga sebagai pembuka obrolan antar
tetangga.
Tidak hanya
itu, para da’i dan ulama pun, di setiap ceramahnya, juga tidak lupa untuk
mengangkat hal ini, seolah-olah ini adalah hal yang baru yang sebelumnya tak
pernah ada, dan seolah juga ini tak berhubungan dengan pembentukan moral umat
di waktu-waktu yang lalu. Ya, semua komponen dan semua profesi bertanggung
jawab, bahkan seluruh masyarakat warga negara adalah pelaku sekaligus korban.
Karena massif dan kompleks-nya kerusakan yang telah terjadi di
negri ini, bahkan korbannya pun kepada anak keturunan yang belum lahir ke dunia
inipun kelak akan merasakannya.
Sekarang,
begitu hukum hendak ditegakkan, kerusakan hendak diperbaiki, dan permasalahan
bangsa hendak diselesaikan, yang ada malah kebingungan, terjadilah saling
tuding satu sama lain. Sistem yang ada menjadi kambing hitam, dan
undang-undang pun terasa perlu direvisi, hingga timbul wacana hukuman mati
untuk dikenakan kepada para perusak yang telah mengacak-ngacak negri ini.
Hukuman mati
bukanlah hal yang tabu bila harus digunakan pada kondisi negara seperti
ini, yang sedang dalam keadaan darurat begini. Tapi jika para penentu kebijakan
negri ini dapat arif dan bijaksana hendak menyelesaikan dan dapat melihat
permasalahan sesungguhnya secara murni dan jernih, dan tidak sebagai yang malah
ikut terjebak dalam kubangan kesalahan kolektif di negri ini, yang
sesungguhnya justru hendak menyelamatkan jiwa-jiwa warga negaranya dari kebangkrutan
moral yang telah menyebabkan parahnya keadaan ini, maka hendaklah dimulai
dari pembenahan moral bangsa. Yaitu moral masing-masing diri.
Dan
dimulailah dari diri sendiri, hingga kemudian dapat menjadi teladan bagi
keluarga, kemudian bagi lingkungan sekitar sampai hingga jauh ke yang lebih
luas lagi. Barulah para penentu kebijakan, yang juga sebagai pemimpin menjadi
layak sebagai pemimpin yang membawa teladan, kemudian mengajak seluruh komponen
secara massal untuk membenahi moral bagi seluruh warganya.
Bila ada
anggapan, bahwa hal ini tentu telah dilakukan para da’i dan ulama yang telah
berperilaku sempurna dan mulia sebagai teladan dan sebagai penyampai ajaran
lurus. Apakah benar begitu? Buktinya keadaan malah bertambah parah setelah
reformasi?
Ya, tidak
hanya da’i dan ulama yang bertanggung jawab atas keadaan ini, melainkan setiap
diri bangsa. Apapun profesinya. Bahkan termasuk dengan insan pers yang membuka
seluas-luasnya yang membuat seluruh masyarakat sadar bahwa dirinya pun kini
sedang berada di dalam kubangan.
Sayangnya, mereka kebanyakan tak menyadari bahwa diri-dirinya pun ternyata
sebagai yang berperan ikut membangun kubangan tersebut, di dalam kesalahan
kolektif yang merusak negrinya sendiri.
Maka, bila
sebelumnya, mereka saling todong
sebagai sebab, kini yang mereka hadapi adalah saling tuding yang sebagai salah satu akibat
selain akibat lainnya, yaitu mengalami mahalnya kehidupan
sehari-harinya. Disinilah, di alam dunia ini, kita mengalami hari kemudian
yang termasuk di dalamnya pula sebagai hari pembalasan dari setiap amal
perbuatan kita sebelumnya. Sadarilah, apakah bayi-bayi yang sekarang berada
dalam kandungan tidak ikut merasakan kesulitan? Ingatlah, banyak kasus balita
yang kekurangan gizi di beberapa daerah. Maka bila kita hendak menyadari dan
memperbaiki, maka segeralah kembali dengan memperbaiki moral kita
masing-masing, karena sesungguhnya apa yang kita perbuat jelas sekali berdampak
kepada banyak lainnya, sekecil apapun itu. Sekalipun sebagai yang ditodong,
atau hanya sekedar ingin mendapatkan pelayanan yang cepat dari birokrasi. Anak
keturunan kitapun akan merasakan akibatnya.
Dan begitu
pula bila amal perbuatan tersebut di atas telah disertai keikhlasan-nya, namun
diperjalanannya dapat masuk pula keinginan-keinginan yang dapat mengotori dan
melunturkan keikhlasan-nya. Tentu akibatnya adalah seperti yang terurai di
atas. Maka adalah kewajiban setiap diri kitalah untuk memulai kembali
mengkokohkan keimanan, kembali kepada jalan lurus (agama), serta memurnikan
(keikhlasan) berserah diri dalam setiap gerak amal perbuatan sebagai usaha
memperbaiki keadaan kehidupan yang bila kita selami, baik di sekitar kita,
maupun sampai kepada wilayah yang jauh lebih luas, telah sangat memprihatinkan.
Bukan
(hanya) karena kemiskinan atau kekurangan gizi, bukan karena sulitnya lapangan
pekerjaan, bukan karena tingginya angka kriminalitas, bukan karena maraknya
premanisme yang bahkan dengan mengatas namakan agama, serta bukan karena
korupsi yang merajalela di setiap lini kehidupan. Juga bukan pula (hanya)
karena banyaknya bencana yang menimpa sebagai balasan atau azab, akan tetapi
hanya lebih kepada sekedar usaha memperbaiki keadaan kehidupan demi
kehidupan ke depan, dimana semua keturunan kita pun akan hidup menetap,
juga sebagai hari kemudian kita, tentunya.
Kepuasan dalam memenuhi
keinginan dan kebutuhan tidak akan pernah tercapai dalam kehidupan dunia ini,
yang ada malah tersesat oleh angan-angan keinginan dan kebutuhannya tersebut.
Perut kita pun hanya cukup menampung sepiring dua piring makanan. Bila
berlebihan pun, malah menjadikannya penyakit yang merepotkan sendiri. Begitu
pula pada keinginan banyaknya harta benda, yang justru malah kembali kepada
dirinya sebagai yang meresahkan hati dan jiwa-nya. Juga kepada keinginan
memiliki wanita atau istri-istri, maka akan selalu ditemui wanita-wanita yang
lebih muda, cantik, serta selalu menarik perhatiannya, tiada akan pernah ada
habisnya. Termasuk pula pada kekuasaan, tidak akan pernah ada kekuasaan yang
sejatinya benar-benar berkuasa dan akan terus selamanya dimiliki, tetap saja
makhluk memiliki keterbatasan. Keterbatasannya itulah yang tak disadari,
sementara keinginan hati menghendaki lebih. Inilah yang dimaksud Allah dengan
firman-Nya sebagai berikut.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu,
......”. (QS 4:171)
Anugerah-anugerah
tersebut sesungguhnya adalah fana, berubah-ubah, atau hampa bila didasari atau
dimulai oleh keinginan, apalagi kebutuhan, maka bukan nikmat yang datang,
melainkan akan menjadi bumerang, yang akan kembali kepada dirinya membawa
setumpuk masalah lain yang amat menyusahkan jiwanya sendiri. Akan menjadi lain,
terasa nikmatnya serta membawa kedamaian dan ketentraman, bila
anugerah-anugerah tersebut memang diterimanya bukan karena usaha memenuhi
keinginan dan kebutuhannya, melainkan menyadari bahwa anugerah tersebut
merupakan amanah, dan dengan keikhlasan berserah diri menjalankan atau
mengelolanya secara bertanggung jawab pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.
Keikhlasan
bentuk kemurnian segala amal perbuatan yang terbebas dari kontaminasi akibat
kekotoran yang menyertai amal perbuatan tersebut. Di alam ini, bahkan seluruh
rahmat Allah Yang Maha Pemurah yang berupa nikmat kebaikan, begitu
sampai kepada diri kemanusiaan, maka terbias menjadi dua hal yang berpasangan.
Begitulah kemanusiaan selalu menilainya, yaitu nikmat kebaikan dan keburukan.
Bila sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya, maka disebutlah rahmat tersebut
sebagai nikmat kebaikan. Sedangkan bila bertolak belakang dengan keinginannya,
maka yang datang dari Tuhannya tersebut disebut sebagai azab atau keburukan.
Mereka
inilah yang tak dapat menyadari bahwa dirinyalah yang telah berlebihan dalam
berharap dan berkeinginan, atau berlebihan dalam perbuatan yang tidak berada
dalam kehendak-Nya. Sehingga harapan dan kenyataannya bagai jauh panggang dari
api. Segala sesuatu telah Allah tentukan kadar-kadarnya sebagai
keseimbangan yang pasti terjaga keadilannya. Karena itu, ketika mereka
berlebihan dalam menerima rahmat Allah tersebut, maka kelebihan-nya
tersebut pasti kembali kepada dirinya sebagai keburukan.
Dimulai dari
keikhlasan berserah diri dalam setiap niat dan amal perbuatannya yang
terjaga kelurusannya, ingatnya, dan kesuciannya yang dilandasi oleh kokohnya
keimanan adalah sebagai jalan bagi masing diri yang hendak memperbaiki keadaan
ini. Tidaklah mungkin untuk mengandalkan pemimpin-pemimpin untuk dapat mengubah
keadaan ini untuk menjadi lebih baik, apalagi mengharapkan perubahan yang
sekejapan mata. Hanya dengan memperbaiki akhlak masing-masing diri, kemudian
saling mengingatkan yang juga dimulai dari ruang lingkup yang lebih kecil
dahulu, seperti keluarga, maka insya Allah, perlahan tapi pasti, akan semakin
berkembang menular pula tetapi dalam arti kebaikan, yaitu sebagai teladan.
Dan pada akhirnya dapat memperbaiki keadaan kehidupan semesta yang sehat,
terpuji, dan mulia sebab diri-diri kita adalah perwujudan dari Dia Yang Maha
Terpuji dan Maha Mulia.
Sehingga, paling tidak, kita
telah menciptakan lingkungan yang layak dan sehat, serta dipenuhi diri-diri
yang berakhlak terpuji dan mulia, sebagai diri-diri yang jujur, terpercaya,
disiplin, dan teguh pendirian pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Maka
tiada lagi kekhawatiran pada hari kemudian, kelak. Dengan demikian, jiwa
kita telah mendapatkan ketenangan dan ketentraman, serta siap kapanpun, bila
telah tiba waktunya, untuk kembali pulang kepada Dia sebagai pemilik
segala sesuatu, termasuk dengan kebersihan jiwa dan jasad-nya, ilay’ihi raji’un. Inilah makna
sesungguhnya keikhlasan dalam berserah diri (islam) dengan menyusuri
setiap langkah demi langkah dari jalan lurus (agama)-Nya, yaitu diynul qayyimah.
Semoga bermanfaat....
BalasHapus