PUPUH III
Bukan
menoleh ke kiri dan ke kanan
dalam
mencari Tuan-mu
bukan pula
mencari ke Utara dan Selatan,
atau ke
Barat dan Timur
dan yang kau temui hanyalah kekosongan
Kebingungan menjadikanmu
menengadah ke langit
memohon
seolah Dia bertempat di atas
Maka menjadi
tak soal,
menginjak
segala yang di bawah
menekan yang
di bawah
bahkan menindasnya
Tak taukah
dikau,
bahwa Tuanmu
selalu bersama,
ada bersama
yang sabar
bersama yang
lemah
bersama yang dizhalimi
Cintai-lah
mereka
seperti
Tuan-mu mencintaimu
seperti Dia
merahmati-mu
seperti Dia
memberikan karunia-Nya
kepadamu
Agar Dia tak meninggalkan-mu
Itulah kedekatan dengan-Nya
BAGIAN 3
KEMBALI kepada AGAMA ALLAH
“Padahal
mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata
karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, menegakkan shalat
(mengingat Allah yang tiada putus), dan mensucikan (apa-apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan
yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah).”
(QS 98:5)
T
|
idak hanya satu agama yang ada di dunia ini, belum lagi agama-agama
tersebut pun terbagi-bagi kepada sekte-sekte ajaran yang lebih eksklusif lagi.
Tentu ini karena perkembangan pola pikir para pemeluknya yang dinamis dari masa
ke masa, atau mungkin pula karena kesamaan pikir, kesamaan nasib, kesamaan
geografis asal, dan lain sebagainya. Yang jelas telah dapat diterima hati dan
jiwanya, sehingga menciptakan ketenangan dan ketentraman bagi
diri (jiwa)-nya.
Tidak dapat
dipungkiri oleh siapapun, sesungguhnya agama-agama tersebut, tentunya
diturunkan hanya oleh Yang Maha Tunggal sebagai suatu ajaran tunggal
yang menuju keselamatan hidup di
dunia dan kelak di akhirat (hari kemudian).
Hanya saja, karena disebabkan
perbedaan tempat atau wilayah, waktu atau masa, serta kaum atau umat yang
memiliki adat istiadat yang berbeda, kondisi situasi masalah yang berbeda,
sampai kepada geografisnya pun berbeda, maka menyebabkan pula
perbedaan-perbedaan dari segi bahasa, kepentingan yang diutamakan, dan
kenyamanan pada ritual keagamaannya, sehingga makin memperlebar serta semakin
menjauhi perbedaan-perbedaan awalnya. Kemudian dalam perkembangannya, semakin
dinamisnya pemikiran para pendeta atau ulamanya dalam menerjamahkan hukum-hukum
bagi kehidupan umatnya, maka semakin memperlebar lagi perbedaan-perbedaan
diantara masing-masing agama tersebut.
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang
Yahudi, orang-orang
Nasrani, orang-orang
Sabi’in
(sebelum agama samawi yang meyakini adanya Allah), siapa saja diantara mereka yang meyakini adanya Allah dan hari akhir, dan
berbuat kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada
rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati ”. (QS 2:62)
Ayat ini
jelas menegaskan bahwa nama atau sebutan agama-agama yang ada, memiliki ketunggalan
ajaran, petunjuk, atau jalan lurus dari Dia (Tuhan) yang sesungguhnya sebagai
sumber asalnya. Hanya karena pengakuan (ego) insan kemanusiaan yang
merasa memiliki, maka eksklusivitas semakin dilebih-lebihkan dari merasa yang
paling benar, yang paling lurus, dan yang paling diridhai Tuhannya, agama
selain agamanya adalah adalah agama yang sesat dan menyesatkan.
Sehingga
dapat menimbulkan benih-benih persaingan, kecemburuan, riya, dan kesombongan
yang merupakan hasil penyesatan iblis. Sungguh ironis, tanpa disadari, ternyata
diri kita telah jauh keluar dari jalan lurus-Nya. Seolah, telah sulit
untuk kembali lagi. Seperti telah mendarah daging, superioritas, eksklusifitas,
nasionalisme sempit, etnis, kepentingan golongan, dan kesombongan adalah
sebab-sebab timbulnya perbedaan-perbedaan yang semakin membuat kemanusiaan
semakin menjauhi makna ketunggalan umat, ketunggalan ajaran
dan ketunggalan tujuan, sehingga semakin terjerumus pada keserakahan dan
ketamakan untuk memenuhi segala keinginan dan kebutuhan hawa nafsunya. Yaitu
kenyang sendiri, makmur dan kaya sendiri, hebat sendiri, berkuasa sendiri, dan
lain sebagainya yang lebih menjadikannya bersifat individualistis.
Pada bagian
pertama kitab ini telah diulas, bahwa karena di alam, maka kemanusiaan dalam
menilai segala sesuatu rahmat Tuhannya yang sesungguhnya adalah rahmat tunggal
berupa kebaikan, selalu beragam dan berbeda-beda, termasuk rahmat petunjuk
agama sebagai jalan lurus menuju keselamatan bagi kemanusiaan. Sehingga menjadi
timbullah berbagai macam persepsi tentang agama yang mengakibatkan timbulnya
cabang-cabang bahkan ranting-ranting, disebutlah semuanya sebagai sekte-sekte
atau aliran-aliran dalam agama.
Hal tersebut
tidaklah lepas dari sejarah panjang perilaku dan pola penyebaran kehidupan
kemanusiaan yang tersebar ke seluruh penjuru bumi. Semakin lama, maka semakin
terpisahlah mereka dengan pola perilaku dan dari ajaran agama bawaan asalnya,
karena berusaha beradaptasi dengan lingkungan barunya yang jelas berbeda dengan
lingkungan asalnya. Perbedaan waktu, temperatur dan iklim, lingkungan
geografis, makanan, dan lain sebagainya adalah sebagai yang ikut mempengaruhi
bias-bias tersebut dari ajaran agama asal yang sesungguhnya adalah ajaran agama
yang tunggal (sama).
Oleh sebab
itulah Allah pun kembali mengutus para nabi dan rasul-Nya untuk mereka dan
keadaan baru mereka bila telah menyimpang jauh dari ajaran asal-nya, dengan
segala kemudahan-kemudahan sebagai penyesuaiannya. Para rasul dan nabi tersebut
adalah orang-orang pilhan-Nya dari kaum mereka sendiri, dengan bahasa dan
kebiasaan yang sama dengan mereka. Tidak jarang Allah mengutus beberapa orang
rasul dan nabi-Nya sekaligus dalam masa atau waktu yang sama, dan tempat atau
wilayah serta kaum yang berbeda, seperti nabi Ibrahim dan nabi Luth. Dan juga
pada masa nabi Musa dan Syua’ib (juga Khidir). Serta waktu atau masa yang sama
dengan wilayah yang sama pula, seperti nabi Musa dan nabi Harun, nabi Yahya dan
nabi Isa. Yang kesemuanya mereka adalah sebagai pembawa dan penyampai ajaran
agama yang tunggal (sama) dari Allah SWT.
Jika kemanusiaan menolak
ketunggalan (kesamaan) ajaran agama tersebut, maka dia menolak ajaran agama dan
Tuhannya sendiri. Satu kesatuan ajaran agama dari semenjak Adam AS, sebagai
bapak kemanusiaan, hingga Muhammad SAW dengan membawa dan menyampaikan al
Qur’an dengan bukti-bukti yang nyata sebagai penyempurna nabi (khataman nabiyyin) dan agama Allah, maka siapapun yang
mengingkarinya, sesungguhnya dia telah mengingkari akal kesadarannya sendiri.
Dengan demikian, dia telah menciptakan batas antara dirinya dengan kebenaran
sejati dari Tuhannya.
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan (dianugerahkan) kepada kami, dan kepada
apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan kepada
apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.” (QS 2:136)
Kisah nabi-nabi
dari mulai Ibrahim AS sampai Muhammad SAW, seperti yang dikisahkan Al Qur’an,
yang merupakan sejarah yang berhubungan erat kaitannya dalam memaknai bahwa
ternyata agama Yahudi, Nasrani, dan Islam adalah suatu ajaran tunggal dari
Tuhan Yang Maha Tunggal, yaitu berserah diri (islam).
Dimulai
ketika Ibrahim berselisih dengan ayah dan kaumnya sehingga terusir dari
negrinya. Beliau dan istrinya (Siti Sarah) pun kemudian harus hidup
berpindah-pindah (nomaden) bersama ternak-ternaknya, hingga akhirnya sempat
menetap di negri Mesir. Disanalah beliau mendapatkan karunia hadiah, sebagai
permintaan maaf fir’aun yang tidak mengetahui bahwa Siti Sarah adalah istri
Ibrahim, yang sempat hendak diperistri olehnya. Selain memperoleh ternak-ternak
yang banyak, fir’aun pun menghadihi seorang budak wanita (Siti Hajjar),
yang sebenarnya adalah putri raja yang dikalahkan fir’aun raja Mesir. Kemudian
beliau pun berpindah lagi dari Mesir, dan kemudian hingga menetap di Palestina.
Sampai pada masa tuanya,
Ibrahim belum pula dikaruniai anak, hingga tercetuslah keinginan Siti Sarah
agar suaminya, Ibrahim menikahi Siti Hajjar, untuk mendapatkan keturunan.
Inilah awal dari sejarah dua bangsa yang pada akhirnya selama ribuan tahun
selalu dalam perseteruan, sampai sekarang. Yaitu bangsa Arab sebagai anak
keturunan Ismail anak Ibrahim dari Siti Hajjar, dan bangsa Israel anak
keturunan Yaqub (Isra’il) cucu Ibrahim dari Ishak yang merupakan garis anak
keturunan dari Siti Sarah.
“..... Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan
membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, maka lepaskanlah bani Israil (pergi) bersama aku.” (QS 7:105)
Perseteruan tersebut dimulai
ketika bani Israil setelah keluar dari Mesir di bawa oleh nabi Musa AS kembali
ke Palestina, tanah leluhurnya karena perintah Allah, makam Ibrahim sebagai
kakek moyangnya, juga di situ. Akan tetapi tanah tersebut telah dihuni bangsa
Palestina karena telah lama, ratusan tahun, ditinggal bani Israil sejak
kepergian seluruh keluarga Yaqub (Isra’il) AS ke negri Mesir untuk menemui
Yusuf AS, dan akhirnya menetap di sana selama ratusan tahun hingga populasi
keluarga ini menjadi besar saat nabi Musa AS mengeluarkan mereka dari bumi
Mesir, sehingga pantaslah mereka disebut ‘bani’ atau bangsa dari anak
keturunan Isra’il (Yaqub).
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah
bagimu, dan janganlah kamu
lari ke belakang....” (QS 5:21)
Seandainya
pada masa itu telah ada surat-menyurat bukti kepemilikan tanah, mungkin akan
menjadi lain jalannya sejarah mereka. Begitulah ketetapan Allah, dan mereka
pun, bani Israil, menganggap tanah Palestina tersebut sebagai tanah yang dijanjikan Tuhannya, padahal
Allah hanya memerintahkan masuk dan tinggal kembali di tanah itu sebagai
pendatang, bukan masuk ke negri itu, lantas mengusir penduduknya. Tanah yang
telah ditinggal selama ratusan tahun, dan saat hendak pulang kembali ternyata
telah dihuni oleh orang-orang lain. Belum tentu pula bila mereka, bani Israil
memiliki surat-surat bukti kepemilikan tanah, tetapi karena telah meninggalkannya
selama ratusan tahun, akan memudahkannya untuk mendapatkan kembali haknya.
Coba
renungkan, jika kita bisa berlaku adil dan jujur dengan hati yang terbuka, maka
lebih kuat mana surat bukti kepemilikan tanah dengan firman Tuhan
(QS 5:21) yang menghendaki mereka kembali lagi dan tinggal di tanah tersebut?
Tentu akan diterima dengan tangan terbuka jika mereka masuk dengan baik-baik
sebagai pendatang.
Tentulah
mereka pun menghendaki firman Tuhan tersebut menjadi kenyataan, seperti kita,
umat muslim, menghendaki pergi haji sebagai panggilan dan perintah Tuhan, atau
kepada perintah-perintah dan larangan-Nya yang lainnnya sebagai wujud tunduk
patuh (islam) kepada-Nya. Jika kemanusiaan telah memahami ini dengan hati
yang dilapangkan, dan atas nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, maka
tentu akan terjadi kedamaian di tanah Palestina tersebut.
Tetapi Allah berkehendak lain,
Dia sesatkan mereka yang menyukai kesesatan. Bahkan terjadi kejahatan-kejahatan
pada mereka yang juga menyukai kejahatan. Dengan watak dan tabiat buruk bani
Isra’il maka Allah menjalankan kehendak dan ketetapan-Nya di tanah itu,
Palestina yang selalu membara dan berdarah diperebutkan oleh bangsa-bangsa
keturunan Ibrahim. Hidup bersama dalam perbedaan adalah yang harus diterima
setiap segala sesuatu di semesta alam ini, tanpa terkecuali, termasuk
kemanusiaan.
“Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan
mereka satu umat saja, tetapi Dia memasukkan
orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang
zhalim tidak ada seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong.” (QS 42:8)
AGAMA YAHUDI
Bani Israil, yang pada saat
mulanya adalah hanyalah terdiri dari keluarga Yaqub dengan kedua belas anaknya,
yang berpindah pergi ke Mesir akibat musim kemarau yang panjang dan menimbulkan
kelaparan di seluruh wilayah Afrika Utara, Semenanjung Tanah Arab hingga Syria,
termasuk pula Palestina tempat keluarga Yaqub (Isra’il, sebagai nama
lainnya) bermukim. Kemudian karena Yusuf telah sukses dan menjadi bendahara
kerajaan Mesir, maka diboyonglah seluruh keluarganya, ayah-ibunya serta
kakak-kakak dan adiknya untuk tinggal menetap di Mesir selama ratusan tahun,
sampai mereka beranak-pinak memiliki keturunan yang banyak.
“Dan saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir) lalu
mereka masuk ke (tempat)-nya. Maka Yusuf mengenali mereka, sedang mereka tidak
kenal (lagi) kepadanya.........” (QS 12:58)
Di dalam Al
Qur’an, kisah-kisah Ibrahim, Ismail, Ishak, Yaqub, Yusuf, Musa, Daud, Sulaiman,
Zakariya, dan Yahya hingga Isa sesungguhnya berkesinambungan sebagai alur
cerita yang bersejarah yang menyangkut kepada ajaran tunggal agama-agama Yahudi,
Nasrani dan Islam yang merupakan dari Allah Yang Maha Tunggal. Dan kisah-kisah
masa lalu yang bersejarah tersebut pun amat mempengaruhi jalannya kehidupan
sekarang ini dan kedepannya, betapa telah menjadikan tragedi kemanusiaan
selama ribuan tahun.
Keterikatan antar mereka, dari
semenjak Yaqub sampai masa Isa, sebagai anak keturunan Yaqub amatlah kuat,
karena mereka selalu disatukan. Hal ini terbukti dengan diutusnya Musa
mengeluarkan mereka dari bumi Mesir ke Palestina, kemudian Musa membuat 12
sumur untuk suku-suku mereka yang berdasarkan dari keturunan dua belas anak
Yaqub. Kemudian pada masa Daud yang mempersatukan mereka dalam sebuah negara
atau kerajaan, sebagai bangsa yang telah memiliki pemerintahannya. Juga pada
masa Isa, sekali lagi mereka telah tercerai berai, dan Isa mendapat tugas
mengumpulkan mereka dengan mengangkat 12 murid atau sahabat-sahabatnya (hawariyun) sesuai berdasarkan
wakil-wakil yang diambil dari 12 suku bani Isra’il (keturunan dari 12 anak
Yaqub).
“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk
kaumnya, lalu Kami berfirman:
Pukullah batu itu dengan tongkatmu. Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap
suku telah mengetahui tempat minumnya.........” (QS 2:60)
Kedua belas anak Yaqub (Isra’il) adalah dari keempat
istrinya yang kemudian menjadi suku bangsa Israel. Rincian nama-nama mereka
adalah :
·
Dari istri pertamanya Liah yang
melahirkan :
1.
Raubin
2.
Syam’un
3.
Lawi (atau Levi, dari dialah garis keturunan
Musa)
4.
Yahuza (Yahudi, dari dialah sebutan Yahudi pun
menjadi lebih populer)
5.
Yassakir
6.
Zabulun
·
Dari istri keduanya Rahil (Rahel)
yang melahirkan :
7.
Yusuf dan
8.
Benyamin
·
Dari istri ketiga Zilfah yang melahirkan :
9.
Jad dan
10.
Asyir
·
Dari istri keempat Bilhah yang melahirkan
11.
Dan
12. Naftali
Namun Yaqub begitu kentara terlihat amat menyayangi Yusuf dan Benyamin
yang dilahirkan dari Rahil yang cantik dan paling dicintai dari istri-istri
yang lainnya, sehingga menimbulkan kecemburuan bagi kakak-kakaknya.
Tanah Palestina
yang strategis secara geografis, sebagai yang disebut tidak di Timur dan tidak di Barat (QS 24:35), dan sebagai
titik pertemuan tiga benua, Asia, Eropa dan Afrika. Juga secara ekonomi akibat
pengaruh lima imperium besar pada masa tersebut yaitu Romawi, Persia, Mesir,
Babylonia, dan China. Berdasarkan letaknya yang strategis itulah, maka
wilayahnya selalu menjadi ajang perseteruan, baik dari penduduk di dalamnya
sendiri maupun yang datang dari luar. Seperti, kekuasaan imperium-imperium
besar dunia di masa itu, imperium Mesir,
imperium Persia, Babylonia, imperium Roma. Dan kemudian kekhalifahan Islam,
disusul lagi oleh bersatunya kerajaan-kerajaan Eropa pun tertarik untuk dapat
menguasai tanah di wilayah ini yang. Apalagi setelah Napoleon membangun terusan
Suez yang dapat memotong jauh lebih singkat perjalanan laut dari Eropa untuk
mencapai ke Asia Timur bahkan sampai ke Nusantara. Bila telah memahami kesatuan
alur cerita tersebut maka kita akan melihat melalui hati kita sebuah pelajaran
kehidupan yang bernilai tinggi.
Bani Isra’il amat terobsesi
oleh 2 hal dari pernyataan (firman) Tuhan yang menyebutkan bahwa mereka
adalah umat (bangsa) yang terpilih (QS 2:47)
dan Palestina sebagai tanah
yang dijanjikan kepada mereka (QS 5:21). Dan kedua hal tersebut
telah mengaburkan hal-hal lainnya dalam satu kesatuan ajaran yang disampaikan
nabi-nabi dari kalangan mereka sendiri, bahkan tak segan mereka melakukan
perbuatan yang dilarang Allah demi tercapainya 2 obsesi tersebut, walaupun
harus melakukan persekongkolan jahat sampai kepada pembunuhan dan
pembantaian. Termasuk terhadap nabi-nabi dan rasul-rasul utusan Tuhan yang
mereka anggap menghalangi obsesi mereka.
“Hai bani Isra’il, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan
kepadamu dan bahwasanya Aku
telah melebihkan kamu atas segala umat.” (QS 2:47)
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah
bagimu, dan janganlah kamu
lari ke belakang....” (QS 5:21)
Membuat
karya-karya sastra (sifir-sifir), yang kemudian dipaksakan kepada kaumnya
dengan mengatakan bahwa karya-karya itu adalah bagian dari firman-firman Tuhan (Taurat)
yang tercecer dan sempat hilang, untuk menggalang persatuan diantara mereka.
Inilah yang dicela oleh Allah, bahwa mereka telah mengubah dengan
menambah-nambahkan serta mengurang-ngurangi isi kitab Allah.
Watak dan
tabiat mereka tersebut amat mempengaruhi kehidupan keagamaan mereka, dan
bukanlah agama yang justru membentuk watak dan tabiat mereka. Watak tabiat
mereka yang kejam telah terbentuk sejak Yaqub masih hidup dan Yusuf serta
Benyamin masih kanak-kanak, seperti yang dikisahkan di dalam Al Qur’an
bagaimana Yusuf dibuang oleh mereka, kakak-kakaknya sendiri, dan dibiarkan nasibnya
tak menentu dan dianggap telah mati.
Nasib Yusuf
kanak-kanak yang tragis itu, ternyata tak seburuk perkiraan, ternyata dia
ditemukan kafilah pedagang yang hendak pergi ke Mesir. Sekalipun dia diambil
dan dijual sebagai budak belian di Mesir, bahkan harus masuk dan mengalami
hidup di penjara selama beberapa tahun, namun karena kesabaran dan ketawakalan
terhadap Tuhannnya, akhirnya diapun mencapai kemuliaan yang tinggi. Dipercaya
raja Mesir untuk mengelola perbendaharaan pangan negri Mesir (semacam kepala
Bulog).
Pada mulanya mereka hidup dalam
kemewahan bangsawan kerajaan Mesir, karena jasa Yusuf menakwilkan mimpi raja
Mesir (Fira’un) maka hanya Mesir-lah satu-satunya negri yang siap menghadapi
kemarau panjang selama 7 tahun. Seperti yang dikisahkan dalam Al Qur’an.
“Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada
kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh
ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan
(tujuh) lainnya yang kering, agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.” (QS 12:46)
.
“Yusuf berkata : Supaya mereka bertanam tujuh tahun
(lamanya) sebagaimana biasanya, maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit
untuk kamu makan. Kemudian setelah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa
yang kamu simpan untuk menghadapinya, kecuali sedikit (sebagai bibit) dari yang kamu
simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi
hujan dan di masa itu mereka memeras anggur.” (QS 12:47-49)
Begitulah
bani Isra’il ikut menikmati kemewahan hidup berkat jasa Yusuf yang tak menaruh
dendam kepada saudara-saudaranya yang telah berlaku keji kepadanya.
Akan tetapi,
setelah ratusan tahun lamanya, ternyata situasi politik negri itu
akhirnya berubah. Rupanya raja Mesir yang memerintah saat Yusuf mengalami
kemewahan adalah bagian dari rezim penjajah dari kaum Amalik Hyksos (Babylonia,
sekarang Yordania tetangga Palestina). Situasi pun berubah, setelah penguasa
selanjutnya yang memimpin Mesir kemudian adalah kaum pribumi Mesir yang telah
berhasil mengusir penjajah mereka. Maka begitupun nasib keluarga besar Yaqub,
bani Isra’il, berubah pula menjadi dibawah tekanan pribumi kemudian dijadikan
bangsa budak, karena dianggap sebagai antek penjajah. Padahal mereka
hanya diuntungkan, oleh situasi dan kondisi pada waktu sebelumnya sebagai
warga kelas dua. Layaknya etnis keturunan Tionghoa, India dan Arab pada masa
kolonial Belanda di Nusantara.
Pernah pula mereka
melakukan perlawanan bawah tanah atau pemberontakan, namun selalu
digagalkan. Dan karena hal tersebutlah mereka semakin ditekan dan ditindas
rezim Fira’un dengan keluarnya kebijakan pembunuhan setiap bayi
laki-laki bani Isra’il yang lahir untuk memutus mata rantai perlawanan mereka
yang selalu menyusahkan rakyat Mesir dengan keburukan dan kejahatan watak
tabiat mereka. Seperti di masa penjajahan sebelumnya, mereka sangat menguasai
perekonomian dan moneter yang amat menekan pribumi, karena keserakahan dan
ketamakan akan materi kehidupan
dunia. Hal ini persis seperti yang mereka
lakukan di Jerman dari masa sebelum Perang Dunia ke I hinggga sebelum Perang
Dunia ke II, yang membuat Adolf Hitler pun merasa geram seperti geramnya
Fira’un, sehingga terjadilah genosida terhadap bangsa Yahudi. Begitulah watak
dan tabiat bani Isra’il tak pernah dapat berubah, walaupun ribuan tahun telah
berlalu.
Kita kembali kepada alur
kisahnya. Setelah exodus oleh nabi Musa dan nabi Harun terhadap bani Israil
keluar dari bumi Mesir dan dari cengkeraman Fir’aun, pernah pula mereka
melakukan penghianatan terhadap perjanjian dengan Tuhannya. Yaitu, pada saat
peristirahatan perjalanan mereka menuju Palestina, ketika Musa bermunajat di
bukit Thursina selama 40 malam, kebiasaan lama mereka kambuh lagi dengan
membuat dan menyembah berhala sembahan berupa patung anak sapi yang disepuh
dengan emas. Nabi Musa pun turun dengan marah, setelah mengetahui dari Allah
atas perbuatan mereka. Akibat peristiwa ini terjadilah dua kubu yang menimbulkan
perseteruan berdarah, yaitu yang setia kepada Allah dan nabi-Nya melawan para
penentang-Nya yang lebih menyukai penyembahan berhala, dan terjadilah perang
saudara diantara mereka sendiri yang menimbulkan korban jiwa hingga ribuan
nyawa melayang.
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah
bagimu, dan janganlah kamu
lari ke belakang....” (QS 5:21)
Kemudian, setelah kejadian
tersebut, dan setiba mereka disekitar luar wilayah Palestina, terjadi kembali
keingkaran mereka terhadap perintah Tuhannya, dan lebih menyukai hidup
terkatung-katung diluar sekitar wilayah Palestina yang panas dan kering selama
40 tahun. Bahkan hingga wafatnya nabi Musa, mereka masih belum bisa masuk ke
wilayah Palestina, karena takut menghadapi perlawanan, dan tak adanya keimanan
terhadap perintah Tuhannya (QS 5:21).
“Mereka berkata, hai Musa, sesungguhnya di dalam negri itu ada orang-orang yang gagah
perkasa, sesungguhnya kami
tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar daripadanya, pastilah kami akan
memasukinya.” (QS 5:22)
Bahkan mereka mengecam Musa dan Harun karena hidup terlantar
di padang pasir, seperti bunyi kutipan dari sifir Khuruj 317 (yang
dianggap bagian dari Taurat oleh bani Isra’il) mereka di bawah ini,
· Alangkah
baiknya kalau kami mati saja di bumi Mesir itu, karena kami dapat senantiasa
akan dapat duduk di sisi periuk daging dan makan roti sehingga kenyang. Kamu
berdualah yang telah mengeluarkan kami dari kemewahan kepada penderitaan,
karena kamu berdua hendak membunuh bangsa kami dalam kelaparan.
·
Di sebagian padang pasir itu tidak dapat
ditemukan air. Maka seluruh rakyat pun mengecam Musa dan menentang dengan
berani. Mereka berkata : Mengapa kamu singkirkan kami dari bumi Mesir dengan
tujuan hendak membunuh kami, anak-anak kami dan binatang ternak kami dengan
kehausan.
Sepeninggal
Musa, mereka benar-benar dalam kesesatan tanpa bimbingan nabi utusan Allah.
Telah kita ketahui sebelumnya, dengan keberadaan nabi Musa diantara mereka yang
tegas dan berwibawa saja, telah banyak dan berani melanggar perjanjian dengan
Tuhannya, tentu apalagi tanpa beliau. Masa-masa setelah beliau, mereka hanya
dipimpin oleh ketua-ketua yang diangkat berdasarkan suku-suku mereka.
Di dalam sifir
Yusya, ishah 6, disebutkan, bahwa mereka bani Isra’il melakukan
pembantaian massal terhadap penduduk kampung atau kota kecil bernama Ariha
untuk mendudukinya, setelah melalui cara-cara pengintaian (spionase) oleh
Yusya’ bin Nun yang diangkat mereka sebagai pengganti Musa dan tinggal bersama
keluarga perempuan pelacur bernama Rahab di kampung tersebut.
Dengan
peristiwa tersebut, maka penduduk di sekitar kota itu menjadi lebih
berhati-hati terhadap mereka, sehingga mereka pun tak lebih menguasai kecuali
hanya daerah-daerah pedalaman yang berbukit-bukit, dan belum sampai kepada tanah
yang dijanjikan. Karena mereka mendapati perlawanan dan peperangan kecil
yang tak kunjung padam dari kabilah-kabilah di sekitar wilayah Palestina
seperti suku Moab dan sebagian kecil penduduk Madyan.
Samuel yang
dianggap sebagai orang suci mereka, diminta untuk mengangkat seorang raja
diantara mereka, sekalipun dikatakan kepada mereka belum waktunya bagi mereka,
namun mereka tetap memaksa hendak memiliki seorang raja seperti bangsa-bangsa
lain. Begitulah seperti yang disebutkan dalam sifir Samuel I, ishah
8.
Akhirnya
dinobatkanlah Saul (yang disebut Talut dalam QS 2:249), yang kemudian banyak
melakukan peperangan yang gagah berani. Dan adalah Daud sebagai bagian dari
tentara pasukannya yang berjasa dan menjadi pahlawan dalam suatu peperangan
melawan Palestina yang dipimpin Jalalabat (Jalut) yang terbunuh pada
pertempuran tersebut, dalam sifir Samuel I ishah 17. Namun terjadi
persaingan antara raja Saul dengan Daud, karena kecemburuannya. Akibat
persaingan itu, menjadi lemahlah kekuatan kerajaan Saul, dan diambil kesempatan
oleh orang-orang Palestina, sehingga Saul pun terbunuh dalam pertempuran
tersebut.
Daud menjadi
pemimpin dan dinobatkan menjadi raja setelah mematahkan perlawanan Ishbosheth
bin Saul bersama panglima tentara ayahnya, dan setelah itu, barulah seluruh
wilayah Palestina dapat mereka rebut dan duduki sebagai wilayah negrinya yang
berdaulat. Padahal pemerintahan Daud dan Sulaiman dapat kuat karena diuntungkan
oleh situasi dan kondisi melemahnya ketegangan antara tiga imperium besar
Romawi, Mesir, dan Persia pada masa-masa tersebut. Tetapi lebih sering mereka
dirugikan, karena posisi tanah tersebut yang terjepit berada di tengah-tengah
ajang pertempuran ketiga imperium tersebut. Keberadaan kerajaan Yahudi (bani
Isra’il) ini berlangsung sebatas setelah 2 anak Sulaiman yang saling berebut
kekuasaan sehingga terpecahnya menjadi dua kerajaan kecil.
Kedaulatan
bani Isra’il yang memiliki raja dan kerajaannya berlangsung tak lebih hanya
seratus tahun saja. Hingga datanglah masa penjajahan imperium Persia dengan
rajanya Cyrus yang menaklukkan negri Babylon, maka Palestina pun ikut sebagai
wilayah yang ditaklukkannya. Pada masa ini pulalah masuknya unsur-unsur
kepercayaan bangsa Persia mempengaruhi keagamaan bani Isra’il. Seperti
kepercayaan tentang mesiah (al
Masih atau juru selamat) yang ditunggu, yang diambil dari mitos-mitos
bangsa Persia (Samaria atau Sumeria), dan dipercaya sampai kini dan terbungkus
ajaran-ajaran Islam oleh sekte Syi’ah sebagai Imam Mahdi yang akan datang
(bahkan sebagian umat muslim percaya sebagai yang terdapat di dalam hadits
nabi).
Kemudian
masuk kembali penjajahan imperium Romawi setelah menaklukkan imperium Persia,
dan menguasai pula wilayah Palestina. Mereka bahkan lebih kejam dan menindas
bani Isra’il, Haikal (rumah peribadatan mereka yang dibangun oleh nabi
Sulaiman) dirobohkan dan diganti dengan Haikal baru yang lebih memaksakan
nuansa Romawi-Yunani dengan dewa-dewanya sebagai berhala pemujaan pengganti
kepercayaan bani Isra’il sebelumnya.
Keadaan ini
sampai setelah kedatangan nabi Zakaria, Yahya, dan Isa, Imperium Romawi masih
berkuasa untuk menduduki sebagai wilayah jajahannya. Sejak itulah bani Israil
selalu bermimpi dan berharap memiliki pemimpin yang kuat yang
dapat mempersatukan kaumnya sebagai mesiah (juru selamat), seperti Daud,
sehingga dapat merasakan nikmatnya tinggal di atas tanahnya sendiri.
Bahkan sampai kepada setelah
masa nabi Muhammad SAW, yaitu pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab ra,
barulah imperium Roma dapat ditaklukkan dan terusir dari bumi Palestina, serta
dikuasai sepenuhnya oleh bangsa Arab (yaitu keturunan Ibrahim dari Siti Hajar
yang melahirkan Isma’il). Sekalipun mereka (bani Israil) tetap dapat tinggal di
situ, sayangnya, tetap mereka tak merasa
tinggal di atas tanahnya sendiri pula. Bahkan dengan intrik-intrik mereka yang
akhirnya dapat membujuk minat raja-raja eropa (kaum Nasrani) untuk merebut
tanah Palestina, sebagai tanah suci umat Nasrani pula. Karena tanah tempat
Yesus (nabi Isa) dilahirkan. Sejak itulah terjadi Perang Salib selama
berabad-abad. Dan menimbulkan perseteruan abadi ketiga umat besar dunia,
yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam.
“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka
terpecah belah menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada sisi mereka.” (QS 23:53)
Selain sifir-sifir di dalam Taurat Musa sebagai sumber kehidupan
keagamaan bagi bani Isra’il, mereka pun mensucikan sumber-sumber lainnya,
seperti riwayat-riwayat atau mitos yang telah berusia ratusan hingga ribuan
tahun, juga keputusan-keputusan (fatwa) ulama atau pendeta mereka yang telah
menjadi kesepakatan.
Talmud, adalah riwayat masa lalu yang dikisahkan dari mulut ke
mulut dan menjadi mitos sehingga mempengaruhi pola pikir keagamaan mereka, dan
inipun dikeluarkan dan disyi’arkan lagi dari mulut para Hakham (orang-orang
yang dianggap bijak, suci, atau para pendeta/rabbi) dari generasi ke generasi.
Pada masa sekitar tahun 150, setelah Isa Al Masih, seorang hakham
bernama Judas, merasa khawatir riwyat turun temurun yang berharga di matanya
tersebut hilang dan terlupakan, maka ia mengumpulkannya ke dalam kitab yang
dinamakannya al Misyna (syari’at yang diulang-ulang) yang berisi penafsiran
syariat Taurat Musa yang telah menjadi mitos-mitos berusia lebih dari 500
tahun. Kemudian obsesi tentang Palestina sebagai tanah
yang dijanjikan dan kisah-kisah tentang penawanan Babylon sebagai
tambahan-tambahan yang dimasukkan ke dalam kitab tersebut.
Keduanya ini yang tersebar luas dan terkenal di kalangan
Yahudi sebagai Talmud Jerusalem dan Talmud Babylon. Dan mereka menganggap
Talmud tersebut sebagai kitab yang turun dari langit, dan meletakkannya
setingkat dengan Taurat. Sebagai yang diturunkan bersamaan kepada nabi Musa di
Thursina, Taurat diberikan dalam bentuk tertulis, dan Talmud dalam bentuk
lisan. Bahkan ada diantara mereka yang menempatkan Talmud ini lebih tinggi dari
Taurat. Dan jika sesorang diantara mereka yang melanggar para Hakham akan disiksa
dengan siksaan yang berat, sedangkan yang melanggar syari’at Taurat Musa
dosanya masih bisa dimaafkan. Tetapi yang melanggar Talmud akan dihukum mati.
Protokol Pendeta-Pendeta Zionis, adalah bentuk-bentuk permufakatan
jahat terhadap kemanusiaan yang direncanakan secara sistematis dan mendapat
dukungan penuh dari seluruh kalangan Yahudi, terutama finansial dan kesetiaan
penuh. Protokol-protokol ini dihasilkan dalam muktamar-muktamar yang
dirahasiakan. Ini lebih kepada balas dendam dan hasrat mencapai obsesi yang
dicita-citakan sejal lama oleh para pendahulu mereka, bahkan nenek moyang
mereka sejak exodus dari bumi Mesir.
Sempat ada kebocoran rahasia tersebut, yang sebagian
dokumen-dokumen hasil Muktamar Bale (1897) dilarikan oleh seorang nyonya
Perancis ke Rusia dan sampai kepada ketua agen rahasia Kekaisaran Rusia Timur
Alex Nikola Nivieh, pada tahun 1904, kemudian akhirnya dokumen tersebut
disiarkan melalui siaran radio. Dan setelah monarki Rusia mengalami keruntuhan,
digantikan oleh rezim Komunis, maka menjadi masa-masa kesulitan bagi etnis
Yahudi di sana sebagai yang bekerja di kamp-kamp kerja paksa dan mengalami
pengasingan di Siberia. Kembali mereka mengalami seperti masa-masa dahulu di
Mesir dan Babylon.
AGAMA NASRANI
“(Isa)
tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya karunia
(kenabian) dan Kami
jadikan dia sebagai bukti (kekuasaan Allah) untuk bani Isra’il.”
(QS 43:59)
Dialah mesiah (al Masih) yang ditunggu-tunggu bani Isra’il
sebagai juru selamat dari
ketertindasan mereka selama ini (akibat penjajahan imperium Romawi), dan
mengeluarkan serta mengantarkan mereka ke kerajaan Tuhan yang penuh berkah,
seperti Daud yang merebut Yerusalem dan menjadikannya sebagai ibukota
kerajaannya.
“Dia
(Maryam) berkata: ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal tidak
ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku? Dia (Allah) berfirman: demikianlah Allah menciptakan apa
yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, jadilah! Maka jadilah sesuatu itu”. (QS
3:47)
A. Masa Kehidupan Isa Al Masih
Terjadi kegemparan di kalangan bani Isra’il, setelah
kelahiran Isa dan karena keajaiban-keajaibanya yang memukau. Ketika dalam
buai-an telah dapat berbicara layaknya orang dewasa menerangkan kesucian ibunya
oleh sebab ia dilahirkan tanpa bapak (kelak, Isa pun sering memakai dan
lebih menyukai istilah bapak di surga
yang dinisbahkan kepada Allah. Dan hal inilah yang kelak mengakibatkan timbulnya
persepsi-persepsi keagamaan, diantaranya yang dikenal sebagai paham trinitas yang menimbulkan pro dan
kontra). Juga di masa kanak-kanaknya sering menghilang dari ibunya dan menghadiri
kebaktian-kebaktian di rumah-rumah ibadah para pendeta (rahib) dari kaum Farisi
kemudian mengkritik serta mencela ajaran-ajaran mereka dengan
argumen-argumennya yang memukau segenap yang hadir di situ.
“Dan
ingatlah, ketika Allah berfirman: wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku
kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu
dengan rahulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan setelah
dewasa.......” (QS 5:110)
Sayangnya
apa yang mereka harapkan dari Isa Al Masih (sang Mesiah) malah tak sesuai
dengan keinginan yang telah mereka cita-citakan sejak lama. Mesiah yang mereka
tunggu-tunggu, ternyata datang membawa kritikan-kritikan terhadap kehidupan
keagamaan mereka yang dianggap salah dan keluar jalur, dan harus dibenahi.
Tentunya hal ini menimbulkan reaksi mereka, terutama kaum Pharesee (Farisi)
dari garis keturunan Lawi (Levi), sebagai penguasa keagamaan bani Isra’il pada
masa itu yang diuntungkan karena dapat menumpuk harta kekayaan yang dipungut
dari sedekah, upacara-upacara keagamaan, korban persembahan-persembahan bagi
tuhan berhala mereka, dan lainnya.
Sementara,
hampir ia tak pernah sekalipun mencela dan mengkritik pemerintahan Romawi,
kecuali hanya mengkritik mereka para pemungut cukai (pajak). Hal ini
pulalah yang membuat semakin dendamnya kaum Farisi kepadanya, karena bila
kepada mereka yang memungut sedekah dari umat malah dicelanya, sementara
kepada pemerintah penjajah ia tak memperdulikannya kecuali hanya kepada
person-person pemungut cukai (pajak) pegawai dari kalangan bani Isra’il
sendiri.
Sehingga
semakin jelas bagi mereka yang mencita-citakan negara Yahudi yang berdaulat tak
dapat lagi menaruhkan harapannya kepada Isa (Yesus) putera Maryam sebagai sang mesiah, juru selamat bani Isra’il.
Maka timbullah kembali watak tabiat buruk mereka kepada bentuk persekongkolan
jahat yang hendak membunuh nabi mereka lagi, setelah sebelumnya belumlah lama
berselang, mereka telah membunuh nabi Yahya, dan juga sebelumnya pula telah
membunuh ayahnya, yaitu nabi Zakariya. Maka lengkaplah yang difirmankan Allah
di dalam Al Qur’an, bahwa mereka adalah sebagai bangsa yang membunuh nabi-nabi
utusan Allah dari kalangan mereka sendiri.
“..... dan mereka
kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian
itu karena mereka kafir terhadap ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi
tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui
batas.” (QS 12:103)
Ada sebuah kisah di dalam Injil, yang juga dimana
mereka kaum Farisi berusaha menjebak Isa (Yesus) dalam suatu kesalahan yang
dapat dihukum oleh kuasa penjajah Romawi, pemerintah saat itu, dapat pula
sebagai pelajaran bagi umat sesudahnya. Yaitu ketika ada seorang wanita penzina
yang telah ditangkap mereka bersama penduduk, kemudian Yesus (Isa) pun
dihadapkan dengan permasalahan tersebut. Bila Yesus memutuskan hukum rajam yang
berlaku di kalangan bani Israil seperti yang diajarkan Taurat sejak zaman Musa,
maka menjadi ada kesempatan bagi mereka untuk menyeret Yesus ke mahkamah
peradilan kolonial Romawi yang tak mengenal hukum rajam. Namun apa yang
terjadi? Ternyata ia hanya berkata, barangsiapa
yang tak pernah melakukan dosa maka berhak melempar batu kepada wanita itu.
Dan tak seorang pun, termasuk para Farisi itu, yang berani melakukannya.
Kemudian bebaslah wanita penzina itu dari hukuman rajam, dan bebas pula Yesus
dari siasat para pendendam kepadanya.
“Dan
ingatlah, ketika Allah berfirman: wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku
kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu
dengan rahulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan setelah
dewasa. Dan
ingatlah ketika Aku mengajarkan menulis kepadamu. (Juga) hikmah taurat dan injil. Dan ingatlah ketika engkau membentuk dari tanah
berupa burung kemudian engkau meniupnya, lalu menjadi seekor burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah
ketika engkau menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang
yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau mengeluarkan
orang mati (dari kubur dan menjadi hidup) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah
ketika Aku menghalangi bani israil (dari keinginan mereka membunuhmu) dikala
engkau mengemukakan keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara
mereka berkata: ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” (QS 5:110)
Di masa kehidupannya, al Masih
sebagai yang tak menginginkan kehidupan dunia, beliau selalu berkeliling
menjalani kehidupan zuhud (mengutamakan kehidupan akhirat), mengutamakan mereka
yang dalam kesulitan dan kesusahan dengan penuh rasa kasih sayang, tetapi tegas
terhadap mereka yang ingkar. Dia selalu diliputi penderitaan tanpa pernah
mengeluhkannya, termasuk kepada Tuhannya. Sungguh sebagai contoh teladan yang
tidak hanya bagi bani Isra’il, melainkan sebagai teladan bagi umat-umat yang
jauh setelahnya. Maka benarlah firman Tuhan yang mengatakan, dia sebagai yang tersohor ketika dilahirkan,
diwafatkan, dan ketika dibangkitkan.
“.... seorang
terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), ....” (QS 3:45)
Banyaknya mu’jizat sebagai
tanda-tanda kekuasaan Tuhannya, yang melalui tangannya ditunjukkan sebagai
bukti kedekatan dia dengan Tuhannya. Namun hal ini selain menjadikannya banyak
pengikut yang hendak mendapatkan berkah melaluinya, namun juga menimbulkan
persepsi beragam bagi mereka pengikutnya, yang apatis terhadapnya, maupun yang
anti terhadapnya, bahkan hingga munculnya konsep trinitas di belakang
hari jauh setelah wafatnya Isa al Masih.
B.
Masa Setelah
Isa Al Masih
Setelah
Yesus (Isa al Masih) tidak ada lagi, kelompok kecil para rasul (hawariyun atau sahabat Isa) dan
beberapa sekte yang timbul dan mengadakan kelompok-kelompok ibadat atau
kebaktian. Sesungguhnya sejak masa masih berada bersama mereka pun, telah
timbul diantara mereka (Yahudi-Kristen atau Judeo-Christian) sebagai yang
mempercayai ketuhanan Yesus dan yang menganggapnya sebagai mesiah atau
nabi seperti nabi-nabi mereka sebelumnya, namun belumlah terbuka secara
terang-terangan sebagai sekte-sekte yang memisahkan diri. Hal ini disebabkan persepsi
mereka yang beraneka ragam menanggapi istilah yang dipakai Yesus (Isa) terhadap
penyebutan Tuhannya dengan menggunakan kalimat bapak di surga.
Hal inipun semakin meruncing setelah Yesus
(Isa) tak bersama mereka lagi, dan setelah sekian lama dalam pelarian mereka,
dimana pengikut mereka semakin bertambah banyak dan tersebar jauh dari
Jerusalem sampai ke Yunani, Roma, Turki. Banyak para pemeluk agama baru
tersebut dari kalangan bukan Yahudi, dan sebelumnya adalah penyembah berhala
(kaum pagan). Dipelopori oleh Paulus yang mengaku didatangi Yesus (Isa),
sehingga sebagian merekapun menganggapnya sebagai rasul, mengusulkan kemudahan
bagi mereka para pemeluk baru dari kaum pagan agar dibebaskan dari kewajiban
khitan (bersunat) dan upacara-upacara keagamaan yang berbau Yahudi.
Hal ini
disebabkan karena agama Nasrani ini yang jauh lebih berkembang di luar wilayah
asalnya, selain banyak dianut oleh non Yahudi, juga hendak menghilangkan
unsur-unsur Yahudi dari agama baru ini. Dan timbullah bentrokan antara mereka
yang pro dan kontra terhadap seruan Paulus tersebut di Antioch, Turki. Dalam
hal ini, pihak yang berseberangan dengan Paulus adalah Jacques seorang kerabat
Yesus pemimpin Judeo-Christianism. Dari mereka inilah Yahudi-Kristen, sebagai
orang-orang yang menulis dokumen-dokumen Kristen kuno yang kelak banyak
ditemukan sebagai manuskrip-manuskrip sumber yang mereka anggap otentik bagi periwayatan
dan penulisan Injil Kanonik (Injil yang telah disahkan Gereja Roma). Namun
dibelakang hari, menimbulkan keraguan di kalangan mereka sendiri untuk
mempertahankan anggapan tersebut.
Bagaimanapun,
catatan-catatan peninggalan masa lalu yang banyak tersebar dan dianggap ditulis
orang-orang suci, adalah sebagai yang telah terkontaminasi kebiasaan lama orang
Yahudi yang terbiasa memasukkan mitos-mitos yang berbau kepentingan dan
cita-cita mereka, bahkan juga mitos-mitos dari agama atau unsur kebudayaan
dimana nenek moyang mereka sempat tinggal, seperti mitos-mitos Mesir, Babylon,
Persia dan Romawi.
Diantaranya ada beberapa contoh
mendasar yang selama ini terkesan dipaksakan pada sebagian besar kisah-kisah
yang terdapat dalam empat Injil, dan khususnya pada silsilah keturunan sebelum Yesus yang berujung
kepada Daud dan Adam, padahal Yesus (Isa) tak memiliki ayah biologis.
Keganjilan-keganjilan yang membuka peluang adanya ketidak aslian pada
penyusunan kitab suci mereka, atau sekedar adanya kesalahan-kesalahan yang
merupakan kecerobohan dalam periwayatan oleh mereka yang sebagai pelaku saksi
sejarah yang dianggap murid Yesus atau rasul. Tetapi jika menyadari banyaknya
keganjilan, maka menjadi lebih pada kesan pertama yang lebih dominan. Sehingga
menimbulkan persepsi, bukan hanya ketidak aslian saja yang menjadi bukti,
melainkan keteledoran yang amat bodoh yang dilakukan mereka dalam penyusunan
riwayat, apalagi sebagai kitab suci.
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al Kitab
dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya : ini dari Allah, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit
dari perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh
tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.” (QS 2:79)
Jika hal ini dipaksakan terus
dan mempertahankannya, bukan tak mungkin pada suatu waktu nanti akan menjadi
bumerang bagi kelembagaan gereja mereka sendiri. Seperti yang pernah terjadi di
abad pertengahan, ketika lembaga gereja menolak keras penemuan Galileo Galilei,
yang berdasarkan pemgamatan melalui teleskopnya, tentang pergerakan bumi
mengitari matahari. Kemudian lembaga Gereja Katholik Roma menghukum mati dia,
karena bertentangan dengan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang menyebutkan
bumi sebagai pusat alam semesta. Dan akhirnya, sungguh amat mencoreng dan
menghinakan lembaga suci keagamaan mereka setelah penemuan Galileo Galilei
sebagai yang tak terbantahkan lagi secara meluas, apalagi setelah ilmu
antariksa dan tekhnologi alat bantu pengamatan semakin berkembang hanya dalam
satu atau dua abad setelahnya.
C.
Konsep Ketuhanan
Di dalam sejarahnya, konsep ketuhanan
Yesus ini berkembang pesat di Eropa pada abad ke 2 setelah penyaliban
Yesus, khususnya Roma yang mengambil inisiatif konsep ini kemudian
menyebarkannya ke seluruh Eropa, serta kemudian ke seluruh dunia berdasarkan
kekuasaan kepausan dengan hasil konsili-konsili (ijma yang menjadi fatwa
para ulama nasrani) yang menetapkan Trinitas sebagai dasar iman
ketuhanan. Yang juga membabat habis
sampai ke akar-akarnya para pendeta maupun uskup-uskup yang menentang
konsep ini di seluruh Eropa hingga Afrika. Bahkan sampai pada abad pertengahan,
para ilmuwan dengan penemuan-penemuannya yang menambah khasanah ilmu
pengetahuan pun yang bertentangan dengan fatwanya terkena hukuman penjara dan
hingga hukuman mati. Seperti yang dialami oleh Galileo Galilei, ia duhukum mati
karena mengumumkan hasil penelitiannya yang tidak selaras atau sesuai dengan
kitab Kejadian (Genesis), yaitu di dalam kitab ini disebutkan bahwa bumi adalah
pusat alam semesta., sementara ia melalui teleskopnya mendapati bahwa bumilah
yang bergerak mengitari matahari.
Padahal di tempat asalnya, Yerusalem
yang pada saat itu dibawah kekuasaan Roma, setelah penyaliban Isa al Masih,
tidaklah demikian. Para pengikutnya lari karena dikejar-kejar dengan ancaman
hukuman mati. Pengejaran ini sampai ke Eropa, yang justru malah berkembang
pesat dan bahkan dijadikan agama resmi kekaisaran Roma.
Marilah kita pahami secara mendetail mengapa konsep ini dapat
diterima sebagian manusia yang berada di muka bumi ini.
“(Ingatlah), ketika para malaikat berkata :
wahai Maryam! Sesungguhnya Allah menyampaikan
kabar gembira kepadamu tentang sebuah kalimat (firman) dari-Nya
(yaitu seorang putra), namanya al Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di
akhirat, dan
termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia
berbicara dengan manusia (sewaktu) dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan dia termasuk diantara
orang-orang saleh”. (QS 3:45-46)
Perhatikan dan pahami makna dari kata
dan kalimat yang dicetak tebal dan menghubungkannya dengan pembahasan pemahaman
sebelumnya, yaitu hakikat dari segala HAKIKAT.
Kemudian,
“Dia
(Maryam) berkata : ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal tidak ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku? Dia
(Allah) berfirman : demikianlah Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki.
Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, jadilah!
Maka jadilah sesuatu itu.” (QS 3:47)
“Dan
ingatlah, ketika Allah berfirman : wahai Isa putra Maryam ! Ingatlah nikmat-Ku
kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu
dengan rahulkudus .......” (QS 5: 110)
Ini adalah firman Allah SWT di dalam al
Qur’an yang kita pun harus atau wajib mengimaninya. Mengapa ini jadi penting?
Ini menjadi penting sebagai petunjuk dari Allah dalam mengarahkan menuju kepada
pemahaman tentang konsep ketuhanan yang benar, sesuai yang dikehendaki-Nya.
Yaitu Tauhid (ke-Esa-an Tuhan).
Selanjutnya, didalam iman Kristen juga
disebutkan, ..... pada mulanya ia adalah Firman, kemudian berubah menjadi anak manusia ...... Selanjutnya Allah sebagai Tuhan Bapa dan Roh Kudus yang dianggap sebagai satu kesatuan di
dalam kalimat syahadat mereka menjadi dasar konsep trinitas yang
wajib diimani umatnya.
Mengapa ini terjadi, dan begitu kuat
mempengaruhi sebagian populasi bumi?
Ini tidak terlepas dari dari pemahaman
masa lalu, yaitu pada masa-masa nabi Isa al Masih hidup, pemakaian bahasa serta istilah-istilah yang
menggunakan kata-kata dan kalimat kiasan dan analogi yang indah didengar dan
memukau para pendengarnya. Seperti anak-anak tuhan, tangan tuhan,
di mata tuhan, dan bahkan Yesus sendiri menggunakan istilah bapak
di surga yang dinisbahkan kepada Allah, yang dapat disalah artikan bagi orang awam tetapi kemudian malah
dikemas oleh para penguasa agama sebagai pemahaman yang wajib diimani
bahwa adanya Tuhan Bapak dan Tuhan
Anak. Yang juga di masa itu banyak orang yang membuat karya-karya sastra
yang disukai masyarakatnya, bahkan hingga bercampur baur dengan
kitab-kitab yang berisi firman-firman
Allah. Itu pulalah yang dikutuk dan disebutkan di dalam al Qur’an sebagai
mereka yang suka menukar, menambahkan, dan merubah kitab Allah.
Ditambah lagi dengan mukjizat-mukjizat yang diberikan Allah kepada
Isa al Masih (seperti lanjutan ayat QS al Ma’idah ayat 110 yang disebutkan di
atas),
“Dan
ingatlah, ketika Allah berfirman: wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku
kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu
dengan rahulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan setelah
dewasa. Dan
ingatlah ketika Aku mengajarkan menulis kepadamu. (Juga) hikmah taurat dan injil. Dan ingatlah ketika engkau membentuk dari tanah
berupa burung kemudian engkau meniupnya, lalu menjadi seekor burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah
ketika engkau menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang
yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau mengeluarkan
orang mati (dari kubur dan menjadi hidup) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah
ketika Aku menghalangi bani israil (dari keinginan mereka membunuhmu) dikala
engkau mengemukakan keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara
mereka berkata : ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” (QS 5:110)
Cermatilah tentang seorang anak manusia yang lahir tanpa bapak
kemudian menganggap Allah sebagai bapaknya, yang justru kelak ketika ia menjadi
seorang yang terkemuka, dan apa-apa yang dianggapnya itu, dianggap dan
dibenarkan pula oleh pengikutnya. Dikarenakan dia adalah teladan yang baik
untuk diikuti, dikarenakan setiap perbuatannya mengandung mukjizat-mukjizat
perbuatan Tuhan, dan dikarenakan pula ia terlahir ajaib dan telah dapat
berkata-kata kepada orang dewasa saat masih bayi (dalam buaian). Perbuatannya
tak pernah mengandung cela bahkan mulia diantara manusia lainnya.
“Dan
(ingatlah) ketika Allah berfirman : Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah. (Isa)
menjawab : Maha Suci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa
yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah
mengetahuinya.
Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan
aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sunguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.” (QS 5:116)
“Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka selain yang Engkau
perintahkan kepadaku (untuk menyampaikannya), sembahlah Allah, Tuhan-ku dan Tuhan-mu. Dan aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada diantara
mereka.
Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah pengawas mereka, dan Engkau Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS 5:117)
“Jika
Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah
hamba-hamba Engkau, dan Jika
Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya
Engkau-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS 5:118)
Sebagian umatnya yang percaya
kepadanya, ada yang menganggapnya seorang manusia suci penyampai firman Tuhan,
dan ada yang menganggapnya sebagai Tuhan yang turun ke bumi berdasarkan
sifat-sifat dan perbuatan yang luar biasa
yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang manusia, akan tetapi
kebanyakan pula yang anti terhadapnya akibat hasutan dan propaganda kaum Farisi
yang terancam kedudukannya sebagai pemuka agama pada masa itu.
Kaum Farisi yang telah lama terlena
kemewahan hidup akibat sistem yang telah terbentuk lama bahwa kaum Farisi
adalah kasta suci yang dihormati bangsa Israel (Yahudi) sebagai pemegang
mandat kependetaan tertinggi. Hal ini rupanya yang salah satunya menjadi
kritikan Yesus (Isa al Masih) untuk dirubah dan diperbaiki sebagaimana ia
mengemban amanat kerasulan-nya. Akan tetapi, mereka, dengan propaganda
dan hasutannya kepada kebanyakan masyarakat termasuk pemerintah masa itu,
berhasil menyeret dan menghukum mati Yesus pada proses penyaliban.
Selamilah, seolah-olah kita berada pada
masa itu. Dimana pada masa itu, di Yerusalem dibawah imperium Romawi, mereka
bani israil, sedang mengharapkan datangnya Mesiah (al Masih) dari keturunan
David (Daud), seperti ramalan-ramalan dan nubuat-nubuat yang terdapat pada
kitab-kitab mereka, sebagai raja yang kuat yang dapat mengusir penjajah.
Dia memang Mesiah yang ditunggu, tapi
ternyata yang datang tidak seperti yang diharapkan sebagai pemimpin atau raja
yang dapat menggalang dan membangkitkan persatuan untuk bertempur melawan
penjajah Romawi Bizantium. Yang datang adalah orang yang penuh kasih,
mengutamakan dan mengajarkan cinta kasih kepada sesama, bukan seorang pejuang
kemerdekaan, seperti yang diharapkan kebanyakan mereka. Diantara mereka yang
percaya menjadi pengikutnya, yang setengah percaya mengambil manfaat darinya,
yang kecewa menjadi pengikut para penentang, dan sedangkan yang menentang yaitu
para penguasa agama (kaum Farisi) berusaha melenyapkannya dengan membunuh yang
pada akhirnya terjadilah kejadian penyaliban.
Mesiah (al Masih), juga yang berarti yang diurapi. Yang pada kehidupan budaya masyarakat
israel adalah seremoni atau upacara penobatan seseorang dilakukan dengan
pengurapan (dg minyak dari rempah-rempah) pada bagian kepala orang yang
dinobatkan. Dan Isa al Masih memang mengalami upacara penobatan ini di sungai
Jordan, dan yang menobatkannya adalah Johanes (nabi Yahya) anak dari Zakaria.
Dan inilah sebagai awal mula upacara pembaptisan salah satu upacara
spiritual umat Kristen sampai sekarang.
Isa al Masih, Mesiah, Yesus, Kristus,
atau siapapun namanya adalah tetap seorang rasul Allah yang harus pula
dihormati dan dijunjung tinggi namanya oleh kaum muslim sebab ia adalah manusia
mulia yang telah menderita seumur hidupnya untuk kebaikan umatnya, bahkan Allah
pun menyebutkan dia adalah seorang yang terkemuka di dunia dan akhirat (QS
3:45).
“Kesejahteraan atas diri-nya (Isa al Masih) pada hari dia dilahirkan, pada hari dia wafat dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali.” (QS 19:15)
Yang justru mengherankan, bani isra’il
atau bangsa Yahudi (sekarang Israel) justru tetap pada agamanya (Ibrani), tidak
(mau) beragama Kristen, yang menyalib Yesus dan mengejar para
pengikut-pengikutnya untuk dihukum mati dan membiarkan bangsa lain yang memakai
agama tersebut asal bukan bangsanya, malah dipuja dan dijadikan sekutu umat
Kristen dunia. Sedangkan umat Muslim yang justru menghormati dan meninggikan
Isa al Masih, sekalipun tidak menganggap Tuhan, tetapi menghormati dan
memuliakan-nya sebagai anak manusia yang sejahtera pada hari dia dilahirkan, pada hari
dia diwafatkan dan pada hari dia dibangkitkan (QS 19:15), malah dimusuhi dan dibenci. Dan inilah yang dengan
berbagai cara (terorisme, salah satunya) menganggap ini adalah provokasi dan
propaganda zionisme terhadap bangsa-bangsa di Eropa dan Amerika sebagai
pemegang kekuatan dunia saat ini, dikarenakan wilayah negaranya yang
dikelilingi bangsa Arab yang mayoritas muslim. Dan semenjak masa sesudah nabi
Yaqub (Isra’il) memang anak keturunannya ini selalu membuat onar di manapun
mereka menetap untuk menumpang hidup.
DIYN AL QAYYIMAH
“.....
Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agama-mu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai ke-berserah diri-an (islam) itu sebagai agama bagimu .....”
(QS 5:3)
Renungkanlah,
umat Yahudi yang memakai Taurat (Musa) dan Zabur (Daud) sebagai kitabnya.
Kemudian umat Nasrani yang memakai Taurat dan Zabur (Perjanjian Lama) dan Injil
(Perjanjian Baru) sebagai kitabnya. Sampai kepada umat Islam dengan Al Qur’an
yang merangkum semua kitab tersebut sebagai kitabnya. Dan dimuliakannya
oleh Al Qur’an nabi-nabi dari kalangan mereka bani Isra’il adalah bukti satu
kesatuan ajaran tunggal dari Tuhan Yang Tunggal bagi seluruh umat
Tidak cukupkah semua itu membuktikan,
bahwa sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, dari bapak yang satu, dengan
ajaran yang satu dari Tuhan Yang Tunggal? Bila hanya hendak mencari siapa yang benar,
maka yang paling benar hanyalah Dia Yang Maha Haqq.
“...... Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa .......” (QS 5:8)
Bapak yang
satu (Ibrahim), darah yang satu, dan ajaran (agama) Tuhan yang
satu, rupanya tidak cukup menghentikan
permusuhan mereka selama ribuan tahun hingga kini. Sekalipun nabi-nabi banyak
diturunkan di sana untuk memperbaiki keadaannya. Sungguh, Allah-lah Yang Maha
Mengetahui dari apa-apa yang telah menjadi kehendak-Nya.
Keragaman perbedaan adalah hal
yang mutlak (sunathullah) dan banyak ditemui di alam ini, dan
kemanusiaan adalah bagian yang termasuk di dalamnya. Tidaklah ada siapapun yang
dapat merubah apa yang telah menjadi ketetapan Allah tersebut. Dan kita sebagai
umat yang datang sesudahnya dapat mengambil pelajaran yang amat berharga
sebagai hikmah dari kisah-kisah yang diungkapkan oleh Al Qur’an.
“Demikian itu (adalah) diantara berita-berita yang ghaib
yang Kami wahyukan kepadamu, padahal kamu tidak berada pada sisi mereka.......” (QS 12:102)
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat
menginginkannya.” (QS 12:103)
Kisah-kisah di atas,
sesungguhnya dikehendaki Allah sebagai pelajaran bagi orang-orang yang datang
kemudian. Di dalam kenyataannya, kisah tersebut sepertinya selalu mewarnai
kehidupan kemanusiaan hingga kini. Betapa banyak contoh kasus yang sering kita
dengar dari keluarga yang gontok-gontokkan, bahkan bisa saling membunuh karena
memperebutkan warisan. Juga perseteruan yang sama yang dilatar belakangi karena
beda ibu, walaupun satu bapak, dalam berebut harta waris. Apakah itu berupa
tanah, rumah, perhiasan, kendaraan, dan lainnya. Permasalahannya pun akan dapat
melebar kemana-mana. Agama pun terbawa-bawa, dan dijadikan alat pembenar bagi hawa
nafsu mereka.
“Manusia itu adalah umat yang satu, Allah mengutus para
nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, dan Allah menurunkan bersama
mereka Kitab
yang membawa kebenaran, untuk
memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah
(mereka) berselisih setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata, karena dengki diantara
mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran
tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu
memberi petunujuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS 2:213)
Sayangnya
perbedaan-perbedaan ini semakin lagi dibumbui eksklusifitas dan rivalitas untuk
mencapai keunggulan atau superioritas dari sebuah, sekalipun merupakan maksud
atau niat yang baik, yaitu syiar yang menyebarkan kebaikan kepada
sebanyak-banyaknya insan kemanusiaan. Akan tetapi, bila dilakukan dengan cara
dan usaha yang dikotori atau dipengaruhi penjerumusan iblis yang menghendaki
tersesatnya sebanyak-banyaknya insan kemanusiaan, maka yang terjadi adalah
perselisihan dari persaingan yang dapat berujung kepada kerusakan maupun
pertumpahan darah.
Perang, terorisme berbungkus
jihad, pelarangan pembangunan rumah ibadah umat agama lain, adalah
contoh-contoh berperannya iblis pada perilaku insan kemanusiaan yang belum atau
bahkan tidak dilandasi kekokohan keimanan yang seharusnya dapat mengawal jiwa
pada ketenangan dan ketentraman, yang keluar pula sebagai amal perbuatan yang
sehat dan merupakan rahmat bagi sesama insan kemanusiaan.
“Dan tidaklah terpecah belah orang-orang ahli kitab (yang diberi
kitab) melainkan setelah datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS 98:4)
Ahli Kitab
sebagai yang menerima kitab, yang sesungguhnya adalah semua insan kemanusiaan
yang dimaksud ayat ini, justru tidak diharapkan menjadi terpecah belah, apalagi
dengan membuat kerusakan dan saling menumpahkan darah setelah datangnya bukti yang nyata.
Syiar,
seharusnya tidak dititik beratkan kepada penyebaran atau perluasan rahmat Tuhan
yang membungkus ambisi kekuasaan, seperti contohnya kristenisasi atau islamisasi
yang lebih berkesan pengakuan (ego) superioritas, akan tetapi akan lebih
akrab terdengar yaitu sebagai perbaikan kehidupan kemasyarakatan ke yang jauh
lebih baik dan lebih sehat yang membawa kepada keselamatan, kedamaian,
kesejahteraan maupun kemakmuran hidup
bersama.
Dan syiar, seharusnya pula
tidak memaksa-kan, atau tidak dipaksa-kan, atau pula tidak terpaksa-kan kepada
siapapun termasuk dirinya sebagai pelaku maupun sebagai objek. Karena Tuhan
tidak menyukai dan tidak pula menerima segala bentuk yang memaksa, dipaksa, ataupun
terpaksa, sebab itu bukanlah kemurnian atau keikhlasan. Tidak ada paksaan dalam agama Allah. Berserah diri (islam) adalah bukan
keterpaksaan apalagi memaksa.
“Tidak ada paksaan untuk (ber)-agama, sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. ......” (QS 2:256)
Tujuan utama
agama yang pada dasarnya adalah membawa insan kemanusian kepada keselamatan
hidup di dunia dan di akhirat (hari kemudian), tetapi malah telah diselewengkan
iblis kepada kerusakan dan pertumpahan darah. Bagaimana bisa mendapat
keselamatan kelak di kehidupan akhirat (hari kemudian), bila di
kehidupan di dunia saja telah terjebak atau terkecoh dengan membuat kerusakan
dan pertumpahan darah?
Itulah kemenangan iblis dengan
membuat kesesatan menjadi dipandang indah oleh insan kemanusiaan melalui pengakuan (ego). Yang mengaku-ngaku
sebagai umat yang superior, sebagai umat yang dilebihkan dari
umat lainnya, dan sebagai umat yang dijanjikan
Tuhannya, serta sebagai umat pilihan
Tuhannya. Dengan menganggap umat selain agamanya adalah kafir dan sesat
.
“Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah
kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang
kafir.” (QS 2:34)
Menolak perintah Tuhan dan menyombongkan diri
adalah pengakuan (ego) dan merupakan sifat iblis yang dibenci Allah, sehingga mengutuknya tersesat
selamanya. Bagaimana mungkin kita sebagai insan kemanusiaan mengikuti langkah
dan sifat iblis yang terkutuk? Dan perbuatan ini menyebabkan pelakunya masuk
kategori sebagai golongan kafir.
Sadarilah, bahwa kebanyakan kita sebagai insan kemanusiaan, telah
melenceng jauh dari jalan lurus yang dikehendaki Allah, Tuhan semua.
Jika tidak sampai kepada perbuatan merusak dan intimidasi, maka hati kita,
paling tidak, merasa yang paling benar, dengan menganggap selain agamanya
adalah sesat. Yang justru dengan itu, diri kita sendiri-lah yang ternyata telah
ikut masuk kedalam kesesatan akibat pandangan indah yang dibuat
iblis.
“dia
menjawab (setan), karena
Engkau telah menghukumku tersesat, sungguh akan
kutahan untuk mereka (manusia) itu dari jalan-Mu yang lurus, kemudian
akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
”......... aku pasti
akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi
pandangan mereka di bumi, dan aku
akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS 7:39)
Renungkanlah bagaimana iblis dengan usahanya dalam menjerumuskan
insan kemanusiaan kepada kedzaliman dan kekafiran yang sangat dibenci Tuhannya,
sekalipun atas nama agama-nya dan atas nama Tuhan-nya. Bagaimana
mungkin iblis dapat masuk ke wilayah-wilayah yang seharusnya disucikan, seperti
atas nama agama dan Tuhan? Yang seharusnya suci dari kesesatan iblis,
dan suci pula dari perbuatan menentang Tuhannya.
“Wahai anak
cucu Adam! Janganlah
sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan
ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat
keduanya. Sesungguhnya
dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin
bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
Bukankah saat Adam dan Hawa tergoda bujuk rayu iblis ketika berada
di dalam surga, yang juga seharusnya sebagai tempat yang suci? Rupanya,
perbuatan, sekalipun atas nama agama dan Tuhan serta tempat (tanah) suci, tidaklah
menjamin dari tiadanya usaha penyesatan iblis untuk menjerumuskan insan
kemanusiaan agar terkutuk seperti dia sebagai yang terkutuk.
“(Iblis)
menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.” (QS 38:82-83)
Menghilangkan
pengakuan (ego), yaitu termasuk didalamnya keangkuhan atau kesombongan,
dimana aku-nya menjadi lebih sangat dominan dalam setiap amal perbuatan,
sekalipun perbuatan tersebut merupakan kebaikan dengan mengatas namakan agama
dan Tuhan, padahal ternyata terselip pula ego (ambisi)-nya.
Ke-ikhlas-an
adalah memurnikan dan menyucikan segala apa yang telah
dianugerahkan kepadanya (termasuk diri, atau jiwa, ataupun nafs) sebagai dari,
milik, untuk, dan akan kembali kepada Allah semata. Agama
bukanlah Tuhan itu sendiri sebagai yang diutamakan dan yang dituju, akan
tetapi, agama adalah merupakan sarana petunjuk yang membawa kepada
keselamatan kehidupan bersama yang diridhai-Nya.
Sarana dapat
apa saja, yang jelas, juga membuat pula para pemakainya merasa nyaman, tentram,
dan damai selama menggunakannya. Apakah pantas bila diri kita membandingkan
sarana yang dipakai orang lain? Apalagi bila memaksakan untuk menggunakan
sarana seperti sarana yang kita gunakan. Serperti, pakaian misalnya, tentulah
kenyamanan dan kepantasannya berbeda-beda bagi setiap orang, dan bukanlah hal
etis bila kita mengomentari apalagi memaksakan kehendak kita kepadanya.
Begitupun
pada agama, yang sesungguhnya dapat mengarahkan kepada keselamatan, tentulah
agama tersebut dapat menaungi diri pemeluknya dalam rasa nyaman, tenang,
tentram dan damai. Tidak akan pernah dapat dipaksakan, sekalipun kepada
keluarga terdekat kita sendiri. Kita hanya dapat memberi contoh atau teladan
dalam hal itu, dan paling jauhnya hanya berharap kepada Tuhan agar keluarga dan
keturunan kita mendapatkan keselamatan hidup, baik kini di dunia maupun nanti
diakhirat.
Itulah keimanan yang kokoh,
yang dengan memeliharanya akan dapat mengembalikan jiwa kepada agama yang
benar, yaitu Diynul Qayyimaah.
Jadi bukanlah agama yang buatan kita sendiri, karena prasangka dan keinginan
hawa nafsu kita sendiri. Bukan agama yang menjadikan kita taqlid atau fanatik
buta, serta menutup mata hati kita dari kebenaran hakiki yang universal.
“yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa
golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan
mereka.” (QS 30:32)
Dengan demikian maka terbukalah
hakikat segala sesuatunya. Agama-agama yang ada, dan dengan berbagai ragam
perbedaan ritualnya, adalah merupakan agama yang satu. Umat-umat yang beragam
bangsa dan etnis bahkan suku, adalah merupakan umat yang satu. Bahasa yang
beragam pula yang merupakan perbedaan bunyi, adalah merupakan bahasa yang satu
dalam makna. Kesemuanya adalah berasal dari yang satu, bapak yang satu, yaitu
Adam. Dan kesemuanya bersumber dari Yang Maha Tunggal dengan perwujudan
sifat-Nya yang Akbar tak terhitung. Jadi, mengapa kita masih juga dapat terjebak
dengan mempermasalahkan perbedaan?
“......... Seandaianya Allah tidak menolak
(keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu
telah dirobohkan biara-biara nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti
akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha
Kuat, Maha
Perkasa”.
(QS 22:40)
Itu adalah
kehendak Tuhan, dan Dia telah menetapkannya seperti itu, sebagai suatu
keragaman yang disebabkan perbedaan masa (waktu), perbedaan geografis, dan
perbedaan karakter. Sehingga dibutuhkan penyesuaian adaptis yang sesungguhnya
tidak mengurangi atau memelencengkan makna sesungguhnya sebagai petunjuk atau
aturan hidup yang lurus menuju keselamatan.
Jika pada yang mengatas namakan
agama dan Tuhan saja, kita diwajibkan menghindari kerusakan sampai pertumpahan
darah, tentu apalagi pada hal-hal yang mengatas namakan lainnya. Dengan
mengatas namakan lainnya pun merupakan perbuatan pengakuan yang juga
sesat dan menyesatkan (syirik). Suatu hal yang tak sebanding,
mempertaruhkan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat hanya karena
mengutamakan ego sesaat tetapi akibatnya akan abadi penyesalannya.
“.... dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya, Amat berat bagi orang musyrik
agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada-Nya orang
yang kembali.” (QS 42:13)
Maka kembali
kepada jalan agama, yaitu dengan ikhlas berlaku lurus, dengan ikhlas mengingat
Allah yang tiada putus, serta dengan ikhlas menyucikan apa-apa yang
telah dianugerahkan kepadanya, maka yang demikian itulah rukun agama
yang benar dari Tuhan (QS 98:5). Lain halnya dengan rukun islam, yang bukan
rukun agama, melainkan adalah rukun keberserah dirian orang-orang yang telah
beriman, yang pada bab tersendiri selanjutnya akan diurai.
Lebih detailnya, agama adalah ajaran
atau petunjuk kepada insan kemanusiaan agar meluruskan, mengingat,
dan mensucikan dengan kemurnian
atau keikhlasan pada ucap, tekad, lampah (perbuatan), janji, diri,
ahli, daya, cipta, dan karsa yang kesemuanya adalah milik dan
akan kembali kepada Allah. Bila ke-sembilan (sanga) sebagai yang
dianugerahkan Allah kepada diri kemanusiaan itu telah mencapai lurus, ingat, dan suci sebagai perwujudan wakil (waliy) Allah di muka bumi. Maka
genaplah sebutannya menjadi sebagai wali
Allah, dikenal pula dengan sebutan wali sanga, sebagai sembilan
sifat bagi orang yang dicintai dan mencintai Allah.
Kita akan mengulas ke-sembilan
sifat tersebut pada tiga bab berikutnya.
Bab XIV
LURUS (HUNAFA)
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah)
itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama qayyimah, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”,
(QS 30:30)
K
|
embali kepada jalan yang lurus (sirathal mustaqiim) adalah upaya
perbaikan setelah menyadari telah tersesat jalan, agar tidak semakin
jauh tersesat. Memposisikan kembali diri (jiwa) ini pada jalan asal yang lurus,
yaitu agama. Jalan yang membawa setiap insan kemanusiaan kepada kebenaran,
kebaikan, serta keselamatan. Itulah nikmat sejati dari Tuhan, dan bukan
jalan mereka yang sesat serta berbuat kerusakan.
Bukan agama-agama lain yang
salah dan sesat, tapi justru diri-diri (nafs) kemanusiaannya sendiri yang telah
disesatkan iblis, akibat pengakuan (ego) yang merasa paling benar dan
suci sendiri. Tidak menyadari, bahwa sesungguhnya dirinya hanyalah keturunan
Adam, yang disempurnakan Tuhan dengan anugerah-anugerah sebagai manusia
pertama, rasul pertama, khalifah pertama, serta ilmu. Bahkan malaikat-pun
diperintahkan-Nya sujud (tunduk) kepadanya. Akan tetapi juga bukan berarti dia
dapat terhindar dari kelalaian yang menyesatkannya melalui pengakuan
(ego) akibat anugerah-anugerah tersebut.
Dengan
agama-lah maka mengembalikan insan kemanusiaan untuk selalu meluruskan
jalan kehidupannya yang mudah sekali terjerumus pada kesesatan yang merugikan
dirinya sendiri. Sedangkan agama adalah jalan atau aturan yang telah tetap
dari Tuhan yang Maha Memelihara seluruh makhluk, diturunkan dari Tuhan sebagai
petunjuk yang membawa kebenaran dan keselamatan bagi kehidupan, untuk
meluruskan kembali bagi mereka yang telah keluar jalur kebenaran dan
keselamatan. Semua agama memberi petunjuk kepada kebenaran dan keselamatan yang
sejati dari Tuhannya.
“Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan
kepada kamu, dan rasul-Nya pun berada
di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang
berpegang teguh kepada (agama) Allah maka ia telah diberi petunjuk kepada
jalan yang lurus.” (QS 3:101)
Tiada yang paling benar.
Yang paling benar hanyalah Dia Yang Maha Benar, sedangkan hanya Dia-lah
yang menurunkan agama-agama melalui kitab-kitab suci (yang telah kita bahas
pada uraian keimanan) yang wajib diimani atau diyakini setiap insan
kemanusiaan. Hak kemanusiaan adalah hanya menerima kehidupan dan
menjalankan apa yang diperintahkan serta menghindari apa yang dilarang
Tuhannya. Sedangkan hak menghukum (sesat atau tidaknya) adalah hak
Allah, sebagai Tuhan yang Maha Bijaksana dan Maha Kuasa. Janganlah tergoda
pada keindahan anugerah-anugerah dari Allah, karena disitu pulalah iblis
mengutus setan untuk menjerumuskan kepada kesesatan.
Ingatlah
segala sesuatu yang datang berupa rahmat atau anugerah dari Allah, begitu
sampai di alam, sampai pada diri-diri kemanusiaan, maka akan dipandang dan
dinilainya dalam dua hal. Yaitu kebaikan dan keburukan.
Jangankan agama yang diturunkan-Nya yang masih memerlukan penafsiran
mendalam, pada cahaya matahari saja maka kita sebagai manusia di bumi, akan
menilainya sebagai terang dan gelap. Terang karena tinggal di daerah yang
terkena cahaya matahari, dan bagi yang tinggal di belahan bumi yang lain, dengan
saat dan waktu yang sama, yang diterimanya adalah kegelapan.
“Dan Dia menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan
yang terus menerus beredar, dan telah menundukkan
bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari
segala apa yang lamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung
nikmat
Allah, tidaklah kamu dapat
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangatlah zhalim dan sangat mengingkari (nikmat
Allah).” (QS 14:33-34)
Begitu juga hujan
sebagai rahmat yang diturunkan-Nya dari langit, diterima sebagai nikmat rahmat
dari Tuhannya karena kebutuhannya, tetapi bagi mereka yang tak membutuhkannya
dapat dirasakannya sebagai musibah atau bencana. Seperti para penjual es,
misalnya. Atau mereka yang tinggal di daerah rawan banjir, tentu ketakutannya
akan menyelimuti kedatangan rahmat tersebut.
Tidaklah ada sedikitpun
keburukan segala yang datang sebagai rahmat anugerah Tuhan, harus disadari
sebagai amanah yang masih perlu dikelola dalam nilai-nilai kebaikan dan
kebenaran. Dan sesungguhnya, segala yang datang dari-Nya adalah merupakan
rahmat kebaikan, akan tetapi kemanusiaan selalu menilainya berdasarkan
keinginan dan kebutuhannya, sehingga akan dinilainya sebagai kebaikan
atau keburukan. Bila tak sesuai dengan keinginan atau kebutuhannya, maka
akan dinilainya sebagai keburukan, dianggapnya Tuhannya sedang menguji atau
mengazabnya dengan keburukan. Akan tetapi, bila yang diterimanya sesuai dengan
keinginan atau kebutuhannya, maka dianggapnyalah sebagai kebaikan, bahwa Tuhan
memberi karunia dan anugerah kepadanya. Begitulah diri-diri kemanusiaan yang
lebih cenderung memaksakan apa-apa yang dianggapnya benar, bahkan kepada apapun
yang datang kepada dirinya sendiri, yang sesungguhnya, semuanya adalah rahmat
kebaikan dari Tuhannya.
Kita akan merasa pas dan
benar bila apa yang kita pakai atau gunakan terasa nyaman, tenang, serta
tentram. Seperti pada pakaian yang kita pakai. Bayangkanlah, andai kita memaksakan
pakaian tersebut untuk dipakai pula kepada orang lain, sekalipun dengan harapan
orang tersebut dapat merasakan kenyamanan, ketenangan dan ketentraman yang sama
dengan kita. Bila tetap dipaksakan, maka kita telah tiada perduli lagi akan kepantasan
(pas) dan kebenaran (haqq) terhadap dan bagi orang lain.
Menyadari kepantasan
(pas) dan kebenaran (haqq) adalah sebagai hal yang relatif bagi
masing-masing individu yang mutlak dan azasi sebagai hak dasar kemanusiaan.
Bila tanpa memandang lagi norma-norma kepantasan dan kebenaran, maka akan
terjadi ketidak seimbangan atau pun kerusakan bila hal ini sebagai yang tetap
dipaksakan. Relativitas yang hendak diseragamkan adalah hanya akan menyebabkan
kesia-siaan belaka. Bukan kebaikan yang akan didapatkan, malah kerusakan yang
ada.
Berlaku lurus sebagai
perwujudan akhlak mulia yang keluar dari dalam diri berupa kesucian dan
kebenaran sejati yang telah ditanamkan Tuhannya sebagai anugerah kepadanya
serta keluar sebagai pengembalian yang baik kepada Tuhannya, dalam bentuk
rahmat bagi sesama insan kemanusiaannya serta makhluk lain di sekitarnya. Agama
telah lurus, justru hanya kepada setiap insan kemanusiaannya-lah diharapkan kembali
meluruskan amal perbuatannya sesuai jalan lurus yang terdapat serta
terpapar jelas di dalam petunjuk-petunjuk setiap keagamaan, yaitu meluruskan
segala ucap-nya, meluruskan niat (tekad)-nya, juga meluruskan lampah (amal
perbuatan)-nya. Lurus sesuai dengan jalan lurus yang telah ditetapkan
dalam norma-norma agama, masyarakat (adat), hukum negara, bahkan hak azasi
kemanusiaan, agar memperoleh keselamatan hidup baik kehidupan di dunia dan di
akhirat kelak.
Meluruskan Ucap
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu
mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS 61:2-3)
Ucap yang
keluar dari mulut adalah sebagai cerminan apa yang ada di dalam dada.
Menjaganya agar yang keluar tidak dikotori oleh kesesatan yang dapat merusak
yang mendengarnya. Dengan mensucikan yang berada di dalam dada maka juga akan
mesyucikan pula yang akan keluar dari mulut. Ucap ini melibatkan banyak
para malaikat (lihat kembali pembahasan iman kepada malaikat), yang merupakan energi
suara atau bunyi yang dihasilkan dari energi-energi lainnya. Di dalam tubuh
dari mulai energi makanan yang masuk sebagai konsumsi, kemudian dirubah menjadi
banyak energi, seperti energi panas, energi gerak, energi listrik statis (dalam
berpikir), energi suara atau bunyi dan lain sebagainya. Energi-energi tersebut
tidaklah akan musnah, melainkan hanya berubah bentuk.
Ucap sebagai kata-kata, ucap sebagai
pembicaraan, ucap sebagai berita, ucap sebagai janji, ucap sebagai penghibur,
dan ucap sebagai perintah. Ucap-ucap tersebutlah yang perlu diluruskan karena
bersinggungan langsung dengan sesama insan kemanusiaan dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. Ungkapan seperti, lidah setajam pedang dan mulut-mu
adalah harimau-mu, merujuk kepada betapa berbahayanya ucap yang tak
terjaga.
Ungkapan
bahwa fitnah adalah perbuatan yang lebih kejam dari pembunuhan. Yang
sebenarnya adalah pembunuhan terhadap karakter diri seseorang, melalui
ucap yang tak terjaga, tanpa dasar, dan tak dapat dipertanggung jawabkan. Ini
adalah perbuatan yang amat tercela, pengecut, dan hina. Dunia politik tidak
akan pernah terlepas dari perbuatan ini. Kejam tanpa rasa belas kasih. Tiada kawan
sejati, yang ada hanya kepentingan sejati. Ungkapan tersebut adalah kemunafikan
sejati. Tetapi mengapa banyak diri yang tak menghindarinya, bahkan berani
berkecimpung di dalamnya dengan tetap mengatas namakan kepentingan rakyat banyak.
Ucap diobral
seperti semakin tak ada harganya. Kepentingan yang utama, janji tinggal
bagaimana nanti saja. Seakan tiada lagi rasa malu bila tak dapat menepatinya,
demi sebuah keinginan ataupun ambisi. Seperti jabatan atau kekuasaan sementara.
Seolah-olah, kelak, jabatan atau kekuasaan tersebut tiada akan diminta
pertanggung jawabannya. Ini karena penyesatan iblis yang membuat jabatan atau
kekuasaan tersebut sebagai yang elite, prestise, dan bergengsi
tinggi. Tidak lagi merupakan amanah. Jabatan seperti lambang kemuliaan
tertinggi, yang dikejar-kejar seperti layaknya bisa dibeli. Padahal,
jabatan yang dibeli kelak akan menjerumuskan diri-nya. Tidak
dipahaminya, bahwa jabatannya tersebut adalah anugerah yang juga harus
dipertanggung jawabkan.
Kemudian
seperti iklan produk konsumtif, banyak hal yang dilebih-lebihkan agar produknya
laku. Bahkan menggunakan ustad dan da’i-da’i kondang sebagai bintang iklannya,
tidak lagi memikirkan efek negatif bagi kehidupan sosial umat yang semakin
konsumtif, dan belum lagi buat produk yang dari segi kesehatan amat meragukan.
Kedua hal tersebut, baik ambisi kepada jabatan dan ambisi kepada keuntungan
dari produk iklan, tidak lagi memandang baik-buruknya pesan yang disampaikan
sebagai kebohongan kepada publik. Bahkan hal ini lebih dilegalkan lagi
dengan berdirinya lembaga pendidikan ataupun kursus-kursus yang berhubungan
dengan komunikasi massa yang tidak lagi mengedapankan aspek kebenaran dan
kejujuran sebagai norma yang harus dijunjung tinggi, melainkan target
yang dikejar.
Itulah yang sekarang dikejar
banyak diri kemanusiaan, berani dengan mengeluarkan biaya berapapun, tanpa
berpikir resikonya kelak di kemudian hari. Tanpa menyadari, bahwa amanah
besar tentu memiliki resiko konsekuensi yang besar pula sebagai pertanggung
jawabannya.
“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba (tamak) kepada
kehidupan
(di dunia), bahkan lebih (loba atau
tamak lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar
diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa.
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS 2:96)
Bagaimana
tidak rusak negri ini, bahkan untuk menjadi pegawai negri saja, yang dengan
gaji standar, ada pula yang harus menyuap. Dari posisi puncak hingga
birokrasi di tingkat bawah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, akibatnya
adalah rasa materialistis ikut pula meninggi. Sehingga segala sesuatu akan
dinilai pada materi, bukan lagi kepada rasa tanggung jawab dan pengabdian,
jangankan sebagai abdi Tuhan, sebagai abdi negara, abdi rakyat, ataupun abdi
umat saja sulit. Sungguh kehidupan yang sangat tidak sehat, berpenyakit dan
meluas ke segala aspek, dan semakin kronis lama-kelamaan.
Sungguh
memprihatinkan akibat dari ucapan-ucapan yang diobral para munafik politik dan
saudagar munafik di negri ini. Apalagi bila ada saudagar yang amat berambisi
pada kekuasaan politik kenegaraan. Ucap munafik yang awal akan disusul
kemunafikan berikutnya untuk menutupi kemunafikan sebelumnya. Begitu
terus-menerus, semakin memperparah keadaan.
Pengakuan
(ego) pula kembali yang membuat rusaknya kehidupan tersebut. Karena ucap-Nya
diakui sebagai milik-nya. Siapa yang sesungguhnya memberikan anugerah kepadanya
untuk dapat berucap atau berkata-kata? Siapa yang sesungguhnya
menganugerahkannya tenggorokan dengan pita suara, lidah, dan mulut? Bahkan
tenaga untuk berucap? Bila ini disadari, masih beranikah menyalahgunakan
ucapnya dari amanah yang telah dianugerahkan kepadanya?
Kembalilah
kepada jalan lurus yang telah diamanatkan yang sesungguhnya akan diminta
pertanggung jawabannya, kelak. Sekecil dan sesepele apapun ucapnya memiliki buah
yang akan dituai kelak dikemudian hari sebagai pertanggung jawabannya.
Atau, yang jauh lebih penting untuk di sadari, adalah seberapa besar akibat dan
dampak baik maupun buruknya segala apa yang diucap bagi kebanyakan
orang lain.
Ucap yang diaku
sebagai ucap-nya, yang diaku karena daya kekuatan-nya, yang diaku
karena pengetahuan atau ilmu-nya, maka kelak diri-nya sendirilah yang akan
mempertanggung jawabkan segala konsekuensinya. Sesungguhnya, diri-nya, bukanlah
yang memiliki atau menguasai alat atau organ pengucap. Jangankan memiliki atau
menguasainya, mengetahui keberadaan dan fungsi-fungsi organnya tersebut pun
tidak. Juga bukan diri-nya yang memiliki pengetahuan atau ilmu sehingga dia
dapat bereaksi dengan pengucapannya. Ilmu dan pengetahuannya pun hanyalah
karena kemurahan Tuhannya memberikan petunjuk kepadanya.
Keinginan
mengucap pun adalah karena kehendak Tuhannya. Bagaimana rasanya memiliki
keinginan mengucap, tetapi tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya? Dimana
ada kekuasaan yang menahan geraknya untuk dapat berucap. Yaitu, ketika
Tuhannya menahan emosi amarahnya saat sedang berpuasa, misalnya. Atau juga,
karena yang dihadapinya adalah seorang anak kecil yang belum mengerti.
Begitulah sesungguhnya Tuhannya menguasainya. Sesungguhnya Dia-lah yang
meliputi segala sesuatu dengan kuasa, kemurahan, perlindungan dan
pemeliharaan-Nya.
Bila tidak dimulai dari
masing-masing individu untuk berusaha meluruskan kembali kepada
agamanya, tentunya kehidupan bernegaranya akan semakin sakit, yang juga
pasti akan kembali kepada dirinya sendiri sebagai keluhan-keluhan yang
menyulitkan. Kita pula yang ikut menentukan keterpurukan kehidupan anak cucu
kita kelak, bila tak segera meluruskan kembali kehidupan diri
masing-masing kita.
Meluruskan Niat (Tekad)
“...... Dan jika kamu melahirkan apa yang ada
di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu
tentang perbuatanmu itu.....” (QS
2:284)
Begitupula kepada niat atau
tekad, tidak terlepas sebagai amanah yang dianugerahkan Tuhan untuk dipakai
dalam nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, juga sebagai yang akan dipertanggung
jawabkannya kelak dikemudian hari. Niat sebagai yang akan keluar dari dirinya
berupa amal perbuatan, sesungguhnyapun adalah akibat dari apa yang datang
kepadanya, sehingga amat bergantung kepada kesadaran rasa yang ada padanya.
Yaitu penilaian baik atau buruknya terhadap apa yang datang kepadanya, maka
respon keluarnya pun akan menentukan kebaikan atau keburukan amal perbuatannya.
Meluruskannya adalah dengan membersihkan dari segala hawa keinginan yang
selain hanya dan kepada Allah semata.
Terkadang niat atau tekad awal,
telah baik dan benar, akan tetapi dalam perjalanannya masuklah godaan setan
sebagai yang diutus iblis, membuat kesesatan menjadi dipandang indah memukau,
sehingga merubah kelurusan niat awal dan menjerumuskannya kepada
perbuatan sesat. Sebelum terlambat terjerumus, maka segerakan meluruskannya
kembali agar tiada sesal dikemudian hari. Ini akan berhubungan erat sekali
dengan pembahasan berikutnya, yaitu pada uraian wayuqimusshalat
dan wayutuzzakata.
Yang sebenarnya dapat menghindarkan diri dari terjerumus kepada kesesatan
akibat bujuk rayu iblis yang intensitasnya amatlah sering, disetiap saat dan kesempatan
tanpa pernah merasa lelah.
Niat
yang berasal dan bersumber dari dalam hati, amat dipengaruhi oleh tingkat
kebersihan hati itu sendiri. Bila di dalam hatinya terdapat kekotoran hawa
nafsu, maka jelas niatnya akan membawa pula kekotoran hawa nafsu tersebut
kedalam amal perbuatannya. Keinginan dan kebutuhan adalah dua hal yang dapat
mengotori hati kepada niat yang tidak lagi keluar dalam kemurnian atau
keikhlasan amal perbuatan. Pada saat itulah telah ditetapkan surga dan
nerakanya kelak sebagai yang akan dituainya di hari kemudiannya.
“.... Hanyalah orang-orang yang berakal yang dapat
mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan
apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut
kepada hisab yang buruk.” (QS 13:19-21)
Menjaga niat agar tetap dalam
keadaan lurus dengan berlindung kepada Tuhan (ta’awudz), dan mengingat Dia yang
tiada putusnya, serta mensucikan setiap keinginan yang selalu bersih dari bujuk
rayu setan yang selalu menngoda. Pada umumnya, niat awal adalah baik dan benar,
akan tetapi diperjalanannya sering melenceng dari arah semula. Bahkan
bujuk rayu iblis selalu masuk dari pintu-pintu pengakuan (ego), sebagai
unsur yang paling lemah atau rentan dari sifat kemanusiaan.
Tidaklah
jarang pada ibadah pun setan masuk menggoda, seperti dalam ibadah mengerjakan
shalat, niat yang telah terucap adalah lillahi ta’alaa, dan mengakui
dengan ikhlas bahwa shalatnya, ibadahnya, hidupnya, serta matinya adalah karena
dan untuk Allah pemilik semesta alam, juga mengakui yang pertama berserah diri.
Akan tetapi, masih di dalam shalatnya, terbayang-bayang pekerjaan yang masih
menumpuk untuk segera diselesaikan, atau hal-hal dunia lainnya yang sungguh
membuat niat dan keikhlasannya menjadi tidak mempunyai arti sama sekali. Belum
lagi, amal perbuatan setelah shalat, yang menyimpang jauh dari makna
shalat-nya. Shalat terus dilakukan, maksiat pun jalan terus.
“Tahukah kamu (orang)
yang mendustakan agama? Maka itulah
yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.
Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya,
yang
berbuat riya, dan enggan( memberikan) bantuan”. (QS
107:1-7)
Shalat yang tak terjaga kelurusannya,
yaitu dari niatnya, kemudian kepada mengeluarkannya dalam bentuk amal
perbuatannya yang menjadi tidak lurus lagi, berbuat riya (pengakuan) dan
enggan memberi bantuan kepada sesama. Celakanya lagi, hal tersebut oleh Allah disebut
sebagai perbuatan mendustakan agama. Jelas itupun mendustakan
Tuhannya. Inilah kemunafikan yang nyata, tetapi tak disadari banyak insan
kemanusiaan dan dapat menjerumuskannya kepada perbuatan syirik,
menyekutukan Tuhan.
“..........sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena)
Allah, Tuhan
seluruh alam, tidak ada
sekutu bagiNya, dan
demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang
yang pertama-tama berserah diri (islam).”
(QS 6:162-163)
Kemunafikan
yang tak disadari ini, apakah dikarenakan tidak memahami makna shalat
dan tidak pula memahami makna ayat tersebut di atas? Dan jika demikian
adanya, maka jelaslah bahwa pengakuan (ego) masih melekat pada hatinya,
sehingga mudah sekali melupakan janjinya kepada Tuhannya dalam setiap
shalatnya. Pengakuan (ego) yang melekat kuat di hatinya inilah yang menutupi
kesadaran (ingat)-nya pada janji-janji kepada Tuhannya sebagai orang yang
pertama-tama berserah diri (islam) secara ikhlas dalam setiap shalat,
ibadah, hidup dan matinya.
Itulah lurus yang
dikehendaki-Nya, yaitu lurus dalam ucapnya ketika di dalam shalat
sebagai niat-nya, dan lurus pula yang dikeluarkan dalam amal
perbuatannya. Sungguh tak pantaslah kita bersikap munafik kepada Allah
Yang Maha Mengetahui, bahkan mengetahui segala isi di dalam hati seluruh
makhluk-Nya. Tiadalah yang dapat luput dari pengetahuan dan kuasa-Nya yang
meliputi segala sesuatu sekalipun tersembunyi di dalam kedalaman hati yang
paling dalam.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan
diminta pertanggung jawaban.” (QS 17:36)
Bila
demikian adanya, maka keimanannya perlu diperkokoh kembali. Bagaimana mungkin
melakukan shalat tetapi tak memahami maknanya, tak memahami untuk
apa melakukannya, juga tak memahami kepada siapa sesungguhnya
pengabdiannya ditujukan.
Tidak hanya pada shalat,
melainkan juga ibadah-ibadah, kehidupan dan kematian-nya pun sebagai yang akan
dipertanggung jawabkannya, karena itu, seperti penjelasan ayat di atas, bahwa
segala sesuatu harus dipahami dulu maknanya, baru mengerjakannya, sehingga akan
lebih berserah diri (islam) secara ikhlas kepada Dia yang menghendaki
diri-diri kemanusiaan menyadari fitrah-nya. Yaitu, sebagai perwujudan
Tuhan di muka bumi, yang saling menyebarkan rahmat Tuhannya kepada
sesama, rahmatan lil’aalamiiyn.
Meluruskan Amal Perbuatan (Lampah)
Bila pada
ucap dan niat telah berada pada kelurusan, yaitu kebaikan dan kebenaran, maka
tinggal membuktikan kepada amal perbuatannya. Dapat pulakah lurus
seperti pada ucap dan niatnya yang merupakan lebih seperti janji yang perlu
dibuktikan kenyataannya?
Perbuatan
yang lurus adalah perbuatan yang menjadi rahmat bagi sesama. Dan menyadari
bukan pula diri kita yang sebagai pemilik rahmat, melainkan Allah-lah
sesungguhnya sebagai pemilik rahmat yang menganugerahkannya kepada diri kita,
dan kemudian merupakan kewajiban
menyebarkan kembali ke sesama sebagai wujud rasa syukur atas nikmat
anugerah-Nya.
Amal perbuatan yang didasari selalu
ingat kepada Allah dan kesucian atau kemurnian (ikhlas) pasti akan
membuat amal perbuatannya tetap berada pada jalan lurus, yaitu sesuai
agama sebagai amal perbuatan yang diridhai-Nya. Maka keselamatan akan selalu
mengiringi setiap langkah dalam amal perbuatannya. Allah akan mengingat mereka
yang ingat dan ikhlas kepada-Nya, sehingga amal perbuatannya akan selalu
terjaga dan terlindungi dari bujuk rayu setan yang hendak menjerumuskan kepada
amal perbuatan sesat, dikarenakan Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan Pemelihara.
“(Iblis)
menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan
mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.” (QS 38:82-83)
Upaya
penyesatan yang dilakukan iblis dengan bujuk rayunya, tidak akan berpengaruh
kepada mereka yang ikhlas dalam amal perbuatannya. Keikhlasannya adalah
karena mereka selalu mengingat dan diingati Allah. Orang-orang
yang telah ikhlas (mukhlisiin) adalah orang-orang yang telah diimunisasi,
dan telah kebal dari pengaruh penyesatan iblis, maka tiada penyakit
di hatinya.
Padahal
iblis tidak memiliki kekuasaan atas diri kemanusiaan (terutama yang ikhlas),
dia hanya merangsang angan-angan keinginan diri atau jiwa. Dikuatkannya
keinginan tersebut melalui angan-angan yang dikemas dengan rapi agar kelihatan
indah dan menarik hati manusia yang mengharapkannya. Semakin dikuatkannya lagi
harapan itu kepada ambisi untuk cepat dapat meraihnya. Dan kekuasaannya inipun
dapat terwujud kepada jiwa-jiwa kemanusiaan yang berpaling dari jalan Allah
yang lurus. Karena itu diharapkan dapat tetap memurnikan keikhlasan
dalam setiap amal perbuatannya, agar
tetap terjaga dari kuasa gelap yang justru dapat menjerumuskannya kepada
kehinaan dirinya.
Bila kita mengalami bencana
atau musibah yang telah menyusahkan diri atau jiwa kita, maka berkacalah
terhadap amal perbuatan yang telah lalu. Bila telah menemukan
kesalahan-kesalahan tersebut, bersyukurlah. Yang pertama, karena telah
diberi ingatan untuk menyadari kesalahan sehingga mendapatkan pelajaran untuk
tak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari. Yang kedua, kita telah
diberi kesempatan menebus kesalahan tersebut sebagai hisabnya, yaitu dengan
mengalami musibah ini. Yang ketiga, adalah karena kita masih diberi kesempatan
untuk mencapai insan yang sempurna.
“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali
(dirinya sendiri). Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya?” (QS 75: 2-3)
Kesalahan
dalam amal perbuatan buruk merupakan penyesatan iblis, dalam banyak kasus,
bukan tidak mungkin bila kita tersesat maka akan membuat kita semakin tersesat
lebih jauh lagi, bila tak segera menyadarinya. Karena itu bersyukurlah bagi
mereka yang telah dapat menyadari kesalahannya, agar tak semakin salah.
Kesalahan yang semakin bertumpuk sungguh amat berat hisab-nya.
Betapa nikmatnya hidup di dalam
kehidupan lurus yang tak tertuntut keinginan dan kebutuhan yang berlebihan dari
yang semestinya diterima. Ketahuilah, kelebihan yang dipaksakan di satu
sisi akan menjadi yang mengurangi pada sisi lainnya, sebagai keseimbangan
yang telah ditetapkan (sunathullah)-Nya.
Lihat dan perhatikanlah, diri yang menjaga amal perbuatannya tetap
dalam kebaikan, tidak membuang sampah sembarangan, hutan dijaga kelestariannya,
tidak membangun pemukiman pada daerah resapan air (mengurug rawa), menjaga
lingkungan tetap asri dengan tidak asal menebang pohon disekitar lingkungannya,
menjaga hubungan baik dengan sesama, yang kesemuanya itu pun akhirnya akan
kembali kepada dirinya sendiri. Ia akan merasakan nyaman dan tentram tinggal
disitu, bersih dan sehat, tidak kebanjiran dikala musim hujan, tidak kegerahan
disaat musim panas, tetangga sekitar pun baik dan ramah. Orang-orang seperti
inilah yang menolak kejahatan dengan menggunakan kebaikan, maka
iklim kehidupan pun menjadi sejuk, serta membawa ketenangan, kedamaian, dan
ketentraman kehidupan bersama.
“Dan, orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang
Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak
kejahatan dengan kebaikan, maka
mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir”. (QS 13:22)
Orang seperti ini bukan cuma dicintai Allah, tetapi juga oleh
sekelilingnya dan menciptakan situasi dan kondisi yang harmonis dan
bersahabat dengan alam disekitarnya, yakni peka akan situasi disekitarnya. Dan
telah disadarinya bahwa disekelilingnya, alam ini beserta benda-benda atau
makhluk lainnya adalah makhluk ciptaan seperti dirinya yang perlu dihargai
hak-haknya. Sebagai rahmatan
lil’aalamiiyn.
Bab XV
MENEGAKKAN SHALAT (Wayuqimusshalat)
INGAT yang TIADA PUTUS
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan
selain Aku,
maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk dzikir (mengingat) kepadaKu.”
(QS 18:14)
K
|
ebanyakan kita memahami menegakkan shalat adalah hanya dengan telah
melakukan shalat maka kewajiban beribadahnya telah selesai tertunaikan. Seperti
penjelasan ayat di atas, bahwa shalat adalah untuk mengingat Allah.
Yaitu, menjaga kesadaran jiwa agar selalu dalam lindungan kuasa dan
pemeliharaan Allah (Allaahu Maliikiyawmid-diiyn), Dia yang menguasai
hari-hari agama.
Selalu mengingat bahwa Allah
mengawasi dan menguasai diri-diri kita di setiap saat, termasuk di waktu-waktu
setelah shalat. Mereka yang telah menyadari ini, tentu akan memahami setiap
gerak amal perbuatannya tidaklah lepas dari nilai-nilai kebaikan dan kebenaran,
dan tidak akan berani melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Sehingga amal
perbuatannya adalah refleksi atau cerminan dari shalatnya. Amal perbuatan yang
merefelksikan fitrah diri-nya sebagai wakil Allah di muka bumi yang rahmatan
lil ‘aalamiiyn.
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak
yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang
yang shalat, (yaitu) orang yang lalai
terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan)
bantuan.” (QS 107:1-7)
Mengingat Allah yang tiada
putus (li dzikri), dan termasuk pula di dalamnya shalat, adalah untuk selalu
berada pada jalan lurus-Nya, sehingga tiada ada kesempatan bagi iblis
untuk masuk dan membisikkan godaan atau bujuk rayunya yang menyesatkan dan
menjerumuskan.
“...... Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih
besar
(keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS
29:45)
Bila sempat terputus, mohon
ampunlah dengan mengucap istighfar,
sebagai penyambung kembali (wustha), lanjutkan mengingat kembali
sebagai yang dhaim atau abadi, dan bersyukurlah dengan mengucap alhamdulillah
sebagai tajali-nya. Sehingga tiada ada waktu yang kosong tanpa
mengingat-Nya, dalam segala kegiatan, kecuali tidur. Dan ini merupakan energi
yang dikeluarkan sebagai energi positif, sebagai pengembalian kepada kemuliaan
Dia yang memberikan.
“...... Dan ingatlah
Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: semoga Tuhanku akan memberiku petunjuk
kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (QS 18:24)
Segala
sesuatu yang masuk ke tubuh atau jasad sebagai yang diterima atau
dianugerahkan, adalah energi yang merupakan rahmat-Nya. Apakah itu makanan,
minuman, nafas, ilmu dan pengetahuan, serta lain sebagainya, maka ketika
yang dikeluarkan adalah juga energi,
sekalipun ampas. Bukankah kotoran yang dikeluarkan pun dapat dijadikan bahan
bakar atau gas, dapat dijadikan pupuk penyubur tanaman, serta makanan bagi
makhluk lainnya. Begitu pula pada nafas yang dikeluarkan, adalah energi (CO2) yang dihisap tanaman bagi
pernafasannya, maka agar selalu dalam kebersihan, selalulah dalam
mengingat-Nya (li dzikri) sebagai pengembalian yang baik dan wujud rasa syukur
atas segala rahmat-Nya baik disadari maupun yang tidak disadari. Karena
sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu, tiada yang lepas dari rahmat,
kehendak, serta pemeliaharaan-Nya.
Makna menegakkan shalat,
tidaklah hanya dengan telah mengerjakan shalat. Sering pula dimaknai dengan
amal perbuatan yang mencerminkan shalatnya. Yaitu amal perbuatan yang selalu
menjaga kesadarannya akan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, sehingga
membuahkan kebajikan bagi sesama makhluk dan alam sekitarnya, rahmatan
lil ‘aalamiiyn. Maka kesadaran yang selalu terjaga merupakan keadaan atau
kondisi ingat (dzikr).
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Selalu mengingat Dia dengan
menyebut nama tunggal-Nya, yaitu Allah, atau dapat pula nama-nama terbaik
lain-Nya, di lubuk hati yang paling dalam, tanpa suara bahkan tidak terdengar
oleh telinga. Kegiatan ini sama sekali takkan mengganggu aktivitas sehari-hari,
apalagi mengganggu orang lain. Betapa besar manfaat li dzikri ini bagi
jiwa, paling tidak membawa ketenangan dan ketentraman. Inilah bentuk atau wujud
kebersamaan makhluk dengan Tuhannya, manunggal bersatu kepada Yang Maha
Tunggal.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan
kepadamu dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada
Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS 29:45)
Shalat
adalah juga termasuk ingat (dzikir), akan lebih bermakna dan memiliki
nilai bila melakukannya dengan khusyu’ dikarenakan begitu banyak doa yang
dibacanya dalam bahasa yang bukan bahasa kita. Kekhusyu’annya bergantung kepada
pemahaman arti dan makna doa yang kita baca dalam shalat, serta menyadari bahwa
sedang berhubungan dua arah dengan Allah SWT, sang Penguasa dan Raja dari
segala raja.
Shalat,
dzikir, atau mengingat Allah itu ternyata bertujuan mencegah perbuatan keji
dan mungkar. Berarti, perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak disukai
Allah SWT. Dan tidak berbuat keji dan munkar (QS al Ma’un
ayat 1-7) merupakan amal perbuatan (ibadah) yang utama. Shalat, dzikir,
atau mengingat Allah adalah sebuah sarana atau cara untuk mencapai keutamaan itu.
Akan tetapi, akan dikutuk oleh Allah sebagai orang yang celaka
bagi mereka yang selalu shalat namun perbuatannya tidaklah mencerminkan shalat
dan ingat-nya kepada Allah. Yaitu perbuatan yang mengingkari Allah. Mereka
inilah yang dimaksud merusak dan merendahkan agama Allah.
Mengingat
Dia, adalah juga menyadari apa-apa yang ada, apa-apa yang masuk sebagai yang
diterima, dan apa-apa yang keluar sebagai pengembalian pada diri insan
kemanusiaan, yang kesemuanya merupakan anugerah yang dititipkan sebagai yang
akan dipertanggung jawabkan, kelak.
Selalu mengingat Dia yang tiada
putusnya juga mengandung makna sebagai menjaga kesadaran jiwa terhadap
fitarh-nya yang telah ditetapkan Tuhannya sebagai khalifah di muka bumi yang
menjadi rahmat bagi semesta alam. Tidak keluar jalur dari jalan lurus
yang dikehendaki-Nya, yaitu, fitrah insan kemanusiaan sebagai perwujudan
Tuhan di muka bumi, yang saling berbagi rahmat-Nya kepada sesama, rahmatan lil’aalamiiyn. Itulah
menjalankan agama yang benar (diynul
qayyimah) dengan ikhlas atau murni.
Janji
“Dan
(ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah
Aku ini Tuhanmu? Mereka
menjawab, betul, kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak
mengatakan,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS 7:172)
Dengan ayat
ini, Allah hendak mengingatkan kembali kepada diri-diri kemansuiaan, bahwa sebelum kelahirannya di dunia, jiwa-nya
telah ber-syahadat (persaksian) pula sebagai ikatan perjanjian dengan
Tuhannya. Dan jiwa-jiwa kita benrjanji untuk tidak lengah terhadap persaksian
tersebut.
Tentulah
persaksian tersebut adalah berkaitan dengan fitrah kemanusiaan-nya,
yaitu sebagai khalifah yang merupakan perwujudan dari Dia Yang Maha
Pemurah di muka bumi. Menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil
‘aalamiiyn. Karena itulah maka jiwa-jiwa kemanusiaan inilah yang kelak akan
diminta pertanggung jawabannya.
Janji adalah milik Allah,
karena janji adalah berbicara mengenai hari kemudian, yang berada dalam
kuasa-Nya. Tidak dibenarkan, atau tidaklah layak, bahkan tidaklah dapat
dipercaya bila insan kemanusiaan berjanji. Sebutlah nama-Nya, yaitu insya
Allah (dengan izin Allah), untuk membersihkan janji-nya, bahwa
kekuatan untuk memenuhi janji tersebut adalah dengan kekuatan Allah, bukan
kekuatan dirinya sendiri.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah
diri.” (QS 6:162-163)
Kebanyakan insan kemanusiaan
yang terikat kepada janjinya, dapat pula tidak menepatinya, dan malah
terperosok karena hawa nafsunya pada kehidupan dunia. Maka sungguh dengan
selalu mengingat Dia yang menguasai hari kemudian, yang dengan
izin-Nya, jadilah janji-nya itu merupakan janji-Nya. Dan Dia-lah yang
menunaikan janji tersebut untuk kita, karena segala sesuatu mudah bagi-Nya jika
Dia menghendaki. Sebab itu jadikanlah keinginan adalah keinginan-Nya, kehendak
adalah kehendak-Nya, kekuatan adalah kekuatan-Nya, ilmu adalah ilmu-Nya, dan
lain sebagainya adalah semuanya milik-Nya dan dalam pemeliharaan-Nya. .
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Demikianlah adanya, segala
sesuatu yang berada di langit dan yang berada di bumi, serta yang berada
diantara keduanya adalah kepunyaan dan atas kehendak serta dalam kuasa-Nya.
Bahkan apa-apa yang berada di dalam tubuh atau jasad, sampai kepada nafas (hawa)
adalah milik-Nya. Yang pada pemahaman sebelumnya kita pisahkan sebagai milik
kita, pengakuan (ego)-lah yang mengaku-ngaku milik kita, sekalipun telah
dianugerahkan kepada diri kita, yang sesungguhnya hanyalah titipan berupa
amanah yang pada saatnya nanti, harus pula dipertanggung jawabkan
pengelolaannya. Tiada kekuatan selain kekuatan Dia yang Maha Agung, bahkan
untuk dapat mengucapkan janji pun adalah kekuatan-Nya. .
“... dan
penuhilah jnaji,
sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS 2:177)
Insan kemanusiaan yang
berakhlak mulia dan terpuji adalah juga yang menunaikan janjinya, karena diberi
kekuatan dan atas kehendak Allah. Tidak akan mudah memberikan janji, karena
sadar akan konsekuensinya yang tidak ringan. Maka dia pun ingat kepada imannya
terhadap Allah, para malaikat-Nya, para rasul-Nya, kitab-Nya, hari
kemudian-Nya, serta kadar baik dan buruk-Nya, yang kesemuanya berada di dalam
diri-nya untuk menjaganya agar tetap berada di jalan lurus-Nya.
Diri
Mengingat
Allah yang tiada putusnya adalah juga agar menyadari fitrah diri-nya
yang merupakan wadah sebagai perwujudan sifat-sifat Allah, yang merupakan
rahmat bagi semesta alam. Untuk mengenal diri, maka kenalilah Tuhan. Dan
untuk mengenal Tuhan, maka kenalilah diri. Setelah mengenal keduanya,
maka hikmah sejati telah terbuka sebagai sesuatu yang amat tak ternilai.
Diri
merupakan wadah yang menerima anugerah dari Allah, berupa, wujud sebagai
kewujudan, hidup sebagai kehidupan, ilmu sebagai keilmuan,
kuasa sebagai kekuasaan, dan lihat maka dapat melihat, dengar
maka dapat mendengar, ucap maka dapat mengucap, dan lain-lainnya
yang merupakan anugerah yang sesungguhnya hanyalah amanah titipan yang pada
saatnya nanti akan diminta pertanggung jawabannya. Janganlah pengakuan
(ego) menjadi dominan berlebihan menguasai jiwa, hingga malah menjerumuskan
diri pada kesesatan dari jalan lurus-Nya.
Diri setiap insan kemanusiaan
adalah keturunan dari diri yang satu, keturunan
Adam (berarti, tidak ada). Ya khalifah, ya nabi, ya rasul, ya
juga yang lalai atau berdosa. Maka setiap diri adalah juga keturunan tidak
ada, juga keturunan khalifah, , serta juga keturunan rasul,
juga keturunan nabi, serta pula keturunan yang lalai (berdosa).
Itulah fitrah kemanusiaannya.
A. Tidak Ada,
Adalah nyata-nya
ketiadaan sesungguhnya insan kemanusiaan. Karena hanya Dia yang wujud,
sedangkan selain-Nya adalah fana (berubah-ubah), menerima wujud-Nya, serta
merupakan perwujudan-Nya, bahkan hidup-nya adalah karena diberi kehidupan
oleh-Nya. Dari ujung kaki hingga ujung rambut adalah anugerah wujud dari
perwujudan-Nya, dan tidak secuilpun yang dimiliki serta dikuasai
oleh dirinya sendiri. Jangankan memiliki, memberikan rizkinya pun bukanlah
dirinya yang sebagai pemberinya, melainkan Allah-lah pemberinya.
Bukan pula
dirinya yang memerintahkan kepada kuku-kukunya untuk bertumbuh panjang, kepada
rambut untuk bertumbuh panjang, kepada jantung untuk memompa darah dan
mengalirinya ke seluruh tubuh, bukan pula dirinya yang memerintahkan sel-sel
tubuhnya untuk membelah diri sebagai pengganti sel-sel lainnya yang telah mati.
Diri ini
hanya menerima saja semua itu berlangsung tanpa pernah, bahkan merasa ikut
berperan. Maka sungguh naif, tidak layak dan pantas, merasa mengaku sebagai
pemilik, penguasa, dan pemerintah dari rakyat yang berupa milyaran sel
yang membentuk organ dan jaringan seperti, jantung, paru-paru, mata, telinga,
mulut, kulit, tulang, otot, dan lain sebagainya. Itu seluruhnya adalah anugerah
yang dititipkan, yang suatu saat, kelak, pasti akan diminta pertanggung jawabannya.
Hanya rasa
yang sampai kepada diri, yaitu nikmat bila seluruh rakyat-nya sehat,
dan sengsara bila salah satu rakyat-nya sakit. Pengakuan
(ego)-lah yang menyebabkan rasa menjadi dominan hingga tak terkendali, nikmat
dapat menyebabkan keangkuhan atau riya, dan sengsara yang dapat
menyebabkan kekufuran. Itulah akibat pengakuan (ego) yang mengaku-aku
sebagai pemiliknya.
Ketiadaan
diri adalah dengan telah hilangnya pengakuan (ego), dan mengakui yang ada
(wujud) hanya milik Allah. Bahkan nafsu pun adalah milik-Nya, karena itu selalu
luruskan dan ingatilah Dia. Kemudian sucikanlah sebelum
dipertanggung jawabkan kelak.
Mengingat Allah yang tiada
putusnya sebagai penyadar, bahwa sesungguhnya dirinya-lah yang tiada,
dan hanya Dia yang ada. Maka segala sesuatu yang datang dan keluar
darinya menjadi bersih dari pengakuan (ego)-nya, sehingga selamatlah
kehidupannya baik di dunia dan kelak di akhirat, karena menetapkan dirinya
tetap berada di jalan lurus-Nya.
B. Khalifah,
adalah anugerah berupa
kekuasaan atau kepemimpinan yang diberikan Allah kepada setiap insan
kemanusiaan untuk dikelola secara baik dan benar, dan lurus sesuai yang
dikehendaki-Nya. Kepemimpinan terhadap diri sendiri, keluarga, sekitar, bahkan
terhadap yang jauh lebih luas lagi, wilayah atau daerah, hingga negara. Dan
tetap, adalah dimulai dari kepemimpinan terhadap dirinya sendiri, semakin baik
pengelolaannya maka akan semakin luas pengaruhnya.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, apakah Engkau hendak
menjadikan orang
yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menycikan
nama-Mu? Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
Tetapi, bila
tergoda pengakuan (ego), maka rusak atau cacatlah kepemimpinannya. Menjadi
otoriter, diktator, atau dzalim, bahkan kepada dirinya sendiri karena telah
merusak apa yang telah dianugerahkan kepada dirinya. Telah banyak ini terjadi
di sepanjang sejarah peradaban kemanusiaan, dari mulai perang berebut wilayah
kekuasaan antar raja-raja, perang etnis kesukuan, perang agama (perang salib),
perang dunia, perang dingin, hingga perang terhadap terorisme.
Kekahlifahan
adalah anugerah yang menggoda setiap diri insan kemanusiaan.
Kemuliaannya amat menggiurkan, akan tetapi kerusakan akibat salah atau sesatnya
pengelolaannya amatlah besar pula. Semakin besar kekhalifahan melibatkan
banyak insan kemanusiaan, maka semakin besar pula kerusakan yang diakibatkannya
karena salah dan sesat pengelolaannya. Sehingga kekhalifahan cenderung
menjerumuskan, akan tetapi tetap dibutuhkan dalam kehidupan, apapun bentuknya
kepemimpinan tersebut. Itu adalah fitrah yang telah ditetapkan Allah terhadap
insan kemanusiaan.
Pada insan
kemanusiaan yang telah beriman dan beragama dengan lurus,
serta dengan masing-masing individunya telah menyadari (ingat) dan
melepaskan segala pengakuan (ego)-nya, maka insya Allah akan tercipta kehidupan
yang sehat di wilayahnya. Karena kekhalifahan yang besar atau luas
dipengaruhi oleh kekhalifahan-kekhalifahan kecil di bawahnya, semakin kecil
kepada individu-individu diri kemanusiaan sebagai elemen penting penyusun
struktur kehidupan.
Semakin baik kualitas akhlak
individu-individunya, maka menentukan kualitas kepemimpinan wilayah atau
negaranya. Dan akan kembali kepada individu-individu sebagai rakyatnya, berupa
kemakmuran ketentraman, keamanan, dan keadilan yang merata. Tidak akan pernah
didapat seorang khalifah dan pemimpin negri yang baik, yaitu yang dapat membawa
kepada keadilan, kemakmuran, keamanan, dan ketentraman yang merata, bila
masing-masing individunya kebanyakan masih dalam kesesatan akhlaknya. Seperti pungguk
merindukan bulan. Antara pemimpin dan yang dipimpin haruslah ada
harmonisasi kehidupan yang baik, memiliki dasar dan tujuan yang sama, yaitu
keimanan dan agama sebagai jalan lurus menuju keselamatan seperti pula yang
dikehendaki Tuhannya.
C. Rasul,
Adalah tugas
yang diamanatkan kepada setiap insan kemanusiaan yang telah beriman dan
beragama untuk menyampaikan petunjuk dari Tuhannya. Kita telah membahas
tentang kerasulan pada setiap diri kemanusian secara khusus pada bab keimanan,
akan tetapi akan sedikit diulas kembali.
Yang
sesungguhnya setiap diri adalah membawa tugas kerasulan baik disadari maupun
tidak, serta secara sukarela maupun terpaksa, karena memang fitrah-nya
seperti itu sejak Adam As sebagai bapak asalnya kemanusiaan. Adalah kodratnya, menghendaki
kebaikan pada sekitarnya, minimal keluarganya, maka yang keluar dari ucap-nya
(bila disadarinya, adalah ucap-Nya) adalah berupa nasehat-nasehat kebaikan.
Disadari ataupun tidak, “tiada kekuatan selain kekuatan Allah”-lah yang
memberi kekuatan kepadanya untuk menyampaikan segala bentuk nasehat kebaikan
sebagai petunjuk-Nya.
Akan tetapi,
yang dibutuhkan bukan cuma nasehat-nasehat, melainkan juga perlu keteladanannya
sebagai bukti nyata petunjuk tersebut. Sehingga harmonis antara ucap, tekad,
dan pada lampah (perbuatan)-nya, yaitu berbanding lurus apa yang ada
sebagai petunjuk, seperti dalam kitab suci, ucap, dan tekad, dengan lampah (perbuatan) sebagai teladannya.
Bila hal ini
telah dapat dipahami, maka mengingat Dia yang tiada putusnya, adalah menyadari
tugas kerasulan-nya, yang telah diikrarkannya dalam syahadat (telah
bersaksi bahwa dirinya adalah utusan Allah), yang sesungguhnya
pula adalah fitrahnya sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn (rahmat bagi
semesta alam). Allah telah memuliakan setiap diri kemanusiaan dengan tugas ini,
dan sebagai makhluk yang diwujudkan dengan bentuk yang sesempurna-sempurnanya,
sebagai wujud dari perwujudan-Nya Yang Maha Terpuji.
Maka dengan karunia yang mana
lagi, sehingga diri-nya dapat bersyukur dan hendak mewujudkan apa-apa yang
telah menjadi kehendak-Nya? Yaitu sebagai perwujudan Dia di alam, yang saling
menebarkan rahmat-Nya kepada sesama makhluk. Itulah sesungguhnya fitrah
diri-nya.
D. Nabi,
Setiap insan
kemanusiaan adalah keturunan nabi Adam, tetapi tidak semua keturunan-nya
dianugerahi kenabian. Hanya orang-orang pilihan yang dikehendaki Allah
saja. Kenabian adalah amanat yang besar dan sangat mulia, hanya mereka saja
yang menerima wahyu dari Allah untuk disebarkan kepada kaum atau
umatnya, sebagai tugasnya.
Padahal,
setiap insan kemanusiaan, dapat pula memiliki umat atau kaum yang mungkin saja
dibentuknya, minimal adalah pada keluarga dan keturunannya. Akan tetapi, karena
wahyu adalah kehendak Allah kepada siapa Dia hendak memberi wahyu, maka tidak
semua orang menerima wahyu, dan hanya orang-orang pilihan-Nya saja. Dan Muhammad
bin Abdullah adalah manusia terakhir yang menerima anugerah kenabian. Lain
halnya pada kerasulan, yang dianugerahkan kepada seluruh keturunan Adam atau
setiap insan kemanusiaan, hanya kadar mewujudnya-lah, yaitu
kadar ketuhanan pada dirinya yang
membedakan insan kerasulan dengan insan kemanusiaan yang lainnya. Kadar
ketuhanannya dinilai dari diri-diri yang mewujudkan sifat-sifat Tuhan di dunia
bagi kehidupan bersama dengan sesama makhluk Tuhan di bumi.
Didalam
kisah-kisah para nabi, pada al Qur’an, betapa sulit dan merupakan tantangan
ketika para nabi tersebut mengumumkan kenabiannya. Ditentang, dicemooh,
dianggap gila, dianggap penyihir, dianggap pembohong, dianiaya, bahkan hingga
bukan hanya ancaman saja, pembunuhan pun pernah terjadi. Itu dilakukan oleh
para pembesar negri dan pemuka agama. Padahal dia (para nabi) tak pernah
mengharapkan bahkan meminta upah atau imbalan. Akan tetapi bila hal-hal
berbahaya tersebut telah terlewati dan umat pengikutnya telah semakin banyak,
maka perbaikan menyeluruh pada kehidupan sosial kemasyarakatan pun pasti akan
terjadi.
Dan kenabian mereka sungguh
dapat dijadikan teladan bagi hidup kerasulan setiap diri kemanusiaan,
sebagai contoh terbaik akhlak manusia yang lurus pada jalan-Nya karena
selalu dalam keadaan ingat (sadar) dan selalu pula mensucikan-nya
sebagai yang akan dikembalikan lagi kepada sesunguhnya yang memiliki, yaitu Dia
(Allahu rabbul ‘aalamiiyn).
E.
Berdosa,
Dan setiap insan kemanusiaan
pun tak lepas dari kelalaian dan kesalahan sebagai dosa, bagai malam dan siang
yang selalu mengiringi. Karena di alam, maka kebaikan pun selalu dibayangi
keburukan. Tetapi Dia yang Maha Bijaksana pun memberikan penawarnya, sebagai
pelurus kembali, penyadar (pengingat) kembali, dan pembersih (pensuci)-an
kembali segala kesalahan dan kelalaian (dosa) yang telah menjerumuskan insan
kemanusiaan. Yaitu kunci tobat seperti yang diwariskan kepada Adam,
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah maha penerima
tobat, Maha Penyayang.” (QS 2:37)
“Keduanya berkata, ya Yuhan kami, kami telah mendzlimi
diri kami sendiri. Jika
Engkau tidak mengampuni
kami dan
memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (QS 7:23)
Hidup dan
kehidupan kemanusiaan, sesungguhnya, hanyalah menerima. Yaitu, menerima
segala sesuatu baik disadari maupun tidak, juga baik sukarela maupun terpaksa.
Bila dirinya lebih memaksakan kehendak atau keinginan buruknya, maka menerima
akibat atau balasannya pun akan secara terpaksa. Memaksakan dan
keterpaksaan itulah sebagai dosa yang ditanam dan yang akan dituai-nya.
Pada rasa-lah dosa itu berpengaruh pada diri-nya. Bila jasad-nya sakit, rasa
pada diri-nya lah yang terkena, bukan jasad-nya yang merasakan. Diri yang merasakan
ketidak nyamanan, bukan jasad, apalagi ruh-Nya.
Dengan
kebangkitan pula, setiap diri, mendapat kesempatan mensucikan kembali
jiwa-nya melalui neraka-nya, serta diharapkan-Nya sambil beramal perbuatan yang
tidak menambah lagi kekotoran pada jiwa-nya. Bila masih saja lagi ada kekotoran
yang melekat, sedang kematian telah merenggut-nya kembali, maka tentu akan
dibangkitkan kembali untuk mengalami pensucian kembali. Begitulah berulang kali
mengalami hidup, mati, dan dibangkitkan sampai kepada kesucian untuk dapat
kembali kepada-Nya Yang Maha Suci, ilayhi raji’un.
Ahli
Ahli, adalah
bermakna sebagai pewaris yang menerima anugerah dari Allah, dan yang
juga akan dipertanggung jawabkannya, kelak. Dan mengingat Dia yang tiada
putusnya adalah juga menyadari sebagai penerima anugerah yang merupakan amanah yang kelak itu
pun harus dipertanggung jawabkan pengelolaannya, bukan sebagai pemilik
anugerah tersebut.
Anugerah yang diwariskan-Nya
adalah wujud-Nya, ruh-Nya, kitab-Nya,
alam ciptaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya yang tak
terhitung (akbar) dan mewujud di bumi dalam perwujudan diri setiap insan
kemanusiaan yang ber-ketuhanan. Itulah kurnia yang dianugerahkan oleh
Dia yang Maha Pemurah, adakah yang lebih pemurah dari Dia? Bahkan kita
pun tidak sepemurah itu terhadap diri sendiri. Jauh lebih buruk malah
mendzalimi, menyakiti, merusak, dan menjerumuskan diri kita sendiri.
Anugerah-anugerah tersebut pun merupakan fitrah kemanusiaan yang telah
ditetapkan-Nya sebagai yang mempermudah tugas-nya di bumi sebagai wakil Tuhan,
yaitu perwujudan sifat-sifat Dia di muka bumi.
Sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
A. Wujud,
Yang merupakan perwujudan-Nya,
sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan.
Sebagai wujud yang sesempurna-sempurnanya atau wujud yang paling sempurna (fii
ahsaani takwiim), dan sebagai wujud yang Maha Terpuji yaitu muhammad
(lihat syahadat dalam ulasan bab iman kepada para rasul), juga apakah ada yang paling
sempurna selain Dia? Itulah nyatanya wujud Allahu Akbar pada diri kemanusiaan,
yaitu akbar, tak terhitung wujud kemanusiaan yang berketuhanan.
“Sungguh Kami telah menciptakan insan kemanusiaan
dalam bentuk
yang sesempurna-sempurnanya.” (QS 95:4)
Renungkanlah, ketika shalat,
berniat mengerjakan shalat adalah ikhlas
karena lillahi ta’alaa (Allah yang Maha Tinggi) sebagai yang memerintah
mengerjakan, dan diri sebagai yang diperintah. Selanjutnya, pada takbiratul
ihraam, mengucap Allahu Akbar, sebagai tanda (aba-aba) setiap
memulai gerakan agar diikuti makmum. Hal ini menunjukkan, dirinya dan
makmum yang banyak adalah wujud Allahu Akbar. Sekalipun dalam melaksanakan
shalatnya hanya seorang diri, makmumnya adalah rakyat-nya, yaitu
milyaran sel beserta para malaikat-nya (telah diulas bab iman kepada para
malaikat). Jadi perlu ditegaskan perbedaan antara Allahu Akbar sebagai
perwujudan Allah di alam, yaitu diri-diri kemanusian yang banyak (akbar) tak
terhitung, dengan Allahu Ta’alaa (Allah yang Maha Tinggi) sebagai yang
memerintah segala sesuatu yang berada di alam dari tempat tunggal-Nya
(arsy), yaitu Allahu arsyis tawaa. Uraian ini sangat berhubungan erat
dengan bab keimanan, karena ini begitu penting dipahami setiap diri yang
sebagai pewaris wujud Tuhannya agar dapat menjaga dari penodaan
terhadap-Nya akibat kesesatan pengakuan (ego).
“Wahai orang yang beriman ! Janganlah kamu
mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar (mengerti) apa yang kamu ucapkan......” (QS 4:43)
Renungkanlah lagi, pada bunyi
ayat di atas, yang melarang shalat, saat diri dalam keadaan mabuk, dikarenakan tidak
memahami atau tidak mengerti apa-apa yang diucapkannya di dalam
shalatnya. Kemudian simak pula bunyi ayat ini,
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong
memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan)
bantuan.” (QS 107:1-7)
Allah
mengecam pula mereka yang shalat tapi tak mengerti apa-apa yang telah
diucapkannya di dalam shalat, sebagai kelalaiannya, sehingga masih
saja tergoda melakukan amal perbuatan yang telah diketahuinya dilarang
Tuhannya. Diri yang seperti itu, sebenarnya pun, dalam keadaan mabuk, yaitu mabuk
kehidupan atau perhiasan dunia. Mabuk kepada hal-hal yang
sesungguhnya malah menyakiti atau mendzalimi dirinya sendiri. Jika demikian,
maka larangan mengerjakan shalat seharusnya pun dikenakan kepadanya. Sebagai
pula perbuatan yang mendustakan agama, yaitu ajaran lurus dari Tuhannya.
Tidak lain
inipun disebabkan dominannya rasa pengakuan (ego), sehingga tidak dapat menyadari
(ingat) wujud ketuhanannya sebagai wujud Dia Yang Maha Terpuji (Muhammad). Dan
sebaliknya, bila dirinya menyadari (ingat), maka janganlah membelokkan yang
seharusnya lurus, jangan pula melupakan yang seharusnya
di-ingat, serta jangan juga mengotori yang seharusnya suci.
Itulah bahayanya pengakuan (ego) yang dapat menyesatkan dari jalan
lurus-Nya, melupakan Tuhannya, bahkan menodai kesucian-Nya.
Wujud yang difitrahkan untuk
menjadi perwujudan-Nya di alam, yang membawa sifat-sifat Tuhan dalam setiap
gerak hidupnya. Yaitu sebagai wujud yang terpuji (muhammad) yang merupakan
perwujudan Dia Yang Maha Terpuji (Muhammad).
B. Ruh,
Yang merupakan ruh-Nya (bukan
ruh milik diri-nya), juga sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap
diri insan kemanusiaan. Dengan ruh-Nya inilah, maka kemanusiaan menerima hidup-Nya
sebagai anugerah kehidupan, dan yang memerintahkan gerak segala sesuatu
yang ada pada dirinya dan yang mempengaruhi dari luar diri-nya.
“......
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka
hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS 38:71-72)
Dia-lah ar
Raahman yang sesungguhnya memerintahkan ruh-Nya atau para aparat
(malaikat)-Nya, yaitu ruhul kudus sebagai pembawa atau penyampai
perintah-Nya untuk disampaikan kepada seluruh para aparat lainnya, seperti
kepada aparat yang sebagai pelaksana gerak dari mulai tarikan dan keluarnya
nafas, gerak ucapnya, gerak dengarnya, gerak lihatnya, gerak pikirnya, gerak
tangan dan langkahnya, sampai kepada gerak-gerak yang tidak disadari atau
diketahuinya di dalam tubuhnya. Dia-lah yang sesungguhnya memerintahkan
para aparat (malaikat) untuk bergerak bekerja sesuai kehendak-Nya (telah diurai
di bab iman kepada para malaikat).
Ruh-Nya
tersebutlah yang sesungguhnya menghidupkan, sehingga jasad dan jiwa-nya
dapat menerima segala anugerah yang dikaruniakan kepada-nya. Jasad
merupakan wadah yang menerima, sebagai media jiwa yang memiliki wujud, dan
merupakan satu kesatuan wujud dari milyaran wujud yang tak terhitung, serta
memiliki kehidupan sendiri-sendiri dalam satu sistem, dan bukan atas perintah
diri-nya sebagai penguasa mereka, melainkan perintah Dia (ruh-Nya) Yang
Maha Memerintah. Tidak ada sedikitpun kekuasaan-nya atas mereka (jasad-nya)
tersebut. Itulah mengapa bila sakit di jasad-nya, diri-nya tak kuasa, bahkan dokter
terpercaya pun tak kuasa bila tak dikehendaki-Nya. Diri-nya hanya cuma bisa merasakan.
Jadi,
dimanakah diri kemanusiaan-nya? Itulah mengapa diri atau jiwa disebut
sebagai yang tidak ada. Diri-nya ada pada rasa, yaitu rasa nikmat-Nya.
Bukan rasa nikmat yang sesaat, yang kemudian disesalinya. Melainkan
merupakan nikmat sejati. Bayangkan, satu saja gerak tersebut dicabut
Tuhannya. Misalkan gerak melihat yang dicabut oleh-Nya, sehingga tak dapat
melihat. Tentu itu merupakan musibah atau bencana besar bagi dirinya. Tidak
usah sampai kepada dicabut, dikurangi saja kekuatannya, yaitu menjadi buram.
Tentu itu saja telah merepotkan dirinya, harus membeli kacamata untuk
memperbaiki pandangannya. Maka sungguh, agar setiap diri kemanusiaan dapat mensyukuri
nikmat-nikmat yang telah dianugerahkan Tuhannya.
Apabila
telah menyadari dan memahami segala sesuatu , termasuk yang berada di dalam
jasadnya, adalah berada dalam kuasa dan dalam pemeliharaan Dia Yang Maha
Pemurah. Sehingga, yang berucap adalah Dia, yang mendengar adalah Dia, yang
melihat adalah Dia, yang berpikir adalah Dia, yang menulis adalah Dia, yang
melangkah adalah Dia, dan segala sesuatu adalah gerak Dia. Sebab itu,
luruskanlah, ingatilah, dan sucikanlah gerak-gerak tersebut sebagai milik-Nya
dari ego pengakuan.
Diri atau
jiwa inilah yang seharusnya menyatu (manunggal) dengan ruh-Nya, sebagai diri
atau jiwa yang tenang dan terkendali (nafs al mutma’inah). Yaitu, yang ikut
mengucap, ikut mendengar, ikut melihat, ikut berpikir, serta ikut pada setiap
gerak-gerak lain-Nya. Dan hanya nikmat-Nya yang sesungguhnya dirasakan
jiwa-nya.
Dia-lah,
Allahu arsyis tawaa yang bersemayam di arsy, yaitu di lubuk hati yang
paling dalam. Dan pada setiap diri kemanusiaan yang telah secara murni atau
ikhlas beriman dan beragama, ruh-Nya kuat dan dominan terhadap setiap gerak
yang membawa jiwa kepada keselamatan, kemudahan, ketenangan dan ketentraman.
Sebaliknya, bagi mereka yang tidak memurnikan (ikhlas), maka
segala perintah-Nya akan mudah dibelokkan iblis. Bila jiwa lebih cenderung pada
kesesatan, yaitu pada mereka yang menjadikan iblis sebagai tuhannya, yang
justru malah menjerumuskan jiwa kepada bencana, kesulitan, dan keresahan.
Meluruskan, mengingat, dan
mensucikan diri atau jiwa agar dapat bersatu (manunggal) dengan ruh-Nya di
dalam tempat tunggal-Nya, menjadikan jiwa yang tenang terkendali dan
keluar berupa rahmat bagi sesamanya di alam.
C. Sifat,
Yang adalah
pula merupakan sifat-Nya, yaitu dari sifat wujud, sampai dengan sifat mutakalimaan,
juga sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan
kemanusiaan. Semua sifat-Nya yang memiliki nilai-nilai kebaikan dan kebenaran
tersebut sebagai yang melekat bersama
ruh-Nya, karena di alam (bukan di tempat tunggal, arsy-Nya), maka dapat
terkontaminasi penyesatan iblis melalui pengakuan (ego) setiap diri (jiwa)
kemanusiaan, maka muncullah pasangan dari setiap sifat tersebut sebagai yang
memliki pula nilai-nilai keburukan dan kesalahan.
Akibat pengakuan
(ego)-nya tersebut, maka rasa butuh akan kehidupan dunia yang berlebihan,
membuat iman-nya semakin terkikis oleh ketakutan-nya sendiri, yaitu
ketakutan tidak tercukupi. Timbullah ketamakan, keserakahan, kecurangan, yang
kesemuanya bersumber dari ego-nya, yang malah menjerumuskan jiwanya
kepada rasa resah. Semakin didapatkannya, semakin resah pula jiwa pada rasa
takut akan kehilangan-nya. Tiada akan pernah merasa cukup jiwa-nya puas, dan
dapat tenang dalam kehidupannya. Itulah jiwa yang didominasi oleh pengakuan
(ego)-nya yang berada di dalam nilai-nilai keburukan dan kesalahan.
Sedangkan
pada jiwa yang dekat dan mendekati ruh-Nya, berusaha bersama (manunggal), maka
akan berusaha meluruskan, mengingat, dan mensucikan semua sifat tersebut
dari pengakuan (ego)-nya, serta mengeluarkannya sebagai amal perbuatan yang
saling menebarkan rahmat Tuhan bagi sesamanya.
Dengan demikian, maka
kehendak-Nya, yaitu agar setiap diri kemanusiaan mewujudkan sifat-sifat Allah
pada amal perbuatan-nya. Pada jiwa-jiwa seperti inilah, maka telah manunggal
bersama ruh-Nya yang memayungi-nya sehingga penuh dalam kedamaian dan
ketentraman, tidak ada rasa takut maupun tersentuh oleh rasa sedih, apalagi
resah dan gelisah.
D. Kitab,
Yang merupakan kitab
petunjuk-Nya, juga sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri
insan kemanusiaan, maka disebutlah sebagai ahli kitab.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu,
......”. (QS 4:171)
Setiap insan
kemanusiaan adalah ahli kitab (lihat kembali bab iman kepada kitab),
yang telah diberikan kitab sebagai petunjuk kepada jalan lurus-Nya, dan dapat
mengingat-Nya, serta mensucikan-Nya. Dengan makna, bahwa amal perbuatannya yang
selalu lurus atau tidak sesat, amal perbuatannya yang selalu didasari
karena ingat kepada Dia, serta mensucikan setiap amal
perbuatannya dari pengakuan (ego) dan penyesatan iblis. Yang kesemuanya
tersebut ternyata kembali kepada dirinya sebagai kebaikan dan keselamatan bagi
hidup dan kehidupan dirinya sendiri, yaitu nikmat.
Kitab
sebagai petunjuk yang menerangkan segala sesuatu, yang telah diwariskan
oleh Tuhannya sebagai panduan jiwanya dalam hidup dan kehidupannya yang selalu
dibayang-bayangi penyesatan iblis. Yang karena di alam, maka kebaikan
pun dibayangi keburukan. Bahkan cahaya pun dibayangi bayangan
hitam-nya. Segala sesuatu bersama pasangan-nya. Lain halnya di tempat
tunggal-Nya, arsy Allah, maka segala sesuatu adalah tunggal, tidak
memiliki pasangan, karena telah manunggal bersama Yang Maha Tunggal.
Di dalam
kitab inilah, yang disebut pula sebagai kitab pembeda, yang membedakan pasangan-nya,
yaitu yang membedakan antara yang haqq dengan yang bathil, yang baik dengan
yang buruk, yang benar dan yang salah, yang beriman dan yang kufur, dan lain
sebagainya. Sehingga menjadi jelas, terang, dan nyata
kemana arah jalan lurus yang ditunjuki Tuhannya.
Serta kitab
yang terbentang di alam, yang merupakan petunjuk-Nya pula, kemudian ditambah
lagi dengan kitab yang merupakan kumpulan firman yang di wahyukan-Nya, keduanya
pun memiliki kesesuaian sebagai yang saling membenarkan, dan dibenarkan kembali
oleh kitab-Nya pula yang telah ditanamkan di dalam dada setiap diri
kemanusiaan sebagai petunjuk yang membawa kebenaran dan keselamatan.
Maka dengan petunjuk apa lagi
diri-nya dapat selalu ingat kepada-Nya, dan berlaku lurus dalam beragama, serta
suci dalam setiap amal perbuatannya?
E.
Alam Ciptaan,
Yang merupakan ciptaan-Nya,
yaitu langit dan bumi serta yang berada diantara keduanya, adalah juga sebagai
yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan untuk
dikelola secara baik, serta bertanggung jawab menjaga keseimbangan-nya,
agar tidak kembali kepada dirinya sendiri sebagai bencana alam atau
azab.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laot disebabkan
perbuatan tangan kemanusiaan. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS 30:41)
Adalah pengakuan
(ego) adalah juga sebagai penyebab kerusakan alam, yang padahal sungguh akan
kembali kepada diri-nya sebagai bencana atau musibah. Pada hal-hal perbuatan
yang sepele, seperti malas membuang sampah pada tempatnya, semakin
menjadikannya terbiasa tidak menjaga kebersihan, sehingga penyakit tentu akan
mudah hinggap kepadanya. Jika dibiarkan terus menerus, ini akan menjadikan gaya
hidup, bila sampai meluas akan membudaya.
Lihatlah
sungai-sungai yang ada di kota Jakarta, sampai kepada pemerintah daerahnya pun
tidak perduli memperbaiki keadaan ini, karena telah terbiasa kepada kemalasan
dan ketidak disiplinan. Bukan hanya di darat dan di laut saja yang
telah rusak, bahkan udara-nya pun telah tidak layak bagi kehidupan sehat.
Maka mereka sendirilah yang akan merasakan akibat perbuatannya.
Dalam hal-hal sepele saja
akibatnya sungguh memprihatinkan, apalagi pada hal pengelolaan seperti, limbah
maupun polusi industri, kayu hutan, pertambangan, dan lain sebagainya yang
melibatkan alam sebagai objek yang dieksplor-nya.
“Dan langit
telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)
Menjaga
keseimbangan alam adalah hal mutlak yang tak dapat dipungkiri siapapun, bahkan
anak kecil pun telah banyak ditanamkan nilai-nilai pentingnya kelestarian alam,
akan tetapi ada hal-hal yang tak dapat dihindari, seperti pertumbuhan populasi
penduduk yang mau tak mau harus membuka lahan baru dan mengorbankan lahan-lahan
hijau.
Juga
pertumbuhan penduduk tersebut, telah ikut pula mengarahkan pertumbuhan ekonomi
dan industri yang pada akhirnya memiliki dampak pada lingkungan yang menjadi
korbannya lagi. Apalagi bila hal-hal tersebut tak didukung pula oleh aturan
atau sistem pengelolaan yang baik dan bertanggung jawab, maka dampaknya akan
jauh lebih parah.
Kita hidup
di alam ini, dan hendak nyaman dan tentram serta damai tinggal di sini. Alam
ini adalah rumah kita, bagaimana mungkin kita bisa tidur nyenyak bila tinggal
dan tidur di dalam rumah yang telah rusak. Karena itu menjadi tanggung jawab
kita semua memperbaiki kerusakan-kerusakannya agar menjadi layak sebagai tempat
tinggal, kemudian merawatnya sebagai yang disebut dengan menjaga
keseimbangannya, agar mendapatkan ketenangan, ketentraman dan kedamaian dalam
kehidupannya.
Di dalam
jiwa yang sehat, maka akan keluar amal perbuatan yang menyehatkan
kehidupan yang juga merupakan rahmat bagi semesta alam. Bagaimana
mungkin jiwa yang sehat mau mengotori atau merusak alam sebagai tempat
hidupnya, seperti hendak mengotori atau merusak rumahnya sendiri sebagai tempat
tinggal dan tidur-nya?
Jiwa yang sehat adalah jiwa
yang menjaga amal perbuatannya tetap pada jalan lurus, tetap dalam keadaan
ingat (sadar), dan tetap dalam keadan suci. Yaitu juga, tidak dalam keadaan mabuk
kehidupan dunia yang menyesatkan dan menjerumuskan diri-nya sendiri, akibat pengakuan
(ego)-nya yang tidak memperdulikan sekitarnya, sebagai sesama makhluk Allah.
Dan itu akan kembali kepada dirinya sendiri, sebagai bencana atau musibah
akibat kelalaian atau kesesatannya sendiri.
“.....sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:7-10)
Bukan akal tak berpikir dan
bukan pula mata tak melihat, akan tetapi pandangan indah yang dibuat
iblis yang menutupi mata dan hati-nya dari melihat dan berpikir yang
baik, malah memperbesar pengakuan (ego) yang menyesatkan diri-nya dari
menuju kepada keselamatan hidup dan kehidupannya. Dengan kembali mengokohkan
keimanan (seperti yang telah diurai), maka akan mengahargai pula kehidupan
makhluk-makhluk lain selain dirinya sebagai saling berbagi rahmat-Nya kepada
sesama ciptaan-Nya, rahmatan lil
‘aalamiiyn.
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah
kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”
(QS 2:152)
Bab XVI
MENSUCIKAN
(Wayutuzzakata)
“(yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar
dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya
Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya, Dan Dia lebih mengetahui (keaadaan)-mu ketika
Dia menjadikanmu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui
tentang orang-orang yang bertakwa.
(QS
53:32)
S
|
uci mengandung makna terhindar dari segala bentuk
kekotoran. Dan sesungguhnya, rasa-lah yang menjadi penentunya, dilihat
mata, didengar telinga, dicium baunya oleh hidung, dikecap oleh mulut, dan lain
sebagainya oleh indera kemanusiaan-nya, sebagai yang harus disadari
bahwa bukan dirinyalah sebagai pemiliknya. Rasa-lah yang menentukan suci
tidaknya, kotor atau bersih, serta kelayakan bagi diri (jiwa)-nya.
Sesuatu yang memaksa, dipaksakan dan terpaksa maka akan mempengaruhi rasa yang
meresahkan bagi jiwanya sebagai dosa, dan menyiksa jasad-nya sendiri sebagai
penyakit yang menggerogoti hidup-nya.
Kata ‘zakat’ disini, bukan
hanya bermakna kepada mensucikan harta-benda saja, melainkan seluruh
anugerah yang telah diberikan Allah kepada insan kemanusiaan dari kenajisan
atau kekotoran, yang sesungguhnya adalah akibat pengakuan (ego)
dari diri atau jiwa-nya. Kembali menyadari, bahwa diri kemanusiaan hanyalah
menerima segala sesuatunya yang merupakan rahmat kebaikan dan kebenaran dari
Allah Yang Maha Tunggal, tidak ada nilai-nilai keburukan dan kesalahan di
setiap rahmat-Nya. Akan tetapi, karena di alam dan setelah diterima diri-diri,
maka tak terlepas dari kontaminasi pengakuan (ego)-nya yang menjadikan
terselipnya nilai-nilai keburukan dan kesalahan. Hal inilah yang menjadi perlu
disucikan agar dapat kembali kepada yang memberi, Allah Yang Maha Suci sebagai
tempat kembali tujuan akhir.
Kebanyakan kita telah salah
memahami, bahwa mensucikan-nya hanya dengan membayar zakat-nya, dan
zakat pun dimaknai dengan harta-benda. Padahal, inti maknanya adalah mensucikan,
salah satunya adalah membayar sebagai cara bagi yang ‘terlambat’
mensucikan anugerah Tuhannya, sehingga kekotoran masuk mencemari anugerah
tersebut.
Disucikan
karena ada kekotoran, dan mensucikannya, ada yang membayar-nya dengan uang,
zakat, fidiyah (memberi makan orang miskin), infak dan sedekah, ataupun puasa.
Perhatikanlah ayat berikut ini, kemudian renungkanlah secara perlahan dan
mendalam, sambil mengingat-ngingat kejadian yang pernah terjadi baik pada diri
maupun yang pernah terjadi di sekitar kita.
“Tahukah kamu (perbuatan)
yang mendustakan agama? Maka itulah
yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya,
yang berbuat
riya, dan enggan(
memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)
Bila telah tidak mendustakan
agama (QS 98:5), yaitu telah berada pada jalan lurus-Nya, ingat
(sadar) kepada-Nya yang tiada putusnya, serta mensucikan semua anugerah
yang diberikan Tuhannya, yaitu yang bila telah dengan ikhlas tidak
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka masihkah perlu
membayar untuk mensucikan-nya? Mensucikan (zakat)-nya hanya bagi mereka
yang telah terlambat atau terlanjur mendustakan agama.
Renungkanlah.
Makna, mencegah adalah jauh lebih baik dari
mengobati sangatlah pas atau sesuai kepada menjalankan agama dengan ikhlas
lebih baik daripada timbulnya penyesalan di hari kemudian, yaitu membayar
(mensucikan dengan zakat) harga yang belum tentu sesuai dengan nilai
kerusakan akibat amal perbuatan yang mendustakan agama. Maka, hal itu tetap
saja sebagai hutang yang kelak akan dihisab (diperhitungkan) pada hari
akhir.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah
dengan ikhlas semata-mata
karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, menegakkan
shalat (mengingat
Allah
yang tiada putus), dan tunaikan zakat (mensucikan
seluruh
anugerah Tuhan yang telah diberikan kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Bila yang ditekankan
membayar untuk mensucikan (zakat), maka asumsi yang timbul adalah, tidak
mengapa beramal perbuatan yang mendustakan agama, toh dapat mensucikannya
dengan membayar zakat-nya. Sedangkan asumsi kebanyakan orang adalah membayar
zakat hanya untuk mensucikan harta-benda yang mungkin saja didapatnya
terkontaminasi oleh kekotoran, tidak menyadari dengan cara bagaimana mensucikan
amal perbuatan lainnya yang menyimpang dari agama. Atau berusaha sedapat
mungkin melakukan segala amal perbuatan yang murni atau ikhlas tak dikotori
oleh pengakuan (ego). Mungkin dengan sedekah atau amal-amal sedekah lainnya
dapat mengurangi dosa-nya, padahal ternyata sumber sedekah atau
amal-amal bantuan lainnya tersebut didapat dari perbuatan yang mendustakan
agama. Maha Suci Dia sebagai tempat kembali segala sesuatu. Maka apakah dapat
bersih, bila mencuci pakaian dengan air yang kotor?
Harta-benda,
yang dipandang dan menjadi ukuran sebagai salah satu hasil atau wujud
dari jerih payah usaha atau amal perbuatan setiap diri insan
kemanusiaan. Akan tetapi yang perlu disucikan tidak hanya itu, melainkan pula
tenaga atau kekuatan yang menggerakkan (daya)-nya, niat atau rencana
yang masih bathin (karsa)-nya, kemudian upayanya yang menghasilkan (cipta)-nya.
Yang sesungguhnya, kesemuanya tersebut, adalah anugerah dari Allah yang Maha
Pemurah dan Penyayang. Tiada sesuatu pun yang lepas dari kuasa dan
kehendak-Nya. Apapun bentuknya, apabila masih melekat kekotoran pada
jiwa, maka tetaplah dipertanggung jawabkan sebagai beban pada kehidupan di hari
kemudian-nya kelak, sekalipun telah membayar zakat-nya. Dia-lah Yang
Maha Adil.
“Katakanlah:
Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya
perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya. Dan adalah manusia itu sangat kikir.” (QS 17:100)
Daya
“..... Laa quwwata
illaa billah (tiada kekuatan kecuali atas kehendak Allah).” (QS 18:39)
Daya atau
kekuatan yang merupakan energi sebagai sesuatu yang menggerakkan.
Akan tetapi tetap, sesungguhnya, kehendak Dia-lah yang memerintahkan
kepada daya (energi) tersebut untuk menggerakkan segala sesuatu di dalam jasad
diri segala sesuatu ciptaan-Nya, termasuk pula diri kemanusiaan.
Di dalam
ulasan pada bab Iman kepada Para Malaikat, telah diterangkan bahwa
energi-energi tersebut itulah sesunggunya aparat Allah (para
malaikat-Nya). Sedikit kita ulas kembali, bahwa ketetapan-Nya, kehendak-Nya,
serta perintah-Nya adalah sebagai yang disebut Nur Allah.
Aparat-Nya, yaitu para malaikat adalah sebagai Nur Cahya.
Sedangkan setiap diri insan kemanusiaan yang telah bermanusiawi adalah
sebagai yang disebut Nur Muhammad (wujud dari perwujudan Yang Maha
Terpuji).
Limpahan
cahaya yang membanjiri bumi sebagai sumber energi bagi hidup dan kehidupan
seluruh makhluk-Nya, baik siang maupun malam. Energi-energi tersebut tidaklah
musnah atau mati, hanya berubah bentuk, yang pada awalnya energi cahaya,
berubah-ubah seperti menjadi energi panas, energi listrik, energi gerak, energi
bunyi, dan lain sebagainya. Disitulah para malaikat berperan atas ketetapan,
kehendak, dan perintah-Nya. Energi-energi tersebutlah yang menggerakkan
hidup dan kehidupan segala sesuatunya, seperti gerak rotasi dan revolusi bumi
yang menjadikan malam dan siang serta musim-musim, gerak angin, gerak awan,
gerak proses terjadinya hujan. Kemudian kepada gerak kesuburan tanah di
bumi, gerak tumbuhnya tanam-tanaman. Kemudian pula pada gerak proses siklus
rantai makanan pada makhluk-makhluk-Nya. Itulah rahmat dari Dia Yang Maha
Pemurah. “maka nikmat Tuhanmu yang
mana lagikah yang dapat kamu dustakan?”
Bahkan kepada para aparat
(malaikat) yang bertugas di wilayah jasad atau tubuh setiap diri kemanusiaan,
energi-energi (para malaikat) tersebut berperan menggerakkan seluruh gerak
hidup dari milyaran sel, jaringan, serta organ tubuh-nya. Seperti gerak bernafas,
gerak gerak jantung yang berdetak memompa, gerak aliran darah, gerak berpikir,
gerak mencerna makanan, serta gerak-gerak lainnya yang tak disadari dan
bukan pula diri-nya yang memerintahkan, melainkan ternyata Dia-lah yang
memerintahkan. Dan yang diperintah pun bukanlah diri-nya, melainkan para aparat
(malaikat)-Nya sebagai energi penggerak apa-apa yang sebagai bagian atau yang hidup
di dalam jasad-nya. Itulah mengapa diri menjadi tidak menyadari gerak-gerak
tersebut, karena bukan diri-lah yang memerintahkan apalagi berkuasa untuk
menggerakkan. Hanya diri yang masih penuh akan pengakuan (ego)-lah yang merasa
memerintah dan berkuasa.
“Dan
bahwasanya Dia-lah yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan
bahwasanya Dia-lah yang mematikan dan menghidupkan.”
(QS 53:43-44)
Kemudian pada gerak
pendengaran, gerak penglihatan, gerak pengucapan, gerak berpikir, gerak tangan
dan langkahnya, serta gerak-gerak sadar lainnya adalah merupakan gerak para
malaikat yang diperintah oleh Dia dalam ketetapan, kehendak, dan
perintah-Nya. Daya-daya inilah yang
dapat mewujudkan bentuk-bentuk amal perbuatan selain amal perbuatan kebaikan
bagi diri dan sesama-nya. Yang
sesungguhnya, selain itu merupakan pengabdian kepada Tuhannya, juga
merupakan wujud pengabdian-nya kepada setiap diri kemanusiaan (wujud
dari perwujudan Yang Maha Terpuji). Seperti yang dimaksud oleh ayat di
bawah ini,
“Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali iblis.
Ia menolak dan menyombongkan
diri dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS 2:34)
Mereka (para
malaikat) yang menolak tunduk pada perintah-Nya, disebut iblis.
Renungkanlah, pada diri kemanusiaan, yang jiwanya tak mau tunduk patuh kepada
Tuhannya, maka dia atau diri-nya sendiri-lah yang telah mengubah aparat
(para malaikat) Tuhannya menjadi iblis yang membangkang, dan
menyombongkan diri yang mewujud sebagai bentuk pengakuan (ego) pada diri
kemanusiaan-nya.
Betapa berbahayanya hal ini,
bila para malaikat-Nya pun membangkang dari tugasnya menggerakkan dan
malah mengaktifkan yang “sesat”, menjadi iblis (virus, istilah
ilmiahnya) atau penyakit yang menyebabkan sakit, dan terganggunya hidup dan
kehidupan dirinya sendiri. Juga tak lagi membawa petunjuk Tuhannya, malah menyesatkan
penglihatan hati dan akalnya dari kebenaran.
“..... maka
berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang
yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari pembalasan.” (QS 38: 26)
Bentuk pengakuan (ego),
yaitu yang menyombongkan diri adalah sebagai penyebab utama
terjerumusnya diri kemanusiaan, sehingga perlu disucikan dengan meluruskan
dan selalu sadar (ingat) kembali kepada Tuhannya, yang “tiada daya
(kekuatan) selain daya (kekuatan) yang diberikan-Nya”. Menyadari (ingat)
dan mengakui (melepaskan ego-nya) bahwa diri-nya hanyalah menerima daya
(kekuatan) dari-Nya.
Cipta
“Dan
katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah
dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu
akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS 9:105)
Cipta adalah hasil atau
wujud dari daya (kekuatan) dan kreasi imajinasi pikir (karsa) yang
merupakan anugerah Tuhan kepada setiap diri insan kemanusiaan, dan bermanfaat
bagi sebanyak-banyaknya sesama makhluk Tuhan. Dia-lah Maha Pencipta (Khaliq),
insan kemanusiaan hanya menerima anugerah kekuatan untuk dapat mencipta.
Awalnya adalah kehendak-Nya,
kemudian Dia memerintahkan daya atau kekuatan (energi) untuk menggerakkan
imajinasi pikir dan bersama gerak kreasi yang kreatif, baik keinginan mencipta
suatu yang baru, maupun merekayasa hasil ciptaan yang telah ada. Janganlah pula
lupa, mengingat Dia yang tiada putusnya sebagai kesadaran, menjaga kelurusan,
dan menjaga pula kesucian segala daya dan kreasi imajinasi pikir (karsa) dari
terkontaminasi kekotoran pengakuan (ego) yang sesat dan menyesatkan,
yang dapat pula mengotori hasil ciptanya.
Hasil cipta-nya ada yang
berwujud baik bagi kebaikan dan baik bagi keburukan, ini jelas universal
yaitu dapat diterima atau bermanfaat bagi semua. Dan ada pula yang buruk bagi kebaikan
dan buruk bagi keburukan, sedangkan ini merupakan hasil cipta negatif
atau buruk yang dapat diterima atau ‘bermanfaat’ (padahal sesungguhnya
merupakan penyesatan) bagi mereka yang buruk saja, tiada bermanfaat dan tidak
dapat diterima oleh kebaikan, sebagai hasil cipta yang terkontaminasi oleh pengakuan
(ego) yang sesat dan menyesatkan.
Allah sebagai Khaliq (Maha
Pencipta) semesta alam dan segala sesuatu di dalamnya. Maka adalah karena
anugerah-Nya, yaitu dengan bantuan para aparat (malaikat) Allah yang bekerja
atas perintah dan kehendak-Nya, maka insan kemanusiaan diberi kekuatan mencipta.
Dan jangan dilupakan, setiap anugerah-Nya yang diberikan kepada diri
kemanusiaan adalah merupakan sebagai titipan (amanah), yang kelak
akan diminta pertanggung jawaban atas pengelolaannya.
Selalu dalam keadaan sadar
(ingat) yang tiada putusnya adalah hal utama yang dapat menjaga kelurusan
dan kesucian setiap amal perbuatan setiap diri insan kemanusiaan. Bila
amal perbuatan baik menghasilkan pahala kebaikan selama hasil cipta tersebut
dipakai dan dimanfaatkan orang lain, maka bagaimana dengan amal perbuatan buruk
sebagai hasil ciptanya? Tentu segala keburukan akan menunjuk pula kepada diri-nya,
selama amal perbuatan buruk itu dimanfaatkan orang lain. Apalagi bila banyak
yang menggunakannya. Bagaimana mensucikannya? Tentu tidaklah cukup hanya dengan
membayar zakat-nya.
Banyak
penemuan teknologi yang berguna bagi hampir sepanjang sejarah
kemanusiaan, teknologi lampu listrik, mesin cetak, mesin tenun, dan lain
sebagainya yang sangat bermanfaat pada kehidupan sampai sekarang, dan nama baik
mereka pun hidup sepanjang hasil ciptanya tersebut digunakan atau dimanfaatkan
orang. Dan orang-orang suci yang membawa ajaran kebaikan yang dilekatkan
sebagai ajaran agama dari Tuhan, nama mereka pun masih sering disebut-sebut
hingga kini. Apa yang mereka perbuat tentunya mengeluarkan energi, dan energi
kebaikan yang keluar tersebut hidup serta bermanfaat bagi kehidupan
kemanusiaan sampai akhir zaman.
“... Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat, agar
sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dai apa yang mereka kumpulkan.” (QS 43:32)
Tentu,
begitupun sebaliknya, amal perbuatan yang merusak atau membuat kerusakan,
seperti Fir’aun dengan menuhankan diri-nya, Qarun sebagai lambang ketamakan
pada harta benda (harta karun), Yahudi dengan pembangkangannya, Hitler dan
Jengis Khan dengan ambisi kebangsaan dan genosida-nya (pemusnahan etnis). Nama
mereka akan terus melekat pada keburukan.
Karsa
Karsa adalah
gerak imajinasi pikir dan gerak kreasi yang menuntut kekreatifan secara
maksimal untuk mendapatkan hasil yang maksimal pula. Rasa ‘menuntut’ inilah
yang kelak dapat menjerumuskannya, sehingga sangat perlu disucikan
kembali dengan selalau dalam keadaan sadar (ingat) dan meluruskan
kembali yang melenceng dari jalan agama, maka akan melenyapkan segala macam
pengakuan (ego) yang sebelumnya mengotori alam khayal-nya dalam berkreasi.
Disinilah
peran diri (jiwa) sangat mempengaruhi penilaian selanjutnya kepada penilaian
akhir, sebagai kebaikan atau sebagai keburukan. Karena, disinilah peran diri
(jiwa) yang dapat terjerumus kepada merubah para malaikat-Nya menjadi
iblis pembangkang yang seharusnya mengabdi. Sejak itu pulalah iblis mulai
dengan peran bujuk rayu godaannya semakin menyesatkan jiwa-nya.
Ini adalah
alam khayal yang bathin, dimana segala sesuatu amal perbuatan diniatkan dan
dirancang di dalam pikir-nya, dimana masuk pula rasa-rasa yang dapat
mendominasi mempengaruhi jiwa akan timbulnya keinginan-keinginan sampingan,
seperti untung-rugi, keserakahan atau ketamakan, kepentingan, yang kesemuanya
adalah merupakan pengaruh dari pengakuan (ego)-nya.
Bagi orang-orang yang telah
beriman, maka terjadilah perang di dalam dada-nya antara malaikat dan iblis,
sebagai pembawa kebaikan dan pembawa keburukan. Dan bagi mereka yang telah
beriman dan beragama, serta tak menuruti hawa nafsunya, maka iblis telah kalah
satu langkah.
“(Iblis)
menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara
mereka.” (QS 38:82-83)
Serta bagi
mereka yang telah murni (ikhlas) dalam keimanan dan agamanya, maka iblis
telah menyerah kalah. Kekuatan mereka adalah pada kemurnian-nya, sebagai
kekuatan yang dahsyat. Kekuatan yang dapat menundukkan dan mengembalikan wujud iblis
kepada wujud semulanya, yaitu wujud malaikat (aparat)-Nya, mengembalikan
tugasnya sebagai yang menjaga, membantu, dan menyampaikan rahmat. Itulah
sesungguhnya makna diri kemanusiaan sebagai yang memuliakan Tuhannya.
Anugerah
kreativitas yang diberikan Tuhannya adalah anugerah yang luar biasa bagi
kehidupan insan kemanusiaan yang bervariasi, tiada pernah monoton dan
membosankan, selalu saja ada inovasi-inovasi
kreatif yang membuat hidup kehidupan ini semakin semarak. Begitulah
kesempurnaan manusia ciptaan Tuhan, yang bukan tidak mungkin pula, dengan
kesempurnaan tersebut, malah menjadikan diri-nya terjerumus pada lupa
daratan dan sombong.
Kehidupan kemanusiaan yang begitu aktif dan
dinamis, bagai berada dalam suatu permainan, dan sungguh membuat terlena
para pelaku di dalamnya. Bahkan amat menggoda untuk tetap dapat merasakan
kehidupan dunia ini selama-lamanya, tak ingin cepat meninggalkannya, serta
takut mati. Lebih seperti anak-anak yang sedang asyik dengan
permainannya, tak mau terganggu sedetikpun.
Telah tak terhitung segala
sesuatu hasil karya yang terwujud dari alam khayal diri-diri
kemanusiaan. Dan seluruhnya, kebanyakan besar sekali manfaatnya yang memberi
kemudahan dalam kehidupan. Begitulah ajaibnya imajinasi jiwa
kemanusiaan, maka Maha Sempurna-lah Dia yang telah mencipta manusia bersama
kehidupannya.
Di dalam alam khayal yang
bathin ini pula, sesungguhnya banyak masuk petunjuk-Nya, yaitu berupa ide-ide
kreatif, ilham yang bersih, dan pembeda antara manfaat dan mudharat. Dan
menegaskan kembali lebih kepada keinginan untuk mempermudah hidup dan kehidupan
menuju keselamatan dan kesejahteraan, yang sesungguhnya juga merupakan rahmat Tuhan
yang direncanakan hendak diberikan kepada sesama makhluk Allah, sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Yang
sesungguhnya dari mulai kekuatan diri-nya adalah karena kekuatan-Nya,
imajinasi kreatif-nya adalah karena petunjuk-Nya, dan hasil daya olah
cipta-nya murni hanya dipersembahkan demi kemaslahatan bersama,
yaitu kepada sesama makhluk Tuhan. Lurus, selalu ingat, dan suci, itulah
sesungguhnya sebagai agama yang benar (diynul
qayyimah) dari Tuhannya.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi
serta silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil
berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini
sia-sia, Maha Suci Engkau,
lindungilah kami dari azab neraka.”
(QS 3:190-191)
Bab XVII
MURNI (Ikhlas) dalam BERAGAMA
“Padahal
mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata
karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, menegakkan shalat
(mengingat Allah yang
tiada putus), dan menunaikan zakat (mensucikan apa-apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan
yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah).”
(QS 98:5)
S
|
ekarang, telah
jelas dan nyata manfaat keikhlasan dalam menjalankan agama, yang
sebenarnya justru kembali kepada diri sendiri sebagai kebaikan, keselamatan,
ketenangan, dan ketentraman yang sejati. Tiadanya keikhlasan dalam beragama,
yaitu dalam setiap gerak amal perbuatan-nya sungguh akan menyesatkan. Sesat
karena timbulnya rasa takut dan meresahkan diri atau jiwa-nya, dan dapat
membelokkan arah tujuan yang sedari
awalnya benar dan mulia kepada kesalahan dan kehinaan. .
“(Iblis)
menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara
mereka.” (QS 38:82-83)
Bila
direnungkan, sesungguhnya, keikhlasan adalah mutlak perlu dalam setiap amal
perbuatan. Pada penjelasan ayat di atas, yang menerangkan sumpah iblis yang
akan menyesatkan setiap diri insan kemanusiaan, kecuali mereka yang ikhlas,
tentu penafsirannya pun termasuk adalah, penyesatan yang dilakukan-nya adalah
kepada mereka yang ‘tidak memiliki keikhlasan’ dalam setiap amal
perbuatan. Tidak memiliki keikhlasan dapat pula diartikan tidak menyadari akan
pentingnya nilai keikhlasan.
Mereka ini,
jelas masih diliputi oleh pengakuan (ego) yang kuat membelenggunya,
tanpa pernah bisa lepas darinya bila tidak adanya keterpaksaan yang memaksanya
hingga tidak dapat berkutik. Contohnya, kepada atasan-nya atau bos-nya, yang
jelas langsung berhadapan dengannya, maka dia tak dapat berkutik. Maka setelah
tidak bersama bos-nya lagi, dia tidak lagi dalam kepatuhan dan kesetiaan.
Apalagi bila semakin dilunturkan oleh kebutuhan dan keinginan dari hawa nafs (jiwa)-nya.
Pengakuan
(ego)-nya akan dapat mempengaruhi lebih jauh lagi kepada kepentingan dirinya
sendiri, dan kemudian menyebar pada ketamakan atau keserakahan, untung-rugi,
ambisi jabatan atau kekuasaan, dan lain sebagainya yang merupakan ambisi pengakuan
(ego)-nya.
Segala
sesuatu, telah kita ketahui, memiliki pasangan atau lawannya, termasuk nurani
ketuhanan di dalam dadanya, maka akibat pengakuan (ego)-nya akan pula
menyebabkan hadir pula musuhnya tersebut. Semakin kuat ambisi ego-nya, maka
semakin kuat pula penentangan terhadap nurani-nya tersebut. Maka penyesatan
iblis pun semakin menguatkan ambisi diri (ego)-nya untuk dapat memenangkan pertarungan
ini, bahkan dengan cara-cara tak terpuji pula.
Sungguh
besar bahayanya akibat pengakuan (ego) dari setiap diri insan
kemanusiaan, hal ini amat mempengaruhi semua aspek kehidupan. Persaingan tidak
sehat dan saling merusak, bahkan kepada saling menumpahkan darah adalah akibat
terparahnya. Kepentingan diri dan golongan, sebuah bara kecil, perlahan tapi
pasti akan merambat dan membesar membakar aspek-aspek kehidupan sosial
kemasyarakatan, perdagangan dan ekonomi, politik, kebangsaan, hingga kepada
kehidupan umat beragama.
Pada awalnya, memang hanya demi
memenuhi keinginan dan kebutuhan dirinya sendiri saja, akan tetapi lama
kelamaan, setelah memiliki istri, bertambahlah kebutuhannya. Kemudian
kebutuhannya akan terus bertambah kepada anak dan cucu, belum lagi bila di
perjalanannya ada godaan-godaan lain. Seperti godaan wanita, teman atau kroni,
ambisi kekuasaan, dan lain-lainnya. Maka dirinya telah masuk kedalam lingkaran
setan, yang bagai berada dalam labirin yang akan menyulitkan dirinya
sendiri untuk mengurai jalan kembali kepada jalan lurus-Nya, karena telah jauh
tersesat.
“.... Kami
akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan
sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Tidak hanya pada merasakan kenikmatan hidup yang selalu
terpenuhi, bahkan berlebihan dan bergelimang kemewahan saja yang dapat
menghanyutkan jiwa pada kesesatan, akan tetapi kesulitan akan kebutuhan yang
tak kunjung tercukupi dan bahkan menyengsarakan pun sebagai yang dapat
menjerumuskan jiwa kepada kesesatan dari berserah diri secara ikhlas
kepada-Nya. Keduanya adalah disebabkan tak pernah terpenuhinya kepuasan. Jiwanya
selalu merasa haus pada dunia.
Tidak hanya berhenti di situ,
demi memenuhi kepuasan, bathin yang telah terikat kepada kehidupan
akhirat pun dapat tergoda. Ya, mereka yang jiwa-jiwanya hendak menuju kepada
kebersihan pun tak luput dari usaha penyesatan iblis yang seakan tak pernah
berhenti pada tujuannya, yaitu sebagai yang hendak menyesatkan jiwa-jiwa dari
tujuan kepada Tuhannya. Sekalipun kepada jiwa-jiwa terbaik yang hendak mencapai
kesempurnaannya.
“.... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan
Allah.” (QS 38:26)
Bukanlah hal
yang mustahil, diri-diri yang telah berusaha
hendak mencapai kesempurnaannya pun dapat tergoda dan tertipu kedalam
kesesatan. Banyak pula kasus ulama atau pendeta, atau mereka yang telah
dianggap suci malah mengalami terperosok kedalam bujuk rayu hawa nafsu dan pengakuan
(ego)-nya.
Bila dikembalikan kedalam,
ternyata segala sesuatu ada pada rasa, rasa-lah yang membuat segala
sesuatu bernilai. Baik dan buruk, susah dan senang, manis dan pahit, kaya dan
miskin, semuanya rasa-lah yang mempengaruhi nilainya. Dan semua rasa ada
dan berdiam di hati atau kalbu. Sebab itulah kepekaan rasa pun menjadi
hal yang penting untuk dapat menggugah kesadaran jiwa, agar selalu melunturkan
kekotoran-kekotoran yang telah melekat di hatinya.
Begitu
pula kejernihan dan kebersihan hati yang akan sangat mempengaruhi
penilaian rasa, semakin jernih atau bersih hati dari kekotoran hawa nafs
keburukan maka penilaian terhadap rasa akan menjadi terang, menjadi
jelas dalam menyikapinya. Keburukan yang datang diterimanya dengan ikhlas,
seperti menerima datangnya malam setelah siang, karena bersama keburukan akan
datang kebaikan sebagai suatu pasangannya. Dibalik kesulitan ada kemudahan,
seperti bayangan yang selalu ada di belakang cahaya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan
seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan
barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat
(balasan)-nya.” (QS 99:7-8)
Selama jiwa masih dilekati oleh
kekotoran sekecil apapun, maka tetaplah dia harus melanjutkan
kehidupan-nya untuk disucikan melalui proses kebangkitan. Maka dia mengalami
neraka sekaligus surganya dalam kehidupannya di hari kemudian. Jadi begitulah,
kehidupan dan kematian melalui proses siklus kebangkitan adalah sebagai proses
pensucian jiwa yang masih saja terus dilekati kekotoran dosa. Itulah
sebagai yang telah ditetapkan dalam kehendak-Nya (sunathullah) dari Yang Maha
Adil lagi Bijaksana. Yang tidak dirugikan sekecil apapun kerugian tersebut dari
seseorang, apakah itu amal perbuatan baiknya maupun amal perbuatan buruknya.
Sebaliknya, bagi jiwa yang
telah sadar diri atau jiwa-nya, dan yang berusaha memurnikan amal perbuatannya,
serta pula tetap menjaga kesadarannya pada dirinya yang sesungguhnya adalah
kefanaan, hampa, kosong, dan bukanlah siapa-siapa bila tanpa gerak para penyampai,
yaitu aparat Allah atau malaikat-Nya, maka tiada lagi dia berharap kelak
mendapatkan surga dan tiada pula resah terhadap ketakutannya akan mendapatkan
neraka. Mereka merasa hanya menjalankankan apa adanya sesuai dengan perintah
dari dalam kalbunya yang paling dalam, yang tanpa beban, serta penuh kedamaian
dan ketentraman yang sejati.
Hati yang
tenang dan mudah dikendalikan akan pula mengendalikan dengan sehat kepada jiwa
dan jasad (raga). Dan sebaliknya, pada hati yang resah karena tersesat oleh kekotoran
hawa nafs keduniawian, maka akan menyesatkan jiwa dan merusak jasad-nya dengan
penyakit. Adalah hati yang telah bersih dari pengakuan (kesombongan ego) akan
membawa jiwa kepada ketenangan dan ketentraman sebagai nafs al mutma’innah yang
terkendali.
Jadilah diri yang tunduk patuh atas setiap perintah dan
larangan-Nya, atau berserah diri (islam) dengan ikhlas atas setiap amal
perbuatan, maka sang iblis pun
menyerah, dan akan kembali kepada wujud asalnya, yaitu sebagai wujud malaikat
yang tunduk patuh kepada Tuhannya, dan mau pula bersujud kepada diri
kemanusiaan, sebagai teman sejawat penjaga, pembawa dan penyampai
kehendak Tuhan. Jadilah diri-nya sebagai sebenar-benarnya perwujudan Tuhan di
alam yang saling menebarkan rahmat dan kasih-sayang bagi sesama makhluk.
Itulah makna iblis secara positifnya.
“Dan aku
tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS 12:53)
Dan menjadi negatif bila
diri atau nafs kitapun cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa nafs
kita yang sesungguhnya harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan
pemeliharaan cahaya-Nya. Dengan demikian, keikhlasan akan membawanya
kepada jalan (agama) yang lurus, yang mengarahkan kepada seluruh arah tujuan
kehidupan sesungguhnya yang haqq, kebenaran dan keselamatan.
Melunturkan
sedikit demi sedikit pengakuan (ego) melalui cara pengenalan
terhadap diri-nya sendiri dan mengenal para aparat (malaikat)-Nya, para
rasul-Nya, segenap kitab-Nya, hari akhir-Nya, serta kadar baik dan buruk-Nya.
Mengenal seluruhnya tersebut adalah pula merupakan mengakui keberadaan dan
kuasa Allah yang sesungguhnya menggerakkan dan memerintahkan atas segala
sesuatu. Kehendak-Nya meliputi segala sesuatu tersebut.
Menyadari,
betapa sebenarnya diri-nya adalah perwujudan Yang Maha Terpuji di alam
yang saling menebarkan rahmat kepada sesama makhluk-Nya, adalah usaha
memposisikan dirinya untuk siap menerima petunjuk-petunjuk-Nya. Memposisikan
diri dengan membersihkan hati dari kekotoran hawa nafsu yang membawa kepada
amal perbuatan yang selain merugikan orang lain, juga justru merugikan dirinya
sendiri.
Keimanan yang kokoh akan
mengkokohkan pula lurus-nya amal perbuatan, menegakkan shalat dan selalu
menjaga kesadaran (ingat) kepada-Nya, serta mensucikan (zakat)
kemuliaan rahmat anugerah-Nya. Dan secara bertahap, akan pula menyadari
keutamaan berserah diri (islam) secara ikhlas.
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri
(islam).
Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya
Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ”
(QS 6:125)
Semoga bermanfaat......insya Allah.
BalasHapusSemoga bermanfaat......insya Allah.
BalasHapus