Senin, 29 April 2013

BAGIAN 1 (Lanjutan)





Bab IV
MEYAKINI KITAB KITAB ALLAH
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan (dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan kepada apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.”
(QS 2:136)
S
egala puja dan puji bagi Allah yaitu Tuhan semesta alam, yang telah memberikan rahmat-Nya tanpa batas, termasuk pula rahmat petunjuk-Nya, baik yang tersebar merata di semesta alam, di dalam dada, dan melalui kitab-kitab suci-Nya, serta yang sesekali datang sebagai rahmat petunjuk yang menjelaskan dan ditanamkan ke dalam dada diri-diri kemanusiaan yang berserah diri (islam).
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ”, (QS 6:125)
Tiada yang lepas dari kehendak-Nya, sekalipun petunjuk-petunjuknya yang telah tersebar di alam ini, bila tanpa dikehendakinya, maka tiada seorang atau makhlukpun yang dapat menerimanya sebagai pengetahuan yang dipahami, apalagi diterimanya sebagai logika yang masuk di akal-nya. Kehendak Allah-lah kepada siapa Dia hendak memberikannya, dan kepada siapa Dia hendak menutupi dadanya sekalipun matanya melihat dengan terang dan jelas.
Bahkan pada Kitab Suci, yang berisi firman-firman Tuhan dengan kebenaran, yang diturunkan melalui aparat-Nya yang benar dan suci (ruhul kudus) kepada orang yang benar dan terpercaya (al amin), bila Dia belum berkehendak memberikan petunjuk-Nya, maka siapapun yang membacanya takkan mendapatkan petunjuk. Malah pula bagi mereka yang tertutup hatinya, justru kesesatan-lah yang mereka dapatkan, bukannya petunjuk.
Berlindunglah kepada Allah, saat hendak membuka dan membaca al Qur’an yang berisi firman-firmannya. Bila hendak membaca al Qur’an saja harus berlindung kepada-Nya, tentu apalagi bila hendak melakukan hal-hal lain yang lebih duniawi sifatnya. Renungkanlah, semoga Allah membuka dada kita kepada pemahaman yang tidak sia-sia belaka. Karena iblis juga dekat, berada dan bermain-main di sekitar permukaan bagian luar kalbu kita. Berbisik dan menggoda dengan bujuk rayunya, bahkan mengemas hasutannya agar terbayangkan indah dan mempesona khayalan nafs (jiwa) setiap diri. Iblis tiada pernah akan rela membiarkan manusia menuju atau bahkan dekat dengan Tuhannya.
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”.  (QS 15:39)
“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
Kita adalah anak keturunan Adam, yang menjadi sasaran serta tujuan dendam iblis. Tentang iblis sebenarnya telah diulas pada uraian tentang keimanan kepada malaikat, dan di uraian ini sedikit diulang untuk sekedar mengingatkan kembali bahayanya terjerumus pada bujuk rayunya yang membawa pada kehinaan di akhirnya.
“dia menjawab (setan), karena Engkau telah menghukumku tersesat, sungguh akan kutahan untuk mereka (manusia) itu dari jalan-Mu yang lurus, kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
Ingat, pada uraian keimanan kepada malaikat, bahwa iblis sebenarnya ‘dapat ditundukkan’ (sujud seperti yang dikehendaki Allah), karena sesungguhnya Allah yang memerintahkan, akan tetapi, jangan pulalah jiwa menjadi menyerupai-nya (iblis) yang congkak serta sombong dengan aku (ego)-nya, yang tidak patuh kepada perintah Tuhannya. Dan dia (iblis) mengutus setan-setan sebagai aparat-nya yang membisik-bisikkan segala bujuk rayu di dalam dada setiap diri kemanusiaan.
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Jadilah diri yang tunduk patuh atas setiap perintahnya, maka sang iblispun akan kembali kepada wujud asalnya, yaitu sebagai wujud malaikat yang tunduk patuh kepada Tuhannya, dan mau pula bersujud kepada diri kemanusiaan, sebagai teman sejawat pembawa dan penyampai kehendak Tuhan yang berupa rahamat bagi semesta alam. Jadilah sebenar-benarnya perwujudan Tuhan di alam yang raahmanur-rahiim bagi sesama makhluk. Itulah makna iblis secara positifnya. Dan menjadi negatif bila diri atau nafs kitapun cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa nafs kita yang sesungguhnya harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan pemeliharaan cahaya-Nya.
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.”  (QS 29:49)
Maka lindungilah pula ‘cahaya-cahaya’ yang datang membanjiri bumi, serta peliharalah sebagai teman sejawat yang selalu menemani diri kita untuk keluar dari kesulitan menuju kemudahan-Nya, keluar dari kegelapan menuju terang benderang-Nya, serta keluar dari kebodohan menuju pengetahuan-Nya. Pahamilah, bila kita tak melindungi dan memelihara mereka, maka mereka akan berubah menjadi musuh kita yang nyata. Begitu pulalah makna bunyi ayat, “.....dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir.” (QS 13:22). Segala macam petunjuk yang datang adalah merupakan kebaikan dan kebenaran, diri atau nafs-lah yang menjadikannya apakah tetap dalam kebaikan dan kebenaran, kemudian mengembangkan lagi menjadi lebih bermanfaat bagi ‘sesama’. Atau bahkan menjadikannya sebagai keburukan dan kesalahan, yang sesungguhnya , kelak, akan kembali kepada dirinya sebagai yang dituai.
Berbagai kitab yang nyata ada dan terlihat, serta diturunkan oleh yang Maha Benar kepada rasul-rasulnya, seperti kitab-kitab samawi, yaitu al Qur’an, Injil, Zabur, Taurat. Juga kitab-kitab lainnya seperti Tripitaka, Wedha, dan lain sebagainya. Yang kesemuanya adalah mengandung kebenaran dan kesucian, tidaklah akan menjadi petunjuk kepada kebaikan, kebenaran, maupun kesucian apabila setiap diri tidak pula menyiapkan diri dan jiwanya tetap dalam kebaikan, kebenaran, maupun kesucian agar terjadi harmonisasi antara petunjuk dan yang diberi petunjuk. Seperti baut dan mur-nya yang harus sesuai.
Kitab-kitab tersebut yang sebagai Kitab Suci oleh pemeluk agama dari setiap diri kemanusiaan yang dianut dan diakuinya, padahal merupakan petunjuk bagi seluruh diri kemanusiaan sebagai kitab yang berisi kebenaran dan hikmah kebijaksanaan dari Tuhan yang Maha Esa (Tunggal).
Kitab-kitab tersebut diturunkan pada saat atau masa, pada umat, tempat atau geografis yang berbeda satu sama lainnya, maka bahasa yang digunakan pada kitab-kitab tersebut pasti berbeda satu sama lainnya. Akan tetapi makna kebaikan, kebenaran, dan kesucian yang universal mutlak ada, dan diberitakan di dalamnya sebagai hikmah kebijaksanaan bagi setiap kemanusiaan. Maka siasat iblispun menuju kepada diri-diri yang begitu memegang teguh ego-nya ketimbang naluri ketuhanan-nya, seperti tersebut diatas, apalagi bila diri-nya memegang kekuasaan yang besar, yaitu seperti diterangkan dalam firmannya, ”......... aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS al Hijr 39), maka atas nama syi’ar, atas nama kebenaran, atas nama agama, serta atas nama Tuhan, mereka berani menimbulkan kerusakan dan pertumpahan darah yang mengorbankan banyak jiwa kemanusiaan.
......... Mereka (para malaikat) berkata, apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana (muka bumi) sedangkan kami bertasbih dan menyucikan nama-Mu? (QS 2:30)
Kepada manusia yang telah mengenal jati diri-nya, maka kitab-kitab tersebut, kesemuanya, dapat diterima sebagai yang wajib diimani seperti perintah-Nya. Tetapi, kebanyakan diri kemanusian, lebih mementingkan ego, serta eksklusifitas golongan-nya, ras-nya, umat-nya, sehingga terbentuklah pemahaman turun temurun, bahwa kitabnya lah yang paling benar dan yang paling suci dari kitab-kitab lainnya. Kemudian menafikan kitab selain kitabnya. Kitabnya hanya untuk agamanya.
Jadilah agamanya adalah agama yang diciptakannya sendiri, bukan lagi agama serta kitab Tuhan yang seharusnya untuk seluruh diri kemanusiaan yang dapat diterima sebagai kebenaran dan kesucian. Sehingga tanpa sadar, semakin tergelincir bersama kefanatikan-nya dengan menjadikan agama-nya sebagai Tuhannya.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yaitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan  mensucikan (apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Dan Allah sebagai Tuhan yang Maha Sempurna pun telah menyempurnakan setiap diri kemanusiaan dengan telah memberikan kitab yang ditempatkan-Nya di dalam dada di setiap diri kemanusiaan, sehingga setiap anugerah, perintah, atau kehendak-Nya yang datang sebagai petunjuk, dan akan berharmonisasi dengan kitab yang ada di dadanya, sehingga keluar dalam bentuk amal perbuatan yang lurus, penuh dengan kebaikan, kebenaran, dan kesucian secara ikhlas. Juga terhadap tanda-tanda yang tersebar di alam, yang merupakan ayat-ayatNya adalah kitab yang akan berguna serta bermanfaat setelah berinteraksi dengan kitab yang ada di dalam dadanya, sehingga keduanya merupakan petunjuk kebenaran dari Dia Yang Maha Benar (Al Haqq).
Kitabul Ardhi
Setiap diri kemanusiaan bersama tubuh atau jasad-nya, serta interaksinya kepada semesta alam yang tak terhitung jumlah makhluk atau materi yang tersebar di dalamnya, yang telah ditanamkan kepada seluruhnya tersebut berupa ketetapan (sunathullah) dan petunjuk sebagai kehendak-Nya, Dia yang Maha Hidup dan Berkehendak.
Dan segala sesuatu yang berada dan tersebar di alam raya adalah anugerah yang untuk diketahui, tetapi hanya hak-Nya lah kepada siapa Dia berkehendak memberikan petunjuk-Nya. Semesta alam raya ini merupakan kitab besar atau akbar, yang berisi segala macam bentuk makhluk  ciptaan, maupun benda ataupun materi sebagai sebutan, baik wujud, dan sifat, serta kehidupannya untuk dikenal dan diketahui serta dieksploitasi juga dieksplorasi dalam arti positif bertanggung jawab demi kemaslahatan bersama sebagai rahmat dari Allah kepada sesama di semesta alam.
Sungguh tak terhitung penemuan tekhnologi mutakhir yang ‘dihasilkan’ dari kajian dan penelitian terhadap alam sebagai petunjuk. Seperti pada sistem sonar kelelawar yang mendapatkan pantulan dari suara yang dikeluarkannya sebagai petunjuk arah terbangnya dikarenakan matanya yang lemah. Sistem ini kemudian dipakai sebagai sistem sonar untuk tekhnologi radar, dan kapal selam yang bergerak di kedalaman laut.
Banyak negara maju, terutama negara-negara barat, yang berani melakukan riset-riset penelitian yang berbiaya fantastis untuk mendapatkan data-data yang tersebar di alam sebagai kitab yang nyata. Seperti riset ke angkasa luar yang sekali pejalanan pulang perginya saja menghabiskan dana hingga milyaran dollar hanya untuk mendapatkan data-data, belum sampai kepada penelitian di laboratoriumnya. Bahkan sejak tahun 1970-an mereka telah membangun stasiun ruang angkasa hingga proyek perang bintang (star wars), sebagai skenario di masa perang dingin antara blok barat dan timur. Sekarang mereka lebih mengarahkan mencari planet lain yang terdapat kehidupan seperti bumi, sebagai bumi cadangan bila bumi ini telah habis mereka eksploitasi sehingga tidak layak lagi mereka huni. Serta memindahkan mereka ke planet lain atau ‘bumi baru’ tersebut, yang tentunya lebih utama mereka yang berduit. Bisnis baru kaum kapitalis. Sebuah semangat gila dengan pemikiran gila!! Mustahil !!
Merekalah yang ternyata lebih memahami makna kitab min indi’anfusihiim ini, kemudian melaksanakannya sebagai suatu proyek pekerjaan besar yang melibatkan banyak pihak sehingga negara bahkan menyokongnya. Kemudian merekalah pula yang jauh lebih agresif dalam mengeksplorasi serta mengeksploitasi alam ini untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatnya.
Akan tetapi bila alam ini dieksplorasi serta dieksploitasi secara habis-habisan dan tak bertanggung jawab, maka akibatnya adalah kembali kepadanya sebagai bencana yang besarnya pun sebanding dengan kerusakan yang dibuat mereka.
Bencana-bencana yang akan dan yang telah terjadi sebenarnya adalah usaha penstabilan kembali bumi dari kerusakannya akibat ulah kemanusiaan yang tak bertanggung jawab. Oleh karena itu sungguh berbahaya dengan adanya kebijakan investasi asing di bidang pertambangan, perkebunan, dan hutan industri, serta investasi kelautan. Sebab ini akan berdampak langsung dengan alam sebagai tempat tinggal pribumi yang menanngung bencana akibat kerusakan alamnya. Seharusnya, investasi ini dikuasai negara sebagai pengelolanya, sehingga pengawasannya jauh lebih dapat dipertanggung jawabkan ketimbang diserahkan kepada investor asing yang lebih mengedapankan laba perusahaannya ketimbang kelestarian lingkungan yang bukan sebagai tempat tinggalnya menetap.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”. (QS 4:171)
Sehingga tidak ada bedanya pada masa penjajahan dahulu dengan sekarang. Bila dahulu mereka mereka mengeksplorasi kesuburan tanah nusantara serta mengeksploitasi tenaga bangsa kita di perkebunan, kemudian membawa hasilnya ke negaranya sebagai kekayaan mereka sehingga makmur hinngga kini, maka sekarang merekapun masih seperti itu, kembali menjajah dengan kekuatan ekonomi mereka dengan tema globalisasi perdagangan dan investasi padahal dibalik kedoknya adalah buruh murah dan laba besar, ditambah dengan warisan bencana akibat kerusakan alam yang mereka tinggalkan setelah mengeruk habis isi perut bumi kita.
Maka bertanggung jawablah wahai pemegang dan penentu kebijakan, sebagai khalifah dan wakil Tuhan di bumi. Jadilah perwujudan Tuhan di muka bumi yang menjadi rahmat bagi sesama di semesta alam.
Telah tampak kerusakan di darat dan di laot disebabkan perbuatan tangan kemanusiaan. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS an 30:41)
Alam ini, selain sebagai tempat hidup, juga merupakan ayat-ayat (tanda-tanda) petunjuk dari Allah, dimana dengan petunjuk-Nya tersebut dapat membawa kita kepada kemudahan-kemudahan dalam kehidupan, dan bukanlah malah mendapatkan kesulitan ataupun bencana di kemudiannya. Bila petunjuk yang membawa kepada kemudahan tersebut tidak dapat direalisasikan secara baik, justru timbul keserakahan setelah mendapatkan petunjuk, maka bencanalah yang siap menunggu, atau diri-nya sendirilah yang membangun neraka-nya pada hari kemudian-nya.
Maka kita kembali sekilas kebelakang, pada uraian keimanan kepada malaikat dan rasul yang ternyata adalah meliputi diri setiap kemanusiaan ini, yang sesungguhnya untuk disadari dengan memperbesar perannya pada diri kita agar terjaga dari hawa-hawa nafs pada keserakahan, ketamakan, dan kesombongan agar tidak terperosok kepada bencana di hari kemudiannya. Dengan membaca tanda-tanda alam sebagai petunjuk yang mengarahkan kepada kebaikan dan kemaslahatan bersama sebagai rahmat Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang.
Begitupun pada setiap diri kemanusiaan, ada kitab yang telah ditanamkan di dalam dada, dan di dalamnya telah tertulis segala sesuatunya sebagai naluri ketuhanan. Dan akan dibenarkan kelak ketika diri mendapatkan petunjuk dari-Nya satu per satu sebagai ketetapan yang nyata. Maka beruntunglah jiwa yang telah dibukakan dadanya untuk menerima petunjuk-Nya, kemudian mengakui kebenarannya dan mengeluarkannya sebagai amal perbuatan yang bermanfaat bagi sesama sebagai rahmat dari Allaahu rahmaanur-rahiim.
Sebagai contoh, segala sesuatu yang tidak disadari sebelumnya, seperti pekerjaan organ-organ tubuh yang dikiranya  bekerja dengan sendirinya, yaitu pada jantung yang memompa darah, paru-paru yang mengatur suplay oksigen, usus yang mencerna makanan, dan lain sebagainya yang bukanlah kita yang menetapkannya untuk bekerja seperti itu, ternyata adalah ketetapan yang telah tertulis di dalam dada dan dikerjakan oleh para aparat-Nya, kemudian setelah datang ilmu sebagai petunjuk, maka kita mengakui kebenarannya. Dan bagi orang-orang yang bersyukur, mereka akan menghargai peran dari kerja aparat-aparat Allah tersebut pada organ jasadnya yang menghasilkan energi baru, yaitu amal perbuatan, apakah itu gerak ucap, gerak tekad atau niat, maupun gerak amal perbuatan yang tidak diridhai-Nya.
Disinilah tahap jiwa berusaha mengenali jati dirinya, bila telah menyadari, bahwa ternyata bukan dirinyalah yang membutuhkan energi dan bukan pula yang menghasilkan energi untuk amal perbuatan yang ternyata pula sempat diakui sebagai amal perbuatannya sendiri. Itulah memahami makna laa hawla wa laa quwwataa illa billaahi, bahwa tiada kekuatan selain kekuatan Allah.
Gerak langkah, gerak melihat, gerak mendengar, dan gerak lain-lainnya sampai kepada gerak pikir, atau bahkan gerak refleks yang tidak disadarinya, adalah membutuhkan energi. Diri hanya tau lapar dan haus, maka makan-minumlah sebagai obatnya, sementara menyadari bahwa dengan makan-minum maka dia akan mendapatkan energi adalah hal kemudiannya, apalagi menyadari sampai kepada bagaimana proses makanannya dapat dirubah menjadi energi dan menyadari pula peran siapakah sesungguhnya yang mengubah makanan hingga menghasilkan energi, tentu tidaklah diperdulikannya. Mungkin karena kesibukannya yang hanyut akan kebutuhan dunianya sehingga tak ada waktu untuk memikirkan dan menyadari hal-hal tersebut.
Bila kita melangkah lebih jauh kepada ilmu biologi molekuler, akan semakin terungkap maksud “kitab yang telah ditanamkan di dalam dada” pada setiap  diri kemanusiaan. Yaitu bagaimana DNA-RNA dan kromosom sebagai penentu sifat bawaan diri setiap kemanusiaan (kitab yang terjaga).  Atau pada jaringan permukaan kulit di jari tangan sebagai sidik jari dan lapisan optik kornea mata sebagai identitas diri setiap kemanusiaan yang berbeda satu sama lainnya.
Sifat bawaan itulah yang akan sangat besar mempengaruhi pola hidup setiap diri. Bagi yang bersifat pemarah, dan pola hidupnya pun tidak menyesuaikan sifatnya tersebut, maka penyakitnya pun dapat diketahui, seperti darah tinggi atau stroke. Dan pada yang bersifat serakah atau rakus, juga pola hidupnya yang tidak disesuaikan akan menyebabkan penyakit gula atau diabetes. Apalagi bila pola hidupnya malah menjerumuskannya, sampai kapan kematiannya pun dapat ditebak atau diketahui. Itulah makna bahwa segala sesuatunya telah tertulis, ada pada dirinya sendiri.
“Sesungguhnya dahulu mereka tidak pernah mengharapkan perhitungan, dan mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat Kami. Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu Kitab”. (QS 78:27-29)
pada tubuh atau jasad setiap diri kemanusiaan yang terdiri dari milyaran sel yang hidup dan sibuk bekerja setiap saatnya oleh cahaya hidup para aparat (malaikat). Pada uraian sebelumnya, yang menyebutkan para malaikat adalah juga merupakan energi bagi setiap gerak tubuh atau jasad baik yang disadari maupun yang tidak disadari, dan energi tersebut tidaklah habis atau musnah, melainkan berubah bentuk (ber-reinkarnasi pula) serta meninggalkan catatan-catatan sejarah kerjanya sebagai pertanggung jawaban kepada yang memberikan perintah kepadanya, yaitu Dia yang Maha Tunggal. Juga ternyata, catatan-catatan tersebut merupakan sebagai catatan amal diri kemanusiaannya yang pula akan dipertanggung jawabkan pada hari penghakimannya kelak.
Semesta alam beserta keseluruhan isinya, termasuk diri kemanausiaan, selain sebagai kitab besar yang menyimpan segala petunjuk dan ketetapan dari setiap kehendak-Nya, ternyata merupakan pula sebagai ‘hard disk’ atau rekaman besar, kitab yang berisi catatan amal seluruh makhluk-Nya. Sebagai kitab yang terjaga.
Kitab Tandzilal Adzizir-rahiim
“Dia  menurunkan al Kitab kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya, juga menurunkan Taurat dan Injil, sebelum-(nya), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan al Furqan.”  (QS 3:3-4)
“... sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamu pun telah didustakan, mereka membawa mu’jizat-mu’jizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang benar.”  (QS 3:184)
Ada pula kitab-kitab yang diturunkan langsung oleh Allah kepada orang-orang pilihan-Nya melalui ruhul kudus (jibril), yang dikenal dengan sebutan Kitab Samawi. Secara jelas Allah menyebutkan nama 4 kitab suci-Nya, yaitu Al Qur’an, Injil, Zabur dan Taurat. Serta Dia menurunkan Al Furqan (Pembeda), yaitu Dia yang memberikan pemahaman untuk membedakan antara yang benar (haqq) dan yang salah (bathil).
“.........Bagi setiap masa ada Kitab (tertentu).”  (QS 13:38)
Seperti diantaranya adalah, kitab al Qur’an, diturunkan kepada nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama 23 tahun semenjak kenabian beliau di usianya ke 40 tahun. Kitab ini pula yang di dalamnya membenarkan kitab-kitab yang datang sebelumnya, bahkan pula menceritakan kehidupan para nabi penerima kitab-kitab tersebut beserta umatnya, dan sebagai pelajaran bagi umat kemudian.
Yang unik pada al Qur’an adalah sebagai kitab yang diturunkan kepada seluruh umat kemanusiaan, tidak terbatas hanya kaum muslimin, atau hanya untuk bangsa Arab saja, atau khusus bagi anak keturunan Ismail saja. Lain halnya dengan kitab-kitab sebelumnya yang lebih bersifat lokal atau eksklusif. Hal ini dijelaskan di dalam kitab-kitab tersebut. Sekalipun demikian, sekali lagi, al Qur’an membenarkan dan mengakui kitab-kitab tersebut datang dan diturunkan oleh Allah pada masa-masa sebelum al Qur’an. Sehingga kaum muslimin pun sebagai yang harus percaya kepada kitab-kitab tersebut sebagai bentuk keimanannya.
Bila dikaji lebih dalam, maka dapat disimpulkan setiap kitab yang diturunkan adalah selain merupakan usaha perbaikan umat, juga sebagai penyempurna dan mengakui kitab sebelumnya yang berisi ajaran sebagai agama atau petunjuk jalan hidup menuju keselamatan di dunia dan di akhirat. Beriman kepada kitab-kitab Allah adalah wajib hukumnya, dengan makna bahwa Allah menurunkan seluruh kitab tersebut pada masa, kaum, tempat, serta bahasa yang saling berbeda, dengan maksud dan kehendak yang sama atau satu tujuan, yaitu memberikan petunjuk keselamatan kepada setiap diri kemanusiaan.
Berarti, segala ajaran-ajaran atau agama-agama yang ada sekarang ini, adalah hanya anggapan atau buatan dari ego sektoral masing-masing diri kemanusiaan saja. Karena sesungguhnya, yang ditetapkan dan dikehendaki, serta akhirnya diturunkan Allah adalah satu kesatuan ajaran (Ajaran Tunggal), sekalipun berbeda waktu, tempat, umat, dan bahasa, akan tetapi, ternyata, merupakan ajaran atau agama yang berkesinambungan, tidak terpisahkan.
“Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat saja, tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zhalim tidak ada seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong.”  (QS 42:8)
Bila kenyataannya terpisah-pisah, seperti ada jurang yang amat dalam disetiap antaranya, seperti kenyataannya saat ini, tentu hal tersebut dikarenakan ego sektoral masing-masing diri kemanusiaan yang lebih menginginkan adanya perbedaan. Renungkanlah ayat di bawah ini.
......... Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Maha Perkasa”. (QS 22:40)
Dan al Qur’an sebagai kitab yang terakhir, diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah yang menjadi sumber pijakan setiap uraian dan ulasan kita semenjak awal hingga akhir dalam buku ini, karena ke–universalannya, al Qur’an selain merangkum kitab-kitab yang datang sebelumnya, juga layak sebagai sumber karena selain berisi problematika di masa lalu, masa sekarang, juga sebagai petunjuk keselamatan untuk masa yang akan datang.
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena, dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) setelah (keringnya), niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS 31:27)
Petunjuk keselamatan dalam arti luas, yang berarti pula mengandung petunjuk ilmu dan pengetahuan baik yang telah diketahui maupun yang belum diketahui, serta yang telah ditemukan maupun yang belum ditemukan. Dan takkan pernah habis digali untuk diambil hikmah-nya, sekalipun telah berulang-ulang kali sejak 1500 tahun yang lalu. Tidak ada kitab yang begitu lengkap menyajikan petunjuk ilmu, berita hari kemudian (akhirat), sejarah masa lalu, hukum-hukum keadilan, perniagaan, sosial kemasyarakatan, dan lain sebagainya.
“Al Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, yaitu bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.”  (QS 81:27-28)
Belum lagi hukum-hukum bagi keadilan dan kebijaksanaan yang tak lekang oleh zaman. Sekalipun ada yang terlihat kejam, seperti hukum potong tangan, mata dibalas mata (qishas), dan lain-lainnya, tetapi itulah keadilan, dan kebijaksanaannya adalah apabila si-korban hendak memaafkan. Dan Allah memuliakannya dengan membalas berupa rahmat yang luas bagi mereka yang mau memaafkan.
Selanjutnya, kandungan al Qur’an yang di dalamnya berisi firman-firman Tuhan yang menyeluruh atas segala sesuatu, adalah kitab panduan bagi setiap diri kemanusiaan yang menginginkan keselamatan hidup di dunia maupun kelak di akhirat. Inilah kitab yang nyatanya penuh dengan hikmah kebijaksanaan. Kandungannya meliputi 30 juz, dengan juz pertama sebagai intisari keseluruhan kitab, dan 29 juz sebagai penjelasannya.
A.       Kitab-Kitab sebelum Al Qur’an
Di dalam kisah-kisah yang disebutkan dalam Al Qur’an, Taurat diturunkan Allah kepada nabi Musa AS, sehingga berdasarkan urutan masa-masa kenabian, maka Taurat adalah sebagai kitab suci yang pertama diturunkan sebagai petunjuk bagi kehidupan kemanusiaan.
1.       Taurat
Jauh kebelakang, pada masa nabi Musa As, yaitu kitab Taurat sebagai ajaran hidup dan dengan perjanjian keras dari Tuhannya kepada bani Israil yang telah dibebaskan oleh Musa As dari perbudakan Fir’aun di bumi Mesir sejak kematian nabi Yusuf As telah lama berlalu. Pada masa keemasan Yusuf As, wilayah kediaman bani Israil (saat itu masih sebuah keluarga besar nabi Yaqub As, ayah Yusuf) sedang dilanda kekeringan hebat menyebabkan bencana kelaparan, saat itulah Yusuf As memboyong ayah serta keluarga besarnya ke Mesir karena mendapatkan jaminan Raja Mesir saat itu (al Qur’an Surat Yusuf).
Akan tetapi, setelah kematian Yusuf, dan terjadi kemudian adalah, pergantian dinasti tampuk pemerintahan kerajaan Mesir, berubah pula kebijakan rajanya, yang sebelumnya bani Isra’il sebagai warga kelas dua dengan kehidupan yang makmur, kemudian berubah 180 derajat menjadi warga budak, karena dianggap sebagai bagian dari rezim pemerintahan sebelumnya. Selama ratusan tahun kemudian, bani Isra’il yang telah berkali-kali lipat jumlah populasinya, sampai kepada masa nabi Musa As yang dalam pelariannya di negri Madyan mendapatkan perintah dari Tuhan agar mengeluarkan bani Isra’il dari penderitaan di bumi Mesir, itulah sebagai wahyu pertama kepadanya.
Kemudian akibat keingkaran-keingkaran sebagian umatnya maka mereka terkatung-katung di luar wilayah Palestina (QS 5:22-26), bahkan sampai lama setelah kematian nabi Musa As. Dan sungguh sejarah kehidupan mereka, yaitu keingkaran-keingkaran kepada Tuhannya yang tak berhenti hanya sampai di situ, telah membentuk watak tabiat mereka yang amat menentukan kehidupan keagamaan mereka. Seharusnya agama yang membentuk watak tabiat mereka, tetapi apa yang mereka alami adalah sebaliknya. Justru watak tabiat mereka yang telah membentuk agama mereka.
Hal ini disebabkan oleh 2 hal yang menjadi obsesi perjuangan mereka semenjak exodus dari bumi Mesir oleh Musa, yaitu firman Tuhan yang menyebutkan, bahwa mereka adalah umat (bangsa) yang terpilih dan Palestina sebagai tanah yang dijanjikan kepada mereka.
Begitulah akhirnya mereka pun terseret kepada pengubahan kitab-kitab untuk keperluan mendukung kedua obsesi yang menjadi tujuan utama kehidupan bangsa mereka yang merasa tak pernah memiliki tanah air. Sejarah kehidupan mereka hingga terbentuknya pola kehidupan keagamaan mereka, akan diulas mendetail pada Bagian 3 Kembali kepada Agama Allah, kemudian.
Bani Isra’il tidak hanya memakai Taurat sebagai kitab sucinya, masih banyak lagi sumber-sumber lainnya yang lebih mirip dengan ide-ide pemikiran, dan mereka wajibkan kepada kaumnya untuk mensucikannya. Diantaranya adalah Talmud (riwayat-riwayat atau mitos) dan Protokol-Protokol Pendeta Zionis (ini yang paling belakangan datang, sekitar pada masa akhir abad ke 19). Kelak kita akan mengurai dan mengulasnya dalam bab kehidupan keagamaan mereka.
Taurat pun mereka masukkan pula kedalamnya kitab Zabur dari masa nabi Daud. Tidak hanya itu, Misal-Misal dari nabi Sulaiman dan  kisah Ayub pun masuk kedalamnya. Padahal masa nabi-nabi tersebut adalah setelah masa kenabian Musa. Tetapi hal itu adalah wajar, karena mereka adalah nabi-nabi bani Isra’il juga, sehingga kitabnya pun sebagai yang harus diimani pula. Namun ketika masa nabi Isa, mengapa Injil tak mereka masukkan sebagai kitab yang mereka imani pula? Sehingga terbukalah, bahwa mereka hanya mau menerima yang sesuai dengan keinginan dan cita-cita, serta obsesi mereka.
Taurat atau Perjanjian Lama (The Old Testament) adalah nama ilmiah bagi sifir-sifir Yahudi, dan tidak lain Taurat itu adalah hanya merupakan bagian dari Perjanjian Lama saja. Hanya karena Musa yang mereka lebihkan dari nabi-nabi lainnya, selain pula Daud sebagai yang pernah berhasil mencetuskan obsesi mereka membentuk negara di tanah Palestina. Dan Taurat dalam pengertiannya sebagai syariat ajaran-ajaran bagi bani Isra’il yang lebih terutama bagi agama Yahudi, atau sebagai wasiat petuah-petuah Musa dari Tuhannya bagi kehidupan bani Isra’il.
Perjanjian Lama dipandang suci oleh agama Yahudi dan oleh agama Masehi (Nasrani), akan tetapi sifir-sifir di dalamnya tak semuanya sama. Sebagian pendeta atau rahib ada yang menambah-nambahkan sifir-sifirnya, dan sebagian lagi ada yang menolaknya. Demikian dibawah ini rincian sifir-sifir di dalam Perjanjian Lama atau yang umat Yahudi anggap sebagai Taurat ;
a.    Bagian Pertama, Taurat sebagai sifir-sifir Musa, yaitu :
Sifir Takwin atau Kejadian (Genesis), Sifir Khuruj, Sifir Lawiyyun (Pendeta-Pendeta), Sifir Ada (Bilangan), dan Sifir Tatsniah (Pengecualian).
b.    Bagian Kedua, sebagai sifir nabi-nabi :
·      Sifir nabi-nabi terdahulu,
Sifir Yasyu’ (Yusya’ bin Nun), Sifir Qudlah, Sifir Samuel I dan II, serta Sifir al Muluk I dan II.
·      Sifir nabi-nabi yang terkemudian,
Sifir Asya’ya, Sifir Irmiya, Sifir Hazkiyal, Sifir Husya’, Sifir Yuil, Sifir Amos, Sifir Ubadya, Sifir Yunan (Yunus), Sifir Mikha, Sifir Nahum, Sifir Habakkuk, Sifir Hajjal, Sifir Zakaria, dan Sifir Malakha
c.     Bagian Ketiga, sebagai al Kitabat :
·      Kitab-Kitab Besar,
Sifir al Mazamir (Mazmur atau Zabur), Sifir Misal-Misal (al Amtsal, dari nabi Sulaiman), dan Sifir Ayub.
·      Kitab-Kitab Majalah,
Sifir Lagu-Lagu, Sifir Ra’uts (Ruth), Sifir Rintihan (dari Irmiya), Sifir al Jami’ah, dan Sifir Astir.
·      Kitab-Kitab lainnya,
Sifir Daniel, Sufur Azra, Sifir Nahmiya, Sifir Berita Hari-Hari I, dan Sifir Berita Hari-Hari II.
Sifir-sifir inilah kesemuanya yang juga dipakai sebagai kitab oleh umat Yahudi dan juga umat Nasrani hanya ada sebagian yang ditambahkan sifir-sifirnya ada pula sebagian yang ditolaknya. Umat Samiri tidak mau menerima dan tidak menganggap sebagai kitab suci sifir-sifir lainnya, kecuali hanya lima sifir Musa saja.
2.       Zabur (Mazmur atau Mazamir)
Kemudian, adalah kitab Zabur, yang diturunkan kepada nabi Daud As, juga fokus kepada umat atau bani Israil. Kitab ini diyakini bani Isra’il sebagai bagian dari sifir sifir Taurat atau Perjanjian Lama, yang mengandung sekumpulan lagu-lagu yang diiringi seruling, itulah sebabnya kitab ini dinamakan Mazamir. Dan banyak dinyanyikan dalam upacara-upacara keagamaan dan pada saat perayaan hari-hari keagaaman bani Isra’il. Kebanyakan lagu-lagunya berasal dari masa Daud (sekitar 73 lagu), dan lagu-lagu dari masa Sulaiman dan Asaf, serta sebagian lagi dari masa nabi Musa yang jauh ke belakang.
Pada masa Daud inilah, akhirnya anak keturunan Yaqub (Israil) yang terkatung-katung di luar wilayah Palestina setelah kematian nabi Musa As, dapat dipersatukan olehnya  dan dapat memasuki serta menduduki Palestina sebagai wilayah pembentukan negara atau kerajaannya, sebagai “tanah yang dijanjikan Tuhan kepada Musa As (QS 5:21).
Pada kitab inilah bani Isra’il mengagung-agungkan dan menyanjung dengan puji-pujian kepada Tuhan dan Daud, dan bagi masa keemasan mereka yang telah memiliki kedaulatan sebagai bangsa yang telah memiliki tanah air-nya.

3.       Injil
Kitab Injil, adalah kitab sebelum al Qur’an, yang diturunkan kepada nabi Isa al Masih As, tujuan diturunkannya kitab dan nabi ini sebagai menyempurnakan serta memperbaiki kembali kaum atau bani Israil (keturunan Yaqub), yang pada masa-masa kemudian menjadi umat yang besar dan tersebar sebagai umat Nasrani, tidak lagi hanya kepada keturunan (bani) Isra’il saja, malah anak keturunan Isra’il tetap pada agama atau ajaran sebelumnya (agama Yahudi), dan membiarkan ajaran (agama) ini dianut oleh bangsa-bangsa lain.
Selain umat Yahudi yang memakai sifir-sifir di dalam Taurat atau Perjanjian Lama (seperti yang telah diurai sebelumnya), juga dipakai oleh umat Nasrani (Protestan), selain tambahan Perjanjian Baru yang mengandung 4 Injil (Markus, Matius, Lukas, dan Yahya) juga Surat-Surat Paulus dan Wahyu dalam kitab suci mereka. Dan ada beberapa sifir tambahan bagi umat Nasrani (Katholik), yaitu :
Sifir Tuwiya, Sifir Yahudit, Sifir al Hikmah (Kebijaksanaan), Sifir Yasu’ bin Sirakh, Sifir Barukh, Sifir Makkabi I dan Sifir Makkabi II.

Kita tak akan menilai kebenaran dan kesucian kitab-kitab mereka dari perubahan, tambahan ataupun pengurangan pada ulasan kitab pada bab ini, juga nanti akan terungkap dengan sendirinya setelah kita mengulas sejarah kehidupan keagamaan bani Isra’il pada bab-bab berikutnya. Cukuplah pada saat ini, dua firman Allah di dalam Al Qur’an di bawah ini sebagai pijakan berpikir kita.
“..... Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang telah diperingatkan dengannya.....” (QS 5:13)
“Perumapmaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim itu.” (QS 62:5)
B.       Al Qur’an
Al Qur’an ini berisi 30 (tiga puluh) juz dan 114. Di dalamnya, lebih menitik beratkan kepada petunjuk tentang keimanan sebagai dasar aqidah bagi pembentukan akhlak insan kemanusiaan yang telah diberi kitab (ahli kitab), petunjuk hukum-hukum syariah, petunjuk tentang alam dan penciptaan segala sesuatu, petunjuk tentang hubungan sosial kemasyarakatan dan toleransi antar umat beragama.
Juga disertai penggalan-penggalan kisah umat terdahulu sebagai contoh-contoh kasus yang ternyata masih relevan di kehidupan saat ini, bahkan sepanjang masa. Yang diharapkan adalah dapat memahami kisah-kisah tersebut dan mengambil kebaikan dan keburukannya sebagai hikmah, sehingga menjadikannya sebagai dasar setiap amal perbuatan yang keluar sebagai kebaikan dari setiap perintah-Nya dan meninggalkan setiap keburukan yang merupakan larangan-Nya.
“Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (QS 75:19)
Juz pertama ini berisi surah al Fatihah yang ketujuh ayatnya diturunkan di Mekkah, dan sebagian surah al Baqarah yang paling banyak jumlah ayatnya dan sebagian besar dari keseluruhan ayatnya diturunkan di Madinah. Di dalam juz ini, penekanannya lebih kepada keimanan sebagai pondasi dasar kehidupan kemanusiaan, disertai juga kisah-kisah masa lalu (nabi Musa bersama umatnya bani isra’il) sebelum kenabian Muhammad SAW yang dapat dimbil sebagai pelajaran.
A.  Al Fatihah
Ada beberapa sebutan yang diberikan kepada surah ini, diantaranya adalah,
1.    Surathul Fatihah
Surah pertama al Qur’an ini berisi 7 (tujuh) ayat sebagai surah pembuka dan inti sari kitab Al Qur’an yang terdiri dari 30 Juz dan 114 Surah. Surah ini juga merupakan surah yang dipakai dalam shalat dan diulang-ulang membacanya di setiap raka’atnya.
Di dalam Surah ini disebutkan, bahwa, dengan menyebut nama Tuhan, yaitu Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kemudian segala puja-pujian kepada-Nya sebagai pencipta dan pemilik semesta alam, termasuk diri ini yang dimiliki dan dikuasai-Nya. Serta dalam lindungan pemeliharaan Dia sebagai Maha Pemurah dan Penyayang. Kekuasaan-Nya pun meliputi hari-hari agama, yaitu selain hari-hari di dunia maka juga termasuk dengan hari-hari di hari kemudian, sebagai balasan dari kehidupan sebelumnya. Keikhlasan segala ibadah atau amal perbuatan ditujukan hanya kepada-Nya, dan hanya kepada-Nya berharap pertolongan, yaitu berupa rahmat petunjuk kepada jalan yang lurus menuju kepadaNya, yaitu jalan orang-orang terdahulu yang telah diberi nikmat, dan bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan sesat yang menyiksa dirinya sendiri.
2.    Ummul Kitab
Ummul Kitab atau induk dari kitab al Qur’an sebagai inti dari intisari keseluruhan  firman-Nya, yang bila ditafsirkan amat begitu luas dan akbarnya yang takkan dapat terhitung. Andaikan seluruh pohon di daratan sebagai bahan baku pembuat pena dan seluruh air di lautan menjadi tintanya, maka tak kan habis tertulis kalimat (firman) Tuhan, sekalipun ditambah lagi sebanyak itu pula. Dapat pula bermakna sebagai miniatur keseluruhan isi kitab yang terangkum dalam tujuh ayat pada surah ini. Miniatur yang merangkum isi keseluruhan al Qur’an, yaitu dengan Allah sebagai Maha Pemurah dan Penyayang (Rahmaanur-rahiiym), Allah yang menciptakan, memiliki, dan menguasai, serta memelihara semesta alam dan isi, berikut apa-apa yang berada diantara keduanya (Rabbul ‘aalamiiyn).
Juga Allah yang menguasai hari-hari agama atau hari kemudian (Maalikiyaw mid-diiyn) dengan keadilan dan kebijaksanaan-Nya. Maka Dia-pun menyempurnakan kehendak dan ketetapan-Nya dengan petunjuk, berupa jalan yang lurus (Diynul qayyimah atau sirathal mustaqiiym) untuk mencapai keselamatan hidup baik di dunia dan akhirat, dalam bentuk nikmat-Nya, dan bukan jalan orang-orang yang dimurkai Allah, juga bukan jalan orang-orang yang berlaku zhalim dan ingkar kepada-Nya.
3.    Ayatul Mukammah
Adalah sebagai ayat-ayat pembuka keseluruhan isi kitab, serta merupakan makna akhir dari kesimpulan penafsiran keseluruhan isi kitab. Keutamaannya adalah  menyebut nama Tuhan, yakni Allah sebagai yang Maha Pemurah dan Penyayang, puji-pujian kepadaNya sebagai pencipta, pemilik, serta pemelihara semesta alam beserta isinya, juga penguasa pada hari-hari ‘agama’ (dibahas panjang lebar di keimanan kepada hari akhir), keikhlasan ibadah atau amal perbuatan, Petunjuk kepada nikmat-Nya dan menghindari kemurkaan-Nya dengan tidak berbuat zhalim (menyiksa) yang ternyata perbuatan itu akan kembali kepada dirinya sendiri.
“Barangsiapa yang Allah kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam),.....” (QS 6:125)
Tidak hanya sekedar sebagai ayat-ayat yang membuka keseluruhan kitab Al Qur’an, akan tetapi juga merupakan pembuka dada setiap diri pembacanya untuk menerima kebenaran dari Tuhannya.
4.    Kitab Baqa
Ada dua pengertian makna Kitab Baqa ini. Yang pertama, adalah kitab (tujuh ayat al Fatihah) yang abadi dari semenjak adanya hingga akhir jaman, sebagai yang dipakai secara terus menerus tiada pernah berhenti di alam ini. Di dalam shalat saja, di suatu zona waktu (berdasarkan gerak matahari) tertentu yang berbeda dengan zona lainnya telah dikumandangkan ketujuh ayat ini di dalam raka’at shalatnya, kemudian pada daerah didekatnya dengan zona waktu yang berikutnya, masuk waktu shalat yang juga mengumandangkan ketujuh ayat ini pula, begitu seterusnya hingga kembali kepada zona waktunya lagi setelah satu hari. Begitu setiap harinya, sehingga bumi ini dipenuhi jejak-jejak kumandang ketujuh ayat ini, dan menembus lapisan atmosfeer ke luar angkasa menuju langit, sehingga semesta alam ini menjadi hard disk penyimpan jejak kumandang ketujuh ayat ini.
Yang kedua, adalah makna kitab diri-diri setiap kemanusiaan yang telah dianugerahkan Tuhannya, yang juga sebagai bawaan kepada menentukan hari kemudian-nya, kelak.
Tidaklah suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh mahfuzh) sebelum Kami menciptakan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”  (QS 57:22)
Dengan kitab inilah setiap diri kemanusiaan telah ditentukan sifat atau karakternya, yang dalam ilmu biologi dalam rantai DNA-RNA yang didalamnya terdapat kromosom sebagai pembawa sifat (karakter) diri-nya. Sifat atau karakter inilah sebagai penentu kehidupan-nya di kemudian hari. Dan inipun sebagai yang abadi sesuai kemakhlukan-nya, sekalipun dia mengalami kematian, kebangkitan, dan hidup kembali di kehidupan yang baru, maka tetap membawa sifat bawaan tersebut sebagai cetak biru karakter diri-nya.
Hubungannya dengan ketujuh ayat surah al Fatihah sebagai kitab baqa adalah kepada makna-makna yang terkandung di setiap ayatnya, yang merangkum hidup dan kehidupan setiap diri kemanusiaan ke arah satu tujuan sejati, yaitu nikmat-Nya.
Sekalipun setiap diri memiliki sifat dan karakter yang saling berbeda satu sama lainnya, maka juga akan mempengaruhi pola hidup dalam kehidupannya, sehingga jelas akan mempengaruhi pula nikmat yang akan diterimanya. Dengan demikian, diperlukan petunjuk dan pertolongan Dia sebagai yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, serta yang menguasai semesta alam sebagai tempat hidup dan kehidupannya. Dimana di alam ini, segala sesuatu berpasang-pasangan, maka segala sesuatu akan ditemuinya dalam bentuk kebaikan dan keburukan, sehingga diperlukan petunjuk kepada kebaikan (nikmat-Nya) agar tidak tersesat kepada keburukan.
Belum lagi di setiap mengawali atau mengakhiri doa-doa, yang juga sering menggunakan ketujuh ayat ini, sebagai pelengkap permohonannya kepada Tuhannya. Keabadiannya di semesta alam ini membawa rahmat-Nya mengalir terus menggerakkan kehidupan seluruh makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang takkan pernah berhenti hingga pada masa yang telah ditetapkan-Nya. Akhir Zaman.
5.    Kitabul Insan
Sebagai kitab pegangan bagi hidup kemanusiaan yang begitu rentan dari godaan bujuk rayu iblis yang dapat menjerumuskannya kedalam kehinaan. Tujuh ayat di dalamnya hanya dapat dipahami dengan uraian penjelasan dari keseluruhan ayat atau firman-Nya yang berada pada surah-surah lainnya, disitulah segala sesuatu terpapar, sekalipun masih memerlukan penafsiran yang atas petunjuk dan kehendak Dia pula.
Sekalipun secara ringkas dalam surah Al Fatihah ini menerangkan kemanusiaan, seperti ayat yang menyebutkan agar hanya kepada Allah saja tujuan peribadatan dan dalam meminta pertolongan, serta agar ditunjuki jalan lurus untuk memperoleh keselamatan. Dan penjelasan dari ayat-ayat tersebut berada pada surah-surah lainnya secara yang lebih luas dan terperinci, seperti hukum-hukum, sosial kemasyarakatan, dan lainnya hingga akhirat sebagai yang ghaib.
Kitab yang berisi kebenaran sejati kepada setiap insan kemanusiaan, yang diturunkan oleh yang Maha Benar, melalui ruhul kudus (ruh yang suci dari kesalahan), diterima pula oleh rasul (Muhammad bin Abdullah) yang penuh dengan kebenaraan dalam akhlaknya, dengan gelar al amiin. Untuk disampaikan kepada seluruh insan kemanusiaan yang ternyata pula sebagai cikal bakal (calon) rasul. Sehingga terjadi kesinambungan penyampaian kebenaran sejati yang tiada putus-putusnya sepanjang masa kehidupan insan kemanusiaan.
6.    Kitabul Mats-tsaniiy
Adalah sebagai 7 (tujuh) ayat yang diulang-ulang, dalam shalat wajib lima waktunya setiap harinya. Dalam setiap pembuka doa-doa yang dipanjatkan atau dimohonkan kepada-Nya, karena sebagai inti dari intisari kitab yang mengandung makna yang luas, meliputi keseluruhan petunjuk Dia yang Maha Rahman dan Rahim kepada insan kemanusiaan.
Sering digunakan secara berulang-berulang dalam setiap harinya, karena ketujuh ayat ini sangat begitu dihargai dan ditinggikan, bahkan dianggap sakral sebagai pembuka dan penutup pada setiap permohonan doa-doa oleh sebagian besar umat muslim.
7.    Kitabum-munir
Adalah Kitab yang Terang dan Nyata, yaitu yang menerangi jiwa dengan kebenaran sejati setiap insan kemanusiaan, kemudian diharapkan dapat membuka dadanya agar segala petunjuk, yang merupakan hikmah, dapat masuk dan mengeluarkannya kembali kepada bentuk amal perbuatan yang menerangi pula apa-apa yang berada di sekelilingnya.
...... lalu diantara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar”, (QS 35:32)
Terang dan nyata kebenaran ketujuh ayat ini adalah setelah dada dapat terbuka, hatinya melihat, dan akalnya berpikir bahwa segala apa yang telah diterimanya melalui petunjuk Tuhannya adalah seperti yang telah dijelaskan di dalam kitab ini. Sehingga kebenarannya dapat diterima indera-indera jasad dan diterima hatinya.
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”  (QS 10:61)
Maka hatinya tak dapat mengingkari segala nikmat kebenaran firman-Nya di ketujuh ayat al Fatihah ini yang terpapar dan tersebar di semesta alam ini. Yang sesungguhnya ternyata, kedua mata adalah mata milik-Nya, kedua telinga adalah milik-Nya, dan berikut yang lain-lainnya adalah dianugerahkan kepadanya adalah milik-Nya, yang dirasakan oleh diri (nafs)-nya hanya nikmat. Yang kelak, segala anugerah tersebut, akan diminta pertanggung jawabannya, apakah pengelolaannya digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Baik buruk-nya pasti akan kembali kepada jiwa yang kelak akan merasakannya kembali sebagai buah dari yang ditanam sebelumnya.
B.  Tiga Ayat yang Utama
Utamanya ketiga ayat utama ini adalah kalimat yang bermakna perwujudan kemuliaan sifat Tuhan, yakni Allah yang sebagai pelindung karena Dia-lah Yang Maha Melindungi, pemelihara karena Dia-lah Yang Maha Pemurah dan Penyayang, dan sebagai tujuan setiap puja dan pujian karena Dia-lah Yang Maha Sempurna yang mencipta segala sesuatu (termasuk rasa apapun, juga rasa kagum) dengan amat sempurna, tanpa ada kecacatan ataupun kekurangan pada setiap bagian dari ciptan-Nya, yang merupakan perwujudan dari setiap kehendak-Nya di semesta alam ini. Sehingga hanya kepada-Nya lah yang pantas segala puja dan puji di tujukan.
·      Ta’awudz
Ta’awudz ini sebenarnya bukanlah termasuk salah satu ayat yang terdapat di dalam surathul Fatihah, melainkan di dalam (QS 16:98). Akan tetapi sebuah perintah. Perintah-Nya agar memohon perlindungan Tuhan setiap sebelum membaca ayat-ayat al Qur’an. Jadi, ta’awudz ini adalah memohon perlindungan dalam setiap mengawali membaca ayat-ayat al Qur’an, agar terlindung dari kesesatan dalam memahami makna-maknanya, sehingga terhindar dari kesalahan ataupun penyesatan yang dilakukan oleh iblis.
“Apabila kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.”  (QS 16:98)
Bila dalam ibadah atau perbuatan hendak membaca al Qur’an. Yang sekalipun ayat-ayat tersebut adalah petunjuk dari-Nya, dan yang jelas-jelas adalah  Kitab Suci yang disucikan oleh-Nya saja, maka kita  diingatkan untuk selalu berlindung dahulu kepada-Nya, tentu apalagi bila hendak mengawali setiap amal perbuatan yang lainnya. Maka sucikanlah setiap amal perbuatan tersebut dengan berlindung dahulu kepada Dia yang memiliki hari kemudian.
Kembali kepada yang telah diurai sebelumnya, yaitu bagaimana dendam yang abadi dari iblis kepada kemanusiaan yang dijelaskan pula di ayat berikut ini,
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS 15:39)
“...kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
Sebab itulah bahayanya kesesatan yang dibisikkan iblis, sekalipun amal perbuatan kita adalah menuju kepada kebaikan, maka tetap tak lepas dari bahaya bujuk rayu penyesatannya. Kitab-Nya memanglah suci, akan tetapi yang sampai kepada kita, pembacanya, adalah pemahaman, yang dapat saja tersentuh atau terkontaminasi oleh kekotoran yang menyesatkan, sehingga yang keluar sebagai amal perbuatan pun berupa kekotoran atau keburukan. Itulah yang sesungguhnya diharapkan untuk dihindari.
·      Bismillaahir-rahmaanir-rahiiymi
“Dengan menyebut nama Tuhan, yaitu Allah, sebagai yang Maha Pemurah dan Penyayang.”
Dengan pula menyebut nama Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang, selain memohon perlindungan-Nya, sebelum melakukan setiap amal perbuatan sebagai perwujudan mengakui bahwa segala sesuatu, termasuk pada amal perbuatan, adalah karena dan kepada-Nya ditujukan, serta merupakan kehendak-Nya yang suci dari segala hasrat, hawa, serta keinginan yang dapat menyesatkan diri (jiwa)-nya. Tidak hanya dengan menyebut nama Dia, melainkan pula mengakui segala rahmat dan nikmat-Nya sebagai wujud bersyukur, maka menghilangkan pengakuan (ego)-nya yang merasa karena kekuatan diri-nya lah yang berbuat, dan tidak melupakan sesungguhnya kekuatan untuk berbuat adalah karena kekuatan-Nya. Sehingga dia akan selalu berada dalam kesadaran akan kemurahan dan kasih sayang Tuhan kepada diri-nya.
Kesadaran itu pulalah yang membawa amal perbuatannya yang pemurah sebagai wujud rasa ikhlasnya, dan amal perbuatan yang didasari kasih sayang sebagai wujud rasa syukurnya. Adalah nama-nama atau sebutan-sebutan yang merupakan refleksi dari sifat-sifatnya yang terangkum di dalam Asma al Husna (nama-nama terbaik-Nya), sehingga menginspirasi (menggugah kesadaran)-nya, bahwa dirinya adalah sebagai perwujudan Tuhan di bumi. Itulah kehendak Tuhan yang disadarinya.
·      Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiiyn
Segala puja dan puji hanya ditujukan karena dan kepada Dia, yaitu Allah Tuhan Semesta Alam,
Memuji Dia, yang hanya kepada-Nya segala pujian sesungguhnya dituju dan kembali pulang kepada-Nya. Tiada sesuatupun yang merupakan makhluk yang sesungguhnya tepat sebagai tempat tujuan pujian selain Dia. Karena segala sesuatu pun adalah menerima rahmat dan kekuatan hanya dari-Nya.
Bukan karena ego-Nya, maka Dia menyatakan hal itu di dalam firman-Nya tersebut, akan tetapi karena hawa setiap diri kemanusiaan yang sangat mudah terjerumus oleh godaan dan bujuk rayu iblis yang justru menyesatkan. Puji-pujian sungguh dapat menggoda dan menjerumuskan jiwa kemanusiaan, yang memang telah memiliki pula fitrah seperti itu, sebagai yang rapuh dan amat mudah terjerumus oleh penyesatan iblis yang menjerumuskan. Karena sesungguhnya segala sesuatu adalah kembali kepadanya sebagai tujuan dari segala tujuan.
“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
C.  30 Juz sebagai Penjelasan
Al Qur’an yang terdiri dari 30 (tiga puluh) juz, pada juz pertama sebagai intisari kitab, dan 29 (dua puluh sembilan) juz sisanya merupakan uraian penjelasan juz pertama-nya secara lebih luas dan mendetail berikut tambahan-tambahan kisah-kisah nabi yang lainnya. Penjelasan secara meluas ini merupakan petunjuk keimanan yang mengarahkan kepada keselamatan hidup setiap diri insan kemanusiaan sepanjang zaman.
Dan Al Qur’an secara keseluruhannya juga disebut sebagai, kitab yang Terjaga, kitab Petunjuk (Hikmah Kebijaksanaan), kitab Pembeda, kitab Perintah dan Larangan, kitab yang Membenarkan Kitab Kitab Sebelumnya, dan kitab yang Memberitakan Kabar Gembira.
1.    Kitab yang Terjaga
Sebagai kitab yang terjaga, al Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur, selain berisi perintah dan larangan, cerita-cerita umat terdahulu, penciptaan alam, juga diturunkannya ayat-ayat yg sebagai solusi problematika umat saat itu, sebagai bukti hubungan yang erat antara Allah sebagai Tuhan yang Maha Tahu dengan Muhammad sebagai rasul-Nya yang menerima wahyu sebagai petunjuk yang benar dari yang Maha Benar dan diwahyukan kepada orang yang penuh kebenaran serta terpuji akhlaknya (al amiin). Keterjagaan kitab-Nya ini dijamin oleh Allah melalui firman-Nya, seperti yang dikutip di bawah ini,
“Bahkan ialah al Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam (tempat) yang terjaga (lauh mahfuz).”  (QS 7:16-17)
Diturunkan dengan menggunakan bahasa yang terdengar indah dan memukau melebihi karya sastra yang belum pernah ada hingga saat ini yang dapat menyamainya. Bahkan ditantang oleh Dia yang mewahyukannya bila ada yang hendak menyerupai firman-firmannya, sekalipun hanya satu surah. Dan Allah menjamin terjaga kebenaran serta keasliannya dari usaha-usaha kejahilan yang hendak menodainya hingga akhir zaman. Dan telah terbukti dengan berbagai peristiwa yang berusaha menodai-nya namun selalu saja gagal. Itulah jaminan dari Dia yang Maha Pemelihara.
“Dan jika kamu meragukan (al Qur”an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang yang benar. Jika kamu tak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka  yang bahan bakarnya dari manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.”  (QS 2:23-24)
Ditambah lagi dengan jutaan orang yang hafal di setiap masa, dan semakin bertambah banyak ke setiap masanya, karena budaya semenjak awal turunnya wahyu yang dianjurkan untuk dihafal dan dibiasakan oleh nabi Muhammad SAW. Maka jaminan dari Tuhan ini, menjaga keotentikan, kebenaran, dan kesuciannya hingga akhir zaman sebagai kitab panduan insan kemanusiaan, dan tak pernah lekang di setiap waktu baik dari sisi bahasa, sastra, ilmu dan pengetahuan, serta seni keindahan kaligrafi serta keindahan bunyi bacaannya.
“Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan). Kami telah menurunkan (azab) kepada orang-orang yang memilah-milah (kitab Allah).”  (QS 3:3-4)
2.    Kitab Petunjuk (Hikmah Kebijaksanaan)
“Demi al Qur’an yang penuh hikmah.”  (QS 36:2)
Al Qur’an merupakan kitab yang dalam arti luas, berisi petunjuk berupa hikmah kebijaksanaan yang dapat membawa mereka menuju kepada keselamatan hidup di dunia maupun kelak di akhirat. Terpapar beruraian sebagai petunjuk hidup, petunjuk ilmu dan pengetahuan tentang alam, petunjuk ilmu sosial kemasyarakatan, petunjuk hukum, petunjuk ketata negaraan, serta pula petunjuk kepada ilmu perdagangan. Kemudian tidak lepas sebagai petunjuk kepada hari akhir atau hari kemudian, sebagai suatu masa yang baik maupun buruknya adalah ditentukan oleh amal perbuatan masa sekarang.
Di dalamnya banyak petunjuk kepada berlaku adil serta bijaksana dalam setiap permasalahan, menyikapinya dengan tidak berlebihan, terutama pada menuruti hawa nafs-nya. Dan akibat tidak berlaku adil adalah kecelakan sebagai yang kembali kepada diri-nya. Memperjuangkan yang haqq dari kebathilan atau kezaliman, serta kemudian, setelah terselamatkan, kembali untuk menyelamatkan kezaliman itu sendiri, agar keluar dari kezalimannya. Demikianlah makna rahmat bagi semesta alam. Karena di alam, segala sesuatu selalu berpasangan.
Kitab yang menjunjung hukum bagi keadilan dan kebijaksanaan yang tak lekang oleh zaman. Sekalipun ada yang terlihat kejam, seperti hukum potong tangan, mata dibalas mata (qishas), dan lain-lainnya, tetapi itulah keadilan, dan kebijaksanaannya adalah apabila si-korban hendak memaafkannya. Dan Allah memuliakannya dengan membalas berupa rahmat yang luas bagi mereka yang mau memaafkan.
Sebagai kitab petunjuk, di dalamnya banyak ayat-ayat yang tersurat gamblang dan jelas sebagai petunjuk yang pasti, dan banyak pula yang tersirat atau memerlukan penafsiran sehingga mengandung makna yang luas yang tiada akan pernah habis untuk disimpulkan penafsirannya. Sebagai petunjuk, yaitu dari hal-hal yang masih belum diketahui (gaib). Hanya dengan kehendak Allah-lah maka petunjuk-petunjuk tersebut akan terbuka sebagai hikmah pengetahuan yang nyata menjelaskan (QS 2:105).
“Dan kunci-kunci segala yang gaib (belum diketahui) ada pada-Nya, tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis di dalam kitab yang nyata.”  (QS 6:59)
3.    Kitab Pembeda
Adalah kitab yang menjelaskan perbedaan segala sesuatu, baik yang nyata kelihatan dan yang nyata tidak kelihatan, membedakan secara jelas sebagai pasangan segala sesuatu yang selalu hadir dan mempengaruhi setiap diri kemanusiaan. Membedakan antara yang terang dengan yang gelap, yang baik dengan yang buruk, serta jalan lurus dengan jalan yang menyesatkan. Karena segala sesuatu Allah ciptakan secara berpasang-pasangan.
Dibedakan bukan untuk ditolak, melainkan untuk diketahui dan dapat menerima baik-buruknya, sebagai fitrah hidup setiap diri kemanusiaan, yaitu menerima. Segala sesuatu yang ada pada diri-nya adalah karena dapat menerima (hidup), dan adalah karunia Tuhan-nya. Baik itu kekayaan harta benda, anak-istri, jabatan atau kedudukan, sekalipun kemiskinan dan kemelaratan serta kesengsaraan, semuanya adalah karena menerima. Adakah yang tidak diterimanya? Bahkan hidup dan matinya.
Tidaklah ada kekuatan dari sesuatu atau siapapun yang dapat menolak kekuatan dan kehendak Allah. Jika Dia telah menetapkan, sekalipun jiwanya menolak, tetapi tetap harus diterimanya sebagai keterpaksaan, akibatnya bathinnya menjadi resah, jiwanya gelisah, dan apapun geraknya menjadi serba salah. Padahal, siapapun mengetahui dengan benar dan sadar diakuinya, keikhlasan adalah kuncinya. Dan kita akan mengurainya pada bab tersendiri, di belakang.
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan (agama), sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS 30:30)
Allah menciptakan segala sesuatu saling berpasang-pasangan. Dan dirinya sendiri-lah yang mengklasifikasikan segala sesuatu tersebut sebagai baik maupun buruk bagi dirinya. Apakah itu kebaikan dan keburukan, benar dan salah, siang dan malam, anugerah dan bencana, rahmat dan azab, surga dan neraka, maupun yang lain-lainnya sebagai pembanding sebelum memutuskan setiap amal perbuatan. Padahal segala sesuatunya tersebut pasti hadir secara beriringan pada kehidupan, sebagai ketetapan yang merupakan fitrah setiap makhluk ciptaan dari Allah. Seperti menerima sakit setelah sekian lama hidup sehat, atau pada umumnya profesi pedagang yang tidak dapat menerima bila mengalami kerugian.
4.    Kitab Perintah dan Larangan
Sebagai petunjuk kepada hikmah yang merupakan kebijaksanaan Dia yang Maha Adil, dan demi keselamatan hidup, maka tentunya petunjuk-petunjuk tersebut ibarat rambu-rambu yang berupa perintah dan larangan yang berkesan ‘keras’dan ‘tegas’, namun demikian banyak pula diri kemanusiaan yang membandel melanggarnya, yang padahal perintah dan larangan tersebut justru ternyata adalah demi kebaikan dan keselamatan mereka pula. Itulah luar biasanya iblis dalam usaha penyesatannya (QS al Hijr 39).
Inilah kitab yang patut sebagai dasar pijakan atau sumber dari segala sumber hukum dalam kehidupan sebagai pribadi, keluarga, lingkungan, hingga kepada kehidupan berbangsa dan bernegara, agar tidak terjerumus pada usaha penyesatan iblis. Seperti yang diperingatkan Allah di dalam firman-Nya,
“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
5.    Kitab yang Membenarkan Kitab Sebelumnya
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu kitab yang benar, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Mengetahui, Maha Melihat hamba-hambanya”, (QS 35:31)
Al Qur’an, selain adalah kitab yang membenarkan kitab-kitab yang telah datang sebelumnya, juga merupakan kitab yang dibenarkan pula akan kedatangannya oleh kitab-kitab tersebut.
“Dan sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar (disebut) dalam kitab-kitab orang yang dahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama bani Isra’il mengetahuinya.”  (QS 26:196-197)
Berbagai kitab yang nyata ada dan terlihat, serta diturunkan oleh yang Maha Benar kepada rasul-rasulnya, seperti kitab-kitab samawi lainnya, yaitu Injil, Zabur, Taurat, juga kitab-kitab lainnya seperti Tripitaka, Wedha, dan lain sebagainya. Yang kesemuanya adalah mengandung kebenaran dan kesucian, merupakan kehendak Tuhan yang turun sebagai petunjuk kepada insan-insan kemanusiaan yang terpilih menjadi rasul (utusan)-Nya untuk disampaikan kepada masing-masing umat atau kaumnya.
Kehendak Dia-lah menurunkan kitab-kitab tersebut kepada siapa, dan kapan, serta tempat atau wilayah diturunkannya. Yang jelas, bahasa kitabnya memakai bahasa kaumnya, dan situasi atau suasana kehidupan yang telah rusak parah akan menjadi sebab diturunkannya sebagai peringatan dan usaha perbaikan kearah kehidupan yang dikehendaki Tuhannya.
 Kitab-kitab tersebut yang sebagai Kitab Suci oleh pemeluk agama dari setiap diri kemanusiaan yang dianut dan diakuinya, padahal merupakan petunjuk bagi seluruh diri kemanusiaan sebagai kitab yang berisi kebenaran dan hikmah kebijaksanaan dari Tuhan yang Maha Esa (Tunggal). Kitab-kitab tersebut diturunkan pada saat atau masa, pada umat, tempat atau geografis yang berbeda satu sama lainnya, maka bahasa yang digunakan pada kitab-kitab tersebut pasti berbeda satu sama lainnya. Akan tetapi makna kebaikan, kebenaran, dan kesucian yang universal mutlak ada dan diberitakan di dalamnya sebagai hikmah kebijaksanaan bagi setiap kemanusiaan.
......... Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, ......”  (QS 5:48)
Dan tidaklah pantas, bagi insan kemanusiaan malah terjerumus pada perbedaan-perbedaan tersebut yang merupakan ketetapan Allah (sunathullah), Tuhan semuanya. Berbantah-bantahan, saling mengejek, atau bahkan saling menghina dan menghujat hingga malah saling menumpahkan darah, yang itu semuanya merupakan perbuatan perwujudan kehendak iblis yang menginginkan setiap insan kemanusiaan terjerumus pada kesesatan.
6.    Kitab yang Memberitakan Kabar Gembira
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kitab kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok, sebagai petunjuk yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang amat pedih dari sisi-Nya dan memberitakan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapatkan balasan yang baik.” (QS 18:1-2)
Sebagai petunjuk yang lurus, al Qur’an mengandung kebenaran sejati dari Dia yang Maha Benar, selain memperingatkan kepada setiap diri kemanusiaan akan amal perbuatan yang berlawanan dengan apa-apa yang telah ditunjuki Dia, dan akibat-akibat yang akan dituainya kelak, sebagai yang akan menyiksa dirinya sendiri. Begitupun kepada amal perbuatan yang searah dan sesuai dengan kebenaran sejati tersebut, maka akibat-akibatnya pun akan dituainya sebagai kebaikan pula yang kembali kepada dirinya, sebagai berita gembira yang datang terlebih dahulu sebagai firman-Nya di dalam al Qur’an.
Sesungguhnya, bukanlah Dia yang menghukum, akan tetapi segala pengakuan-nya sendirilah yang menghukum dirinya sendiri. Disebabkan setiap amal perbuatannya adalah perwujudan dari setiap pengakuan yang menyesatkan jiwanya karena mengaku-ngaku ‘aku’-nyalah yang berperan, sehingga diri atau jiwa-nya pulalah yang harus mempertanggung jawabkannnya.
“Katakanlah:  jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (QS 9:24)
Diri yang ber-Kekitaban (Ahli Kitab)
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu kitab yang benar, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Mengetahui, Maha Melihat hamba-hambanya”, (QS 35:31)
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” (QS 35:32)
Kebanyakan kita kaum muslimin beranggapan, bahwa ahli kitab dipersepsikan kepada mereka kaum Yahudi dan Nasrani. Padahal dari segi bahasa, ahli kitab bermakna kepada mereka atau siapa saja yang telah menerima kitab dari Allah. Adalah mereka, insan kemanusiaan, yang telah diberi kitab dan petunjuk dari Tuhannya, yang seharusnya terefleksikan pada kesempurnaan akhlak sebagai perwujudan keimanan-nya yang keluar membentuk pola kehidupannya yang terpuji. Begitulah sebutan ahli kitab,  yang bermakna sebagai yang pantas menyandang sebutan ahli, yaitu sebagai pewaris haqq yang seharusnya mengelola dengan baik dan sempurna dari segala yang diberikan atau yang dianugerahkan kepadanya, yaitu berupa kitab sebagai petunjuk kepada hikmah.
“Dan sungguh telah Kami anugerahkan Kitab (Taurat) kepada Musa, maka janganlah engkau ragu-ragu menerimanya dan Kami jadikan kitab itu petunjuk bagi bani Israil.”  (QS 4:171)
Tidak sedikit pula mereka yang berpaling setelah mendapatkan petunjuk, akibat terjerumus dan terlenanya jiwa pada hawa kehidupan dunia yang menggoda dan terlihat indah. Bahkan dengan kekejiannya, iblis mengemas kesesatan tersebut dengan sedemikian rupa agar terlihat sebagai suatu “kebaikan” yang indah bagi pandangan mereka (QS al Hijr 39).
Kebanyakan kita, umat muslim, menerjemahkan ahli kitab kepada mereka umat Nasrani dan Yahudi, tidak termasuk diri-nya. Padahal diri-nya pun sebagai yang menerima kitab. Dan tuduhan kepada mereka, sebagai yang merubah kitab. Sekalipun disebutkan di dalam firman-Nya di dalam al Qur’an, tidaklah pantas kita sebagai kemanusiaan ikut menuduh. Karena akan semakin memperlebar jurang perbedaan yang dapat mengarah kepada pertikaian. Cukuplah dengan saling berbuat kebaikan dan saling menghargai sebagai makhluk Allah. Dan cukuplah memahami makna ayat tersebut sebagai ancaman larangan dari Tuhan kepada mereka, siapapun yang mencoba-coba hendak mengubah isi kitab-Nya, yang merupakan firman yang mutlak kebenaran-Nya.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu ......” (QS 4:171)
Jika demikian apakah atau dimanakah batas-nya itu? Maka kembalikanlah kesadaran jiwa dengan mengakui segala sesuatunya sebagai rahmat karunia dari Dia dan bersyukur, Allah ar Rahman yang Maha Pemurah. Dan hindari segala macam pengakuan bahwa hanya dirinyalah yang memiliki apa-apa yang telah dianugerahkan (yang sebenarnya hanyalah titipan atau amanah) kepadanya, apapun itu. Intinya adalah, hanya Dia-lah pemilik segala sesuatu, tanpa terkecuali. Ternyata bukanlah anugerah dalam arti, hibah kepemilikan yang diberikan kepadanya, melainkan hanyalah titipan atau amanah yang wajib dikelola dengan baik dan benar, apapun itu, istri dan anak-anak, harta benda, rumah tingggal, kendaraan, dan ladang pekerjaan, serta seluruhnya yang merupakan apa-apa yang diterimanya, sekalipun petunjuk atau hikmah.
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang di dalam) dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS 10:57)
Jangan biarkan jiwa kita terperosok kepada tipu daya iblis, yang dengan berbagai cara menginginkan setiap jiwa kemanusiaan ikut menemaninya di neraka. Tipu dayanya dapat berupa membakar gairah semangat, sekalipun itu membawa-bawa nama agama dan Tuhannya. Seperti semangat mati syahid di jalan Allah melalui jihad, padahal ternyata dibelokkan dengan malah merusak dan menumpahkan darah melalui jalan terorisme. Atau pada hal-hal sederhana, berusaha menghambat atau menghalangi umat lain dalam kebebasan beribadahnya. Apalagi sampai merusak rumah ibadah mereka. Sesungguhnya, bila demikian, maka perbuatan itu menzhalimi diri kita sendiri.
......... Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Maha Perkasa”. (QS 22:40)
Menghalangi mereka (umat lain) beribadah kepada Tuhannya, yang ternyata merupakan Tuhan kita sendiri. Dan merusak rumah ibadah mereka, yang merupakan rumah Tuhan kita sendiri. Sadarilah, bagaimana perbedaan pada masa, tempat atau wilayah, umat, bahasa atau sebutan-sebutan, kala ajaran atau agama diturunkan Allah, adalah suatu yang lumrah. Dan hal tersebut juga merupakan kehendak Allah. Bagaimana bila Allah membiarkan setiap diri kemanusiaan, dalam naungan umat, serta atas nama agama, saling balas membuat kerusakan dan menumpahkan darah?
Dan Allah “me-monumen-kan” wilayah atau negri Palestina selama ribuan tahun sebagai contoh buruk pergolakan perebutan ‘ego’ umat agama-agama samawi, sejak setelah kematian nabi Musa As. Semua mengaku atas nama keturunan Ibrahim, atas nama agama dan atas nama Tuhannya. Semua mengaku Ibrahim sebagai bapaknya, padahal semua memang keturunan Ibrahim, bangsa arab berbapak Ismail yang adalah anak Ibrahim dari Siti Hajjar (istri kedua), dan bangsa israel berbapak Yaqub (Israel) yang adalah cucu Ibrahim dari anaknya Ishak dari Siti Sarah (istri pertama). Sekalipun semuanya merasa “benar” menurut anggapan mereka, tetapi mereka semuanya salah menurut Allah dikarenakan ego-nya yang menyesatkannya kedalam bentuk perbuatan saling merusak dan saling menumpahkan darah. Maka yang puas adalah iblis. Dan dia-pun telah lama meninggalkan wilayah tersebut, mencari wilayah-wilayah lain demi kesibukannya untuk menghasut dan menjerumuskan diri-diri kemanusiaan lainnya. Telah sampaikah iblis di wilayah atau negri kita, disini dan saat ini? Bagaimana dengan yang pernah terjadi di Aceh, Sampit, Poso, Ambon, Sampang, dan sekarang yang mengkhawatirkan adalah Papua.
Adalah Allah, Dia-lah Tuhan yang Mutlak di semesta alam ini, baik sebagai Tuhan umat muslim, nasrani, yahudi (bani israil), budha, hindu, khong hu chu, shinto, maupun umat-umat lainnya, yang ternyata bukanlah merupakan umat agama. Agama atau ajaran tetaplah satu, yaitu Agama Allah (diynul qayyimah, QS 98:5). Sementara yang kita sadari, adalah hanya pada kesamaan inti ajarannya, akan tetapi tetap merasa dan menganggap hanya ajaran atau agama milik kitalah yang benar, sementara yang lain adalah dalam kesesatan. Padahal rasa seperti itulah yang justru dapat menyesatkan diri kita, seperti layaknya tersesatnya iblis dengan kesombongannya saat diperintah Tuhannya untuk sujud (tunduk) kepada Adam (QS 2:34).
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS 15:39)
Memang secara nyata, al Qur’an sebagai penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya, akan tetapi, juga membenarkan keberadaan kitab-kitab sebelumnya, maka tidaklah layak hal itu malah menjerumuskan diri kita kepada kesombongan seperti sombongnya iblis. Resapi dan akuilah, bila kita melihat seseorang yang jauh lebih hebat, pintar, dan cerdas daripada kita, tetapi bersikap angkuh dan sombong. Maka hilanglah segala kelebihannya tersebut di mata kita, seakan-akan menginginkan dia tidak ada. Berhati-hatilah dan selalu waspada pula terhadap segala sesuatu yang berlebihan dalam menghadapi atau menjalankannya. Karena sesungguhnya, segala sesuatu tersebut adalah merupakan anugerah Dia Tuhan yang Maha Pemurah kepada dirinya, sekalipun itu anugerah berupa petunjuk atau hikmah.
Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu,





Bab V
MEYAKINI HARI AKHIR
(HARI KEMUDIAN)
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.”
 (QS 53:24-25)
A
llahu maalikiyaw mid-diiyn, Dia, Allah Pemilik dan Penguasa ‘hari-hari agama’, adalah merupakan pijakan uraian mengenai rukun iman yang ke lima ini. Literatur umum, menafsirkan ‘yaw mid-diiyn sebagai hari pembalasan, akhirat, serta surga dan neraka. Dalam terjemahannya yang jelas, maksudnya lebih menekankan peran agama sebagai ‘diyn’, yaitu petunjuk ajaran atau aturan hidup menuju keselamatan. Makna luasnya adalah kehidupan yang diisi hari-hari yang tidak pernah lepas dari aturan hidup sebagai petunjuk dari Allahu rahmanur-rahiiym dan Allahu raabal ‘aalamiiyn, sebagai Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan Tuhan semesta (seluruh) alam. Apakah itu kehidupan di dunia ataupun di akhirat, maupun diantara keduanya seperti hidup menanti di alam kubur.
Bila kita fokus kepada ‘hari-hari agama’, maka itu jelas mengarahkan makna kepada, bahwa kehidupan ini dan kehidupan nanti akan selalu dibawah naungan Dia yang maha menunjuki, merahmati dan menguasai-nya. Sehingga tidak tepatlah, anggapan sebelumnya, di alam akhirat setelah kematian,  bahwa telah terputus-nya segala amalan. Sebagaimana kita diajarkan untuk selalu mendoakan orangtua, para salihin, muslimin dan dan muslimat, serta bershalawat kepada nabi Muhammad SAW. Karena ternyata secara tegas disebutkan agama masih tetap berperan, sekalipun pada kehidupan di hari kemudian.
“ya Tuhan Kami, dan masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Pada ayat diatas dijelaskan, bahwa para penghuni surga pun masih memerlukan keselamatan dari kejahatan yang ada pada hari itu. Karena ketetapan Allah adalah mutlak untuk di segala ruang (alam) dan waktu (yang lalu, sekarang, maupun kemudian). Dan Allah pun menegaskan, bahwa alam surga dan neraka pun adalah berada di alam dunia ini, dan sedang berlangsung sekarang ini.
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain).......”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Dengan demikian, apakah sekarang ini, kita sedang berhadapan dengan orang-orang yang sedang mengalami surga dan neraka-nya? Berarti, diri kita ini pun sedang mengalaminya? Hal ini akan semakin jelas, setelah kita masuk pada uraian tentang kematian dan kebangkitan. Bersabarlah dalam memahami makna-makna yang terkandung dalam Al Qur’an, dan mohonlah perlindungan-Nya, agar kita tidak mudah tersesat.
“Apabila kamu membaca Al Quran, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari (penyesatan) syaitan yang terkutuk.”  (QS 16:98)
“..... dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Quran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”  (QS 20:114)
Pada hari akhir, kata ‘akhir’ adalah lawan kata ‘awal’, bermakna ujung dari sesuatu, yang lebih menekankan waktu atau saat kejadian berujung. Hari Akhir dapat berarti, akhir dari suatu urusan dalam kehidupan dunia, dan dapat pula merupakan berakhirnya hidup di dunia (kematian), serta bermakna yang jauh lebih luas lagi, yaitu akhirnya dunia atau semesta (kiamat). Akan tetapi hari akhir hanyalah masa transisi atau peralihan atau pula penantian, yang berisi masa pengadilan atau penilaian, perhitungan, maupun hisab, untuk menentukan kemana kemudian kehidupan selanjutnya tertuju, yaitu hari kemudian.
Seperti adanya esok setelah hari ini, adanya nanti setelah sekarang, dan adanya memetik setelah menanam. Seperti pula, naik atau tidak naik kelas, lulus atau tidak lulus sekolah, dan naik atau turun jabatan, yang membuat seseorang melanjutkan kehidupan pada suasana baru sebagai  alam lain-nya, yang tentunya amat dipengaruhi oleh kehidupan sebelumnya. Akan tetapi tetap dalam suasana yang sama, yaitu dalam suasana berlatih (belajar) untuk menuju suatu kesempurnaan, serta kesucian jiwa (diri)-nya agar dapat kembali pulang kepada-Nya. Ilayhi raji’un. Hanya diri-diri yang telah bersih dari kontaminasi kekotoran yang dapat kembali kepada-Nya, yaitu jiwa-jiwa yang tak lagi membawa keinginan dan kebutuhan, apalagi jiwa yang tersesat. Itulah tauhid murni.
Pada suatu urusan, masih didunia, malu dan terpojok ataupun rasa sakit sebagai balasan langsung adalah sebagai neraka dunia-nya (neraka wayl), dan rasa puas dan nikmat sebagai surga dunia-nya (surga firdaus). Dan di akhirat (setelah kematian), semua rasa yang sangat tidak enak dan sangat menyakitkan terwujud sebagai neraka akhiratnya (neraka safiil), serta semua rasa kenikmatan terwujud sebagai surga akhiratnya (surga adniin). Serta di tempat tunggal-Nya, yaitu di kalbu yang paling dalam, yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu baik di dunia maupun nanti di akhirat, hati yang sempit terhimpit akibat rasa bersalah, apapun menjadi serba salah, adalah nerakanya (neraka jahanam), serta damai dan tentram serta sejahtera sebagai surganya (surga na’im).
Dari ketiga uraian tersebut, adalah rasa yang merupakan unsur dominan sebagai objek yang menerima balasan dari setiap amal perbuatan sebelumnya. Sementara wujud diri dan alam sebagai tempat diri berada, tidaklah menjadi hal penting, sekalipun suasana tempat ikut mempengaruhi, akan tetapi tetap rasa-lah sebagai yang merasakan nikmat atau tidaknya. Dalam kehidupan sekarang pun rasa-lah yang dicari dan dihindari. Yaitu rasa nikmat sebagai yang dicari, dan rasa tidak nikmat sebagai yang dihindari. Berapapun harga kenikmatan itu akan dibayar untuk mendapatkannya, begitupun sebaliknya, berapapun harga yang dikeluarkan akan dibayar untuk menghindari ketidak nikmatan.
Kematian
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”  (QS 67:2)
Kematian adalah hari akhir-nya kehidupan di dunia bagi diri kemanusiaan. Dalam kehidupannya selama di dunia, yang dalam satu harinya, disibukkan oleh kegiatannya dari pagi hingga sore, dan setelah lelahnya, dia merasakan kantuk yang luar biasa saat malam tiba, kemudian tertidur untuk beristirahat. Nah, begitu pulalah kehidupan dan kematian. Mati dan hidup adalah proses tidur dan bangun yang dalam skala panjang waktunya. Kematian merupakan pula hari akhir  kehidupan, dimana terpisahnya antara ruh, jiwa, serta jasad (tubuh) untuk beristirahat, dan menunggu dibangunkan (dibangkitkan) lagi. Masing-masing berada pada alam yang berbeda atau terpisah, tetapi dalam satu sebutan tempat tunggal, yaitu alam penantian (barzakh), tempatnya di alam kita ini juga.
Kematian pun merupakan akhir satu fase kehidupan yang diisi dengan beristirahat atau menanti di alam kubur untuk dibangkitkan melanjutkan kehidupan selanjutnya, untuk mengalami balasan sebagai tuai-an amal perbuatan kehidupan sebelumnya. Seperti kita bangun dari tidur dan melanjutkan atau mempertanggung jawabkan kembali kesibukan yang kita perbuat kemarin yang belum selesai. Bila pertanggung jawaban yang belum terselesaikan adalah hal yang besar, mungkin akan terbawa sebagai mimpi yang menyusahkan di dalam tidurnya semalam, maka seperti itu pulalah azab kubur.
Jiwa akan disimpan oleh Allah di tempat tunggal Dia yang Maha Tunggal, dan kelak akan ditiupkan-Nya saat dibangkitkannya kembali bersama jasad-nya. Karena jiwa manusia adalah ‘bagian’ dari Ruh Allah  yang dianugerahkan pada kehidupan sebelumnya, maka harus kembali lagi kepada-Nya.
...... Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Ku-sempurnakan kejadiannya dan Ku-tiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”  (QS 38:71-72)
Setelah kematian, maka kehidupan selanjutnya adalah penantian di alam kubur (barzhak), yaitu menunggu untuk dibangkitkannya kembali bersama jasad dan ruh-Nya. Lamanya penantian adalah relatif waktunya. Tentunya, bagi jiwa yang tersesat, adalah biasa baginya tidak pernah bersabar di kehidupan sebelumnya, maka pada masa penantian inipun akan terasa lama sekali dan amat menyiksa bagi jiwa-jiwa seperti ini dalam menunggu.
Sedangkan jiwa, ada dua kemungkinan kemana dia bertempat tinggal. Yang pertama, adalah bagi jiwa-jiwa yang di kehidupan di dunianya telah bersama Tuhan-nya, yaitu bagi jiwa-jiwa yang damai, tenang tentram dan terkendali (mutma’innah), maka dia akan mengikuti karena telah terbiasa manunggal, mengikuti bersama ruh-nya menuju tempat tunggal Dia yang Maha Tunggal.
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.”  (QS 39:42)
Yang berikutnya adalah, bagi jiwa-jiwa yang tersesat kala di kehidupan dunianya, terpukau dan hanyut oleh kemegahan serta kemewahan dunia, maka setelah kematiannya pun, setelah terpisah dengan ruh dan jasad, tinggallah jiwa tertambat di alam dunia meratapi jasadnya yang lama kelamaan hancur, kemudian tersesat bergentayangan di tempat-tempat dahulu disenangi dan sering disinggahinya. Dia tersesat, dan tersiksa oleh rasa ketertarikan pada kemegahan dan kemewahan kehidupan dunia yang tak dapat dinikmatinya lagi namun tetap menggodanya. Dia lebih memilih begitu, sekalipun sudah tak bersama jasadnya lagi, karena tak rela meninggalkannya,  terus tersiksa menunggu hingga waktu dibangkitkannya sebagai jiwa yang merana, untuk mengalami pembalasan pula di kehidupan selanjutnya.
Kematian, seharusnya adalah kesempurnaan. Karena itu di kehidupannya kemanusiaan selalu mencari jalan untuk mendapatkan kesempurnaan-kesempurnaan dalam segala hal. Dan dalam meniti jalan-jalan tersebut, tentu tidaklah mudah, selalu ada halangan ataupun godaan bujuk rayu dari hawa nafsu (iblis)-nya sendiri yang hendak menyesatkannya. Akan tetapi, setiap diri selalu hendak mencapai kesempurnaan dalam tujuan hidupnya, sekalipun harus mengalami berkali-kali jatuh dan bangun. Sekalipun harus mengalami hidup dan mati, serta dibangkitkan beberapa kali, namun dengan itulah jiwanya menjadi kuat, dan semakin dirinya mendekati pada kesempurnaan, maka segera pula hendak meraih kesempurnaan berikutnya yang lebih sempurna lagi dari sebelumnya. Begitu seterusnya hingga dirinya akhirnya menemukan kesempurnaan sejati, yaitu kesempurnaan jiwanya untuk dapat kembali pulang kepada Dia Yang Maha Tunggal.
Tidaklah sempurna uraian ini bila tidak mengulas pula kebangkitan sebagai awal kehidupan selanjutnya di hari kemudian. Banyak ayat al Qur’an yang berisi keterangan tentang kebangkitan, mengasumsikan seolah-olah bahwa sesungguhnya Allah meragukan keyakinan manusia akan kejadian kebangkitan diri-nya. Atau sekedar memperingatkan kepada manusia yang meragukan kekuasaan Allah dalam hal membangkitkan mereka. Karena begitu banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang kebangkitan yang menggunakan perumpamaan kejadian-kejadian di alam, sehingga menafsirkan bahwa Allah meragukan keyakinan diri-diri kemanusiaan terhadap adanya kebangkitan.
Padahal sesungguhnya, kebangkitan adalah hal yang mutlak harus terjadi setelah hari perhitungan atau penghakiman, yaitu untuk menjalani kembali kehidupan yang berisi balasan atas setiap amal perbuatan di kehidupan sebelumnya. Sekalipun dunia ini belumlah kiamat. Dan itu merupakan ketetapan-Nya, sunathullah yang pasti terjadi pada setiap makhluk ciptaan-Nya. Tidak hanya pada diri kemanusiaan saja, melainkan seluruh alam raya ini berikut isinya. Seluruhnya mengalami peluruhan, kematian, kemudian terurai dan dibangkitkan kembali dengan wujud baru sebagai siklus gerak kehidupan dalam sistem semesta untuk mencapai kesempurnaan.
Siklus Kebangkitan
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (QS 2:28)
Itulah ayat yang menegaskan kejadian kebangkitan yang berulang-ulang yang merupakan siklus mati-hidup, seperti siklus tidur-bangun tetapi dalam skala panjang waktunya, atau pada siklus proses terjadinya hujan sebagai air yang menguap naik-turun kembali kebumi, atau pada makhluk-makhluk Allah lainnya. Sampai pada akhirnya kepada-Nya lah kemudian diri-diri (jiwa) dikembalikan sebagai yang telah murni, suci dan bersih.
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”       (QS 29:19)
Jadi, ini adalah siklus perubahan bentuk atau wujud karena terurai kembali sebab dari yang telah ditetapkan oleh kehendak-Nya atau lebih dikenal dengan sebutan sunathullah. Termasuk siklus perubahan bentuk pada jasad dan wajah dari waktu ke waktu yang semakin keriput dan rambut yang memutih, sekalipun tanpa menghilangkan atau merubah identitasnya. Dan dengan siklus kematian dan dibangkitkan sebagai tujuan penyucian jiwa agar bisa kembali berpulang dalam kesucian kepada-Nya sebagai Yang Tunggal. Suci dari segala macam pengakuan (ego)-nya yang mengotori jiwa-nya, sehingga menghambat jiwa-nya untuk dapat kembali kepada Yang Tunggal, karena harus mengalami dibangkitkan atau dihidupkan kembali untuk membersihkan kekotoran yang masih melekat di kehidupan sebelumnya.
“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur).”  (QS 30:19)
Bila kebangkitan adalah hal yang harus dan pasti terjadi setelah hari perhitungan atau penghakiman, yaitu untuk menjalani kembali kehidupan yang berisi balasan atas setiap amal perbuatan di kehidupan sebelumnya, maka berarti, kehidupan sekarang ini adalah merupakan balasan dari amal perbuatan pada kehidupan kita sebelumnya.
Kemudian timbul pertanyaan, sungguhkah kehidupan sekarang ini, di dunia ini, adalah kehidupan akhirat yang merupakan pembalasan dari kehidupan dunia sebelumnya? Jadi, telah berapa kalikah masing-masing kita mengalami kebangkitan?
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”    (QS 21:35)
Mungkin pertanyaan ini akan menjadi polemik, dikarenakan pemahaman sebelumnya, yang pada umumnya tidaklah demikian. Melainkan dikarenakan pemahaman sebelumnya yang secara umum mempercayai, bahwa kebangkitan tersebut di alam akhirat setelah alam dunia ini hancur atau kiamat. Dan menganggap tabu kebangkitan yang berulang-ulang, seperti reinkarnasi-nya ajaran umat lainnya. Apakah menjadikan penting dan merasa harus berbeda? Ataukah hanya sekedar agar tak dianggap mengikuti ajaran umat lain? Dan apakah dengan begiitu kita mau menutup mata terhadap kebenaran-Nya? Janganlah kita menjadi terjerumus kepada taqlid yang pada akhirnya kufur terhadap kebenaran yang seharusnya kita terima sebagai perwujudan ikhlasnya rasa  berserah diri (islam) kita terhadap apa-apa yang turun dari-Nya sebagai kebenaran yang hakiki.
Kembali lagi di sini, pengakuan (ego) yang merasa harus berbeda, atau merasa tidak mau disamakan dengan umat lainnya.  Perasaan congkak inilah yang sesunguhnya akan dapat menjerumuskan jiwa kita. Bukanlah hal yang sulit bagi Allah, bila Dia kuasa membangkitkan, mengapa hanya sekali saja? Sedangkan ayat diatas tersebut tegas menyatakan kebangkitan yang berulang-ulang. Jiwa akan terus menanggung beban pensucian-nya selama kekotoran atau dosa masih melekat. Apakah kita mau memakan makanan yang akan masuk ke dalam tubuh kita yang ada penyakit, ada kotoran, dan najis yang melekat padanya? Tentu kita akan sabar menunggu dengan mencuci dan memasaknya terlebih dahulu.  Hanya pada jiwa yang telah suci dari kekotoran sesungguhnya yang dapat pulang kembali bersama ruh-Nya kepada Dia Yang Maha Tunggal, ila’ihi raji’un.
Betapa banyak ayat-ayat mengenai kebangkitan yang Allah gambarkan dengan mengambil kejadian-kejadian di alam ini sebagai contoh yang nyata. Dan sesungguhnya Allah menciptakan satu alam ini untuk semua alam, baik yang dimaksudkan dengan alam dunia maupun alam kubur dan juga alam akhirat. Karena jelas, bahwa alam kubur, dimana terpisahnya ruh dan jiwa dengan jasad yang dikuburpun memakai alam ini pula, sedangkan jiwa dan ruh yang merupakan gaib atau bathin tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Buktinya, banyak jiwa-jiwa penasaran (tersesat) sebagai energi yang masih dapat ditemui di alam ini juga, memakai alam ini pula. Dan setelah dibangkitkan, apakah perlu Allah menciptakan alam lain sebagai tempat pembalasan? Apakah untuk alam pembalasan tidak dapat memakai alam ini pula? Dia-lah Allahu rabbul ‘aalamiyn.
Bila surga dan nerakanya seperti yang dibayangkan pada umumnya, mungkin saja. Akan tetapi bila telah memahami surga dan neraka adalah rasa bathin, maka tidak diperlukan lagi alam yang seperti dibayangkan pada umumnya. Cukup di alam ini. Toh, begitu banyak contoh mereka yang mengalami surga dan nerakanya masih di alam ini juga tanpa harus menunggu kematian, sebagai balasan langsungnya akibat amal perbuatan sebelumnya. Bahkan diri kita sendiri pun pasti pernah mengalaminya.
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain).......”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Ayat tersebut jelas menjelaskan neraka dan surga sebagai hari pembalasan yang termasuk di dalam alam akhirat  adalah berada di alam ini pula, yang kekal selama masih adanya langit dan bumi. Jadi cukuplah alam ini pula sebagai tempat pembalasan bagi jiwa-jiwa untuk merasakan surga dan neraka-nya, akibat amal perbuatan di kehidupan sebelumnya. Maka, penafsiran dari ketiga ayat di atas lebih mengarah kepada pengertian bahwa alam ini adalah tempat bagi kehidupan dunia maupun sekaligus sebagai tempat bagi kehidupan akhirat.
Yang jelas kehidupan sekarang ini adalah merupakan lanjutan kehidupan sebelumnya, serta amat sangat mempengaruhi pada kehidupan selanjutnya. Hari ini adalah karena hari kemarin, dan hari ini menjadi penentu hari esok. Begitu seterusnya baik dilihat ke belakang maupun dilihat ke depan, sampai pada akhirnya, kembali pulang kepada Tuhannya.
Dan kematian pun, sebagai akhir hidup, terus belanjut mengalami suatu fase penantian untuk dibangkitkan kembali menjalani kehidupan selanjutnya dengan membawa beban dosa atau nikmat pahala sebagai akibat bawaan perbuatan sebelum kematiannya. Dan itu terus berulang sebagai siklus hidup-mati (kebangkitan) sebagai pembersihan (suci) jiwa untuk mencapai kesempurnaan sejati, sebagai syarat mutlak  agar dapat kembali pulang kepada Dia Yang Maha Suci lagi Maha Tunggal.
Alam semesta (langit dan bumi) inipun mengalami kematian sebagai hari akhirnya, yaitu kiamat. Kemudian dibangkitkan (dibangun) lagi sebagai kejadian yang berulang-ulang. Seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya di bawah ini.
“(Ingatlah) pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”  (QS 21:104)
Kemudian ditegaskan lagi oleh ayat diatas, bahwa kiamat, kejadian akhir dunia atau semesta alam, ternyata juga merupakan fase peralihan menuju pembentukan kembali awal semesta alam yang baru. Begitu seterusnya sebagai siklus semesta yang amat panjang dan tak terukur waktunya. Janji Allah adalah ketetapan mutlak, yang pasti akan terjadi. Tidak ada perubahan pada ketetapan Allah.
Akan lebih melengkapi ulasan tentang hari akhir ini bila didukung pula kejadian awalnya, sehingga akan membawa kita kepada pemahaman tentang proses siklus semesta yang dimaksud di atas.
“Dan apakah orang-orang yang kafir (tertutup hati dan akalnya) tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.......” (QS 21:30)
Suatu keadaan “awal” diterangkan Allah dengan istilah suatu yang padu, dimana ini mengandung makna bahwa satu obyek yang dapat dipecah, dibelah, atau dipreteli hingga terpisah menjadi minimal dua bagian. Kata padu pun dalam ayat ini mengandung makna pula, sebagai suatu keadaan berkumpul menjadi satu (singularitas) dari sebelumnya yang terpisah atau berjarak. Karena Allah tidak memakai kata “awalnya” atau “dimulai” melainkan kata dahulunya. Sedang kata dahulunya lebih menunjukkan kepada suatu masa atau waktu sebelumnya, yang tidak hanya mengandung makna waktu awal dari segala sesuatu, maupun dimulainya segala sesuatu. Atau pula dapat bermakna, telah mengalami beberapa kali awal dan berapa kali akhir. Sehingga lebihlah tepat adalah suatu keadaan atau kondisi masa-masa awal penciptaan alam semesta, yaitu dengan memisahkan langit dan bumi. Yang bermakna unsur-unsur pembentuk langit dan bumi telah ada sebelum dipisahkan.
Setelah dipisahkannya langit dan bumi, kemudian diluaskanlah langit, dalam bahasa astrofisika, alam semesta yang terus mengalami mengembang atau memuai volume ruangnya. Sehingga kemudian dengan ketetapan-Nya, terciptalah bintang-bintang serta gugusan-gugusan yang mengelompokkannya.
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan, dan sungguh Kami benar-benar meluaskannya.”  (QS 51:47)
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, datanglah kamu berdua dengan sukahati ataupun terpaksa. Kemudian keduanya menjawab, kami datang dengan sukahati. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua hari (masa) dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”  (QS 41:11-12)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandangnya.”  (QS 15:16)
Alam semesta yang sebelumnya adalah suatu yang padu, kemudian dipisahkan oleh-Nya langit dan bumi, dan mengembangkan langit menjadi jauh lebih luas hingga terciptanya bintang-bintang (jumlahnya hingga milyaran). Hingga pada suatu waktu tertentu yang telah ditetapkan-Nya, Allah mengembalikan prosesnya seperti menggulung lembaran kertas, mempersatukan kembali (singularitas) langit dan bumi sehingga meleburlah milyaran bintang yang berada di langit, sebagai alam semesta yang menyusut. Begitulah proses kelahiran dan kematian alam semesta sebagai suatu siklus penciptaan yang akan diulangi-Nya kembali.
Tempatnya tetap satu, semesta alam ini, akan tetapi hidup-mati dan kebangkitan yang berulang-ulang sebagai siklus, sampai pada suatu waktu akhir, yang hanya Dia yang tahu kapan waktunya, yaitu hari akhir bagi alam semesta (kiamat kubra). Dimana segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi, serta yang berada diantara keduanya, kembali menyatu menjadi sebagai suatu yang padu kembali seperti diterangkan pada ayat QS 21:30 dan prosesnya seperti diterangkan pada ayat QS 21:104, manunggal kembali kepada Tuhannya, ila’ihi raji’un. Dan pada ayat itu pula diterangkan, sebagai yang akan diulangi-Nya kembali, sebagai siklus besar penciptaan alam semesta.
......... Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakannya.”  (QS 21:104)
Bila dalam masa kehidupan alam dunia, dari lahir hingga kematiannya, proses tidur dan bangun kita tak terhitung jumlahnya, maka jangan heran atau bingung, bila pda proses kematian dan dibangkitkan pun akan terjadi berulang kali karena amat panjangnya waktu berakhirnya alam semesta ini.
Dan sepanjang sejarah kehidupan manusia, telah diberitakan turun temurun akan kejadian akhir itu sebagai suatu yang harus diyakini, dengan segala macam ‘mitos-mitos’ yang mengerikan dan menyenangkan untuk hari kemudiannya, sebagai wujud balasan atas kehidupan sebelumnya. Maka jelaslah hal tersebut ikut mempengaruhi pemahaman tentang surga dan neraka. Sehingga penggambarannya memiliki banyak ragam, tetapi tetap memiliki makna yang sama, yaitu agar setiap diri dapat mencapai akhlak yang baik dan terpuji dengan mengingat adanya balasan di hari kemudian. Itu karena petunjuk dari Allah juga kepada orang-orang terdahulu, hanya mungkin lebih bervariasi akibat penyampaian dari mulut ke mulut yang telah berlangsung lama, dari masa ke masa.
Surga dan Neraka
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki (yang lain).......”  (QS 11:106-107)
“Dan adapun orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”  (QS 11:108)
Pemahaman sebelumnya, bahwa surga dan neraka adalah alam baru atau tempat baru setelah hari kiamat, dimana alam tempat pembalasan terhadap amal perbuatan semasa hidup di dunia sebelumnya, adalah pemahaman yang mengkungkung manusia pada keterbatasan harapan yang lebih memberatkannya kepada keputus asaan. Tiada bersemangat lagi menebarkan kebaikan yang merupakan rahmat dari Allah yang sesungguhnya harus ditebarkan merata kepada sesama makhluk Allah, apapun itu.
Balasan yang terbawa pada kehidupan selanjutnya tersebut, seperti uraian sebelumnya, berupa suasana rasa nikmat atau rasa sengsara yang menempel terus mengikutinya sebagai ketetapan dari-Nya. Tidak peduli apakah terlihat bagi orang lainnya mengalami hidup mewah dan megah, akan tetapi rasa bathin-nyalah yang dirasakan jiwanya, dan hanya dirinya sendirilah yang merasakannya, bukanlah orang lain. Sedangkan kemewahan serta kemegahan kehidupannya pun sebenarnya adalah balasan pula yang dibawa dari kehidupan sebelumnya, dan begitu pula pada kesengsaraannya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya.”   (QS 99:7-8)
Segala sesuatu, sekecil apapun akan dibalas Tuhannya dengan adil dan bijaksana. Itulah makna neraka dan surganya yang merupakan suasana rasa bathin. Sedangkan suasana tempat atau alam tidaklah penting, dengan segala kemewahan ataupun serba keterbatasan, tetaplah rasa bathin yang merasakan. Sekalipun segala kemewahan merupakan balasan pula, tidak menjamin bathinnya telah terbebas dari rasa kesulitan, kekurangan, kesengsaraan, maupun dosa. Karena mereka melanjutkan kehidupan tersebut masih dalam suasana  pembersihan atau penyucian  jiwa. Selama masih mengalami kehidupan di alam ini, apakah itu alam kubur dan alam akhirat sebagai pembalasan, jelas merupakan masih mengalami suasana pembersihan dari segala kekotoran dan dosa-dosa yang ada dan melekat dari amal perbuatan sebelumnya.
“ya Tuhan Kami, dan masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Ayat di atas pun menjelaskan, bahwa di surga pun tak lepas dari ancaman kejahatan, dan makin menjelaskan pentingnya peran agama untuk mengatur kehidupan di alam tersebut. Itulah makna Allah sebagai penguasa hari-hari yang dinaungi agama (aturan hidup) dan rahmat-Nya. Karena kuasa-Nya pun meliputi segala sesuatu, termasuk semesta alam ini sebagai wadah kehidupan makhluk-Nya yang didalamnya pun terdapat alam pembalasan (surga dan neraka).
Selama jiwa masih dilekati oleh kekotoran sekecil apapun, maka tetaplah dia harus melanjutkan kehidupannya untuk disucikan. Maka dia mengalami neraka sekaligus surganya dalam kehidupannya di hari kemudian. Itulah balasan dari yang Maha Adil lagi Bijaksana. Yang tidak dirugikan sekecil apapun kerugian tersebut dari seseorang, apakah itu amal perbuatan baiknya maupun amal perbuatan buruknya. Jadi surga dan neraka merupakan keaadaan atau suasana jiwa yang sedang mengalami hari-hari pembalasan dari amal perbuatan di kehidupan sebelumnya. Dan perlu diingat, pembalasan itu masih pula membawa kepada pembalasan pada kehidupan selanjutnya lagi, bila jiwa masih juga dalam kesesatannya.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”   (QS 17:72)
Begitulah kehidupan ini, hidup dan mati kemudian dibangkitkan untuk mengalami pembalasannya sebagai yang berulang-ulang selama masih adanya langit dan bumi, sebagai pula penyucian jiwanya agar dapat kembali pulang kepada-Nya. Yaitu pada berakhirnya semesta alam ini (kiamat qubra), dimana segala sesuatu, tak terkecuali mengalami peluruhan dan kembali kepada asalnya Yang Maha Tunggal. ‘ilayhi raji’un.
Akan tetapi, bagi yang telah sadar diri atau jiwanya, dan yang berusaha memurnikan amal perbuatannya, serta pula tetap menjaga kesadarannya pada dirinya yang sesungguhnya adalah kefanaan, hampa, kosong, dan dirinya bukanlah siapa-siapa bila tanpa gerak para penyampai, yaitu aparat Allah atau malaikat-Nya, maka tiada lagi dia berharap kelak mendapatkan surga dan tiada pula resah terhadap ketakutannya akan mendapatkan neraka. Mereka merasa hanya menjalankankan apa adanya sesuai dengan perintah dari dalam kalbunya yang paling dalam, yang tanpa beban, serta penuh kedamaian dan ketentraman yang sejati.
Entah bagaimana kesalah pahaman akibat kerancuan makna ini akan berlanjut sampai kapan, sehingga menyimpangkan makna dan pengertian yang seharusnya telah berkembang sejauh-jauhnya menuju kepada hikmah yang haq (sejati), akibat kerancuan makna yang berlarut-larut. Kerancuan tersebutlah yang menjadi penyumbat aliran pengembangan pikir para pencari yang takut kepada cap sesat bila hendak melancarkan alirannya kembali normal, maka yang ada, tetap yang terjadi adalah kebuntuan.
Nikmat Sejati
Inilah yang sebenarnya patut menjadi arah tujuan dari segala tujuan. Kejaran bagi orang-orang yang hendak merasakan nikmat yang sesungguhnya. Seperti yang selalu diminta dalam setiap membaca suratul Fatihah, yang paling tidak dalam setiap shalat-nya. Adalah, .... tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, dan bukan jalan mereka yang ingkar lagi berbuat kerusakan.
Tidak ada nilai yang pantas untuk dapat mencapai sebutan harga nikmat yang dimaksud. Sementara segala sesuatu selain itu adalah fana, hampa, dan kosong. Akan tetapi, jangan pula terkecoh dari setiap keinginan, sekalipun itu adalah kebaikan. Kemurnian Diri dari segala macam keinginanlah yang sesungguhnya menjadikan seseorang sempurna, karena hanya diri atau jiwa yang murni atau bersih dari keinginan dan peng-aku-an (ego) yang dapat menuju kepada-Nya yang Maha Tunggal. Yang berada dan sebagai penguasa arsy atau taman nikmat sejati.
Kita tidak akan pernah dapat merasakan nikmat sejati bila belum dapat mengenal diri kita sendiri yang akan mengarahkan pemahaman tentang realitas sejati (diulas kemudian secara ringkas pada Bagian-4 Lahir & Bathin). Pemahaman ini tidak mudah didapatkan, akan melalui proses yang panjang juga melelahkan, kecuali bila Allah menghendaki lain. Semoga kita akan dimudahkan untuk dapat menerima hikmah ini sebagai karunia yang besar dari-Nya.
 Segala macam nikmat adalah rasa, yang sesungguhnya ada dan bertempat di dalam hati atau kalbu. Hanya kalbulah yang dapat mengetahui kehadiran rasa, baik itu berupa kenikmatan ataupun sebaliknya. Akan tetapi, lebih jauh lagi ke dalam, pada kalbu yang paling dalam, maka tidak segala sesuatu pun dapat masuk, kecuali bila dengan kehendak Dia yang Maha Tunggal yang bersemayam di situ. Sehingga, kenikmatan sejati tersebut hanya bisa diraih bila telah dapat menghilangkan segala macam keinginan, maka diri menjadi jiwa yang murni dari pengakuan (ego).
“Ia (iblis) berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.”  (QS al 15:39)
....... kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur. (QS 7:16-17)
...... pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.”  (QS 38:82-83)
Bahayanya pengakuan, yang merupakan salah satu sasaran serangan iblis, salah satunya adalah kuatnya rasa memiliki apa-apa yang telah dianugerahi Allah kepadanya. Seperti, anak dan istri, harta benda berupa perhiasan,rumah tinggal, dan kendaraaan, juga ladang pekerjaan ataupun perniagaan, bahkan pengakuan kepemilikan tubuh atau jasadnya (lihat kembali uraian Malaikat Min ‘Indillahi).
Terjerumusnya diri kepada segala macam pengakuan tersebut, bahkan yang berada di jasadnya, seperti penglihatan dengan mata-ku, pendengaran dengan telinga-ku, kata-kata yang keluar dari mulut-ku, dan lain sebagainya, sungguh dapat menjerumuskan dirinya kepada perbuatan syirik. Akibatnya seperti, “coba kalau aku tidak melihat ...”, atau “coba kalau aku tidak dengar ...”, dan “kan aku sudah bilang ...”. Seolah-olah tiada peran Tuhan, dan yang ada hanya peran diri-nya saja.
“Katakanlah:  jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (QS 9:24)
Bila semua itu lebih dicintai daripada mencintai Allah, jelaslah itu adalah perbuatan syirik. Dosa besar yang tak terampuni, bila tak segera bertobat. Maka jelaslah, bahwa iblis telah menyeret kebanyakan setiap diri kemanusiaan sebegitu jauhnya dari jalan Tuhannya, kemudian menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Sungguh tidak disadari, ternyata diri ini begitu gampangnya terhanyut oleh pengakuan-pengakuan seperti itu, dan bila salah satu saja dari semua yang dimilikinya diambil atau hilang, maka goncanglah jiwa-nya, seakan-akan tidak terima. Itulah pengakuan yang ternyata sangat menjerumuskan.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
....... pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Keikhlasan pada setiap amal perbuatan yang disertai dengan melepaskan segala macam rasa keinginan atau harapan, dan menyerahkannya hanya kepada kehendak Dia, adalah cara terbaik menjaga kemurnian jiwa dari bisikan dan godaan iblis. Sehingga tanpa terasa dan mengharap, sesungguhnya kita sedang menuju Nikmat Sejati yang diridhai dan diberkati oleh Dia sebagai ar Rahman.
Maka sejatinya Nikmat Sejati adalah terbebas dari rasa keinginan, harapan, maupun cita-cita sekalipun nikmat sejati tersebut adalah terlihat dan terasa sebagai kebaikan. Nikmat Sejati yang sejati adalah ketenangan dan ketentraman bathin yang membawa jiwa dapat terkendali bahkan tanpa terganggu lagi oleh iming-iming nikmat sejati itu sendiri, kebaikan, ataupun surga. Jiwa-nya tidak lagi disibukkan oleh keinginan yang justru dapat meresahkannya sendiri.



Bab VI
MEYAKINI
KADAR BAIK dan BURUK
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan yang kafir).......” (QS 3:140)
M
engimani Kebaikan dan Keburukan adalah syarat mutlak bagi orang-orang yang beriman, dan pada pelaksanaan kehidupannya, bukan hanya sekedar beriman dan mempercayainya saja, melainkan dapat menerima-nya dengan tulus murni (ikhlas) sebagai bagian dari kehidupannya. Keimanan ini adalah keimanan dengan berprasangka baik kepada Allah, yang sesungguhnya hanya memberi nikmat dari rahmat kebaikan sebagai rahmat tunggal-Nya. Bukanlah rahmat yang buruk, kemanusiaanlah yang menilainya menjadi berpasangan. Bila tak sesuai atau berlawanan dengan keinginan dan harapannya, maka disebutlah sebagai keburukan.
Kadar baik dan buruk adalah merupakan suatu ketetapan Allah (sunathullah), yang memang selalu ada dan selalu menyertai setiap segala sesuatu yang merupakan ciptaan atau makhluk Allah. Kadar baik dan buruk, juga adalah merupakan bagian dari ketetapan Allah (sunathullah) yang terkandung dalam qudrat dan iradat-Nya kepada segala sesuatu makhluk ciptaan-Nya. Seperti siang dan malam, terang dan gelap, serta cahaya dan bayang-bayang. Dan segala sesuatu (ciptaan-Nya) tersebut tidak dapat menolaknya.
Menerima dan kemudian menjalaninya adalah mutlak bagi makhluk, dan dengan memanfaatkannya sebagai sesuatu yang berguna adalah wujud syukur atas segala rahmat-Nya tersebut. Sehingga membawanya kepada kesadaran, bahwa tiada yang buruk dari setiap ketetapan Allah. Malah membawanya kepada rasa bersyukur karena telah menerima hikmah-Nya, karena segala sesuatu yang diterimanya tersebut hanyalah rasa. Yang sesungguhnya pun adalah fana, sementara, hanya sekejapan mata, dan kemudian menjadi yang terlupakan karena telah ada lagi kesibukan lain yang perlu diurus dan harus pula segera diselesaikan.
Begitulah hidup. Sungguh hanyalah kesia-siaan, bila membawa terus menerus rasa tersebut, apakah itu kebaikan maupun keburukan, selain menjadikan beban, juga dapat menjadikan penyakit pada hati serta penyakit pada fisik. Masih banyak urusan atau pekerjaan lain yang harus diselesaikan, janganlah terpaku hanya kepada yang justru sia-sia pada akhirnya.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Baik dan buruk, serta segala sesuatu bersama pasangannya adalah karena di alam, sedangkan hal tersebut, sebenarnya adalah suatu yang mutlak ada sebagai ketetapan (sunathullah) yang tunggal, tidak berpasangan apalagi saling berlawanan. Hanya karena di alam, makhluk menganggap dan melihatnya seperti itu. Karena di alam, maka segala keterbatasan menjadi ada, itupun adalah ketetapan-Nya.
Pasangan Segala Sesuatu
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).” (QS 51:49)
Lihat, dan pikirkanlah segala sesuatu di alam ini, makhluk hidup ataupun tanaman, bermacam benda, rasa yang berupa keadaan atau suasana, serta kejadian apapun, sesungguhnya semua itu berpasangan. Membuktikan bahwa segala sesuatu selain Dia adalah makhluk ciptaan-Nya. Juga, segala sesuatu tersebut saling berinteraksi atau berketerkaitan satu sama lainnya menciptakan sistem semesta yang saling terkait dan menguntungkan, simbiosis mutualisme, yang telah ditetapkan oleh-Nya (sunathullah).
Sejauh mata memandang, dan sedalam-dalamnya berfikir, jika pada akhirnya dapat menemukan sesuatu yang tunggal, maka Dia-lah Allah. Yang patut disembah dan dipuja, karena oleh Dia-lah maka segala sesuatu yang terlihat, banyak, akbar, serta sempurna, menjadi ada dan nyata. Akan tetapi takkan mungkin Dia dapat dilihat dan ditemukan layaknya melihat dan menemukan sesuatu benda. Mustahil kemungkinan yang dicipta dapat melihat dan menemukan Sang Pencipta-nya. Hanya dengan hati yang bersih dari pengakuan (ego) maka keberadaan dan kuasa-Nya dapat dirasakan dalam bentuk rahmat-Nya yang tiada habis-habisnya terasa, apalagi terhitung.
Berpasang-pasangan adalah sifat makhluk sebagai ketetapan mutlak-Nya, juga sebagai perwujudan Akbarnya Dia di semesta alam beserta isi atau makhluk ciptaan-Nya yang begitu luasnya tak terukur dan tak terbilang.
Selain wujud nyata yang terlihat seperti makhluk, baik yang terlihat ataupun yang tak terlihat, dan benda tak hidup (anggapan sementara secara umum), baik yang nyata dan tak nyata, semuanya memiliki pasangannya. Begitu pula kepada rasa dan sifat yang dialami makhluk atau benda tersebut memiliki pasangannya pula. Sebagai makhluk, maka menilai semua pasangan yang dirasakan atau dialami bathinnya terangkum sebagai kebaikan atau keburukan. Bila kebaikan, maka diterimanya bahkan diharapkannya. Dan bila keburukan, maka ditolak atau dihindarinya.
Padahal keduanya, yaitu kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang pasti dan harus dialami sebagai ketetapan mutlak kehidupan dari yang memiliki sejatinya kehidupan yang mutlak, yaitu Dia. Dan bagi makhluk yang sebagai penerima, yang dapat atau harus menerima. Dan segala sesuatu yang diterimanya sebenarnya adalah rahmat Allahu Rahmaanur-rahiiym. Bagaimana mungkin Dia yang Maha Pemurah lagi Penyayang memberikan keburukan? Carilah hikmahnya, maka kelak diri akan bersyukur sekalipun yang sebelumnya dianggap sebagai keburukan, kemudian ternyata membawa manfaat yang merupakan kebaikan.
“Karena sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Keburukan, adalah ibarat bungkus yang menyelimuti kebaikan (rahmat Allah) yang berada didalamnya. Hanya karena berada di dalam sebagai yang tak terlihat (masih ghaib), maka diperlukan usaha mebuka bungkus yang menyelimutinya tersebut. Begitulah hati kita memahami segala sesuatu yang datang kepada diri kita, apakah sebagai yang kita nilai kebaikan atau keburukan pada awalnya, yang kelak akan diketahui hikmahnya bahwa, sesungguhnya Allah hanya memberi kebaikan, yaitu rahmat-Nya. Hanya dengan hati yang bersih dari kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego), maka cahaya Allah dapat menerangi, bahwa yang datang dan diterimanya adalah rahmat Allah, yang seluruhnya adalah kebaikan.
Layaknya malam yang berganti fajar, dan terang kemudian datang menyambutnya. Atau kelelahan sehingga merasa harus beristirahat, dan segar kembali setelah bangunnya. Atau juga kebelet, hingga harus terbirit-birit lari kebelakang untuk (maaf) buang air, dan setelahnya akan merasa lega. Adakah pada semua itu merupakan keburukan? Seperti itu pula-lah hati kita seharusnya membuka kesadarannya untuk mendapatkan hikmah terhadap apa-apa yang datang dan dinilainya sebagai keburukan, yang ternyata adalah kebaikan.
Ada sedikit contoh sebagai hikmah, sodorkanlah segala macam makanan yang enak dan nikmat kepada orang yang sedang sakit gigi sebagai suatu kebaikan. Tentu dia akan menolaknya sebagai suatu keburukan yang harus dihindarinya. Maka hikmahnya adalah, kenikmatan apapun yang merupakan kebaikan yang diberikan akan menjadi keburukan bagi bathin yang sedang kacau. Apapun menjadi serba buruk, hanya obat kacaunya yang dia butuhkan. Bathinlah yang menentukan kebaikan ataupun keburukan yang diterimanya. Dan bila diterima salah satunya, maka pasti pula akan menerima pasangannya kelak kemudian. Karena segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”  (QS 21:35)
 Kita telah dapat menerima lapar setelah kenyang, menerima malam setelah siang, bahkan, maaf, menerima ‘buang air’ setelah masuknya makanan dan minuman. Menerima itu sebagai ketetapan yang harus diterima, akan tetapi cobalah pikirkan dan renungkan bila datang pula ketetapan lain dari-Nya. Seperti, saat lapar tetapi tidak ada makanan atau uang untuk membelinya, kelaparan yang terjadi. Atau, saat tiba malam datang tetapi pas terkena giliran pemadaman listrik, merana yang terjadi. Serta, susah ‘buang air’ setelah banyak makanan yang masuk.
“Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Padahal, sekalipun ketetapan-Nya, ternyata diri kita sendirilah yang menyebabkan itu semua terjadi. Segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya. Layaknya siang dan malam, pagi dan sore, serta fajar dan petang. Cahaya dan bayang-bayang, panjang dan pendek, serta lurus dan bengkok. Begitu pula bahagia dan sedih, mudah dan sukar, serta nikmat dan sengsara. Segala sesuatunya tersebut dinilai sebagai kebaikan dan keburukan oleh makhluk. Ketetapan yang mutlak diterima makhluk, sedangkan baik-buruknya adalah penilaiannya sendiri yang justru yang dapat menjerumuskannya.
Dikatakan menjerumuskan, bila diri terhanyut dan terlena oleh kebaikan, atau menolak keburukan yang datang yang ternyata  akibat dari perbuatannya. Lupa bersyukur bila menerima kebaikan karena hanyut dan terlena pada kenikmatannya, dan akan menyebabkan datangnya pasangannya (keburukan) yang semakin besar keburukannya akibat sebelumnya diri yang hanyut dan terlena. Keburukan yang pasti datang setelah kebaikan, adalah mutlak, akan tetapi hanyut dan terlena rupanya ikut menambahkan akibat-akibat baru yang semakin memperburuk keadaan dirinya. Bila tidak diputus ‘rantai’ hanyut dan terlenanya, maka akan terus berlanjutlah keburukan-keburukan yang akan timbul.
Seperti efek domino. Sekalipun hadir sesekali kebaikan sebagai rahmat-Nya, tapi terasa tak mencukupi untuk menutupi keburukan akibat hanyut dan terlena pada masa sebelum-belumnya, sebagai akibat yang satu per satu yang harus dituai, kelak sebagai hari kemudian-nya. Diperlukan sikap tegas dan mental yang kuat untuk beralih, setelah menyadari, dan mulai mengambil jalan lurus-Nya (taubatan nassuha).
Begitupun sebaliknya, kebaikan yang pasti datang setelah keburukan. Keduanya adalah sebagai yang pasti datang dan harus diterima diri-diri kemanusiaan sebagai rahmat-Nya. Sekalipun sekaliber nabi, tetap harus menerima keduanya. Hanya mereka yang mulia dan berakhlak terpuji sajalah yang dapat rela dan ikhlas menerima keburukan seperti menerima kebaikan, dan menganggap keduanya adalah rahmat dari Tuhannya.
Sabar, Bersyukur & Hidup Menerima
“Dan, orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir”. (QS 13:22)
Kesabaran adalah suatu upaya yang mengorientasikan kebenaran dalam amal perbuatan agar tidak menimbulkan kekecewaan atau penyesalan (bagi dirinya maupun pihak lain) dibelakang hari. Kesuksesan adalah buah dari amal perbuatan yang diiringi kesabaran. Seperti yang sebelumnya telah diulas dalam uraian-uraian sebelumnya, wajah Tuhan yang dicari tersebut, ternyata dapat dicari pada perwujudan-Nya yang berupa semesta alam berikut isinya. Kesabaran mencari-Nya ternyata malah membawanya kepada memahami diri-nya sendiri, yang justru hanyalah kefanaan tanpa arti bila tanpa para aparat Allah. Kesabarannya itu pulalah yang membawanya kepada lebih menghargai kehidupan baik bagi diri-nya sendiri maupun kepada sesamanya serta makhluk-makhluk Allah lainnya. Sebagi wujud rasa bersyukurnya atas rahmat petunjuk-Nya yang membawanya kepada keselamatan hidup.
Kesabaran juga dapat menolak kejahatan seperti diterangkan ayat diatas. Dikarenakan kesabaran adalah salah satu upaya amal perbuatan yang baik, maka kebaikan itulah yang dapat menolak kejahatan untuk tidak jadi datang kepadanya.
Lihat dan perhatikanlah, manusia yang selalu menjaga amal perbuatannya tetap dalam kebaikan, tidak membuang sampah sembarangan, hutan dijaga kelestariannya, tidak membangun pemukiman pada daerah resapan air (mengurug rawa), menjaga lingkungan tetap asri dengan tidak asal menebang pohon disekitar lingkungannya, menjaga hubungan baik dengan sesama, yang kesemuanya itu pun akhirnya akan kembali kepada manusia. Ia akan merasakan nyaman dan tentram tinggal disitu, bersih dan sehat, tidak kebanjiran dikala musim hujan, tidak kegerahan disaat musim panas, tetangga sekitar pun baik dan ramah. Inilah salah satu contoh menolak kejahatan dengan kebaikan. Yaitu kesabaran dalam kebaikan yang hasilnya kembali kepadanya berupa nikmat yang sungguh untuk dapat disyukurinya. Atau dalam makna lain dari ayat tersebut adalah, mencegah kejahatan atau keburukan agar tidak datang, yaitu dengan mendahului perbuatan kebaikan.
“Karena sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Begitulah pasangan segala sesuatu tersebut sebagai yang akan datang secara bergantian. Dengan demikian, kesulitan yang sedang melanda dirinya, dihadapi dengan kesabaran sebagai wujud keberserah dirian (islam) kepada Tuhannya. Dan mereka yang telah berserah diri (islam) tentunya meyakini kemudahan yang akan datang dari Tuhannya dengan bersyukur.
Bila sabar dan bersyukur adalah dua hal yang merupakan pasangan, maka sabar-nya adalah merupakan tindakan atau upaya pertahanan terhadap keburukan yang menimpa dirinya. Sedangkan rasa bersyukur-nya adalah wujud puja-puji kepada yang memberi kekuatan (yaitu Allah) untuk dapat melewati keburukan, dan kemudian sebagai menerima lagi kebaikan setelah keburukan itu berlalu.
Akan tetapi, ternyata, kesabaran bukan saja hanya pada keburukan yang diterima, melainkan pula pada kebaikan sebagai anugerah dari-Nya. Karena anugerah kebaikan yang datang dan diterima, bila tidak disertai pengelolaan yang baik dalam kelurusan-Nya, pada akhirnya akan membawa bencana keburukan. Segala sesuatu datang dan hadir pasti bersama pasangannya.
Dan pada orang-orang yang telah memahami makna kadar baik dan buruk sebagai sesuatu yang alami (sunathullah), yaitu menghadapi keburukan seperti melalui malam sebagai sesuatu yang memang pasti dihadapi. Seperti pula, maaf, harus ‘buang air’ bila tak mau dihinggapi penyakit. Maka diri ini telah menerima hidup sebagai makhluk Allah, bahwa dia adalah hanya wadah kosong yang telah siap diisi oleh kehendak-Nya.
Adalah sifat makhluk, menerima segala sesuatunya, baik itu wujudnya yang merupakan perwujudan-Nya, hidupnya adalah hidup-Nya, penglihatannya juga merupakan penglihatan-Nya, bahkan pendengarannya adalah karena karunia dari-Nya. Dan kepada hal yang lebih kita ketahui dan sadari bahwa bukanlah diri kita yang memerintahkan, seperti kepada bertumbuh panjangnya kuku-kuku pada jari-jemari dan bertumbuh panjangnya rambut. Dan juga, perintah kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan untuk menyebarkan saripati makanan, serta memberi perintah kepada paru-paru untuk memisahkan oksigen dari gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan untuk mengubah suplay makanan tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan. Belum lagi mengenai kehidupan milyaran sel-sel tubuh yang hidup dan mati kemudian berkembang biak pula pada setiap jaringan pembentuk organ tubuh, yang menciptakan sistem kehidupan di dalam alam tubuh atau jasad diri kita, yang pula kita tidak menyadarinya.
Tiada sedikitpun peran serta diri kita terhadap semua hal tersebut. Diri hanya ikut menyaksikan dan merasakan, dan bukanlah operator-nya. Lantas mengapa ada dosa dan menanggung dosa?
Karena di alam maka keterbatasan menjadi ada, serta mengurungnya dalam kesempitan pandangan atau pemahaman, dan segala sesuatu ciptaan-Nya menjadi berpasang-pasangan, termasuk keinginan diri. Bila keinginan diri lebih cenderung kepada menyaksikan dan merasakan keburukan, maka dosalah yang dihadapinya. Dan iblispun dengan siasatnya dapat ikut berperan, mengemas keburukan agar dipandang indah sebagai kebaikan oleh diri supaya tersesat. Itulah tipu daya iblis. Pada diri seperti ini, malaikat telah berubah menjadi iblis yang membangkang perintah Tuhannya, dan tidak mau tunduk (sujud) kepada keturunan Adam (lihat dan pahami kembali uraian keimanan kepada malaikat).
Pada diri, menerima keburukan untuk mengetahui kebaikan, yang sesungguhnya adalah tujuan utama sebenarnya. Maka, menerima dosa untuk segera mengejar pahala kebaikan yang masih banyak tersebar menunggu untuk diraih, merupakan yang perlu disadarinya. Adalah hal yang tak wajar bila menyeimbangkan keburukan dengan kebaikan. Minimalkanlah keburukan sekecil mungkin, dan maksimalkan sebesar-besarnya kebaikan.
Itulah manajemen hidup pada umumnya. Seperti pedagang yang tak ingin merugi terus-menerus atau bahkan seimbang, pas-pasan, yang berarti tiada keuntungan. Seperti seorang supir yang meminimalkan terjadinya kecelakaan dengan memeriksa terlebih dahulu kendaraannya, seperti oli, aki, rem, dan lampu-lampu sebelum bekerja mengendarainya.
Segala sesuatu selalu bergerak menuju kepada kesempurnaan, yaitu kebaikan. Itulah yang sesungguhnya hidup menerima. Menerima ketetapan dan kehendak-Nya, yaitu mencapai kesempurnaan sebagai khalifah di muka bumi yang saling berbagi rahmat kepada sesama (sebagai makhluk) semesta alam.
Hanya Tuhan yang Maha Esa atau Allah yang Maha Tunggal yang hidup, dan selainnya, segala sesuatu termasuk diri kemanusiaan, yang merupakan ciptaan-Nya, yang dapat hidup karena menerima kehidupan dari Dia yang juga Maha Hidup. Dan dengan kehidupan tersebutlah, maka menyebabkan segala sesuatu menjadi memiliki arti atau nilai. Insan kemanusiaan yang menerima anugerah seluruh ke-20 (dua puluh) sifat Allah, dari wujud sampai mutakalimaan, adalah merupakan fitrah-nya sebagai ketetapan-Nya yang takkan pernah berubah.
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)
Bila pada hidup-nya saja, diri kemanusiaan hanya menerima, maka tentu apapun itu yang berada di dalam kehidupan-nya juga seharusnya dapat diterima, sekalipun adalah sebuah keburukan. Sehingga hanya yang tidak tahu diri-lah sesungguhnya yang tidak dapat atau tidak mau menerima apa-apa yang diberikan kepadanya, termasuk keburukan.
Kenalilah diri sendiri, yaitu dengan berusaha mengenal Tuhan-nya. Atau kenalilah Tuhan-nya, yaitu dengan berusaha mengenali diri-nya sendiri. Keduanya adalah cara untuk dapat menerima segala sesuatu, baik itu anugerah dan bencana, kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan, kemudahan dan kesulitan, kelebihan dan kekurangan, kekayaan dan kemiskinan, dan segala sesuatu yang lainnya yang merupakan isi dalam hidup yang pula diterima dari Tuhannya. Sehingga mencapai puncak kesadaran, bahwa sesungguhnya diri-nya lah yang tidak ada (gaib). Wujud-nya adalah karena diwujudkan, hidup-nya adalah karena dihidupkan, kekuatan-nya adalah karena diberikan kekuatan, bahkan nafas-nya pun karena diberikan, kematian-nya pun adalah karena diberikan oleh Dia sesungguhnya Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Tiada yang luput dari kuasa-Nya.
Maka keikhlasan adalah mutlak wajar sebagai perwujudan rasa menerima-nya sebagai sebuah kemurnian ibadah (amal perbuatan)-nya sebagai insan kemanusiaan yang ada dan bernilai hanya karena dan kehendak Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang. Dia-lah Allah yang memiliki dan menguasai segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi serta yang berada diantara keduanya. Tidaklah segala sesuatu tersebut yang terlepas dari pengawasan dan pemeliharaan-Nya.
Orang yang memiliki kelapangan dada untuk berserah diri (islam) tentu seharusnya memiliki pula kesabaran. Sebab, mereka yang melapangkan dadanya akan lebih membuka hatinya terhadap masuknya limpahan cahaya petunjuk dari Tuhannya.
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ”  (QS 6:125)
Siapapun diri itu, yang telah mencapai kesabaran, memiliki kelapangan dada untuk keberserahan diri (islam)-nya kepada Yang Maha Kuasa. Apapun alasan penolakan terhadap ini, sesungguhnya dia telah memiliki iman dan keyakinan-nya, hanya tinggal tahapan pencapaian kebenarannya untuk mendapatkan yang haqq yang, mungkin saja, belum tercapai. Bahkan diri-diri yang merasa telah mencapai kebenaran pun, sesungguhnya belumlah mencapai kebenaran yang haqq, hanya sedang mengarah kesana. Maka, adalah naif, bila kita telah berani menetapkan bahwa dia belum islam (berserah diri). Jadi, hanya tingkatan keikhlasannya-lah yang membedakan kedudukan seseorang di mata Tuhannya, bukan di mata manusia.
Kesabaran-lah yang sesungguhnya dapat menerima secara ikhlas bahwa diri sedang mengalami kesulitan, sedang mengalami kebangkrutan, sedang mengalami fitnah, sedang mengalami musibah. Yang kesemuanya hanyalah keadaan yang sementara sifatnya, tidak kekal dan abadi, serta akan berakhir. Seperti terangnya siang yang diakhiri oleh senja, kemudian datangnya malam yang gelap. Begitulah kehidupan yang di dalamnya begitu beragam pasangan segala sesuatu yang mengisinya, sehingga terasalah nikmatnya.
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan yang kafir).......” (QS 3:140)
Bayangkanlah bila hidup ini monoton, kita hanya menerima kemudahan atau kebahagiaan saja, apakah akan terasa nikmatnya? Bagaimana bisa kita merasa bahagia bila tak pernah mengalami kesedihan? Dan bagaimana bisa kita merasa adanya kemudahan bila tak pernah mengalami kesulitan? Adakah di alam ini yang kita temui tak bersama pasangannya? Bila kesadarannya telah melampaui ini, maka kesabaran-nya telah melebur kepada rasa syukur-nya, sehingga yang tinggal hanya puja-pujian kepada Tuhannya.
Dengan melakoni hidup menerima adalah bentuk usaha menghilangkan pengakuan (ego) yang membelenggunya, kemudian melangkah kepada mengakui segala keagungan dan kemurahan Tuhannya atas apa-apa yang telah diterimanya sebagai anugerah yang dititipkan atau diamanahkan kepadanya yang kelak perlu dipertanggung jawabkan sebagai amal perbuatan untuk bekalnya di hari kemudian.





Bab VII
DIRI yang ber-KEIMANAN
(MUKMIN)
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan (dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan kepada apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kami berserah diri (isalam) kepada-Nya.”
 (QS 2:136)
B
er-keimanan mengandung makna luas, tidak hanya selain sebagai yang percaya kepada yang diimani, yaitu Allah yang Tunggal sebagai sumber dan pencipta segala sesuatu, termasuk malaikat-malaikat yang sebagai aparat-Nya, rasul-rasul sebagai utusan-Nya, kitab-kitab sebagai petunjuk-Nya, dan hari akhir serta kadar baik dan buruk sebagai dua hal yang akan datang menemui untuk dihadapi dan diterima. Tidak hanya sekedar dipercaya, melainkan pula harus selalu menyertai niat, pikir, ucap, serta gerak dalam setiap amal perbuatan insan kemanusiaan, agar mencapai keselamatan pada saat menemui dua hal yang pasti akan hadir datang menemuinya, yaitu hari akhir dan kadar baik-buruk.
Hari akhir tidak hanya dipandang sebagai akhir atau kematian, dan kemudian tidak ada lagi kehidupan, melainkan berlanjut dengan hari kemudian dimana segala amal perbuatan sebelumnya akan dipertanggung jawabkan berikut dengan balasan sebagai buah hasil menanam di masa kehidupan sebelumnya. Keadilan-Nya ada dalam naungan ketetapan-Nya, sunathullah. Kekuasaan-Nya yang Maha bijaksana berada dalam kemurahan dan kasih sayang-Nya, rahmaanur-rahiiym. Tentu itu di alam, sehingga akbar, maka tak terhitung ketetapan-Nya, kemurahan-Nya, dan kasih sayang-Nya.
Kokohnya keimanan akan memantapkan setiap niat serta langkahnya kepada tujuannya. Menjaga dari kesalahan, perbuatan buruk, dan tersesatnya jiwa, maka kemudian Tuhannya akan selalu menunjukinya kepada keselamatan yang berupa nikmat-nikmat yang akan selalu menyertai dirinya, baik itu nikmat-nikmat kehidupan di dunia maupun nikmat-nikmat kehidupan di akhirat.
Dan yang perlu digaris bawahi, adalah dua tanda insan kemanusiaan yang telah kokoh keimanannya, yaitu, yang pertama, telah mengenal diri maka secara otomatis pula telah yakin dan mengenal Tuhan-nya beserta aparat-aparat, yaitu malaikat dan kerasulannya, yang sebelumnya gaib tidak diketahui secara nyata, kitab-kitab, hari kemudian, serta kadar baik-buruknya. Dan yang kedua, adalah telah hilangnya pengakuan dan secara otomatis menjadi mengakui. Keduanya ini berkaitan sangat erat dalam perbaikan jiwa yang pada akhirnya menciptakan akhlak yang terpuji yang keluar dari perwujudan Yang Maha Terpuji (muhammad).
Segala amal perbuatan (ibadah), di dalamnya berupa niat, pikir, ucap, dengar, serta gerak-gerak lain sebagai gerak yang disadari. Didasari dan serta disertai oleh Tuhannya, beserta aparat dan rasul-Nya, juga hari akhir dan kadar baik-buruk, sebagai yang manunggal dengan keimanan-nya, tentu akan menjaga diri (nafs)-nya dalam ketenangan yang dapat terkendali dan tidak tersesat, serta menciptakan hidup kehidupan yang sehat, bahkan menuju pada keselamatan kehidupan di dunia dan di akhirat, sebagai jalan lurus-Nya karena telah kokohnya keimanan.
Keimanan yang telah kokoh adalah juga merupakan pondasi yang mendasari jiwa setiap insan kemanusiaan dalam mengarungi hidup kehidupan ini dengan kemuliaan akhlak-nya menuju kepada keselamatan yang sejati. Yaitu selamat di dunia dan di akhirat. Dengan kokohnya keimanan pula, maka pintu-pintu yang sebelumnya tertutup, kini akan terbuka satu per satu sebagai rahmat petunjuk dari Tuhannya. Pintu-pintu apa sajakah itu?
Kelak, dengan izin serta kehendak Allah, akan terbuka sebagai pemahaman yang merupakan anugerah rahmat petunjuk dari-Nya melalui uraian-uraian selanjutnya.
Hilangnya Pengakuan (Ego)
Pengakuan, maksudnya yaitu, mengaku-ngaku apapun yang sesungguhnya adalah bukan miliknya, sekalipun yang telah dianugerahkan kepadanya. Anugerah itu hanya merupakan titipan atau amanah yang masih perlu dipertanggung jawabkan pengelolaannya, kelak. Pengakuan, yaitu aku (ego) yang menjadi lebih dominan daripada Aku (Allah) sebagai Tuhan pemilik dan penguasa apa-apa yang berada di langit dan di bumi serta yang berada diantara keduanya (Allahu rabbul ‘aalamiiyn).
Iman, dengan iman-lah setiap jiwa menjadi memiliki kekuatan-kekuatannya untuk mencapai apa-apa yang ditujunya akan diraih sesuai niat diawalnya. Iman itu pulalah yang menemani dan menjaganya dari setiap godaan atau bujukan yang dapat menyesatkannya dan menyebabkan tidak sampai kepada tujuannya.
Dengan imannya, dirinya berharap mendapatkan perlindungan dari Tuhannya agar terlepas atau terhindar dari kesulitan dalam setiap amal perbuatan yang sesungguhnya pula selalu dibayang-bayangi oleh bujuk rayu dan godaan yang dapat menjerumuskan.  Jadi, dalam amal perbuatan yang terpuji sekalipun, diperingatkan kepada dirinya untuk berlindung kepada Tuhannya dahulu agar tidak tersesat. Karena kesesatan yang dikemas iblis dengan keindahan penampakan yang dibayangkan diri (nafs)-nya, akan membawanya terjerumus.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri”. (QS 6:162-163)
Ibadah shalat, sebagai ibadah yang lima kali dalam sehari, dimana harus suci jasad, pakaian, dan tempat-nya, yaitu selain suci dari najis kekotoran yang lahir (nyata terlihat), maka harus pula suci dari najis kekotoran yang bathin, yaitu  pengakuan yang mengaku-ngaku sebagai pemilik jasad, pakaian, dan tempat. Itulah syarat sah-nya shalat.
Jasadnya yang diakui adalah sebagai milik-nya, pakaian pun diakui sebagai milik-nya yang telah dibeli dengan usahanya, serta tempat atau rumah pun diakui sebagai milik-nya yang dibeli dari hasil menabungnya selama bertahun-tahun. Sekalipun dia menyadari bahwa semua itu dia dapatkan dari rizki yang dianugerahkan Allah kepadanya, tetapi diakui kepemilikannya olehnya, sehingga apabila satu saja diantaranya hilang darinya maka diri atau jiwanya tidak dapat mengikhlaskannya. Dan tidaklah sah shalatnya bila unsur pengakuan tersebut menajiskan jasad, pakaian, dan tempat dalam shalatnya. Padahal, semua anugerah kepadanya itu merupakan titipan atau amanah yang harus dipertanggung jawabkannya kelak di hari akhir.
Itulah bahayanya pengakuan (ego) terhadap apa-apa yang sesungguhnya hanyalah titipan atau amanah yang dianugerahkan kepadanya untuk dikelola dengan baik dan benar, serta tidak untuk diakui kepemilikannya. Bahkan kepada jasad, jiwa, serta ruh yang ternyata milik Allah, tidak untuk diakui sebagai miliknya sendiri. Apalagi kepada harta benda, perhiasan, kendaraan,anak-istri, ladang pekerjaan, perniagaan, kekuasaan, dan lain sebagainya yang dianugerahkan kepadanya.
“...... Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”    (QS 38:71-72)
Tersesatnya jiwa pada setiap pengakuan tersebut diatas, akan menjadi nyata kelak, saat maut memisahkan antara jiwa-nya dan ruh-Nya dari jasad-nya. Jasad-nya terkubur dan hancur terurai kembali kepada asalnya yang dari tanah, dan ruh-Nya akan kembali pulang kepada Dia sebagai pemilik asal-nya, sedangkan bagi jiwa, yang sebelumnya tersesat, maka dia tersesat pula akibat masih penasarannya terhadap penyesatan iblis yang ternyata telah menipunya, tidak mau dan tidak rela meninggalkan apa-apa yang diakui sebagai miliknya, menjadi jiwa penasaran, gentayangan di tempat-tempat yang dahulu diakui sebagai miliknya. Di rumah tinggal-nya, di mobil atau kendaraan-nya, di tempat-nya bekerja, di pakaian-nya, atau mungkin pula di tempat-tempat yang dulu sering disinggahinya.
Dalam kisahnya, Adam As, yang telah dianugerahi kekuasaan atau kekhalifahan bahkan hingga kepada seluruh keturunannya. Dimana anugerah tersebut adalah sebagai kadar baik, akan tetapi tetap pula dibayangi dengan kelalaian berupa pengakuan yang juga merupakan keangkuhan sehingga lalai dari peringatan Tuhannya agar tidak mendekati pohon terlarang, yang menjerumuskannya keluar dari surga sebagai kadar buruk-nya. Dan Allah pun Maha Adil, maka diberikan-Nya kunci tobat sebagai pembersih-nya. Dibalik kesalahan ada kebenaran.
Bagaimana tahu kebenaran, bila tidak pernah bertemu kesalahan. Itulah pelajaran bagi orang-orang sesudahnya, termasuk kita keturunannya. Kepada anak-anak, remaja, maupun yang muda, adalah kebaikan bila diri-nya mengalami kesalahan sebagai pembelajaran di kehidupan masa yang akan datang yang lebih bertanggung jawab. Akan menjadi lain halnya, bagi mereka yang telah dikaruniai anugerah beserta pertanggung jawabannya sebagai amanah, tetapi masih saja lalai seperti di masa kanak-kanaknya. Kelalaian yang terus terbawa hingga masa tuanya sebagai sifat bawaan.
Manusia yang hanyut terbawa larut pada kehidupan dunia ini, adalah seperti anak-anak yang gemar bermain dan asyik dalam permainannya sehingga lupa akan kewajibannya seperti yang diinginkan orang tuanya untuk belajar atau mengerjakan PR sekolahnya, demi kehidupannya kelak di masa depan. Ia tak menyadari, keasyikannya dalam permainannya, telah menyia-nyiakan waktu belajarnya. Permainannya telah membuat lupa diri akan kewajiban-kewajibannya yang lebih utama daripada sebuah kesenangan palsu yang telah membuang waktunya. Di masa kanak-kanak ia telah menyia-nyiakan waktu, dan saat dewasapun ia dapat terlena oleh kehidupan dunia yang menghanyutkan. Inilah yang membuat manusia sungguh dalam kerugian.
Demi masa (waktu). Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.”  (QS 103:1-3)
Kebaikan dan keburukan adalah pasangan yang harus diterima bagi mereka sebagai pertanggung jawaban, dan sebagai hasil yang dituai dari apa yang ditananm sebelumnya, serta bagi mereka yang hendak mengkokohkan keimanan-nya kembali, demi suatu tujuan dari apa-apa yang telah diyakininya. Toh, sekuat apapun diri-nya, takkan dapat menolak hal tersebut yang sudah merupakan kodrat atau kehendak Dia sebagai Yang Maha Pencipta dan Maha Pemelihara. Segala sesuatu, tiada yang lepas dari kuasa dan pemeliharaan-Nya, sekecil dan sebesar apapun itu.
Bukan Dia tidak mengetahui akan terjadi kelalaian pada diri Adam, dan bukan pula Dia kejam mengeluarkan Adam dari surga, akan tetapi memang adalah ketetapan-Nya. Bahwa seperti itulah fitrah kemanusiaan, dibayangi kelalaian, dan merupakan ketetapan-Nya jugalah kehidupan kemanusiaan adalah di bumi sebagai sarana perwujudan segala sifat-Nya di alam.
Bagi jiwa-jiwa yang tenang terkendali manunggal bersama kehendak Tuhannya, yaitu yang tidak tersesat, maka dia akan manunggal pula dengan ruh-Nya untuk kembali pulang kepada Dia yang sebagai pemilik asalnya di tempat tunggal-Nya. Jiwa seperti inilah yang mengakui bahwa Dia-lah sesungguhnya pemilik segala sesuatu, termasuk apa-apa yang dianugerahkan kepadanya yang sesungguhnya hanyalah titipan atau amanah dari-Nya untuk dikelolanya dengan baik dan benar sesuai dengan kehendak-Nya.
Berbahagialah dia yang telah berada dalam istana sadar yang dipenuhi cahaya petunjuk yang menghindarkan jiwanya dari pengakuan (kesombongan ego) yang merupakan penyesatan bujuk rayu iblis. Kesadaran yang dilandasi oleh keimanan yang semakin kokoh menguatkan jiwanya, membentengi dada-nya melalui aparat-aparat sebagai yang diutus-Nya untuk selalu berada disekitar dan menjaga dada kemanusiaan dari bisikan, godaan, serta bujuk rayu iblis dengan berbagai macam tipuan yang menggoda dan menjerumuskan keimanan setiap diri kemanusiaan kepada kesesatan.
Hidup dengan Sehat yang Abadi
Menjaga, memelihara, serta selalu mengokohkan keimanannya agar tidak terjerumus kepada kehidupan yang sia-sia, dengan menjalani hidup dengan sehat yang dianugerahkan kepadanya sebagai titipan yang merupakan amanah yang kelak harus dipertanggung jawabkannya.
Renungkanlah, bila pola hidup sesat akibat jiwa yang tersesat, tentu akan membuat rusak pula jasad ini. Akibatnya, jelas akan mengganggu kesehatan-nya sendiri. Kesehatan adalah anugerahnya yang sungguh mahal dan bernilai tinggi, akan tetapi tidak terasa bila jasad ini sedang sehat.
Maka, rasakanlah ketika jasad ini sedang merasakan sakit, segala kenikmatan yang dirasakannya ketika sehat, tidak akan terasa nikmat. Segala petunjuk yang datang, tidak akan menjadi hikmah yang berguna, karena pikirannya sibuk dengan rasa sakitnya. Dan waktu telah terbuang selama sakitnya, begitupula biaya yang terbuang untuk berobat.
Keinginan dan kebutuhan akan materi dunia telah menyesatkan kebanyakan insan kemanusiaan dari menjaga kemurnian atau keikhlasan dalam setiap amal perbuatan yang seharusnya didasari keimanan yang murni terhadap Tuhan-nya, tidak disadari peran malaikat-Nya, peran rasul-Nya, dan tidak ingat petunjuk di kitab-Nya, serta tidak memandang jauh ke depan yaitu kepada hari akhir dan kadar baik-buruk. Sehingga amal perbuatannya hanya demi memenuhi kesenangannya belaka, tidak lagi perduli pada keselamatan di hari kemudian yang ditentukan oleh amal perbuatan saat ini.
Itulah pola kehidupan kebanyakan insan kemanusiaan saat-saat terakhir ini, petani tidak mau kotor, pedagang ingin untung besar, karyawan ingin upah besar tanpa perduli tanggung jawabnya pada perusahaannya, serta para pamong atau penguasa berusaha menumpuk harta tidak perduli pada rakyat yang diwakilinya. Dari struktur yang paling bawah hingga yang paling atas telah tidak lagi perduli pada kemurnian pengabdian. Hidup adalah pengabdian. Dan sebaik-baiknya pengabdian adalah yang murni ikhlasnya.
“.... sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Bila diselami secara mendalam, ternyata segala sesuatu ada pada rasa, rasa-lah yang membuat segala sesuatu bernilai. Baik dan buruk, susah dan senang, manis dan pahit, kaya dan miskin, semua rasa-lah yang mempengaruhi nilainya. Dan semua rasa ada dan berdiam di hati atau kalbu. Begitu pula kejernihan dan kebersihan hati yang akan sangat mempengaruhi penilaian rasa, semakin jernih atau bersih hati dari kekotoran hawa nafs keburukan maka penilaian terhadap rasa akan menjadi terang, menjadi jelas dalam menyikapinya. Keburukan yang datang diterimanya dengan ikhlas, seperti menerima datangnya malam setelah siang, karena bersama keburukan akan datang kebaikan sebagai suatu pasangannya. Dibalik kesulitan ada kemudahan, seperti bayangan yang selalu ada di belakang cahaya.
sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”. (QS 94:6)
Hati yang tenang dan mudah dikendalikan akan pula mengendalikan dengan sehat kepada jiwa dan jasad (raga). Dan sebaliknya, pada hati yang resah karena tersesat oleh kekotoran hawa nafs keduniawian, maka akan menyesatkan jiwa dan merusak jasad dengan penyakit. Adalah hati yang telah bersih dari pengakuan (kesombongan ego) akan membawa jiwa kepada ketenangan dan ketentraman sebagai nafs al mutma’innah yang terkendali.
Marilah kita, sebagai insan kemanusiaan, kembali mengokohkan keimanan serta memperbaiki masing-masing jiwa kita, yang dimulai dari diri sendiri. Dengan menyadari dan memahami betapa pentingnya pengokohan keimanan ini pada masing-masing setiap insan kemanusiaan demi keselamatan hidup di dunia dan kelak di hari kemudian. Sehingga, apabila masing-masing diri telah berusaha memperkokoh keimanannya, maka telah pula menciptakan kehidupan yang sehat secara bersama dan meluas hingga tercipta pulalah hidup bernegara yang sehat, baik dari struktur yang paling bawah sampai yang paling atas. Maka persoalan krisis moral kebangsaan yang saat ini telah diambang titik nadir, akan sedikit demi sedikit mengalami perbaikan dengan sendirinya, yang dimulai dari setiap individu warganegara. Paling tidak, demi anak cucu keturunan kita sebagai generasi penerus di masa kemudian.
Dengan begitu, kita secara bersama-sama, telah ikut menekan ongkos hidup dan kehidupan menjadi murah secara nasional, karena tertekannya angka korupsi, kolusi, nepotisme, pungli (pungutan liar), maupun premanisme yang telah membantu melonjakkan biaya hidup secara menyeluruh, dan menular hingga ke daerah-daerah terpencil.
Reformasi yang pernah terjadi hanya menyentuh bidang politik yang ternyata malah memboroskan biaya, dan tidak sanggup memperbaiki keadaan pola hidup bernegara bahkan tidak dirasakan masyarakat kelas bawah. Bukan malah memperbaiki keadaan, justru keadaan semakin parah. Korupsi semakin gila-gilaan, suap sana suap sini, saling sikut, bahkan penegakan hukum dapat diperjual-belikan. Karena sesungguhnya, yang dibutuhkan negri ini adalah reformasi moral individu per individu secara menyeluruh pada setiap warganegara. Yaitu mereformasi moral pada setiap jiwa (nafs) yang cenderung tersesat, yang menyebabkan jiwa masyarakat kita semakin tersesat jauh kepada kehidupan materialistis duniawi.
Adalah hal yang membingungkan, bagaimana biaya hidup kehidupan ini menjadi begitu mahal. Bisa saja ini dibolak-balik mana yang lebih dahulu menyebabkan mahalnya biaya hidup kehidupan. Seperti, untuk membeli bbm (bahan bakar minyak) yang semakin mahal, maka tukang ojek, bis kota, dan angkutan umum lainnya pun ikut menaikkan tarifnya. Atau harga-harga kebutuhan rumah tangga yang selalu naik. Maka masyarakat umum kebanyakan pun terpaksa mencari tambahan untuk menutupi biaya tersebut.
Tergiringlah semua kepada hidup kehidupan yang salah kaprah. Seperti oknum pegawai, pegawai negri ataupun departemen-departemen, dan pegawai swasta yang mensahkan pungutan-pungutan terselubung, sampai korupsi yang juga melibatkan para petinggi negara dan para wakil rakyat, sehingga akhirnya meluas pula kepada buruh swasta, pekerja profesional, pekerja mandiri, bahkan para pengangguran yang bekerja serabutan, dan semakin diperparah dengan maraknya premanisme yang semakin berkembang menjamur dan meresahkan serta membuat biaya kehidupan menjadi tinggi semakin tak terjangkau, karena terus naik tak pernah terpuaskan. Yang akhirnya balik kembali kepada diri masing-masing individu sebagai keluhan-keluhan, yang sesungguhnya, ternyata diri-diri kita sendirilah yang menyebabkan semua itu terjadi.
Padahal yang dikejar bukanlah uang-nya, melainkan cukupnya kebutuhan, yang ternyata tiada pernah tercukupi. Kebutuhannya terus berkembang tak pernah terpuaskan, selalu menginginkan lebih dari sebelumnya. Inilah akar masalahnya. Itulah makanya perlu kembali setiap individu menyadari pentingnya merevolusi jiwa-nya dengan kembali mengkokohkan keimanan-nya.
Usaha untuk mengingatkan akan bahayanya memuaskan kebutuhan dan keinginan pun bukanlah tak ada, malah selama sebulan dalam setiap tahunnya, diri-diri kemanusiaan sebenarnya telah dilatih, tetapi hasilnya seakan tak ada. Dengan berpuasa di bulan Ramadhan sebagai kewajiban orang yang beriman, sebenarnya adalah sebuah usaha untuk melatih jiwa agar dapat mengendalikan hawa nafsunya.
Tapi lihat dan sadarilah dengan jujur, sesungguhnya sama sekali tak mempengaruhi kejiwaan kita dalam mengekang hawa nafsu. Bukan hanya tidak menghasilkan seperti yang diinginkan dari setelah sebulan selama latihan dan penggodokan tersebut, bahkan dalam sebulan itu malah membuat gaya hidup berbelanja kita semakin berlebihan. Malah lebih besar dari bulan-bulan lainnya. Bahkan tak jarang yang menghabiskan tabungan yang dikumpulkan selama sebelas bulan bekerja, dihabiskan untuk keperluan satu bulan itu. Ramadhan sebagai bulan puasa menjadi hilang maknanya, dan lebih mengesankan sebagai bulan belanja umat muslim.
Apakah itu yang disebut dengan suasana latihan? Apakah setelah Ramadhan, saat lebaran atau hari raya Idul Fitri, kita pantas merayakan kemenangan? Kemenangan dari apa? Telah dapat mengekang dan mengalahkan hawa nafsu?
Lihat pula, betapa keadaan dan kondisi tersebut semakin lama semakin menjadi trend gaya hidup se-nasional, malah. Acara-acara di teve pun menjadi 24 jam non stop menghadirkan suasana perayaan, iklan-iklan produk berebut untuk sampai kepada pangsa terbesar yang justru sedang dilatih mengendalikan hawa nafsunya, bahkan berani mengobral hadiah-hadiah jutaan setiap harinya melalui kuis-kuisnya. Maka sadarilah, siapa sesungguhnya yang menciptakan iblis penggoda yang telah membuat kita terpeleset kepada kesesatan tersebut? Siapakah yang menyesatkan dan siapa yang tersesatkan? Tentulah diri-diri kita sendiri-lah yang bertanggung jawab atas semua itu.
Sungguh ironis, parahnya keadaan ini telah seperti benang kusut yang sangat sulit untuk mengurai dan memperbaikinya, selain mengembalikan kepada Tuhan yang Maha Tunggal dan Maha Kuasa, serta mengembalikan kesadaran setiap individu untuk pula dapat kembali memperbaiki kehidupan jiwa yang sehat, sebagai jiwa yang dapat menerima secara aklamasi, serentak, dan ikhlas untuk bersama-sama memperbaiki hidup kehidupan bersama yang sehat dan murah.
Menyadari bahwa apa yang terjadi hari ini adalah akibat dari perbuatan hari-hari sebelumnya, dan apa yang terjadi hari ini sungguh amat menentukan hari-hari kemudiannya, maka seharusnya telah cukup sebagai modal untuk mengkokohkan keimanan-nya kembali, demi memperbaiki keadaan ke depan sebagai yang kita wariskan kepada segenap keturunan kita. Melupakan segala kekelaman sebelumnya dan mengarahkan ke tujuan di depan yang lebih baik dan dapat dipertanggung jawabkan, kelak.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya. (QS 99:7-8)
Menikmati hidup yang sehat dengan bersyukur, yaitu dengan menghargai nikmat hidup dan anugerah sehat yang telah diberikan kepada-nya, adalah merupakan wujud pertanggung jawabannya dengan amal perbuatan yang menjadi rahmat pula bagi sesama di sekitarnya. Sebagai memurnikan tujuan amal perbuatannya, yaitu memulangkannya kembali segala nikmat dan anugerah kepada Dia yang sesungguhnya adalah pemilik segala sesuatu.
Hidup dan kehidupan yang sehat akan mudah membawa setiap insan kemanusiaan untuk menerima segala petunjuk dan hikmah kebijaksanaan yang mengarahkannya kepada keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Dan tubuh yang sehat adalah karena pola hidup yang sehat. Sementara pola hidup sehat ditentukan oleh jiwa yang sehat berdasarkan aturan atau jalan hidup (agama) yang lurus, diynul qayyimah. Saling berketerkaitan satu sama lainnya, tak perlu mencari yang mana lebih dulu untuk memulainya. Mulai saja sekarang salah satunya, ataupun sekaligus keduanya, karena keduanya sangat berkaitan dan menentukan satu sama lainnya.

1 komentar: