Sabtu, 18 Mei 2013

Bagian 3




BAGIAN 3
KEMBALI kepada AGAMA ALLAH
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, menegakkan shalat (mengingat Allah yang tiada putus), dan  mensucikan (apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah).
(QS 98:5)

Tidak hanya satu agama yang ada di dunia ini, belum lagi agama-agama tersebut pun terbagi-bagi kepada sekte-sekte ajaran yang lebih eksklusif lagi. Tentu ini karena perkembangan pola pikir para pemeluknya yang dinamis dari masa ke masa, atau mungkin pula karena kesamaan pikir, kesamaan nasib, kesamaan geografis asal, dan lain sebagainya. Yang jelas telah dapat diterima hati dan jiwanya, sehingga menciptakan ketenangan dan ketentraman bagi diri (jiwa)-nya.
Tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, sesungguhnya agama-agama tersebut, tentunya diturunkan hanya oleh Yang Maha Tunggal sebagai suatu ajaran tunggal yang menuju keselamatan hidup di dunia dan kelak di akhirat (hari kemudian).
Hanya saja, karena disebabkan perbedaan tempat atau wilayah, waktu atau masa, serta kaum atau umat yang memiliki adat istiadat yang berbeda, kondisi situasi masalah yang berbeda, sampai kepada geografisnya pun berbeda, maka menyebabkan pula perbedaan-perbedaan dari segi bahasa, kepentingan yang diutamakan, dan kenyamanan pada ritual keagamaannya, sehingga makin memperlebar serta semakin menjauhi perbedaan-perbedaan awalnya. Kemudian dalam perkembangannya, semakin dinamisnya pemikiran para pendeta atau ulamanya dalam menerjamahkan hukum-hukum bagi kehidupan umatnya, maka semakin memperlebar lagi perbedaan-perbedaan diantara masing-masing agama tersebut.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, orang-orang Sabi’in (sebelum agama samawi yang meyakini adanya Allah), siapa saja diantara mereka yang meyakini adanya Allah dan hari akhir, dan berbuat kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati ”. (QS 2:62)
Ayat ini jelas menegaskan bahwa nama atau sebutan agama-agama yang ada, memiliki ketunggalan ajaran, petunjuk, atau jalan lurus dari Dia (Tuhan) yang sesungguhnya sebagai sumber asalnya. Hanya karena pengakuan (ego) insan kemanusiaan yang merasa memiliki, maka eksklusivitas semakin dilebih-lebihkan dari merasa yang paling benar, yang paling lurus, dan yang paling diridhai Tuhannya, agama selain agamanya adalah adalah agama yang sesat dan menyesatkan.
Sehingga dapat menimbulkan benih-benih persaingan, kecemburuan, riya, dan kesombongan yang merupakan hasil penyesatan iblis. Sungguh ironis, tanpa disadari, ternyata diri kita telah jauh keluar dari jalan lurus-Nya. Seolah, telah sulit untuk kembali lagi. Seperti telah mendarah daging, superioritas, eksklusifitas, nasionalisme sempit, etnis, kepentingan golongan, dan kesombongan adalah sebab-sebab timbulnya perbedaan-perbedaan yang semakin membuat kemanusiaan semakin menjauhi makna ketunggalan umat, ketunggalan ajaran dan ketunggalan tujuan, sehingga semakin terjerumus pada keserakahan dan ketamakan untuk memenuhi segala keinginan dan kebutuhan hawa nafsunya. Yaitu kenyang sendiri, makmur dan kaya sendiri, hebat sendiri, berkuasa sendiri, dan lain sebagainya yang lebih menjadikannya bersifat individualistis.
Pada bagian pertama kitab ini telah diulas, bahwa karena di alam, maka kemanusiaan dalam menilai segala sesuatu rahmat Tuhannya yang sesungguhnya adalah rahmat tunggal berupa kebaikan, selalu beragam dan berbeda-beda, termasuk rahmat petunjuk agama sebagai jalan lurus menuju keselamatan bagi kemanusiaan. Sehingga menjadi timbullah berbagai macam persepsi tentang agama yang mengakibatkan timbulnya cabang-cabang bahkan ranting-ranting, disebutlah semuanya sebagai sekte-sekte atau aliran-aliran dalam agama.
Hal tersebut tidaklah lepas dari sejarah panjang perilaku dan pola penyebaran kehidupan kemanusiaan yang tersebar ke seluruh penjuru bumi. Semakin lama, maka semakin terpisahlah mereka dengan pola perilaku dan dari ajaran agama bawaan asalnya, karena berusaha beradaptasi dengan lingkungan barunya yang jelas berbeda dengan lingkungan asalnya. Perbedaan waktu, temperatur dan iklim, lingkungan geografis, makanan, dan lain sebagainya adalah sebagai yang ikut mempengaruhi bias-bias tersebut dari ajaran agama asal yang sesungguhnya adalah ajaran agama yang tunggal (sama).
Oleh sebab itulah Allah pun kembali mengutus para nabi dan rasul-Nya untuk mereka dan keadaan baru mereka bila telah menyimpang jauh dari ajaran asal-nya, dengan segala kemudahan-kemudahan sebagai penyesuaiannya. Para rasul dan nabi tersebut adalah orang-orang pilihan-Nya dari kaum mereka sendiri, dengan bahasa dan kebiasaan yang sama dengan mereka. Tidak jarang Allah mengutus beberapa orang rasul dan nabi-Nya sekaligus dalam masa atau waktu yang sama, dan tempat atau wilayah serta kaum yang berbeda, seperti nabi Ibrahim dan nabi Luth. Dan juga pada masa nabi Musa dan Syua’ib (juga Khidir). Serta waktu atau masa yang sama dengan wilayah yang sama pula, seperti nabi Musa dan nabi Harun, nabi Yahya dan nabi Isa. Yang kesemuanya mereka adalah sebagai pembawa dan penyampai ajaran agama yang tunggal (sama) dari Allah SWT.
Jika kemanusiaan menolak ketunggalan (kesamaan) ajaran agama tersebut, maka dia menolak ajaran agama dan Tuhannya sendiri. Satu kesatuan ajaran agama dari semenjak Adam AS, sebagai bapak kemanusiaan, hingga Muhammad SAW dengan membawa dan menyampaikan al Qur’an dengan bukti-bukti yang nyata sebagai penyempurna nabi (khataman nabiyyin) dan  agama Allah, maka siapapun yang mengingkarinya, sesungguhnya dia telah mengingkari akal kesadarannya sendiri. Dengan demikian, dia telah menciptakan batas antara dirinya dengan kebenaran sejati dari Tuhannya.
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan (dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan kepada apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.”  (QS 2:136)
Kisah nabi-nabi dari mulai Ibrahim AS sampai Muhammad SAW, seperti yang dikisahkan Al Qur’an, yang merupakan sejarah yang berhubungan erat kaitannya dalam memaknai bahwa ternyata agama Yahudi, Nasrani, dan Islam adalah suatu ajaran tunggal dari Tuhan Yang Maha Tunggal, yaitu berserah diri (islam).
Dimulai ketika Ibrahim berselisih dengan ayah dan kaumnya sehingga terusir dari negrinya. Beliau dan istrinya (Siti Sarah) pun kemudian harus hidup berpindah-pindah (nomaden) bersama ternak-ternaknya, hingga akhirnya sempat menetap di negri Mesir. Disanalah beliau mendapatkan karunia hadiah, sebagai permintaan maaf fir’aun yang tidak mengetahui bahwa Siti Sarah adalah istri Ibrahim, yang sempat hendak diperistri olehnya. Selain memperoleh ternak-ternak yang banyak, fir’aun pun menghadihi seorang budak wanita (Siti Hajjar), yang sebenarnya adalah putri raja yang dikalahkan fir’aun raja Mesir. Kemudian beliau pun berpindah lagi dari Mesir, dan kemudian hingga menetap di Palestina.
Sampai pada masa tuanya, Ibrahim belum pula dikaruniai anak, hingga tercetuslah keinginan Siti Sarah agar suaminya, Ibrahim menikahi Siti Hajjar, untuk mendapatkan keturunan. Inilah awal dari sejarah dua bangsa yang pada akhirnya selama ribuan tahun selalu dalam perseteruan, sampai sekarang. Yaitu bangsa Arab sebagai anak keturunan Ismail anak Ibrahim dari Siti Hajjar, dan bangsa Israel anak keturunan Yaqub (Isra’il) cucu Ibrahim dari Ishak yang merupakan garis anak keturunan dari Siti Sarah.
“..... Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, maka lepaskanlah bani Israil (pergi) bersama aku.”  (QS 7:105)
Perseteruan tersebut dimulai ketika bani Israil setelah keluar dari Mesir di bawa oleh nabi Musa AS kembali ke Palestina, tanah leluhurnya karena perintah Allah, makam Ibrahim sebagai kakek moyangnya, juga di situ. Akan tetapi tanah tersebut telah dihuni bangsa Palestina karena telah lama, ratusan tahun, ditinggal bani Israil sejak kepergian seluruh keluarga Yaqub (Isra’il) AS ke negri Mesir untuk menemui Yusuf AS, dan akhirnya menetap di sana selama ratusan tahun hingga populasi keluarga ini menjadi besar saat nabi Musa AS mengeluarkan mereka dari bumi Mesir, sehingga pantaslah mereka disebut ‘bani’ atau bangsa dari anak keturunan Isra’il (Yaqub).
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang....”  (QS 5:21)
Seandainya pada masa itu telah ada surat-menyurat bukti kepemilikan tanah, mungkin akan menjadi lain jalannya sejarah mereka. Begitulah ketetapan Allah, dan mereka pun, bani Israil, menganggap tanah Palestina tersebut sebagai tanah yang dijanjikan Tuhannya, padahal Allah hanya memerintahkan masuk dan tinggal kembali di tanah itu sebagai pendatang, bukan masuk ke negri itu, lantas mengusir penduduknya. Tanah yang telah ditinggal selama ratusan tahun, dan saat hendak pulang kembali ternyata telah dihuni oleh orang-orang lain. Belum tentu pula bila mereka, bani Israil memiliki surat-surat bukti kepemilikan tanah, tetapi karena telah meninggalkannya selama ratusan tahun, akan memudahkannya untuk mendapatkan kembali haknya.
Coba renungkan, jika kita bisa berlaku adil dan jujur dengan hati yang terbuka, maka lebih kuat mana surat bukti kepemilikan tanah dengan firman Tuhan (QS 5:21) yang menghendaki mereka kembali lagi dan tinggal di tanah tersebut? Tentu akan diterima dengan tangan terbuka jika mereka masuk dengan baik-baik sebagai pendatang.
Tentulah mereka pun menghendaki firman Tuhan tersebut menjadi kenyataan, seperti kita, umat muslim, menghendaki pergi haji sebagai panggilan dan perintah Tuhan, atau kepada perintah-perintah dan larangan-Nya yang lainnnya sebagai wujud tunduk patuh (islam) kepada-Nya. Jika kemanusiaan telah memahami ini dengan hati yang dilapangkan, dan atas nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, maka tentu akan terjadi kedamaian di tanah Palestina tersebut.
Tetapi Allah berkehendak lain, Dia sesatkan mereka yang menyukai kesesatan. Bahkan terjadi kejahatan-kejahatan pada mereka yang juga menyukai kejahatan. Dengan watak dan tabiat buruk bani Isra’il maka Allah menjalankan kehendak dan ketetapan-Nya di tanah itu, Palestina yang selalu membara dan berdarah diperebutkan oleh bangsa-bangsa keturunan Ibrahim. Hidup bersama dalam perbedaan adalah yang harus diterima setiap segala sesuatu di semesta alam ini, tanpa terkecuali, termasuk kemanusiaan.
“Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat saja, tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zhalim tidak ada seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong.”  (QS 42:8)
AGAMA YAHUDI
Bani Israil, yang pada saat mulanya adalah hanyalah terdiri dari keluarga Yaqub dengan kedua belas anaknya, yang berpindah pergi ke Mesir akibat musim kemarau yang panjang dan menimbulkan kelaparan di seluruh wilayah Afrika Utara, Semenanjung Tanah Arab hingga Syria, termasuk pula Palestina tempat keluarga Yaqub (Isra’il, sebagai nama lainnya) bermukim. Kemudian karena Yusuf telah sukses dan menjadi bendahara kerajaan Mesir, maka diboyonglah seluruh keluarganya, ayah-ibunya serta kakak-kakak dan adiknya untuk tinggal menetap di Mesir selama ratusan tahun, sampai mereka beranak-pinak memiliki keturunan yang banyak.
“Dan saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir) lalu mereka masuk ke (tempat)-nya. Maka Yusuf mengenali mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya.........”  (QS 12:58)
Di dalam Al Qur’an, kisah-kisah Ibrahim, Ismail, Ishak, Yaqub, Yusuf, Musa, Daud, Sulaiman, Zakariya, dan Yahya hingga Isa sesungguhnya berkesinambungan sebagai alur cerita yang bersejarah yang menyangkut kepada ajaran tunggal agama-agama Yahudi, Nasrani dan Islam yang merupakan dari Allah Yang Maha Tunggal. Dan kisah-kisah masa lalu yang bersejarah tersebut pun amat mempengaruhi jalannya kehidupan sekarang ini dan kedepannya, betapa telah menjadikan tragedi kemanusiaan selama ribuan tahun.
Keterikatan antar mereka, dari semenjak Yaqub sampai masa Isa, sebagai anak keturunan Yaqub amatlah kuat, karena mereka selalu disatukan. Hal ini terbukti dengan diutusnya Musa mengeluarkan mereka dari bumi Mesir ke Palestina, kemudian Musa membuat 12 sumur untuk suku-suku mereka yang berdasarkan dari keturunan dua belas anak Yaqub. Kemudian pada masa Daud yang mempersatukan mereka dalam sebuah negara atau kerajaan, sebagai bangsa yang telah memiliki pemerintahannya. Juga pada masa Isa, sekali lagi mereka telah tercerai berai, dan Isa mendapat tugas mengumpulkan mereka dengan mengangkat 12 murid atau sahabat-sahabatnya (hawariyun) sesuai berdasarkan wakil-wakil yang diambil dari 12 suku bani Isra’il (keturunan dari 12 anak Yaqub).
“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: Pukullah batu itu dengan tongkatmu. Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya.........”  (QS 2:60)
Kedua belas anak Yaqub (Isra’il) adalah dari keempat istrinya yang kemudian menjadi suku bangsa Israel. Rincian nama-nama mereka adalah :
·      Dari istri pertamanya Liah yang melahirkan :
1.         Raubin
2.         Syam’un
3.         Lawi (atau Levi, dari dialah garis keturunan Musa)
4.         Yahuza (Yahudi, dari dialah sebutan Yahudi pun menjadi lebih populer)
5.         Yassakir
6.         Zabulun
·      Dari istri keduanya Rahil (Rahel) yang melahirkan :
7.         Yusuf dan
8.         Benyamin
·      Dari istri ketiga Zilfah yang melahirkan :
9.         Jad dan
10.     Asyir
·      Dari istri keempat Bilhah yang melahirkan
11.     Dan
12.     Naftali
Namun Yaqub begitu kentara terlihat amat menyayangi Yusuf dan Benyamin yang dilahirkan dari Rahil yang cantik dan paling dicintai dari istri-istri yang lainnya, sehingga menimbulkan kecemburuan bagi kakak-kakaknya.
Tanah Palestina yang strategis secara geografis, sebagai yang disebut tidak di Timur dan tidak di Barat (QS 24:35), dan sebagai titik pertemuan tiga benua, Asia, Eropa dan Afrika. Juga secara ekonomi akibat pengaruh lima imperium besar pada masa tersebut yaitu Romawi, Persia, Mesir, Babylonia, dan China. Berdasarkan letaknya yang strategis itulah, maka wilayahnya selalu menjadi ajang perseteruan, baik dari penduduk di dalamnya sendiri maupun yang datang dari luar. Seperti, kekuasaan imperium-imperium besar dunia di masa itu,  imperium Mesir, imperium Persia, Babylonia, imperium Roma. Dan kemudian kekhalifahan Islam, disusul lagi oleh bersatunya kerajaan-kerajaan Eropa pun tertarik untuk dapat menguasai tanah di wilayah ini yang. Apalagi setelah Napoleon membangun terusan Suez yang dapat memotong jauh lebih singkat perjalanan laut dari Eropa untuk mencapai ke Asia Timur bahkan sampai ke Nusantara. Bila telah memahami kesatuan alur cerita tersebut maka kita akan melihat melalui hati kita sebuah pelajaran kehidupan yang bernilai tinggi.
Bani Isra’il amat terobsesi oleh 2 hal dari pernyataan (firman) Tuhan yang menyebutkan bahwa mereka adalah umat (bangsa) yang terpilih  (QS 2:47) dan Palestina sebagai tanah yang dijanjikan kepada mereka (QS 5:21). Dan kedua hal tersebut telah mengaburkan hal-hal lainnya dalam satu kesatuan ajaran yang disampaikan nabi-nabi dari kalangan mereka sendiri, bahkan tak segan mereka melakukan perbuatan yang dilarang Allah demi tercapainya 2 obsesi tersebut, walaupun harus melakukan persekongkolan jahat sampai kepada pembunuhan dan pembantaian. Termasuk terhadap nabi-nabi dan rasul-rasul utusan Tuhan yang mereka anggap menghalangi obsesi mereka.
“Hai bani Isra’il, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat.”  (QS 2:47)
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang....”  (QS 5:21)
Membuat karya-karya sastra (sifir-sifir), yang kemudian dipaksakan kepada kaumnya dengan mengatakan bahwa karya-karya itu adalah bagian dari firman-firman Tuhan (Taurat) yang tercecer dan sempat hilang, untuk menggalang persatuan diantara mereka. Inilah yang dicela oleh Allah, bahwa mereka telah mengubah dengan menambah-nambahkan serta mengurang-ngurangi isi kitab Allah.
Watak dan tabiat mereka tersebut amat mempengaruhi kehidupan keagamaan mereka, dan bukanlah agama yang justru membentuk watak dan tabiat mereka. Watak tabiat mereka yang kejam telah terbentuk sejak Yaqub masih hidup dan Yusuf serta Benyamin masih kanak-kanak, seperti yang dikisahkan di dalam Al Qur’an bagaimana Yusuf dibuang oleh mereka, kakak-kakaknya sendiri, dan dibiarkan nasibnya tak menentu dan dianggap telah mati.
Nasib Yusuf kanak-kanak yang tragis itu, ternyata tak seburuk perkiraan, ternyata dia ditemukan kafilah pedagang yang hendak pergi ke Mesir. Sekalipun dia diambil dan dijual sebagai budak belian di Mesir, bahkan harus masuk dan mengalami hidup di penjara selama beberapa tahun, namun karena kesabaran dan ketawakalan terhadap Tuhannnya, akhirnya diapun mencapai kemuliaan yang tinggi. Dipercaya raja Mesir untuk mengelola perbendaharaan pangan negri Mesir (semacam kepala Bulog).
Pada mulanya mereka hidup dalam kemewahan bangsawan kerajaan Mesir, karena jasa Yusuf menakwilkan mimpi raja Mesir (Fira’un) maka hanya Mesir-lah satu-satunya negri yang siap menghadapi kemarau panjang selama 7 tahun. Seperti yang dikisahkan dalam Al Qur’an.
“Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering, agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.” (QS 12:46)
“Yusuf berkata : Supaya mereka bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasanya, maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian setelah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya, kecuali sedikit (sebagai bibit) dari yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan dan di masa itu mereka memeras anggur.”  (QS 12:47-49)
Begitulah bani Isra’il ikut menikmati kemewahan hidup berkat jasa Yusuf yang tak menaruh dendam kepada saudara-saudaranya yang telah berlaku keji kepadanya.
Akan tetapi, setelah ratusan tahun lamanya, ternyata situasi politik negri itu akhirnya berubah. Rupanya raja Mesir yang memerintah saat Yusuf mengalami kemewahan adalah bagian dari rezim penjajah dari kaum Amalik Hyksos (Babylonia, sekarang Yordania tetangga Palestina). Situasi pun berubah, setelah penguasa selanjutnya yang memimpin Mesir kemudian adalah kaum pribumi Mesir yang telah berhasil mengusir penjajah mereka. Maka begitupun nasib keluarga besar Yaqub, bani Isra’il, berubah pula menjadi dibawah tekanan pribumi kemudian dijadikan bangsa budak, karena dianggap sebagai antek penjajah. Padahal mereka hanya diuntungkan, oleh situasi dan kondisi pada waktu sebelumnya sebagai warga kelas dua. Layaknya etnis keturunan Tionghoa, India dan Arab pada masa kolonial Belanda di Nusantara.
Pernah pula mereka melakukan perlawanan bawah tanah atau pemberontakan, namun selalu digagalkan. Dan karena hal tersebutlah mereka semakin ditekan dan ditindas rezim Fira’un dengan keluarnya kebijakan pembunuhan setiap bayi laki-laki bani Isra’il yang lahir untuk memutus mata rantai perlawanan mereka yang selalu menyusahkan rakyat Mesir dengan keburukan dan kejahatan watak tabiat mereka. Seperti di masa penjajahan sebelumnya, mereka sangat menguasai perekonomian dan moneter yang amat menekan pribumi, karena keserakahan dan ketamakan akan materi kehidupan dunia. Hal ini persis seperti yang mereka lakukan di Jerman dari masa sebelum Perang Dunia ke I hinggga sebelum Perang Dunia ke II, yang membuat Adolf Hitler pun merasa geram seperti geramnya Fira’un, sehingga terjadilah genosida terhadap bangsa Yahudi. Begitulah watak dan tabiat bani Isra’il tak pernah dapat berubah, walaupun ribuan tahun telah berlalu. 
Kita kembali kepada alur kisahnya. Setelah exodus oleh nabi Musa dan nabi Harun terhadap bani Israil keluar dari bumi Mesir dan dari cengkeraman Fir’aun, pernah pula mereka melakukan penghianatan terhadap perjanjian dengan Tuhannya. Yaitu, pada saat peristirahatan perjalanan mereka menuju Palestina, ketika Musa bermunajat di bukit Thursina selama 40 malam, kebiasaan lama mereka kambuh lagi dengan membuat dan menyembah berhala sembahan berupa patung anak sapi yang disepuh dengan emas. Nabi Musa pun turun dengan marah, setelah mengetahui dari Allah atas perbuatan mereka. Akibat peristiwa ini terjadilah dua kubu yang menimbulkan perseteruan berdarah, yaitu yang setia kepada Allah dan nabi-Nya melawan para penentang-Nya yang lebih menyukai penyembahan berhala, dan terjadilah perang saudara diantara mereka sendiri yang menimbulkan korban jiwa hingga ribuan nyawa melayang.
“Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang....”  (QS 5:21)
Kemudian, setelah kejadian tersebut, dan setiba mereka disekitar luar wilayah Palestina, terjadi kembali keingkaran mereka terhadap perintah Tuhannya, dan lebih menyukai hidup terkatung-katung diluar sekitar wilayah Palestina yang panas dan kering selama 40 tahun. Bahkan hingga wafatnya nabi Musa, mereka masih belum bisa masuk ke wilayah Palestina, karena takut menghadapi perlawanan, dan tak adanya keimanan terhadap perintah Tuhannya (QS 5:21).
“Mereka berkata, hai Musa, sesungguhnya di dalam negri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar daripadanya, pastilah kami akan memasukinya.”  (QS 5:22)
Bahkan mereka mengecam Musa dan Harun karena hidup terlantar di padang pasir, seperti bunyi kutipan dari sifir Khuruj 317 (yang dianggap bagian dari Taurat oleh bani Isra’il) mereka di bawah ini,
·      Alangkah baiknya kalau kami mati saja di bumi Mesir itu, karena kami dapat senantiasa akan dapat duduk di sisi periuk daging dan makan roti sehingga kenyang. Kamu berdualah yang telah mengeluarkan kami dari kemewahan kepada penderitaan, karena kamu berdua hendak membunuh bangsa kami dalam kelaparan.
·      Di sebagian padang pasir itu tidak dapat ditemukan air. Maka seluruh rakyat pun mengecam Musa dan menentang dengan berani. Mereka berkata : Mengapa kamu singkirkan kami dari bumi Mesir dengan tujuan hendak membunuh kami, anak-anak kami dan binatang ternak kami dengan kehausan.
Sepeninggal Musa, mereka benar-benar dalam kesesatan tanpa bimbingan nabi utusan Allah. Telah kita ketahui sebelumnya, dengan keberadaan nabi Musa diantara mereka yang tegas dan berwibawa saja, telah banyak dan berani melanggar perjanjian dengan Tuhannya, tentu apalagi tanpa beliau. Masa-masa setelah beliau, mereka hanya dipimpin oleh ketua-ketua yang diangkat berdasarkan suku-suku mereka.
Di dalam sifir Yusya, ishah 6, disebutkan, bahwa mereka bani Isra’il melakukan pembantaian massal terhadap penduduk kampung atau kota kecil bernama Ariha untuk mendudukinya, setelah melalui cara-cara pengintaian (spionase) oleh Yusya’ bin Nun yang diangkat mereka sebagai pengganti Musa dan tinggal bersama keluarga perempuan pelacur bernama Rahab di kampung tersebut.
Dengan peristiwa tersebut, maka penduduk di sekitar kota itu menjadi lebih berhati-hati terhadap mereka, sehingga mereka pun tak lebih menguasai kecuali hanya daerah-daerah pedalaman yang berbukit-bukit, dan belum sampai kepada tanah yang dijanjikan. Karena mereka mendapati perlawanan dan peperangan kecil yang tak kunjung padam dari kabilah-kabilah di sekitar wilayah Palestina seperti suku Moab dan sebagian kecil penduduk Madyan.
Samuel yang dianggap sebagai orang suci mereka, diminta untuk mengangkat seorang raja diantara mereka, sekalipun dikatakan kepada mereka belum waktunya bagi mereka, namun mereka tetap memaksa hendak memiliki seorang raja seperti bangsa-bangsa lain. Begitulah seperti yang disebutkan dalam sifir Samuel I, ishah 8.
Akhirnya dinobatkanlah Saul (yang disebut Talut dalam QS 2:249), yang kemudian banyak melakukan peperangan yang gagah berani. Dan adalah Daud sebagai bagian dari tentara pasukannya yang berjasa dan menjadi pahlawan dalam suatu peperangan melawan Palestina yang dipimpin Jalalabat (Jalut) yang terbunuh pada pertempuran tersebut, dalam sifir Samuel I ishah 17. Namun terjadi persaingan antara raja Saul dengan Daud, karena kecemburuannya. Akibat persaingan itu, menjadi lemahlah kekuatan kerajaan Saul, dan diambil kesempatan oleh orang-orang Palestina, sehingga Saul pun terbunuh dalam pertempuran tersebut.
Daud menjadi pemimpin dan dinobatkan menjadi raja setelah mematahkan perlawanan Ishbosheth bin Saul bersama panglima tentara ayahnya, dan setelah itu, barulah seluruh wilayah Palestina dapat mereka rebut dan duduki sebagai wilayah negrinya yang berdaulat. Padahal pemerintahan Daud dan Sulaiman dapat kuat karena diuntungkan oleh situasi dan kondisi melemahnya ketegangan antara tiga imperium besar Romawi, Mesir, dan Persia pada masa-masa tersebut. Tetapi lebih sering mereka dirugikan, karena posisi tanah tersebut yang terjepit berada di tengah-tengah ajang pertempuran ketiga imperium tersebut. Keberadaan kerajaan Yahudi (bani Isra’il) ini berlangsung sebatas setelah 2 anak Sulaiman yang saling berebut kekuasaan sehingga terpecahnya menjadi dua kerajaan kecil.
Kedaulatan bani Isra’il yang memiliki raja dan kerajaannya berlangsung tak lebih hanya seratus tahun saja. Hingga datanglah masa penjajahan imperium Persia dengan rajanya Cyrus yang menaklukkan negri Babylon, maka Palestina pun ikut sebagai wilayah yang ditaklukkannya. Pada masa ini pulalah masuknya unsur-unsur kepercayaan bangsa Persia mempengaruhi keagamaan bani Isra’il. Seperti kepercayaan tentang mesiah (al Masih atau juru selamat) yang ditunggu, yang diambil dari mitos-mitos bangsa Persia (Samaria atau Sumeria), dan dipercaya sampai kini dan terbungkus ajaran-ajaran Islam oleh sekte Syi’ah sebagai Imam Mahdi yang akan datang (bahkan sebagian umat muslim percaya sebagai yang terdapat di dalam hadits nabi).
Kemudian masuk kembali penjajahan imperium Romawi setelah menaklukkan imperium Persia, dan menguasai pula wilayah Palestina. Mereka bahkan lebih kejam dan menindas bani Isra’il, Haikal (rumah peribadatan mereka yang dibangun oleh nabi Sulaiman) dirobohkan dan diganti dengan Haikal baru yang lebih memaksakan nuansa Romawi-Yunani dengan dewa-dewanya sebagai berhala pemujaan pengganti kepercayaan bani Isra’il sebelumnya.
Keadaan ini sampai setelah kedatangan nabi Zakaria, Yahya, dan Isa, Imperium Romawi masih berkuasa untuk menduduki sebagai wilayah jajahannya. Sejak itulah bani Israil selalu bermimpi dan berharap memiliki pemimpin yang kuat yang dapat mempersatukan kaumnya sebagai mesiah (juru selamat), seperti Daud, sehingga dapat merasakan nikmatnya tinggal di atas tanahnya sendiri.
Bahkan sampai kepada setelah masa nabi Muhammad SAW, yaitu pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab ra, barulah imperium Roma dapat ditaklukkan dan terusir dari bumi Palestina, serta dikuasai sepenuhnya oleh bangsa Arab (yaitu keturunan Ibrahim dari Siti Hajar yang melahirkan Isma’il). Sekalipun mereka (bani Israil) tetap dapat tinggal di situ, sayangnya, tetap mereka  tak merasa tinggal di atas tanahnya sendiri pula. Bahkan dengan intrik-intrik mereka yang akhirnya dapat membujuk minat raja-raja eropa (kaum Nasrani) untuk merebut tanah Palestina, sebagai tanah suci umat Nasrani pula. Karena tanah tempat Yesus (nabi Isa) dilahirkan. Sejak itulah terjadi Perang Salib selama berabad-abad. Dan menimbulkan perseteruan abadi ketiga umat besar dunia, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam.
“Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka.”  (QS 23:53)
Selain sifir-sifir di dalam Taurat Musa sebagai sumber kehidupan keagamaan bagi bani Isra’il, mereka pun mensucikan sumber-sumber lainnya, seperti riwayat-riwayat atau mitos yang telah berusia ratusan hingga ribuan tahun, juga keputusan-keputusan (fatwa) ulama atau pendeta mereka yang telah menjadi kesepakatan.
Talmud, adalah riwayat masa lalu yang dikisahkan dari mulut ke mulut dan menjadi mitos sehingga mempengaruhi pola pikir keagamaan mereka, dan inipun dikeluarkan dan disyi’arkan lagi dari mulut para Hakham (orang-orang yang dianggap bijak, suci, atau para pendeta/rabbi) dari generasi ke generasi.
Pada masa sekitar tahun 150, setelah Isa Al Masih, seorang hakham bernama Judas, merasa khawatir riwayat turun temurun yang berharga di matanya tersebut hilang dan terlupakan, maka ia mengumpulkannya ke dalam kitab yang dinamakannya al Misyna (syari’at yang diulang-ulang) yang berisi penafsiran syariat Taurat Musa yang telah menjadi mitos-mitos berusia lebih dari 500 tahun. Kemudian obsesi tentang Palestina sebagai tanah yang dijanjikan dan kisah-kisah tentang penawanan Babylon sebagai tambahan-tambahan yang dimasukkan ke dalam kitab tersebut.
Keduanya ini yang tersebar luas dan terkenal di kalangan Yahudi sebagai Talmud Jerusalem dan Talmud Babylon. Dan mereka menganggap Talmud tersebut sebagai kitab yang turun dari langit, dan meletakkannya setingkat dengan Taurat. Sebagai yang diturunkan bersamaan kepada nabi Musa di Thursina, Taurat diberikan dalam bentuk tertulis, dan Talmud dalam bentuk lisan. Bahkan ada diantara mereka yang menempatkan Talmud ini lebih tinggi dari Taurat. Dan jika sesorang diantara mereka yang melanggar para Hakham akan disiksa dengan siksaan yang berat, sedangkan yang melanggar syari’at Taurat Musa dosanya masih bisa dimaafkan. Tetapi yang melanggar Talmud akan dihukum mati.
Protokol Pendeta-Pendeta Zionis, adalah bentuk-bentuk permufakatan jahat terhadap kemanusiaan yang direncanakan secara sistematis dan mendapat dukungan penuh dari seluruh kalangan Yahudi, terutama finansial dan kesetiaan penuh. Protokol-protokol ini dihasilkan dalam muktamar-muktamar yang dirahasiakan. Ini lebih kepada balas dendam dan hasrat mencapai obsesi yang dicita-citakan sejak lama oleh para pendahulu mereka, bahkan nenek moyang mereka sejak exodus dari bumi Mesir.
Sempat ada kebocoran  rahasia tersebut, yang sebagian dokumen-dokumen hasil Muktamar Bale (1897) dilarikan oleh seorang nyonya Perancis ke Rusia dan sampai kepada ketua agen rahasia Kekaisaran Rusia Timur Alex Nikola Nivieh, pada tahun 1904, kemudian akhirnya dokumen tersebut disiarkan melalui siaran radio. Dan setelah monarki Rusia mengalami keruntuhan, digantikan oleh rezim Komunis, maka menjadi masa-masa kesulitan bagi etnis Yahudi di sana sebagai yang bekerja di kamp-kamp kerja paksa dan mengalami pengasingan di Siberia. Kembali mereka mengalami seperti masa-masa dahulu di Mesir dan Babylon.
AGAMA NASRANI
“(Isa) tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya karunia (kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai bukti (kekuasaan Allah) untuk bani Israil.”
 (QS 43:59)
Dialah mesiah (al Masih) yang ditunggu-tunggu bani Isra’il sebagai juru selamat dari ketertindasan mereka selama ini (akibat penjajahan imperium Romawi), dan mengeluarkan serta mengantarkan mereka ke kerajaan Tuhan yang penuh berkah, seperti Daud yang merebut Yerusalem dan menjadikannya sebagai ibukota kerajaannya.
“Dia (Maryam) berkata: ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal tidak ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku? Dia (Allah) berfirman: demikianlah Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, jadilah! Maka jadilah sesuatu itu”. (QS 3:47)
A.       Masa Kehidupan Isa Al Masih
Terjadi kegemparan di kalangan bani Isra’il, setelah kelahiran Isa dan karena keajaiban-keajaibanya yang memukau. Ketika dalam buai-an telah dapat berbicara layaknya orang dewasa menerangkan kesucian ibunya oleh sebab ia dilahirkan tanpa bapak (kelak, Isa pun sering memakai dan lebih menyukai istilah bapak di surga yang dinisbahkan kepada Allah. Dan hal inilah yang kelak mengakibatkan timbulnya persepsi-persepsi keagamaan, diantaranya yang dikenal sebagai paham trinitas yang menimbulkan pro dan kontra). Juga di masa kanak-kanaknya sering menghilang dari ibunya dan menghadiri kebaktian-kebaktian di rumah-rumah ibadah para pendeta (rahib) dari kaum Farisi kemudian mengkritik serta mencela ajaran-ajaran mereka dengan argumen-argumennya yang memukau segenap yang hadir di situ.
“Dan ingatlah, ketika Allah berfirman: wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan rahulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan setelah dewasa.......” (QS 5:110)
Sayangnya apa yang mereka harapkan dari Isa Al Masih (sang Mesiah) malah tak sesuai dengan keinginan yang telah mereka cita-citakan sejak lama. Mesiah yang mereka tunggu-tunggu, ternyata datang membawa kritikan-kritikan terhadap kehidupan keagamaan mereka yang dianggap salah dan keluar jalur, dan harus dibenahi. Tentunya hal ini menimbulkan reaksi mereka, terutama kaum Pharesee (Farisi) dari garis keturunan Lawi (Levi), sebagai penguasa keagamaan bani Isra’il pada masa itu yang diuntungkan karena dapat menumpuk harta kekayaan yang dipungut dari sedekah, upacara-upacara keagamaan, korban persembahan-persembahan bagi tuhan berhala mereka, dan lainnya.
Sementara, hampir ia tak pernah sekalipun mencela dan mengkritik pemerintahan Romawi, kecuali hanya mengkritik mereka para pemungut cukai (pajak). Hal ini pulalah yang membuat semakin dendamnya kaum Farisi kepadanya, karena bila kepada mereka yang memungut sedekah dari umat malah dicelanya, sementara kepada pemerintah penjajah ia tak memperdulikannya kecuali hanya kepada person-person pemungut cukai (pajak) pegawai dari kalangan bani Isra’il sendiri.
Sehingga semakin jelas bagi mereka yang mencita-citakan negara Yahudi yang berdaulat tak dapat lagi menaruhkan harapannya kepada Isa (Yesus) putera Maryam sebagai sang mesiah, juru selamat bani Isra’il. Maka timbullah kembali watak tabiat buruk mereka kepada bentuk persekongkolan jahat yang hendak membunuh nabi mereka lagi, setelah sebelumnya belumlah lama berselang, mereka telah membunuh nabi Yahya, dan juga sebelumnya pula telah membunuh ayahnya, yaitu nabi Zakariya. Maka lengkaplah yang difirmankan Allah di dalam Al Qur’an, bahwa mereka adalah sebagai bangsa yang membunuh nabi-nabi utusan Allah dari kalangan mereka sendiri.
“..... dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir terhadap ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.”  (QS 12:103)
Ada sebuah kisah di dalam Injil, yang juga dimana mereka kaum Farisi berusaha menjebak Isa (Yesus) dalam suatu kesalahan yang dapat dihukum oleh kuasa penjajah Romawi, pemerintah saat itu, dapat pula sebagai pelajaran bagi umat sesudahnya. Yaitu ketika ada seorang wanita penzina yang telah ditangkap mereka bersama penduduk, kemudian Yesus (Isa) pun dihadapkan dengan permasalahan tersebut. Bila Yesus memutuskan hukum rajam yang berlaku di kalangan bani Israil seperti yang diajarkan Taurat sejak zaman Musa, maka menjadi ada kesempatan bagi mereka untuk menyeret Yesus ke mahkamah peradilan kolonial Romawi yang tak mengenal hukum rajam. Namun apa yang terjadi? Ternyata ia hanya berkata, barangsiapa yang tak pernah melakukan dosa maka berhak melempar batu kepada wanita itu. Dan tak seorang pun, termasuk para Farisi itu, yang berani melakukannya. Kemudian bebaslah wanita penzina itu dari hukuman rajam, dan bebas pula Yesus dari siasat para pendendam kepadanya.
“Dan ingatlah, ketika Allah berfirman: wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan rahulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan setelah dewasa. Dan ingatlah ketika Aku mengajarkan menulis kepadamu. (Juga) hikmah taurat dan injil. Dan ingatlah ketika engkau membentuk dari tanah berupa burung kemudian engkau meniupnya, lalu menjadi seekor burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau mengeluarkan orang mati (dari kubur dan menjadi hidup) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika Aku menghalangi bani israil (dari keinginan mereka membunuhmu) dikala engkau mengemukakan keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata: ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” (QS 5:110)
Di masa kehidupannya, al Masih sebagai yang tak menginginkan kehidupan dunia, beliau selalu berkeliling menjalani kehidupan zuhud (mengutamakan kehidupan akhirat), mengutamakan mereka yang dalam kesulitan dan kesusahan dengan penuh rasa kasih sayang, tetapi tegas terhadap mereka yang ingkar. Dia selalu diliputi penderitaan tanpa pernah mengeluhkannya, termasuk kepada Tuhannya. Sungguh sebagai contoh teladan yang tidak hanya bagi bani Isra’il, melainkan sebagai teladan bagi umat-umat yang jauh setelahnya. Maka benarlah firman Tuhan yang mengatakan, dia sebagai yang tersohor ketika dilahirkan, diwafatkan, dan ketika dibangkitkan.
“.... seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), ....” (QS 3:45)
Banyaknya mu’jizat sebagai tanda-tanda kekuasaan Tuhannya, yang melalui tangannya ditunjukkan sebagai bukti kedekatan dia dengan Tuhannya. Namun hal ini selain menjadikannya banyak pengikut yang hendak mendapatkan berkah melaluinya, namun juga menimbulkan persepsi beragam bagi mereka pengikutnya, yang apatis terhadapnya, maupun yang anti terhadapnya, bahkan hingga munculnya konsep trinitas di belakang hari jauh setelah wafatnya Isa al Masih.
B.       Masa Setelah Isa Al Masih
Setelah Yesus (Isa al Masih) tidak ada lagi, kelompok kecil para rasul (hawariyun atau sahabat Isa) dan beberapa sekte yang timbul dan mengadakan kelompok-kelompok ibadat atau kebaktian. Sesungguhnya sejak masa masih berada bersama mereka pun, telah timbul diantara mereka (Yahudi-Kristen atau Judeo-Christian) sebagai yang mempercayai ketuhanan Yesus dan yang menganggapnya sebagai mesiah atau nabi seperti nabi-nabi mereka sebelumnya, namun belumlah terbuka secara terang-terangan sebagai sekte-sekte yang memisahkan diri. Hal ini disebabkan persepsi mereka yang beraneka ragam menanggapi istilah yang dipakai Yesus (Isa) terhadap penyebutan Tuhannya dengan menggunakan kalimat bapak di surga.
 Hal inipun semakin meruncing setelah Yesus (Isa) tak bersama mereka lagi, dan setelah sekian lama dalam pelarian mereka, dimana pengikut mereka semakin bertambah banyak dan tersebar jauh dari Jerusalem sampai ke Yunani, Roma, Turki. Banyak para pemeluk agama baru tersebut dari kalangan bukan Yahudi, dan sebelumnya adalah penyembah berhala (kaum pagan). Dipelopori oleh Paulus yang mengaku didatangi Yesus (Isa), sehingga sebagian merekapun menganggapnya sebagai rasul, mengusulkan kemudahan bagi mereka para pemeluk baru dari kaum pagan agar dibebaskan dari kewajiban khitan (bersunat) dan upacara-upacara keagamaan yang berbau Yahudi.
Hal ini disebabkan karena agama Nasrani ini yang jauh lebih berkembang di luar wilayah asalnya, selain banyak dianut oleh non Yahudi, juga hendak menghilangkan unsur-unsur Yahudi dari agama baru ini. Dan timbullah bentrokan antara mereka yang pro dan kontra terhadap seruan Paulus tersebut di Antioch, Turki. Dalam hal ini, pihak yang berseberangan dengan Paulus adalah Jacques seorang kerabat Yesus pemimpin Judeo-Christianism. Dari mereka inilah Yahudi-Kristen, sebagai orang-orang yang menulis dokumen-dokumen Kristen kuno yang kelak banyak ditemukan sebagai manuskrip-manuskrip sumber yang mereka anggap otentik bagi periwayatan dan penulisan Injil Kanonik (Injil yang telah disahkan Gereja Roma). Namun dibelakang hari, menimbulkan keraguan di kalangan mereka sendiri untuk mempertahankan anggapan tersebut.
Bagaimanapun, catatan-catatan peninggalan masa lalu yang banyak tersebar dan dianggap ditulis orang-orang suci, adalah sebagai yang telah terkontaminasi kebiasaan lama orang Yahudi yang terbiasa memasukkan mitos-mitos yang berbau kepentingan dan cita-cita mereka, bahkan juga mitos-mitos dari agama atau unsur kebudayaan dimana nenek moyang mereka sempat tinggal, seperti mitos-mitos Mesir, Babylon, Persia dan Romawi.
Diantaranya ada beberapa contoh mendasar yang selama ini terkesan dipaksakan pada sebagian besar kisah-kisah yang terdapat dalam empat Injil, dan khususnya pada silsilah  keturunan sebelum Yesus yang berujung kepada Daud dan Adam, padahal Yesus (Isa) tak memiliki ayah biologis. Keganjilan-keganjilan yang membuka peluang adanya ketidak aslian pada penyusunan kitab suci mereka, atau sekedar adanya kesalahan-kesalahan yang merupakan kecerobohan dalam periwayatan oleh mereka yang sebagai pelaku saksi sejarah yang dianggap murid Yesus atau rasul. Tetapi jika menyadari banyaknya keganjilan, maka menjadi lebih pada kesan pertama yang lebih dominan. Sehingga menimbulkan persepsi, bukan hanya ketidak aslian saja yang menjadi bukti, melainkan keteledoran yang amat bodoh yang dilakukan mereka dalam penyusunan riwayat, apalagi sebagai kitab suci.
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya : ini dari Allah, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dari perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.” (QS 2:79)
Jika hal ini dipaksakan terus dan mempertahankannya, bukan tak mungkin pada suatu waktu nanti akan menjadi bumerang bagi kelembagaan gereja mereka sendiri. Seperti yang pernah terjadi di abad pertengahan, ketika lembaga gereja menolak keras penemuan Galileo Galilei, yang berdasarkan pengamatan melalui teleskopnya, tentang pergerakan bumi mengitari matahari. Kemudian lembaga Gereja Katholik Roma menghukum mati dia, karena bertentangan dengan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang menyebutkan bumi sebagai pusat alam semesta. Dan akhirnya, sungguh amat mencoreng dan menghinakan lembaga suci keagamaan mereka setelah penemuan Galileo Galilei sebagai yang tak terbantahkan lagi secara meluas, apalagi setelah ilmu antariksa dan tekhnologi alat bantu pengamatan semakin berkembang hanya dalam satu atau dua abad setelahnya.
C.       Konsep Ketuhanan
Di dalam sejarahnya, konsep ketuhanan Yesus ini berkembang pesat di Eropa pada abad ke 2 setelah penyaliban Yesus, khususnya Roma yang mengambil inisiatif konsep ini kemudian menyebarkannya ke seluruh Eropa, serta kemudian ke seluruh dunia berdasarkan kekuasaan kepausan dengan hasil konsili-konsili (ijma yang menjadi fatwa para ulama nasrani) yang menetapkan Trinitas sebagai dasar iman ketuhanan. Yang juga  membabat habis sampai ke akar-akarnya para pendeta maupun uskup-uskup yang menentang konsep ini di seluruh Eropa hingga Afrika. Bahkan sampai pada abad pertengahan, para ilmuwan dengan penemuan-penemuannya yang menambah khasanah ilmu pengetahuan pun yang bertentangan dengan fatwanya terkena hukuman penjara dan hingga hukuman mati. Seperti yang dialami oleh Galileo Galilei, ia duhukum mati karena mengumumkan hasil penelitiannya yang tidak selaras atau sesuai dengan kitab Kejadian (Genesis), yaitu di dalam kitab ini disebutkan bahwa bumi adalah pusat alam semesta., sementara ia melalui teleskopnya mendapati bahwa bumilah yang bergerak mengitari matahari.
Padahal di tempat asalnya, Yerusalem yang pada saat itu dibawah kekuasaan Roma, setelah penyaliban Isa al Masih, tidaklah demikian. Para pengikutnya lari karena dikejar-kejar dengan ancaman hukuman mati. Pengejaran ini sampai ke Eropa, yang justru malah berkembang pesat dan bahkan dijadikan agama resmi kekaisaran Roma.
Marilah kita pahami secara mendetail mengapa konsep ini dapat diterima sebagian manusia yang berada di muka bumi ini.
“(Ingatlah), ketika para malaikat berkata : wahai Maryam! Sesungguhnya Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu tentang sebuah kalimat (firman) dari-Nya (yaitu seorang putra), namanya al Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia (sewaktu) dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan dia termasuk diantara orang-orang saleh”. (QS 3:45-46)
Perhatikan dan pahami makna dari kata dan kalimat yang dicetak tebal dan menghubungkannya dengan pembahasan pemahaman sebelumnya, yaitu hakikat dari segala HAKIKAT.
Kemudian,
Dia (Maryam) berkata : ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak, padahal tidak ada seorang laki-laki pun yang menyentuhku? Dia (Allah) berfirman : demikianlah Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, jadilah! Maka jadilah sesuatu itu.”  (QS 3:47)
“Dan ingatlah, ketika Allah berfirman : wahai Isa putra Maryam ! Ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan rahulkudus .......”  (QS 5: 110)
Ini adalah firman Allah SWT di dalam al Qur’an yang kita pun harus atau wajib mengimaninya. Mengapa ini jadi penting? Ini menjadi penting sebagai petunjuk dari Allah dalam mengarahkan menuju kepada pemahaman tentang konsep ketuhanan yang benar, sesuai yang dikehendaki-Nya. Yaitu Tauhid (ke-Esa-an Tuhan).
Selanjutnya, didalam iman Kristen juga disebutkan, ..... pada mulanya ia adalah Firman, kemudian berubah menjadi anak manusia ...... Selanjutnya Allah sebagai Tuhan Bapa dan Roh Kudus yang dianggap sebagai satu kesatuan di dalam kalimat syahadat mereka menjadi dasar konsep trinitas yang wajib diimani umatnya.
Mengapa ini terjadi, dan begitu kuat mempengaruhi sebagian populasi bumi?
Ini tidak terlepas dari dari pemahaman masa lalu, yaitu pada masa-masa nabi Isa al Masih hidup,  pemakaian bahasa serta istilah-istilah yang menggunakan kata-kata dan kalimat kiasan dan analogi yang indah didengar dan memukau para pendengarnya. Seperti anak-anak tuhan, tangan tuhan, di mata tuhan, dan bahkan Yesus sendiri menggunakan  istilah bapak di surga yang dinisbahkan kepada Allah, yang dapat disalah artikan bagi orang awam tetapi kemudian malah dikemas oleh para penguasa agama sebagai pemahaman yang wajib diimani bahwa adanya Tuhan Bapak dan  Tuhan Anak. Yang juga di masa itu banyak orang yang membuat karya-karya sastra yang disukai masyarakatnya, bahkan hingga bercampur baur dengan kitab-kitab  yang berisi firman-firman Allah. Itu pulalah yang dikutuk dan disebutkan di dalam al Qur’an sebagai mereka yang suka menukar, menambahkan, dan merubah kitab Allah.
Ditambah lagi dengan mukjizat-mukjizat yang diberikan Allah kepada Isa al Masih (seperti lanjutan ayat QS al Ma’idah ayat 110 yang disebutkan di atas),
“Dan ingatlah, ketika Allah berfirman: wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan rahulkudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan setelah dewasa. Dan ingatlah ketika Aku mengajarkan menulis kepadamu. (Juga) hikmah taurat dan injil. Dan ingatlah ketika engkau membentuk dari tanah berupa burung kemudian engkau meniupnya, lalu menjadi seekor burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau mengeluarkan orang mati (dari kubur dan menjadi hidup) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika Aku menghalangi bani israil (dari keinginan mereka membunuhmu) dikala engkau mengemukakan keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata : ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” (QS 5:110)
Cermatilah tentang seorang anak manusia yang lahir tanpa bapak kemudian menganggap Allah sebagai bapaknya, yang justru kelak ketika ia menjadi seorang yang terkemuka, dan apa-apa yang dianggapnya itu, dianggap dan dibenarkan pula oleh pengikutnya. Dikarenakan dia adalah teladan yang baik untuk diikuti, dikarenakan setiap perbuatannya mengandung mukjizat-mukjizat perbuatan Tuhan, dan dikarenakan pula ia terlahir ajaib dan telah dapat berkata-kata kepada orang dewasa saat masih bayi (dalam buaian). Perbuatannya tak pernah mengandung cela bahkan mulia diantara manusia lainnya.
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman : Wahai Isa  putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah. (Isa) menjawab : Maha Suci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sunguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.” (QS 5:116)
Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka selain yang Engkau perintahkan kepadaku (untuk menyampaikannya), sembahlah Allah, Tuhan-ku dan Tuhan-mu. Dan aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada diantara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah pengawas mereka, dan Engkau Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS 5:117)
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan Jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS 5:118)
Sebagian umatnya yang percaya kepadanya, ada yang menganggapnya seorang manusia suci penyampai firman Tuhan, dan ada yang menganggapnya sebagai Tuhan yang turun ke bumi berdasarkan sifat-sifat dan perbuatan yang luar biasa  yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang manusia, akan tetapi kebanyakan pula yang anti terhadapnya akibat hasutan dan propaganda kaum Farisi yang terancam kedudukannya sebagai pemuka agama pada masa itu.
Kaum Farisi yang telah lama terlena kemewahan hidup akibat sistem yang telah terbentuk lama bahwa kaum Farisi adalah kasta suci yang dihormati bangsa Israel (Yahudi) sebagai pemegang mandat kependetaan tertinggi. Hal ini rupanya yang salah satunya menjadi kritikan Yesus (Isa al Masih) untuk dirubah dan diperbaiki sebagaimana ia mengemban amanat kerasulan-nya. Akan tetapi, mereka, dengan propaganda dan hasutannya kepada kebanyakan masyarakat termasuk pemerintah masa itu, berhasil menyeret dan menghukum mati Yesus pada proses penyaliban.
Selamilah, seolah-olah kita berada pada masa itu. Dimana pada masa itu, di Yerusalem dibawah imperium Romawi, mereka bani israil, sedang mengharapkan datangnya Mesiah (al Masih) dari keturunan David (Daud), seperti ramalan-ramalan dan nubuat-nubuat yang terdapat pada kitab-kitab mereka, sebagai raja yang kuat yang dapat mengusir penjajah.
Dia memang Mesiah yang ditunggu, tapi ternyata yang datang tidak seperti yang diharapkan sebagai pemimpin atau raja yang dapat menggalang dan membangkitkan persatuan untuk bertempur melawan penjajah Romawi Bizantium. Yang datang adalah orang yang penuh kasih, mengutamakan dan mengajarkan cinta kasih kepada sesama, bukan seorang pejuang kemerdekaan, seperti yang diharapkan kebanyakan mereka. Diantara mereka yang percaya menjadi pengikutnya, yang setengah percaya mengambil manfaat darinya, yang kecewa menjadi pengikut para penentang, dan sedangkan yang menentang yaitu para penguasa agama (kaum Farisi) berusaha melenyapkannya dengan membunuh yang pada akhirnya terjadilah kejadian penyaliban.
Mesiah (al Masih), juga yang berarti yang diurapi. Yang pada kehidupan budaya masyarakat israel adalah seremoni atau upacara penobatan seseorang dilakukan dengan pengurapan (dg minyak dari rempah-rempah) pada bagian kepala orang yang dinobatkan. Dan Isa al Masih memang mengalami upacara penobatan ini di sungai Jordan, dan yang menobatkannya adalah Johanes (nabi Yahya) anak dari Zakaria. Dan inilah sebagai awal mula upacara pembaptisan salah satu upacara spiritual umat Kristen sampai sekarang.
Isa al Masih, Mesiah, Yesus, Kristus, atau siapapun namanya adalah tetap seorang rasul Allah yang harus pula dihormati dan dijunjung tinggi namanya oleh kaum muslim sebab ia adalah manusia mulia yang telah menderita seumur hidupnya untuk kebaikan umatnya, bahkan Allah pun menyebutkan dia adalah seorang yang terkemuka di dunia dan akhirat (QS 3:45).
Kesejahteraan atas diri-nya (Isa al Masih) pada hari dia dilahirkan, pada hari dia wafat dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali.” (QS 19:15)
Yang justru mengherankan, bani isra’il atau bangsa Yahudi (sekarang Israel) justru tetap pada agamanya (Ibrani), tidak (mau) beragama Kristen, yang menyalib Yesus dan mengejar para pengikut-pengikutnya untuk dihukum mati dan membiarkan bangsa lain yang memakai agama tersebut asal bukan bangsanya, malah dipuja dan dijadikan sekutu umat Kristen dunia. Sedangkan umat Muslim yang justru menghormati dan meninggikan Isa al Masih, sekalipun tidak menganggap Tuhan, tetapi menghormati dan memuliakan-nya sebagai anak manusia yang sejahtera pada hari dia dilahirkan, pada hari dia diwafatkan dan pada hari dia dibangkitkan (QS 19:15), malah dimusuhi dan dibenci. Dan inilah yang dengan berbagai cara (terorisme, salah satunya) menganggap ini adalah provokasi dan propaganda zionisme terhadap bangsa-bangsa di Eropa dan Amerika sebagai pemegang kekuatan dunia saat ini, dikarenakan wilayah negaranya yang dikelilingi bangsa Arab yang mayoritas muslim. Dan semenjak masa sesudah nabi Yaqub (Isra’il) memang anak keturunannya ini selalu membuat onar di manapun mereka menetap untuk menumpang hidup.
DIYN AL QAYYIMAH
“..... Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agama-mu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai ke-berserah diri-an (islam) itu sebagai agama bagimu .....”
 (QS 5:3)
Renungkanlah, umat Yahudi yang memakai Taurat (Musa) dan Zabur (Daud) sebagai kitabnya. Kemudian umat Nasrani yang memakai Taurat dan Zabur (Perjanjian Lama) dan Injil (Perjanjian Baru) sebagai kitabnya. Sampai kepada umat Islam dengan Al Qur’an yang merangkum semua kitab tersebut sebagai kitabnya. Dan dimuliakannya oleh Al Qur’an nabi-nabi dari kalangan mereka bani Isra’il adalah bukti satu kesatuan ajaran tunggal dari Tuhan Yang Tunggal bagi seluruh umat
Tidak cukupkah semua itu membuktikan, bahwa sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, dari bapak yang satu, dengan ajaran yang satu dari Tuhan Yang Tunggal? Bila hanya hendak mencari siapa yang benar, maka yang paling benar hanyalah Dia Yang Maha Haqq.
“...... Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa .......”  (QS 5:8)
Bapak yang satu (Ibrahim), darah yang satu, dan ajaran (agama) Tuhan yang satu,  rupanya tidak cukup menghentikan permusuhan mereka selama ribuan tahun hingga kini. Sekalipun nabi-nabi banyak diturunkan di sana untuk memperbaiki keadaannya. Sungguh, Allah-lah Yang Maha Mengetahui dari apa-apa yang telah menjadi kehendak-Nya.
Keragaman perbedaan adalah hal yang mutlak (sunathullah) dan banyak ditemui di alam ini, dan kemanusiaan adalah bagian yang termasuk di dalamnya. Tidaklah ada siapapun yang dapat merubah apa yang telah menjadi ketetapan Allah tersebut. Dan kita sebagai umat yang datang sesudahnya dapat mengambil pelajaran yang amat berharga sebagai hikmah dari kisah-kisah yang diungkapkan oleh Al Qur’an.
“Demikian itu (adalah) diantara berita-berita yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu, padahal kamu tidak berada pada sisi mereka.......”  (QS 12:102)
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.”  (QS 12:103)
Kisah-kisah di atas, sesungguhnya dikehendaki Allah sebagai pelajaran bagi orang-orang yang datang kemudian. Di dalam kenyataannya, kisah tersebut sepertinya selalu mewarnai kehidupan kemanusiaan hingga kini. Betapa banyak contoh kasus yang sering kita dengar dari keluarga yang gontok-gontokkan, bahkan bisa saling membunuh karena memperebutkan warisan. Juga perseteruan yang sama yang dilatar belakangi karena beda ibu, walaupun satu bapak, dalam berebut harta waris. Apakah itu berupa tanah, rumah, perhiasan, kendaraan, dan lainnya. Permasalahannya pun akan dapat melebar kemana-mana. Agama pun terbawa-bawa, dan dijadikan alat pembenar bagi hawa nafsu mereka.
Manusia itu adalah umat yang satu, Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang membawa kebenaran, untuk memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah (mereka) berselisih setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki diantara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunujuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”  (QS 2:213)
Sayangnya perbedaan-perbedaan ini semakin lagi dibumbui eksklusifitas dan rivalitas untuk mencapai keunggulan atau superioritas dari sebuah, sekalipun merupakan maksud atau niat yang baik, yaitu syiar yang menyebarkan kebaikan kepada sebanyak-banyaknya insan kemanusiaan. Akan tetapi, bila dilakukan dengan cara dan usaha yang dikotori atau dipengaruhi penjerumusan iblis yang menghendaki tersesatnya sebanyak-banyaknya insan kemanusiaan, maka yang terjadi adalah perselisihan dari persaingan yang dapat berujung kepada kerusakan maupun pertumpahan darah.
Perang, terorisme berbungkus jihad, pelarangan pembangunan rumah ibadah umat agama lain, adalah contoh-contoh berperannya iblis pada perilaku insan kemanusiaan yang belum atau bahkan tidak dilandasi kekokohan keimanan yang seharusnya dapat mengawal jiwa pada ketenangan dan ketentraman, yang keluar pula sebagai amal perbuatan yang sehat dan merupakan rahmat bagi sesama insan kemanusiaan.
“Dan tidaklah terpecah belah orang-orang ahli kitab (yang diberi kitab) melainkan setelah datang kepada mereka bukti yang nyata.”  (QS 98:4)
Ahli Kitab sebagai yang menerima kitab, yang sesungguhnya adalah semua insan kemanusiaan yang dimaksud ayat ini, justru tidak diharapkan menjadi terpecah belah, apalagi dengan membuat kerusakan dan saling menumpahkan darah setelah datangnya bukti yang nyata.
Syiar, seharusnya tidak dititik beratkan kepada penyebaran atau perluasan rahmat Tuhan yang membungkus ambisi kekuasaan, seperti contohnya kristenisasi atau islamisasi yang lebih berkesan pengakuan (ego) superioritas, akan tetapi akan lebih akrab terdengar yaitu sebagai perbaikan kehidupan kemasyarakatan ke yang jauh lebih baik dan lebih sehat yang membawa kepada keselamatan, kedamaian, kesejahteraan  maupun kemakmuran hidup bersama.
Dan syiar, seharusnya pula tidak memaksa-kan, atau tidak dipaksa-kan, atau pula tidak terpaksa-kan kepada siapapun termasuk dirinya sebagai pelaku maupun sebagai objek. Karena Tuhan tidak menyukai dan tidak pula menerima segala bentuk yang memaksa, dipaksa, ataupun terpaksa, sebab itu bukanlah kemurnian atau keikhlasan. Tidak ada paksaan dalam agama Allah. Berserah diri (islam) adalah bukan keterpaksaan apalagi memaksa.
Tidak ada paksaan untuk (ber)-agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. ......”  (QS 2:256)
Tujuan utama agama yang pada dasarnya adalah membawa insan kemanusian kepada keselamatan hidup di dunia dan di akhirat (hari kemudian), tetapi malah telah diselewengkan iblis kepada kerusakan dan pertumpahan darah. Bagaimana bisa mendapat keselamatan kelak di kehidupan akhirat (hari kemudian), bila di kehidupan di dunia saja telah terjebak atau terkecoh dengan membuat kerusakan dan pertumpahan darah?
Itulah kemenangan iblis dengan membuat kesesatan menjadi dipandang indah oleh insan kemanusiaan melalui pengakuan (ego). Yang mengaku-ngaku sebagai umat yang superior, sebagai umat yang dilebihkan dari umat lainnya, dan sebagai umat yang dijanjikan Tuhannya, serta sebagai umat pilihan Tuhannya. Dengan menganggap umat selain agamanya adalah kafir dan sesat .
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir. (QS 2:34)
Menolak perintah Tuhan dan menyombongkan diri adalah pengakuan (ego) dan merupakan sifat iblis yang dibenci Allah, sehingga mengutuknya tersesat selamanya. Bagaimana mungkin kita sebagai insan kemanusiaan mengikuti langkah dan sifat iblis yang terkutuk? Dan perbuatan ini menyebabkan pelakunya masuk kategori sebagai golongan kafir.
Sadarilah, bahwa kebanyakan kita sebagai insan kemanusiaan, telah melenceng jauh dari jalan lurus yang dikehendaki Allah, Tuhan semua. Jika tidak sampai kepada perbuatan merusak dan intimidasi, maka hati kita, paling tidak, merasa yang paling benar, dengan menganggap selain agamanya adalah sesat. Yang justru dengan itu, diri kita sendiri-lah yang ternyata telah ikut masuk kedalam kesesatan akibat pandangan indah yang dibuat iblis.
“dia menjawab (setan), karena Engkau telah menghukumku tersesat, sungguh akan kutahan untuk mereka (manusia) itu dari jalan-Mu yang lurus, kemudian akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
”......... aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS 7:39)
Renungkanlah bagaimana iblis dengan usahanya dalam menjerumuskan insan kemanusiaan kepada kedzaliman dan kekafiran yang sangat dibenci Tuhannya, sekalipun atas nama agama-nya dan atas nama Tuhan-nya. Bagaimana mungkin iblis dapat masuk ke wilayah-wilayah yang seharusnya disucikan, seperti atas nama agama dan Tuhan? Yang seharusnya suci dari kesesatan iblis, dan suci pula dari perbuatan menentang Tuhannya.
“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
Bukankah saat Adam dan Hawa tergoda bujuk rayu iblis ketika berada di dalam surga, yang juga seharusnya sebagai tempat yang suci? Rupanya, perbuatan, sekalipun atas nama agama dan Tuhan serta tempat (tanah) suci, tidaklah menjamin dari tiadanya usaha penyesatan iblis untuk menjerumuskan insan kemanusiaan agar terkutuk seperti dia sebagai yang terkutuk.
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.”  (QS 38:82-83)
Menghilangkan pengakuan (ego), yaitu termasuk didalamnya keangkuhan atau kesombongan, dimana aku-nya menjadi lebih sangat dominan dalam setiap amal perbuatan, sekalipun perbuatan tersebut merupakan kebaikan dengan mengatas namakan agama dan Tuhan, padahal ternyata terselip pula ego (ambisi)-nya. 
Ke-ikhlas-an adalah memurnikan dan menyucikan segala apa yang telah dianugerahkan kepadanya (termasuk diri, atau jiwa, ataupun nafs) sebagai dari, milik, untuk, dan akan kembali kepada Allah semata. Agama bukanlah Tuhan itu sendiri sebagai yang diutamakan dan yang dituju, akan tetapi, agama adalah merupakan sarana petunjuk yang membawa kepada keselamatan kehidupan bersama yang diridhai-Nya.
Sarana dapat apa saja, yang jelas, juga membuat pula para pemakainya merasa nyaman, tentram, dan damai selama menggunakannya. Apakah pantas bila diri kita membandingkan sarana yang dipakai orang lain? Apalagi bila memaksakan untuk menggunakan sarana seperti sarana yang kita gunakan. Serperti, pakaian misalnya, tentulah kenyamanan dan kepantasannya berbeda-beda bagi setiap orang, dan bukanlah hal etis bila kita mengomentari apalagi memaksakan kehendak kita kepadanya.
Begitupun pada agama, yang sesungguhnya dapat mengarahkan kepada keselamatan, tentulah agama tersebut dapat menaungi diri pemeluknya dalam rasa nyaman, tenang, tentram dan damai. Tidak akan pernah dapat dipaksakan, sekalipun kepada keluarga terdekat kita sendiri. Kita hanya dapat memberi contoh atau teladan dalam hal itu, dan paling jauhnya hanya berharap kepada Tuhan agar keluarga dan keturunan kita mendapatkan keselamatan hidup, baik kini di dunia maupun nanti diakhirat.
Itulah keimanan yang kokoh, yang dengan memeliharanya akan dapat mengembalikan jiwa kepada agama yang benar, yaitu Diynul Qayyimaah. Jadi bukanlah agama yang buatan kita sendiri, karena prasangka dan keinginan hawa nafsu kita sendiri. Bukan agama yang menjadikan kita taqlid atau fanatik buta, serta menutup mata hati kita dari kebenaran hakiki yang universal.
“yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS 30:32)
Dengan demikian maka terbukalah hakikat segala sesuatunya. Agama-agama yang ada, dan dengan berbagai ragam perbedaan ritualnya, adalah merupakan agama yang satu. Umat-umat yang beragam bangsa dan etnis bahkan suku, adalah merupakan umat yang satu. Bahasa yang beragam pula yang merupakan perbedaan bunyi, adalah merupakan bahasa yang satu dalam makna. Kesemuanya adalah berasal dari yang satu, bapak yang satu, yaitu Adam. Dan kesemuanya bersumber dari Yang Maha Tunggal dengan perwujudan sifat-Nya yang Akbar tak terhitung. Jadi, mengapa kita masih juga dapat terjebak dengan mempermasalahkan perbedaan?
......... Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuat, Maha Perkasa”. (QS 22:40)
Itu adalah kehendak Tuhan, dan Dia telah menetapkannya seperti itu, sebagai suatu keragaman yang disebabkan perbedaan masa (waktu), perbedaan geografis, dan perbedaan karakter. Sehingga dibutuhkan penyesuaian adaptis yang sesungguhnya tidak mengurangi atau memelencengkan makna sesungguhnya sebagai petunjuk atau aturan hidup yang lurus menuju keselamatan.
Jika pada yang mengatas namakan agama dan Tuhan saja, kita diwajibkan menghindari kerusakan sampai pertumpahan darah, tentu apalagi pada hal-hal yang mengatas namakan lainnya. Dengan mengatas namakan lainnya pun merupakan perbuatan pengakuan yang juga sesat dan menyesatkan (syirik). Suatu hal yang tak sebanding, mempertaruhkan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat hanya karena mengutamakan ego sesaat tetapi akibatnya akan abadi penyesalannya.
“.... dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya, Amat berat bagi orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada-Nya orang yang kembali.” (QS 42:13)
Maka kembali kepada jalan agama, yaitu dengan ikhlas berlaku lurus, dengan ikhlas mengingat Allah yang tiada putus, serta dengan ikhlas menyucikan apa-apa yang telah dianugerahkan kepadanya, maka yang demikian itulah rukun agama yang benar dari Tuhan (QS 98:5). Lain halnya dengan rukun islam, yang bukan rukun agama, melainkan adalah rukun keberserah dirian orang-orang yang telah beriman, yang pada bab tersendiri selanjutnya akan diurai.
Lebih detailnya, agama adalah ajaran atau petunjuk kepada insan kemanusiaan agar meluruskan, mengingat, dan mensucikan dengan kemurnian atau keikhlasan pada ucap, tekad, lampah (perbuatan), janji, diri, ahli, daya, cipta, dan karsa yang kesemuanya adalah milik dan akan kembali kepada Allah. Bila ke-sembilan (sanga) sebagai yang dianugerahkan Allah kepada diri kemanusiaan itu telah mencapai lurus, ingat, dan suci sebagai perwujudan wakil (waliy) Allah di muka bumi. Maka genaplah sebutannya menjadi sebagai wali Allah, dikenal pula dengan sebutan wali sanga, sebagai sembilan sifat bagi orang yang dicintai dan mencintai Allah.
Kita akan mengulas ke-sembilan sifat tersebut pada tiga bab berikutnya.



Bab XIV
LURUS (HUNAFA)
“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama, sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama qayyimah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”,
(QS 30:30)
K
embali kepada jalan yang lurus (sirathal mustaqiim) adalah upaya perbaikan setelah menyadari telah tersesat jalan, agar tidak semakin jauh tersesat. Memposisikan kembali diri (jiwa) ini pada jalan asal yang lurus, yaitu agama. Jalan yang membawa setiap insan kemanusiaan kepada kebenaran, kebaikan, serta keselamatan. Itulah nikmat sejati dari Tuhan, dan bukan jalan mereka yang sesat serta berbuat kerusakan.
Bukan agama-agama lain yang salah dan sesat, tapi justru diri-diri (nafs) kemanusiaannya sendiri yang telah disesatkan iblis, akibat pengakuan (ego) yang merasa paling benar dan suci sendiri. Tidak menyadari, bahwa sesungguhnya dirinya hanyalah keturunan Adam, yang disempurnakan Tuhan dengan anugerah-anugerah sebagai manusia pertama, rasul pertama, khalifah pertama, serta ilmu. Bahkan malaikat-pun diperintahkan-Nya sujud (tunduk) kepadanya. Akan tetapi juga bukan berarti dia dapat terhindar dari kelalaian yang menyesatkannya melalui pengakuan (ego) akibat anugerah-anugerah tersebut.
Dengan agama-lah maka mengembalikan insan kemanusiaan untuk selalu meluruskan jalan kehidupannya yang mudah sekali terjerumus pada kesesatan yang merugikan dirinya sendiri. Sedangkan agama adalah jalan atau aturan yang telah tetap dari Tuhan yang Maha Memelihara seluruh makhluk, diturunkan dari Tuhan sebagai petunjuk yang membawa kebenaran dan keselamatan bagi kehidupan, untuk meluruskan kembali bagi mereka yang telah keluar jalur kebenaran dan keselamatan. Semua agama memberi petunjuk kepada kebenaran dan keselamatan yang sejati dari Tuhannya.
“Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS 3:101)
Tiada yang paling benar. Yang paling benar hanyalah Dia Yang Maha Benar, sedangkan hanya Dia-lah yang menurunkan agama-agama melalui kitab-kitab suci (yang telah kita bahas pada uraian keimanan) yang wajib diimani atau diyakini setiap insan kemanusiaan. Hak kemanusiaan adalah hanya menerima kehidupan dan menjalankan apa yang diperintahkan serta menghindari apa yang dilarang Tuhannya. Sedangkan hak menghukum (sesat atau tidaknya) adalah hak Allah, sebagai Tuhan yang Maha Bijaksana dan Maha Kuasa. Janganlah tergoda pada keindahan anugerah-anugerah dari Allah, karena disitu pulalah iblis mengutus setan untuk menjerumuskan kepada kesesatan.
Ingatlah segala sesuatu yang datang berupa rahmat atau anugerah dari Allah, begitu sampai di alam, sampai pada diri-diri kemanusiaan, maka akan dipandang dan dinilainya dalam dua hal. Yaitu kebaikan dan keburukan. Jangankan agama yang diturunkan-Nya yang masih memerlukan penafsiran mendalam, pada cahaya matahari saja maka kita sebagai manusia di bumi, akan menilainya sebagai terang dan gelap. Terang karena tinggal di daerah yang terkena cahaya matahari, dan bagi yang tinggal di belahan bumi yang lain, dengan saat dan waktu yang sama, yang diterimanya adalah kegelapan.
“Dan Dia menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar, dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang lamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangatlah zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS 14:33-34)
Begitu juga hujan sebagai rahmat yang diturunkan-Nya dari langit, diterima sebagai nikmat rahmat dari Tuhannya karena kebutuhannya, tetapi bagi mereka yang tak membutuhkannya dapat dirasakannya sebagai musibah atau bencana. Seperti para penjual es, misalnya. Atau mereka yang tinggal di daerah rawan banjir, tentu ketakutannya akan menyelimuti kedatangan rahmat tersebut.
Tidaklah ada sedikitpun keburukan segala yang datang sebagai rahmat anugerah Tuhan, harus disadari sebagai amanah yang masih perlu dikelola dalam nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Dan sesungguhnya, segala yang datang dari-Nya adalah merupakan rahmat kebaikan, akan tetapi kemanusiaan selalu menilainya berdasarkan keinginan dan kebutuhannya, sehingga akan dinilainya sebagai kebaikan atau keburukan. Bila tak sesuai dengan keinginan atau kebutuhannya, maka akan dinilainya sebagai keburukan, dianggapnya Tuhannya sedang menguji atau mengazabnya dengan keburukan. Akan tetapi, bila yang diterimanya sesuai dengan keinginan atau kebutuhannya, maka dianggapnyalah sebagai kebaikan, bahwa Tuhan memberi karunia dan anugerah kepadanya. Begitulah diri-diri kemanusiaan yang lebih cenderung memaksakan apa-apa yang dianggapnya benar, bahkan kepada apapun yang datang kepada dirinya sendiri, yang sesungguhnya, semuanya adalah rahmat kebaikan dari Tuhannya.
Kita akan merasa pas dan benar bila apa yang kita pakai atau gunakan terasa nyaman, tenang, serta tentram. Seperti pada pakaian yang kita pakai. Bayangkanlah, andai kita memaksakan pakaian tersebut untuk dipakai pula kepada orang lain, sekalipun dengan harapan orang tersebut dapat merasakan kenyamanan, ketenangan dan ketentraman yang sama dengan kita. Bila tetap dipaksakan, maka kita telah tiada perduli lagi akan kepantasan (pas) dan kebenaran (haqq) terhadap dan bagi orang lain.
Menyadari kepantasan (pas) dan kebenaran (haqq) adalah sebagai hal yang relatif bagi masing-masing individu yang mutlak dan azasi sebagai hak dasar kemanusiaan. Bila tanpa memandang lagi norma-norma kepantasan dan kebenaran, maka akan terjadi ketidak seimbangan atau pun kerusakan bila hal ini sebagai yang tetap dipaksakan. Relativitas yang hendak diseragamkan adalah hanya akan menyebabkan kesia-siaan belaka. Bukan kebaikan yang akan didapatkan, malah kerusakan yang ada.
Berlaku lurus sebagai perwujudan akhlak mulia yang keluar dari dalam diri berupa kesucian dan kebenaran sejati yang telah ditanamkan Tuhannya sebagai anugerah kepadanya serta keluar sebagai pengembalian yang baik kepada Tuhannya, dalam bentuk rahmat bagi sesama insan kemanusiaannya serta makhluk lain di sekitarnya. Agama telah lurus, justru hanya kepada setiap insan kemanusiaannya-lah diharapkan kembali meluruskan amal perbuatannya sesuai jalan lurus yang terdapat serta terpapar jelas di dalam petunjuk-petunjuk setiap keagamaan, yaitu meluruskan segala ucap-nya, meluruskan niat (tekad)-nya, juga meluruskan lampah (amal perbuatan)-nya. Lurus sesuai dengan jalan lurus yang telah ditetapkan dalam norma-norma agama, masyarakat (adat), hukum negara, bahkan hak azasi kemanusiaan, agar memperoleh keselamatan hidup baik kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.
Meluruskan Ucap
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” 
(QS 61:2-3)
Ucap yang keluar dari mulut adalah sebagai cerminan apa yang ada di dalam dada. Menjaganya agar yang keluar tidak dikotori oleh kesesatan yang dapat merusak yang mendengarnya. Dengan mensucikan yang berada di dalam dada maka juga akan mesyucikan pula yang akan keluar dari mulut. Ucap ini melibatkan banyak para malaikat (lihat kembali pembahasan iman kepada malaikat), yang merupakan energi suara atau bunyi yang dihasilkan dari energi-energi lainnya. Di dalam tubuh dari mulai energi makanan yang masuk sebagai konsumsi, kemudian dirubah menjadi banyak energi, seperti energi panas, energi gerak, energi listrik statis (dalam berpikir), energi suara atau bunyi dan lain sebagainya. Energi-energi tersebut tidaklah akan musnah, melainkan hanya berubah bentuk.
 Ucap sebagai kata-kata, ucap sebagai pembicaraan, ucap sebagai berita, ucap sebagai janji, ucap sebagai penghibur, dan ucap sebagai perintah. Ucap-ucap tersebutlah yang perlu diluruskan karena bersinggungan langsung dengan sesama insan kemanusiaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Ungkapan seperti, lidah setajam pedang dan mulut-mu adalah harimau-mu, merujuk kepada betapa berbahayanya ucap yang tak terjaga.
Ungkapan bahwa fitnah adalah perbuatan yang lebih kejam dari pembunuhan. Yang sebenarnya adalah pembunuhan terhadap karakter diri seseorang, melalui ucap yang tak terjaga, tanpa dasar, dan tak dapat dipertanggung jawabkan. Ini adalah perbuatan yang amat tercela, pengecut, dan hina. Dunia politik tidak akan pernah terlepas dari perbuatan ini. Kejam tanpa rasa belas kasih. Tiada kawan sejati, yang ada hanya kepentingan sejati. Ungkapan tersebut adalah kemunafikan sejati. Tetapi mengapa banyak diri yang tak menghindarinya, bahkan berani berkecimpung di dalamnya dengan tetap mengatas namakan kepentingan rakyat banyak.
Ucap diobral seperti semakin tak ada harganya. Kepentingan yang utama, janji tinggal bagaimana nanti saja. Seakan tiada lagi rasa malu bila tak dapat menepatinya, demi sebuah keinginan ataupun ambisi. Seperti jabatan atau kekuasaan sementara. Seolah-olah, kelak, jabatan atau kekuasaan tersebut tiada akan diminta pertanggung jawabannya. Ini karena penyesatan iblis yang membuat jabatan atau kekuasaan tersebut sebagai yang elite, prestise, dan bergengsi tinggi. Tidak lagi merupakan amanah. Jabatan seperti lambang kemuliaan tertinggi, yang dikejar-kejar seperti layaknya bisa dibeli. Padahal, jabatan yang dibeli kelak akan menjerumuskan diri-nya. Tidak dipahaminya, bahwa jabatannya tersebut adalah anugerah yang juga harus dipertanggung jawabkan.
Kemudian seperti iklan produk konsumtif, banyak hal yang dilebih-lebihkan agar produknya laku. Bahkan menggunakan ustad dan da’i-da’i kondang sebagai bintang iklannya, tidak lagi memikirkan efek negatif bagi kehidupan sosial umat yang semakin konsumtif, dan belum lagi buat produk yang dari segi kesehatan amat meragukan. Kedua hal tersebut, baik ambisi kepada jabatan dan ambisi kepada keuntungan dari produk iklan, tidak lagi memandang baik-buruknya pesan yang disampaikan sebagai kebohongan kepada publik. Bahkan hal ini lebih dilegalkan lagi dengan berdirinya lembaga pendidikan ataupun kursus-kursus yang berhubungan dengan komunikasi massa yang tidak lagi mengedapankan aspek kebenaran dan kejujuran sebagai norma yang harus dijunjung tinggi, melainkan target yang dikejar.
Itulah yang sekarang dikejar banyak diri kemanusiaan, berani dengan mengeluarkan biaya berapapun, tanpa berpikir resikonya kelak di kemudian hari. Tanpa menyadari, bahwa amanah besar tentu memiliki resiko konsekuensi yang besar pula sebagai pertanggung jawabannya.
“Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba (tamak) kepada kehidupan (di dunia), bahkan lebih (loba atau tamak lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS 2:96)
Bagaimana tidak rusak negri ini, bahkan untuk menjadi pegawai negri saja, yang dengan gaji standar, ada pula yang harus menyuap. Dari posisi puncak hingga birokrasi di tingkat bawah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, akibatnya adalah rasa materialistis ikut pula meninggi. Sehingga segala sesuatu akan dinilai pada materi, bukan lagi kepada rasa tanggung jawab dan pengabdian, jangankan sebagai abdi Tuhan, sebagai abdi negara, abdi rakyat, ataupun abdi umat saja sulit. Sungguh kehidupan yang sangat tidak sehat, berpenyakit dan meluas ke segala aspek, dan semakin kronis lama-kelamaan.
Sungguh memprihatinkan akibat dari ucapan-ucapan yang diobral para munafik politik dan saudagar munafik di negri ini. Apalagi bila ada saudagar yang amat berambisi pada kekuasaan politik kenegaraan. Ucap munafik yang awal akan disusul kemunafikan berikutnya untuk menutupi kemunafikan sebelumnya. Begitu terus-menerus, semakin memperparah keadaan.
Pengakuan (ego) pula kembali yang membuat rusaknya kehidupan tersebut. Karena ucap-Nya diakui sebagai milik-nya. Siapa yang sesungguhnya memberikan anugerah kepadanya untuk dapat berucap atau berkata-kata? Siapa yang sesungguhnya menganugerahkannya tenggorokan dengan pita suara, lidah, dan mulut? Bahkan tenaga untuk berucap? Bila ini disadari, masih beranikah menyalahgunakan ucapnya dari amanah yang telah dianugerahkan kepadanya?
Kembalilah kepada jalan lurus yang telah diamanatkan yang sesungguhnya akan diminta pertanggung jawabannya, kelak. Sekecil dan sesepele apapun ucapnya memiliki buah yang akan dituai kelak dikemudian hari sebagai pertanggung jawabannya. Atau, yang jauh lebih penting untuk di sadari, adalah seberapa besar akibat dan dampak baik maupun buruknya segala apa yang diucap bagi kebanyakan orang lain.
Ucap yang diaku sebagai ucap-nya, yang diaku karena daya kekuatan-nya, yang diaku karena pengetahuan atau ilmu-nya, maka kelak diri-nya sendirilah yang akan mempertanggung jawabkan segala konsekuensinya. Sesungguhnya, diri-nya, bukanlah yang memiliki atau menguasai alat atau organ pengucap. Jangankan memiliki atau menguasainya, mengetahui keberadaan dan fungsi-fungsi organnya tersebut pun tidak. Juga bukan diri-nya yang memiliki pengetahuan atau ilmu sehingga dia dapat bereaksi dengan pengucapannya. Ilmu dan pengetahuannya pun hanyalah karena kemurahan Tuhannya memberikan petunjuk kepadanya.
Keinginan mengucap pun adalah karena kehendak Tuhannya. Bagaimana rasanya memiliki keinginan mengucap, tetapi tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya? Dimana ada kekuasaan yang menahan geraknya untuk dapat berucap. Yaitu, ketika Tuhannya menahan emosi amarahnya saat sedang berpuasa, misalnya. Atau juga, karena yang dihadapinya adalah seorang anak kecil yang belum mengerti. Begitulah sesungguhnya Tuhannya menguasainya. Sesungguhnya Dia-lah yang meliputi segala sesuatu dengan kuasa, kemurahan, perlindungan dan pemeliharaan-Nya.
Bila tidak dimulai dari masing-masing individu untuk berusaha meluruskan kembali kepada agamanya, tentunya kehidupan bernegaranya akan semakin sakit, yang juga pasti akan kembali kepada dirinya sendiri sebagai keluhan-keluhan yang menyulitkan. Kita pula yang ikut menentukan keterpurukan kehidupan anak cucu kita kelak, bila tak segera meluruskan kembali kehidupan diri masing-masing kita.
Meluruskan Niat (Tekad)
“...... Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.....” 
(QS 2:284)
Begitupula kepada niat atau tekad, tidak terlepas sebagai amanah yang dianugerahkan Tuhan untuk dipakai dalam nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, juga sebagai yang akan dipertanggung jawabkannya kelak dikemudian hari. Niat sebagai yang akan keluar dari dirinya berupa amal perbuatan, sesungguhnyapun adalah akibat dari apa yang datang kepadanya, sehingga amat bergantung kepada kesadaran rasa yang ada padanya. Yaitu penilaian baik atau buruknya terhadap apa yang datang kepadanya, maka respon keluarnya pun akan menentukan kebaikan atau keburukan amal perbuatannya. Meluruskannya adalah dengan membersihkan dari segala hawa keinginan yang selain hanya dan kepada Allah semata.
Terkadang niat atau tekad awal, telah baik dan benar, akan tetapi dalam perjalanannya masuklah godaan setan sebagai yang diutus iblis, membuat kesesatan menjadi dipandang indah memukau, sehingga merubah kelurusan niat awal dan menjerumuskannya kepada perbuatan sesat. Sebelum terlambat terjerumus, maka segerakan meluruskannya kembali agar tiada sesal dikemudian hari. Ini akan berhubungan erat sekali dengan pembahasan berikutnya, yaitu pada uraian wayuqimusshalat dan wayutuzzakata. Yang sebenarnya dapat menghindarkan diri dari terjerumus kepada kesesatan akibat bujuk rayu iblis yang intensitasnya amatlah sering, disetiap saat dan kesempatan tanpa pernah merasa lelah.
Niat yang berasal dan bersumber dari dalam hati, amat dipengaruhi oleh tingkat kebersihan hati itu sendiri. Bila di dalam hatinya terdapat kekotoran hawa nafsu, maka jelas niatnya akan membawa pula kekotoran hawa nafsu tersebut kedalam amal perbuatannya. Keinginan dan kebutuhan adalah dua hal yang dapat mengotori hati kepada niat yang tidak lagi keluar dalam kemurnian atau keikhlasan amal perbuatan. Pada saat itulah telah ditetapkan surga dan nerakanya kelak sebagai yang akan dituainya di hari kemudiannya.
“.... Hanyalah orang-orang yang berakal yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS 13:19-21)
Menjaga niat agar tetap dalam keadaan lurus dengan berlindung kepada Tuhan (ta’awudz), dan mengingat Dia yang tiada putusnya, serta mensucikan setiap keinginan yang selalu bersih dari bujuk rayu setan yang selalu menngoda. Pada umumnya, niat awal adalah baik dan benar, akan tetapi diperjalanannya sering melenceng dari arah semula. Bahkan bujuk rayu iblis selalu masuk dari pintu-pintu pengakuan (ego), sebagai unsur yang paling lemah atau rentan dari sifat kemanusiaan.
Tidaklah jarang pada ibadah pun setan masuk menggoda, seperti dalam ibadah mengerjakan shalat, niat yang telah terucap adalah lillahi ta’alaa, dan mengakui dengan ikhlas bahwa shalatnya, ibadahnya, hidupnya, serta matinya adalah karena dan untuk Allah pemilik semesta alam, juga mengakui yang pertama berserah diri. Akan tetapi, masih di dalam shalatnya, terbayang-bayang pekerjaan yang masih menumpuk untuk segera diselesaikan, atau hal-hal dunia lainnya yang sungguh membuat niat dan keikhlasannya menjadi tidak mempunyai arti sama sekali. Belum lagi, amal perbuatan setelah shalat, yang menyimpang jauh dari makna shalat-nya. Shalat terus dilakukan, maksiat pun jalan terus.
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan( memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)
Shalat yang tak terjaga kelurusannya, yaitu dari niatnya, kemudian kepada mengeluarkannya dalam bentuk amal perbuatannya yang menjadi tidak lurus lagi, berbuat riya (pengakuan) dan enggan memberi bantuan kepada sesama. Celakanya lagi, hal tersebut oleh Allah disebut sebagai perbuatan mendustakan agama. Jelas itupun mendustakan Tuhannya. Inilah kemunafikan yang nyata, tetapi tak disadari banyak insan kemanusiaan dan dapat menjerumuskannya kepada perbuatan syirik, menyekutukan Tuhan.
“..........sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (islam).
 (QS 6:162-163)
Kemunafikan yang tak disadari ini, apakah dikarenakan tidak memahami makna shalat dan tidak pula memahami makna ayat tersebut di atas? Dan jika demikian adanya, maka jelaslah bahwa pengakuan (ego) masih melekat pada hatinya, sehingga mudah sekali melupakan janjinya kepada Tuhannya dalam setiap shalatnya. Pengakuan (ego) yang melekat kuat di hatinya inilah yang menutupi kesadaran (ingat)-nya pada janji-janji kepada Tuhannya sebagai orang yang pertama-tama berserah diri (islam) secara ikhlas dalam setiap shalat, ibadah, hidup dan matinya.
Itulah lurus yang dikehendaki-Nya, yaitu lurus dalam ucapnya ketika di dalam shalat sebagai niat-nya, dan lurus pula yang dikeluarkan dalam amal perbuatannya. Sungguh tak pantaslah kita bersikap munafik kepada Allah Yang Maha Mengetahui, bahkan mengetahui segala isi di dalam hati seluruh makhluk-Nya. Tiadalah yang dapat luput dari pengetahuan dan kuasa-Nya yang meliputi segala sesuatu sekalipun tersembunyi di dalam kedalaman hati yang paling dalam.
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggung jawaban. (QS 17:36)
Bila demikian adanya, maka keimanannya perlu diperkokoh kembali. Bagaimana mungkin melakukan shalat tetapi tak memahami maknanya, tak memahami untuk apa melakukannya, juga tak memahami kepada siapa sesungguhnya pengabdiannya ditujukan.
Tidak hanya pada shalat, melainkan juga ibadah-ibadah, kehidupan dan kematian-nya pun sebagai yang akan dipertanggung jawabkannya, karena itu, seperti penjelasan ayat di atas, bahwa segala sesuatu harus dipahami dulu maknanya, baru mengerjakannya, sehingga akan lebih berserah diri (islam) secara ikhlas kepada Dia yang menghendaki diri-diri kemanusiaan menyadari fitrah-nya. Yaitu, sebagai perwujudan Tuhan di muka bumi, yang saling menyebarkan rahmat Tuhannya kepada sesama, rahmatan lil’aalamiiyn.
Meluruskan Amal Perbuatan (Lampah)
Bila pada ucap dan niat telah berada pada kelurusan, yaitu kebaikan dan kebenaran, maka tinggal membuktikan kepada amal perbuatannya. Dapat pulakah lurus seperti pada ucap dan niatnya yang merupakan lebih seperti janji yang perlu dibuktikan kenyataannya?
Perbuatan yang lurus adalah perbuatan yang menjadi rahmat bagi sesama. Dan menyadari bukan pula diri kita yang sebagai pemilik rahmat, melainkan Allah-lah sesungguhnya sebagai pemilik rahmat yang menganugerahkannya kepada diri kita, dan kemudian merupakan kewajiban  menyebarkan kembali ke sesama sebagai wujud rasa syukur atas nikmat anugerah-Nya.
Amal perbuatan yang didasari selalu ingat kepada Allah dan kesucian atau kemurnian (ikhlas) pasti akan membuat amal perbuatannya tetap berada pada jalan lurus, yaitu sesuai agama sebagai amal perbuatan yang diridhai-Nya. Maka keselamatan akan selalu mengiringi setiap langkah dalam amal perbuatannya. Allah akan mengingat mereka yang ingat dan ikhlas kepada-Nya, sehingga amal perbuatannya akan selalu terjaga dan terlindungi dari bujuk rayu setan yang hendak menjerumuskan kepada amal perbuatan sesat, dikarenakan Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan Pemelihara.
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.”  (QS 38:82-83)
Upaya penyesatan yang dilakukan iblis dengan bujuk rayunya, tidak akan berpengaruh kepada mereka yang ikhlas dalam amal perbuatannya. Keikhlasannya adalah karena mereka selalu mengingat dan diingati Allah. Orang-orang yang telah ikhlas (mukhlisiin) adalah orang-orang yang telah diimunisasi, dan telah kebal dari pengaruh penyesatan iblis, maka tiada penyakit di hatinya.
Padahal iblis tidak memiliki kekuasaan atas diri kemanusiaan (terutama yang ikhlas), dia hanya merangsang angan-angan keinginan diri atau jiwa. Dikuatkannya keinginan tersebut melalui angan-angan yang dikemas dengan rapi agar kelihatan indah dan menarik hati manusia yang mengharapkannya. Semakin dikuatkannya lagi harapan itu kepada ambisi untuk cepat dapat meraihnya. Dan kekuasaannya inipun dapat terwujud kepada jiwa-jiwa kemanusiaan yang berpaling dari jalan Allah yang lurus. Karena itu diharapkan dapat tetap memurnikan keikhlasan dalam  setiap amal perbuatannya, agar tetap terjaga dari kuasa gelap yang justru dapat menjerumuskannya kepada kehinaan dirinya.
Bila kita mengalami bencana atau musibah yang telah menyusahkan diri atau jiwa kita, maka berkacalah terhadap amal perbuatan yang telah lalu. Bila telah menemukan kesalahan-kesalahan tersebut, bersyukurlah. Yang pertama, karena telah diberi ingatan untuk menyadari kesalahan sehingga mendapatkan pelajaran untuk tak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari. Yang kedua, kita telah diberi kesempatan menebus kesalahan tersebut sebagai hisabnya, yaitu dengan mengalami musibah ini. Yang ketiga, adalah karena kita masih diberi kesempatan untuk mencapai insan yang sempurna.
“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang menyesali (dirinya sendiri). Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? (QS 75: 2-3)
Kesalahan dalam amal perbuatan buruk merupakan penyesatan iblis, dalam banyak kasus, bukan tidak mungkin bila kita tersesat maka akan membuat kita semakin tersesat lebih jauh lagi, bila tak segera menyadarinya. Karena itu bersyukurlah bagi mereka yang telah dapat menyadari kesalahannya, agar tak semakin salah. Kesalahan yang semakin bertumpuk sungguh amat berat hisab-nya.
Betapa nikmatnya hidup di dalam kehidupan lurus yang tak tertuntut keinginan dan kebutuhan yang berlebihan dari yang semestinya diterima. Ketahuilah, kelebihan yang dipaksakan di satu sisi akan menjadi yang mengurangi pada sisi lainnya, sebagai keseimbangan yang telah ditetapkan (sunathullah)-Nya.
Lihat dan perhatikanlah, diri yang menjaga amal perbuatannya tetap dalam kebaikan, tidak membuang sampah sembarangan, hutan dijaga kelestariannya, tidak membangun pemukiman pada daerah resapan air (mengurug rawa), menjaga lingkungan tetap asri dengan tidak asal menebang pohon disekitar lingkungannya, menjaga hubungan baik dengan sesama, yang kesemuanya itu pun akhirnya akan kembali kepada dirinya sendiri. Ia akan merasakan nyaman dan tentram tinggal disitu, bersih dan sehat, tidak kebanjiran dikala musim hujan, tidak kegerahan disaat musim panas, tetangga sekitar pun baik dan ramah. Orang-orang seperti inilah yang menolak kejahatan dengan menggunakan kebaikan, maka iklim kehidupan pun menjadi sejuk, serta membawa ketenangan, kedamaian, dan ketentraman kehidupan bersama.
“Dan, orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir”. (QS 13:22)
Orang seperti ini bukan cuma dicintai Allah, tetapi juga oleh sekelilingnya dan menciptakan situasi dan kondisi yang harmonis dan bersahabat dengan alam disekitarnya, yakni peka akan situasi disekitarnya. Dan telah disadarinya bahwa disekelilingnya, alam ini beserta benda-benda atau makhluk lainnya adalah makhluk ciptaan seperti dirinya yang perlu dihargai hak-haknya. Sebagai rahmatan lil’aalamiiyn.




Bab XV
MENEGAKKAN SHALAT (Wayuqimusshalat)
INGAT yang TIADA PUTUS
“Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk dzikir (mengingat) kepadaKu.”
(QS 18:14)
K
ebanyakan kita memahami menegakkan shalat adalah hanya dengan telah melakukan shalat maka kewajiban beribadahnya telah selesai tertunaikan. Seperti penjelasan ayat di atas, bahwa shalat adalah untuk mengingat Allah. Yaitu, menjaga kesadaran jiwa agar selalu dalam lindungan kuasa dan pemeliharaan Allah (Allaahu Maliikiyawmid-diiyn), Dia yang menguasai hari-hari agama.
Selalu mengingat bahwa Allah mengawasi dan menguasai diri-diri kita di setiap saat, termasuk di waktu-waktu setelah shalat. Mereka yang telah menyadari ini, tentu akan memahami setiap gerak amal perbuatannya tidaklah lepas dari nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, dan tidak akan berani melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Sehingga amal perbuatannya adalah refleksi atau cerminan dari shalatnya. Amal perbuatan yang merefelksikan fitrah diri-nya sebagai wakil Allah di muka bumi yang rahmatan lil ‘aalamiiyn.
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan. (QS 107:1-7)
Mengingat Allah yang tiada putus (li dzikri), dan termasuk pula di dalamnya shalat, adalah untuk selalu berada pada jalan lurus-Nya, sehingga tiada ada kesempatan bagi iblis untuk masuk dan membisikkan godaan atau bujuk rayunya yang menyesatkan dan menjerumuskan.
“...... Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (QS 29:45)
Bila sempat terputus, mohon ampunlah dengan mengucap istighfar,  sebagai penyambung kembali (wustha), lanjutkan mengingat kembali sebagai yang dhaim atau abadi, dan bersyukurlah dengan mengucap alhamdulillah sebagai tajali-nya. Sehingga tiada ada waktu yang kosong tanpa mengingat-Nya, dalam segala kegiatan, kecuali tidur. Dan ini merupakan energi yang dikeluarkan sebagai energi positif, sebagai pengembalian kepada kemuliaan Dia yang memberikan.
“...... Dan ingatlah Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: semoga Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (QS 18:24)
Segala sesuatu yang masuk ke tubuh atau jasad sebagai yang diterima atau dianugerahkan, adalah energi yang merupakan rahmat-Nya. Apakah itu makanan, minuman, nafas, ilmu dan pengetahuan, serta lain sebagainya, maka ketika yang  dikeluarkan adalah juga energi, sekalipun ampas. Bukankah kotoran yang dikeluarkan pun dapat dijadikan bahan bakar atau gas, dapat dijadikan pupuk penyubur tanaman, serta makanan bagi makhluk lainnya. Begitu pula pada nafas yang dikeluarkan, adalah energi (CO2) yang dihisap tanaman bagi pernafasannya, maka agar selalu dalam kebersihan, selalulah dalam mengingat-Nya (li dzikri) sebagai pengembalian yang baik dan wujud rasa syukur atas segala rahmat-Nya baik disadari maupun yang tidak disadari. Karena sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu, tiada yang lepas dari rahmat, kehendak, serta pemeliaharaan-Nya.
Makna menegakkan shalat, tidaklah hanya dengan telah mengerjakan shalat. Sering pula dimaknai dengan amal perbuatan yang mencerminkan shalatnya. Yaitu amal perbuatan yang selalu menjaga kesadarannya akan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, sehingga membuahkan kebajikan bagi sesama makhluk dan alam sekitarnya, rahmatan lil ‘aalamiiyn. Maka kesadaran yang selalu terjaga merupakan keadaan atau kondisi ingat (dzikr).
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)
Selalu mengingat Dia dengan menyebut nama tunggal-Nya, yaitu Allah, atau dapat pula nama-nama terbaik lain-Nya, di lubuk hati yang paling dalam, tanpa suara bahkan tidak terdengar oleh telinga. Kegiatan ini sama sekali takkan mengganggu aktivitas sehari-hari, apalagi mengganggu orang lain. Betapa besar manfaat li dzikri ini bagi jiwa, paling tidak membawa ketenangan dan ketentraman. Inilah bentuk atau wujud kebersamaan makhluk dengan Tuhannya, manunggal bersatu kepada Yang Maha Tunggal.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan dzikir (mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (QS 29:45)
Shalat adalah juga termasuk ingat (dzikir), akan lebih bermakna dan memiliki nilai bila melakukannya dengan khusyu’ dikarenakan begitu banyak doa yang dibacanya dalam bahasa yang bukan bahasa kita. Kekhusyu’annya bergantung kepada pemahaman arti dan makna doa yang kita baca dalam shalat, serta menyadari bahwa sedang berhubungan dua arah dengan Allah SWT, sang Penguasa dan Raja dari segala raja.
Shalat, dzikir, atau mengingat Allah itu ternyata bertujuan mencegah perbuatan keji dan mungkar. Berarti, perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak disukai Allah SWT. Dan tidak berbuat keji dan munkar (QS al Ma’un ayat 1-7) merupakan amal perbuatan (ibadah) yang utama. Shalat, dzikir, atau mengingat Allah adalah sebuah sarana atau cara untuk mencapai keutamaan itu. Akan tetapi, akan dikutuk oleh Allah sebagai orang yang celaka bagi mereka yang selalu shalat namun perbuatannya tidaklah mencerminkan shalat dan ingat-nya kepada Allah. Yaitu perbuatan yang mengingkari Allah. Mereka inilah yang dimaksud merusak dan merendahkan agama Allah.
Mengingat Dia, adalah juga menyadari apa-apa yang ada, apa-apa yang masuk sebagai yang diterima, dan apa-apa yang keluar sebagai pengembalian pada diri insan kemanusiaan, yang kesemuanya merupakan anugerah yang dititipkan sebagai yang akan dipertanggung jawabkan, kelak.
Selalu mengingat Dia yang tiada putusnya juga mengandung makna sebagai menjaga kesadaran jiwa terhadap fitarh-nya yang telah ditetapkan Tuhannya sebagai khalifah di muka bumi yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Tidak keluar jalur dari jalan lurus yang dikehendaki-Nya, yaitu, fitrah insan kemanusiaan sebagai perwujudan Tuhan di muka bumi, yang saling berbagi rahmat-Nya kepada sesama, rahmatan lil’aalamiiyn. Itulah menjalankan agama yang benar (diynul qayyimah) dengan ikhlas atau murni.
Janji
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, betul, kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”  
(QS 7:172)
Dengan ayat ini, Allah hendak mengingatkan kembali kepada diri-diri kemansuiaan,  bahwa sebelum kelahirannya di dunia, jiwa-nya telah ber-syahadat (persaksian) pula sebagai ikatan perjanjian dengan Tuhannya. Dan jiwa-jiwa kita benrjanji untuk tidak lengah terhadap persaksian tersebut.
Tentulah persaksian tersebut adalah berkaitan dengan fitrah kemanusiaan-nya, yaitu sebagai khalifah yang merupakan perwujudan dari Dia Yang Maha Pemurah di muka bumi. Menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil ‘aalamiiyn. Karena itulah maka jiwa-jiwa kemanusiaan inilah yang kelak akan diminta pertanggung jawabannya.
Janji adalah milik Allah, karena janji adalah berbicara mengenai hari kemudian, yang berada dalam kuasa-Nya. Tidak dibenarkan, atau tidaklah layak, bahkan tidaklah dapat dipercaya bila insan kemanusiaan berjanji. Sebutlah nama-Nya, yaitu insya Allah (dengan izin Allah), untuk membersihkan janji-nya, bahwa kekuatan untuk memenuhi janji tersebut adalah dengan kekuatan Allah, bukan kekuatan dirinya sendiri.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagiNya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Kebanyakan insan kemanusiaan yang terikat kepada janjinya, dapat pula tidak menepatinya, dan malah terperosok karena hawa nafsunya pada kehidupan dunia. Maka sungguh dengan selalu mengingat Dia yang menguasai hari kemudian, yang dengan izin-Nya, jadilah janji-nya itu merupakan janji-Nya. Dan Dia-lah yang menunaikan janji tersebut untuk kita, karena segala sesuatu mudah bagi-Nya jika Dia menghendaki. Sebab itu jadikanlah keinginan adalah keinginan-Nya, kehendak adalah kehendak-Nya, kekuatan adalah kekuatan-Nya, ilmu adalah ilmu-Nya, dan lain sebagainya adalah semuanya milik-Nya dan dalam pemeliharaan-Nya. .
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.....” (QS 41:53)
Demikianlah adanya, segala sesuatu yang berada di langit dan yang berada di bumi, serta yang berada diantara keduanya adalah kepunyaan dan atas kehendak serta dalam kuasa-Nya. Bahkan apa-apa yang berada di dalam tubuh atau jasad, sampai kepada nafas (hawa) adalah milik-Nya. Yang pada pemahaman sebelumnya kita pisahkan sebagai milik kita, pengakuan (ego)-lah yang mengaku-ngaku milik kita, sekalipun telah dianugerahkan kepada diri kita, yang sesungguhnya hanyalah titipan berupa amanah yang pada saatnya nanti, harus pula dipertanggung jawabkan pengelolaannya. Tiada kekuatan selain kekuatan Dia yang Maha Agung, bahkan untuk dapat mengucapkan janji pun adalah kekuatan-Nya. .
“... dan penuhilah jnaji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS 2:177)
Insan kemanusiaan yang berakhlak mulia dan terpuji adalah juga yang menunaikan janjinya, karena diberi kekuatan dan atas kehendak Allah. Tidak akan mudah memberikan janji, karena sadar akan konsekuensinya yang tidak ringan. Maka dia pun ingat kepada imannya terhadap Allah, para malaikat-Nya, para rasul-Nya, kitab-Nya, hari kemudian-Nya, serta kadar baik dan buruk-Nya, yang kesemuanya berada di dalam diri-nya untuk menjaganya agar tetap berada di jalan lurus-Nya.
Diri
Mengingat Allah yang tiada putusnya adalah juga agar menyadari fitrah diri-nya yang merupakan wadah sebagai perwujudan sifat-sifat Allah, yang merupakan rahmat bagi semesta alam. Untuk mengenal diri, maka kenalilah Tuhan. Dan untuk mengenal Tuhan, maka kenalilah diri. Setelah mengenal keduanya, maka hikmah sejati telah terbuka sebagai sesuatu yang amat tak ternilai.
Diri merupakan wadah yang menerima anugerah dari Allah, berupa, wujud sebagai kewujudan, hidup sebagai kehidupan, ilmu sebagai keilmuan, kuasa sebagai kekuasaan, dan lihat maka dapat melihat, dengar maka dapat mendengar, ucap maka dapat mengucap, dan lain-lainnya yang merupakan anugerah yang sesungguhnya hanyalah amanah titipan yang pada saatnya nanti akan diminta pertanggung jawabannya. Janganlah pengakuan (ego) menjadi dominan berlebihan menguasai jiwa, hingga malah menjerumuskan diri pada kesesatan dari jalan lurus-Nya.
Diri setiap insan kemanusiaan adalah keturunan dari diri yang satu, keturunan  Adam (berarti, tidak ada). Ya khalifah, ya nabi, ya rasul, ya juga yang lalai atau berdosa. Maka setiap diri adalah juga keturunan tidak ada, juga keturunan khalifah, , serta juga keturunan rasul, juga keturunan nabi, serta pula keturunan yang lalai (berdosa). Itulah fitrah kemanusiaannya.
A.       Tidak Ada,
Adalah nyata-nya ketiadaan sesungguhnya insan kemanusiaan. Karena hanya Dia yang wujud, sedangkan selain-Nya adalah fana (berubah-ubah), menerima wujud-Nya, serta merupakan perwujudan-Nya, bahkan hidup-nya adalah karena diberi kehidupan oleh-Nya. Dari ujung kaki hingga ujung rambut adalah anugerah wujud dari perwujudan-Nya, dan tidak secuilpun yang dimiliki serta dikuasai oleh dirinya sendiri. Jangankan memiliki, memberikan rizkinya pun bukanlah dirinya yang sebagai pemberinya, melainkan Allah-lah pemberinya.
Bukan pula dirinya yang memerintahkan kepada kuku-kukunya untuk bertumbuh panjang, kepada rambut untuk bertumbuh panjang, kepada jantung untuk memompa darah dan mengalirinya ke seluruh tubuh, bukan pula dirinya yang memerintahkan sel-sel tubuhnya untuk membelah diri sebagai pengganti sel-sel lainnya yang telah mati.
Diri ini hanya menerima saja semua itu berlangsung tanpa pernah, bahkan merasa ikut berperan. Maka sungguh naif, tidak layak dan pantas, merasa mengaku sebagai pemilik, penguasa, dan pemerintah dari rakyat yang berupa milyaran sel yang membentuk organ dan jaringan seperti, jantung, paru-paru, mata, telinga, mulut, kulit, tulang, otot, dan lain sebagainya. Itu seluruhnya adalah anugerah yang dititipkan, yang suatu saat, kelak, pasti akan diminta pertanggung jawabannya.
Hanya rasa yang sampai kepada diri, yaitu nikmat bila seluruh rakyat-nya sehat, dan sengsara bila salah satu rakyat-nya sakit. Pengakuan (ego)-lah yang menyebabkan rasa menjadi dominan hingga tak terkendali, nikmat dapat menyebabkan keangkuhan atau riya, dan sengsara yang dapat menyebabkan kekufuran. Itulah akibat pengakuan (ego) yang mengaku-aku sebagai pemiliknya.
Ketiadaan diri adalah dengan telah hilangnya pengakuan (ego), dan mengakui yang ada (wujud) hanya milik Allah. Bahkan nafsu pun adalah milik-Nya, karena itu selalu luruskan dan ingatilah Dia. Kemudian sucikanlah sebelum dipertanggung jawabkan kelak.
Mengingat Allah yang tiada putusnya sebagai penyadar, bahwa sesungguhnya dirinya-lah yang tiada, dan hanya Dia yang ada. Maka segala sesuatu yang datang dan keluar darinya menjadi bersih dari pengakuan (ego)-nya, sehingga selamatlah kehidupannya baik di dunia dan kelak di akhirat, karena menetapkan dirinya tetap berada di jalan lurus-Nya.
            B.       Khalifah,
adalah anugerah berupa kekuasaan atau kepemimpinan yang diberikan Allah kepada setiap insan kemanusiaan untuk dikelola secara baik dan benar, dan lurus sesuai yang dikehendaki-Nya. Kepemimpinan terhadap diri sendiri, keluarga, sekitar, bahkan terhadap yang jauh lebih luas lagi, wilayah atau daerah, hingga negara. Dan tetap, adalah dimulai dari kepemimpinan terhadap dirinya sendiri, semakin baik pengelolaannya maka akan semakin luas pengaruhnya.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menycikan nama-Mu? Dia berfirman, sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30)
Tetapi, bila tergoda pengakuan (ego), maka rusak atau cacatlah kepemimpinannya. Menjadi otoriter, diktator, atau dzalim, bahkan kepada dirinya sendiri karena telah merusak apa yang telah dianugerahkan kepada dirinya. Telah banyak ini terjadi di sepanjang sejarah peradaban kemanusiaan, dari mulai perang berebut wilayah kekuasaan antar raja-raja, perang etnis kesukuan, perang agama (perang salib), perang dunia, perang dingin, hingga perang terhadap terorisme.
Kekahlifahan adalah anugerah yang menggoda setiap diri insan kemanusiaan. Kemuliaannya amat menggiurkan, akan tetapi kerusakan akibat salah atau sesatnya pengelolaannya amatlah besar pula. Semakin besar kekhalifahan melibatkan banyak insan kemanusiaan, maka semakin besar pula kerusakan yang diakibatkannya karena salah dan sesat pengelolaannya. Sehingga kekhalifahan cenderung menjerumuskan, akan tetapi tetap dibutuhkan dalam kehidupan, apapun bentuknya kepemimpinan tersebut. Itu adalah fitrah yang telah ditetapkan Allah terhadap insan kemanusiaan.
Pada insan kemanusiaan yang telah beriman dan beragama dengan lurus, serta dengan masing-masing individunya telah menyadari (ingat) dan melepaskan segala pengakuan (ego)-nya, maka insya Allah akan tercipta kehidupan yang sehat di wilayahnya. Karena kekhalifahan yang besar atau luas dipengaruhi oleh kekhalifahan-kekhalifahan kecil di bawahnya, semakin kecil kepada individu-individu diri kemanusiaan sebagai elemen penting penyusun struktur kehidupan.
Semakin baik kualitas akhlak individu-individunya, maka menentukan kualitas kepemimpinan wilayah atau negaranya. Dan akan kembali kepada individu-individu sebagai rakyatnya, berupa kemakmuran ketentraman, keamanan, dan keadilan yang merata. Tidak akan pernah didapat seorang khalifah dan pemimpin negri yang baik, yaitu yang dapat membawa kepada keadilan, kemakmuran, keamanan, dan ketentraman yang merata, bila masing-masing individunya kebanyakan masih dalam kesesatan akhlaknya. Seperti pungguk merindukan bulan. Antara pemimpin dan yang dipimpin haruslah ada harmonisasi kehidupan yang baik, memiliki dasar dan tujuan yang sama, yaitu keimanan dan agama sebagai jalan lurus menuju keselamatan seperti pula yang dikehendaki Tuhannya.
            C.       Rasul,
Adalah tugas yang diamanatkan kepada setiap insan kemanusiaan yang telah beriman dan beragama untuk menyampaikan petunjuk dari Tuhannya. Kita telah membahas tentang kerasulan pada setiap diri kemanusian secara khusus pada bab keimanan, akan tetapi akan sedikit diulas kembali.
Yang sesungguhnya setiap diri adalah membawa tugas kerasulan baik disadari maupun tidak, serta secara sukarela maupun terpaksa, karena memang fitrah-nya seperti itu sejak Adam As sebagai bapak asalnya kemanusiaan. Adalah kodratnya, menghendaki kebaikan pada sekitarnya, minimal keluarganya, maka yang keluar dari ucap-nya (bila disadarinya, adalah ucap-Nya) adalah berupa nasehat-nasehat kebaikan. Disadari ataupun tidak, “tiada kekuatan selain kekuatan Allah”-lah yang memberi kekuatan kepadanya untuk menyampaikan segala bentuk nasehat kebaikan sebagai petunjuk-Nya.
Akan tetapi, yang dibutuhkan bukan cuma nasehat-nasehat, melainkan juga perlu keteladanannya sebagai bukti nyata petunjuk tersebut. Sehingga harmonis antara ucap, tekad, dan pada lampah (perbuatan)-nya, yaitu berbanding lurus apa yang ada sebagai petunjuk, seperti dalam kitab suci, ucap, dan tekad,  dengan lampah (perbuatan) sebagai teladannya.
Bila hal ini telah dapat dipahami, maka mengingat Dia yang tiada putusnya, adalah menyadari tugas kerasulan-nya, yang telah diikrarkannya dalam syahadat (telah bersaksi bahwa dirinya adalah utusan Allah), yang sesungguhnya pula adalah fitrahnya sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn (rahmat bagi semesta alam). Allah telah memuliakan setiap diri kemanusiaan dengan tugas ini, dan sebagai makhluk yang diwujudkan dengan bentuk yang sesempurna-sempurnanya, sebagai wujud dari perwujudan-Nya Yang Maha Terpuji.
Maka dengan karunia yang mana lagi, sehingga diri-nya dapat bersyukur dan hendak mewujudkan apa-apa yang telah menjadi kehendak-Nya? Yaitu sebagai perwujudan Dia di alam, yang saling menebarkan rahmat-Nya kepada sesama makhluk. Itulah sesungguhnya fitrah diri-nya.
D.       Nabi,
Setiap insan kemanusiaan adalah keturunan nabi Adam, tetapi tidak semua keturunan-nya dianugerahi kenabian. Hanya orang-orang pilihan yang dikehendaki Allah saja. Kenabian adalah amanat yang besar dan sangat mulia, hanya mereka saja yang menerima wahyu dari Allah untuk disebarkan kepada kaum atau umatnya, sebagai tugasnya.
Padahal, setiap insan kemanusiaan, dapat pula memiliki umat atau kaum yang mungkin saja dibentuknya, minimal adalah pada keluarga dan keturunannya. Akan tetapi, karena wahyu adalah kehendak Allah kepada siapa Dia hendak memberi wahyu, maka tidak semua orang menerima wahyu, dan hanya orang-orang pilihan-Nya saja. Dan Muhammad bin Abdullah adalah manusia terakhir yang menerima anugerah kenabian. Lain halnya pada kerasulan, yang dianugerahkan kepada seluruh keturunan Adam atau setiap insan kemanusiaan, hanya kadar mewujudnya-lah, yaitu kadar  ketuhanan pada dirinya yang membedakan insan kerasulan dengan insan kemanusiaan yang lainnya. Kadar ketuhanannya dinilai dari diri-diri yang mewujudkan sifat-sifat Tuhan di dunia bagi kehidupan bersama dengan sesama makhluk Tuhan di bumi.
Didalam kisah-kisah para nabi, pada al Qur’an, betapa sulit dan merupakan tantangan ketika para nabi tersebut mengumumkan kenabiannya. Ditentang, dicemooh, dianggap gila, dianggap penyihir, dianggap pembohong, dianiaya, bahkan hingga bukan hanya ancaman saja, pembunuhan pun pernah terjadi. Itu dilakukan oleh para pembesar negri dan pemuka agama. Padahal dia (para nabi) tak pernah mengharapkan bahkan meminta upah atau imbalan. Akan tetapi bila hal-hal berbahaya tersebut telah terlewati dan umat pengikutnya telah semakin banyak, maka perbaikan menyeluruh pada kehidupan sosial kemasyarakatan pun pasti akan terjadi.
Dan kenabian mereka sungguh dapat dijadikan teladan bagi hidup kerasulan setiap diri kemanusiaan, sebagai contoh terbaik akhlak manusia yang lurus pada jalan-Nya karena selalu dalam keadaan ingat (sadar) dan selalu pula mensucikan-nya sebagai yang akan dikembalikan lagi kepada sesunguhnya yang memiliki, yaitu Dia (Allahu rabbul ‘aalamiiyn).
E.        Berdosa,
Dan setiap insan kemanusiaan pun tak lepas dari kelalaian dan kesalahan sebagai dosa, bagai malam dan siang yang selalu mengiringi. Karena di alam, maka kebaikan pun selalu dibayangi keburukan. Tetapi Dia yang Maha Bijaksana pun memberikan penawarnya, sebagai pelurus kembali, penyadar (pengingat) kembali, dan pembersih (pensuci)-an kembali segala kesalahan dan kelalaian (dosa) yang telah menjerumuskan insan kemanusiaan. Yaitu kunci tobat seperti yang diwariskan kepada Adam,
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima tobatnya. Sungguh, Allah maha penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS 2:37)
“Keduanya berkata, ya Yuhan kami, kami telah mendzlimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (QS 7:23)
Hidup dan kehidupan kemanusiaan, sesungguhnya, hanyalah menerima. Yaitu, menerima segala sesuatu baik disadari maupun tidak, juga baik sukarela maupun terpaksa. Bila dirinya lebih memaksakan kehendak atau keinginan buruknya, maka menerima akibat atau balasannya pun akan secara terpaksa. Memaksakan dan keterpaksaan itulah sebagai dosa yang ditanam dan yang akan dituai-nya. Pada rasa-lah dosa itu berpengaruh pada diri-nya. Bila jasad-nya sakit, rasa pada diri-nya lah yang terkena, bukan jasad-nya yang merasakan. Diri yang merasakan ketidak nyamanan, bukan jasad, apalagi ruh-Nya.
Dengan kebangkitan pula, setiap diri, mendapat kesempatan mensucikan kembali jiwa-nya melalui neraka-nya, serta diharapkan-Nya sambil beramal perbuatan yang tidak menambah lagi kekotoran pada jiwa-nya. Bila masih saja lagi ada kekotoran yang melekat, sedang kematian telah merenggut-nya kembali, maka tentu akan dibangkitkan kembali untuk mengalami pensucian kembali. Begitulah berulang kali mengalami hidup, mati, dan dibangkitkan sampai kepada kesucian untuk dapat kembali kepada-Nya Yang Maha Suci, ilayhi raji’un.
Ahli
Ahli, adalah bermakna sebagai pewaris yang menerima anugerah dari Allah, dan yang juga akan dipertanggung jawabkannya, kelak. Dan mengingat Dia yang tiada putusnya adalah juga menyadari sebagai penerima  anugerah yang merupakan amanah yang kelak itu pun harus dipertanggung jawabkan pengelolaannya, bukan sebagai pemilik anugerah tersebut.
Anugerah yang diwariskan-Nya adalah wujud-Nya, ruh-Nya, kitab-Nya, alam ciptaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya yang tak terhitung (akbar) dan mewujud di bumi dalam perwujudan diri setiap insan kemanusiaan yang ber-ketuhanan. Itulah kurnia yang dianugerahkan oleh Dia yang Maha Pemurah, adakah yang lebih pemurah dari Dia? Bahkan kita pun tidak sepemurah itu terhadap diri sendiri. Jauh lebih buruk malah mendzalimi, menyakiti, merusak, dan menjerumuskan diri kita sendiri. Anugerah-anugerah tersebut pun merupakan fitrah kemanusiaan yang telah ditetapkan-Nya sebagai yang mempermudah tugas-nya di bumi sebagai wakil Tuhan, yaitu perwujudan sifat-sifat Dia di muka bumi.  Sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
A.       Wujud,
Yang merupakan perwujudan-Nya, sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan. Sebagai wujud yang sesempurna-sempurnanya atau wujud yang paling sempurna (fii ahsaani takwiim), dan sebagai wujud yang Maha Terpuji yaitu muhammad (lihat syahadat dalam ulasan bab iman kepada para rasul), juga apakah ada yang paling sempurna selain Dia? Itulah nyatanya wujud Allahu Akbar pada diri kemanusiaan, yaitu akbar, tak terhitung wujud kemanusiaan yang berketuhanan.
“Sungguh Kami telah menciptakan insan kemanusiaan dalam bentuk yang sesempurna-sempurnanya.”  (QS 95:4)
Renungkanlah, ketika shalat, berniat mengerjakan shalat adalah  ikhlas karena lillahi ta’alaa (Allah yang Maha Tinggi) sebagai yang memerintah mengerjakan, dan diri sebagai yang diperintah. Selanjutnya, pada takbiratul ihraam, mengucap Allahu Akbar, sebagai tanda (aba-aba) setiap memulai gerakan agar diikuti makmum. Hal ini menunjukkan, dirinya dan makmum yang banyak adalah wujud Allahu Akbar. Sekalipun dalam melaksanakan shalatnya hanya seorang diri, makmumnya adalah rakyat-nya, yaitu milyaran sel beserta para malaikat-nya (telah diulas bab iman kepada para malaikat). Jadi perlu ditegaskan perbedaan antara Allahu Akbar sebagai perwujudan Allah di alam, yaitu diri-diri kemanusian yang banyak (akbar) tak terhitung, dengan Allahu Ta’alaa (Allah yang Maha Tinggi) sebagai yang memerintah segala sesuatu yang berada di alam dari tempat tunggal-Nya (arsy), yaitu Allahu arsyis tawaa. Uraian ini sangat berhubungan erat dengan bab keimanan, karena ini begitu penting dipahami setiap diri yang sebagai pewaris wujud Tuhannya agar dapat menjaga dari penodaan terhadap-Nya akibat kesesatan pengakuan (ego).
“Wahai orang yang beriman ! Janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar (mengerti) apa yang kamu ucapkan......”  (QS 4:43)
Renungkanlah lagi, pada bunyi ayat di atas, yang melarang shalat, saat diri dalam keadaan mabuk, dikarenakan tidak memahami atau tidak mengerti apa-apa yang diucapkannya di dalam shalatnya. Kemudian simak pula bunyi ayat ini,
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan. (QS 107:1-7)
Allah mengecam pula mereka yang shalat tapi tak mengerti apa-apa yang telah diucapkannya di dalam shalat, sebagai kelalaiannya, sehingga masih saja tergoda melakukan amal perbuatan yang telah diketahuinya dilarang Tuhannya. Diri yang seperti itu, sebenarnya pun, dalam keadaan mabuk, yaitu mabuk kehidupan atau perhiasan dunia. Mabuk kepada hal-hal yang sesungguhnya malah menyakiti atau mendzalimi dirinya sendiri. Jika demikian, maka larangan mengerjakan shalat seharusnya pun dikenakan kepadanya. Sebagai pula perbuatan yang mendustakan agama, yaitu ajaran lurus dari Tuhannya.
Tidak lain inipun disebabkan dominannya rasa pengakuan (ego), sehingga tidak dapat menyadari (ingat) wujud ketuhanannya sebagai wujud Dia Yang Maha Terpuji (Muhammad). Dan sebaliknya, bila dirinya menyadari (ingat), maka janganlah membelokkan yang seharusnya lurus, jangan pula melupakan yang seharusnya di-ingat, serta jangan juga mengotori yang seharusnya suci. Itulah bahayanya pengakuan (ego) yang dapat menyesatkan dari jalan lurus-Nya, melupakan Tuhannya, bahkan menodai kesucian-Nya.
Wujud yang difitrahkan untuk menjadi perwujudan-Nya di alam, yang membawa sifat-sifat Tuhan dalam setiap gerak hidupnya. Yaitu sebagai wujud yang terpuji (muhammad) yang merupakan perwujudan Dia Yang Maha Terpuji (Muhammad).
B.       Ruh,
Yang merupakan ruh-Nya (bukan ruh milik diri-nya), juga sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan. Dengan ruh-Nya inilah, maka kemanusiaan menerima hidup-Nya sebagai anugerah kehidupan, dan yang memerintahkan gerak segala sesuatu yang ada pada dirinya dan yang mempengaruhi dari luar diri-nya.
“...... Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.”    (QS 38:71-72)
Dia-lah ar Raahman yang sesungguhnya memerintahkan ruh-Nya atau para aparat (malaikat)-Nya, yaitu ruhul kudus sebagai pembawa atau penyampai perintah-Nya untuk disampaikan kepada seluruh para aparat lainnya, seperti kepada aparat yang sebagai pelaksana gerak dari mulai tarikan dan keluarnya nafas, gerak ucapnya, gerak dengarnya, gerak lihatnya, gerak pikirnya, gerak tangan dan langkahnya, sampai kepada gerak-gerak yang tidak disadari atau diketahuinya di dalam tubuhnya. Dia-lah yang sesungguhnya memerintahkan para aparat (malaikat) untuk bergerak bekerja sesuai kehendak-Nya (telah diurai di bab iman kepada para malaikat).
Ruh-Nya tersebutlah yang sesungguhnya menghidupkan, sehingga jasad dan jiwa-nya dapat menerima segala anugerah yang dikaruniakan kepada-nya. Jasad merupakan wadah yang menerima, sebagai media jiwa yang memiliki wujud, dan merupakan satu kesatuan wujud dari milyaran wujud yang tak terhitung, serta memiliki kehidupan sendiri-sendiri dalam satu sistem, dan bukan atas perintah diri-nya sebagai penguasa mereka, melainkan perintah Dia (ruh-Nya) Yang Maha Memerintah. Tidak ada sedikitpun kekuasaan-nya atas mereka (jasad-nya) tersebut. Itulah mengapa bila sakit di jasad-nya, diri-nya tak kuasa, bahkan dokter terpercaya pun tak kuasa bila tak dikehendaki-Nya. Diri-nya hanya cuma bisa merasakan
Jadi, dimanakah diri kemanusiaan-nya? Itulah mengapa diri atau jiwa disebut sebagai yang tidak ada. Diri-nya ada pada rasa, yaitu rasa nikmat-Nya. Bukan rasa nikmat yang sesaat, yang kemudian disesalinya. Melainkan merupakan nikmat sejati. Bayangkan, satu saja gerak tersebut dicabut Tuhannya. Misalkan gerak melihat yang dicabut oleh-Nya, sehingga tak dapat melihat. Tentu itu merupakan musibah atau bencana besar bagi dirinya. Tidak usah sampai kepada dicabut, dikurangi saja kekuatannya, yaitu menjadi buram. Tentu itu saja telah merepotkan dirinya, harus membeli kacamata untuk memperbaiki pandangannya. Maka sungguh, agar setiap diri kemanusiaan dapat mensyukuri nikmat-nikmat yang telah dianugerahkan Tuhannya.
Apabila telah menyadari dan memahami segala sesuatu , termasuk yang berada di dalam jasadnya, adalah berada dalam kuasa dan dalam pemeliharaan Dia Yang Maha Pemurah. Sehingga, yang berucap adalah Dia, yang mendengar adalah Dia, yang melihat adalah Dia, yang berpikir adalah Dia, yang menulis adalah Dia, yang melangkah adalah Dia, dan segala sesuatu adalah gerak Dia. Sebab itu, luruskanlah, ingatilah, dan sucikanlah gerak-gerak tersebut sebagai milik-Nya dari ego pengakuan.
Diri atau jiwa inilah yang seharusnya menyatu (manunggal) dengan ruh-Nya, sebagai diri atau jiwa yang tenang dan terkendali (nafs al mutma’inah). Yaitu, yang ikut mengucap, ikut mendengar, ikut melihat, ikut berpikir, serta ikut pada setiap gerak-gerak lain-Nya. Dan hanya nikmat-Nya yang sesungguhnya dirasakan jiwa-nya.
Dia-lah, Allahu arsyis tawaa yang bersemayam di arsy, yaitu di lubuk hati yang paling dalam. Dan pada setiap diri kemanusiaan yang telah secara murni atau ikhlas beriman dan beragama, ruh-Nya kuat dan dominan terhadap setiap gerak yang membawa jiwa kepada keselamatan, kemudahan, ketenangan dan ketentraman.
Sebaliknya, bagi mereka yang tidak memurnikan (ikhlas), maka segala perintah-Nya akan mudah dibelokkan iblis. Bila jiwa lebih cenderung pada kesesatan, yaitu pada mereka yang menjadikan iblis sebagai tuhannya, yang justru malah menjerumuskan jiwa kepada bencana, kesulitan, dan keresahan.
Meluruskan, mengingat, dan mensucikan diri atau jiwa agar dapat bersatu (manunggal) dengan ruh-Nya di dalam tempat tunggal-Nya, menjadikan jiwa yang tenang terkendali dan keluar berupa rahmat bagi sesamanya di alam.
C.       Sifat,
Yang adalah pula merupakan sifat-Nya, yaitu dari sifat wujud, sampai dengan sifat mutakalimaan, juga sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan. Semua sifat-Nya yang memiliki nilai-nilai kebaikan dan kebenaran tersebut sebagai yang melekat  bersama ruh-Nya, karena di alam (bukan di tempat tunggal, arsy-Nya), maka dapat terkontaminasi penyesatan iblis melalui pengakuan (ego) setiap diri (jiwa) kemanusiaan, maka muncullah pasangan dari setiap sifat tersebut sebagai yang memliki pula nilai-nilai keburukan dan kesalahan.
Akibat pengakuan (ego)-nya tersebut, maka rasa butuh akan kehidupan dunia yang berlebihan, membuat iman-nya semakin terkikis oleh ketakutan-nya sendiri, yaitu ketakutan tidak tercukupi. Timbullah ketamakan, keserakahan, kecurangan, yang kesemuanya bersumber dari ego-nya, yang malah menjerumuskan jiwanya kepada rasa resah. Semakin didapatkannya, semakin resah pula jiwa pada rasa takut akan kehilangan-nya. Tiada akan pernah merasa cukup jiwa-nya puas, dan dapat tenang dalam kehidupannya. Itulah jiwa yang didominasi oleh pengakuan (ego)-nya yang berada di dalam nilai-nilai keburukan dan kesalahan.
Sedangkan pada jiwa yang dekat dan mendekati ruh-Nya, berusaha bersama (manunggal), maka akan berusaha meluruskan, mengingat, dan mensucikan semua sifat tersebut dari pengakuan (ego)-nya, serta mengeluarkannya sebagai amal perbuatan yang saling menebarkan rahmat Tuhan bagi sesamanya.
Dengan demikian, maka kehendak-Nya, yaitu agar setiap diri kemanusiaan mewujudkan sifat-sifat Allah pada amal perbuatan-nya. Pada jiwa-jiwa seperti inilah, maka telah manunggal bersama ruh-Nya yang memayungi-nya sehingga penuh dalam kedamaian dan ketentraman, tidak ada rasa takut maupun tersentuh oleh rasa sedih, apalagi resah dan gelisah.
D.      Kitab,
Yang merupakan kitab petunjuk-Nya, juga sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan, maka disebutlah sebagai ahli kitab.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”. (QS 4:171)
Setiap insan kemanusiaan adalah ahli kitab (lihat kembali bab iman kepada kitab), yang telah diberikan kitab sebagai petunjuk kepada jalan lurus-Nya, dan dapat mengingat-Nya, serta mensucikan-Nya. Dengan makna, bahwa amal perbuatannya yang selalu lurus atau tidak sesat, amal perbuatannya yang selalu didasari karena ingat kepada Dia, serta mensucikan setiap amal perbuatannya dari pengakuan (ego) dan penyesatan iblis. Yang kesemuanya tersebut ternyata kembali kepada dirinya sebagai kebaikan dan keselamatan bagi hidup dan kehidupan dirinya sendiri, yaitu nikmat.
Kitab sebagai petunjuk yang menerangkan segala sesuatu, yang telah diwariskan oleh Tuhannya sebagai panduan jiwanya dalam hidup dan kehidupannya yang selalu dibayang-bayangi penyesatan iblis. Yang karena di alam, maka kebaikan pun dibayangi keburukan. Bahkan cahaya pun dibayangi bayangan hitam-nya. Segala sesuatu bersama pasangan-nya. Lain halnya di tempat tunggal-Nya, arsy Allah, maka segala sesuatu adalah tunggal, tidak memiliki pasangan, karena telah manunggal bersama Yang Maha Tunggal.
Di dalam kitab inilah, yang disebut pula sebagai kitab pembeda, yang membedakan pasangan-nya, yaitu yang membedakan antara yang haqq dengan yang bathil, yang baik dengan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang beriman dan yang kufur, dan lain sebagainya. Sehingga menjadi jelas, terang, dan nyata kemana arah jalan lurus yang ditunjuki Tuhannya.
Serta kitab yang terbentang di alam, yang merupakan petunjuk-Nya pula, kemudian ditambah lagi dengan kitab yang merupakan kumpulan firman yang di wahyukan-Nya, keduanya pun memiliki kesesuaian sebagai yang saling membenarkan, dan dibenarkan kembali oleh kitab-Nya pula yang telah ditanamkan di dalam dada setiap diri kemanusiaan sebagai petunjuk yang membawa kebenaran dan keselamatan.
Maka dengan petunjuk apa lagi diri-nya dapat selalu ingat kepada-Nya, dan berlaku lurus dalam beragama, serta suci dalam setiap amal perbuatannya?
E.        Alam Ciptaan,
Yang merupakan ciptaan-Nya, yaitu langit dan bumi serta yang berada diantara keduanya, adalah juga sebagai yang dianugerahkan (diwariskan) kepada setiap diri insan kemanusiaan untuk dikelola secara baik, serta bertanggung jawab menjaga keseimbangan-nya, agar tidak kembali kepada dirinya sendiri sebagai bencana alam atau azab.
Telah tampak kerusakan di darat dan di laot disebabkan perbuatan tangan kemanusiaan. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS 30:41)
Adalah pengakuan (ego) adalah juga sebagai penyebab kerusakan alam, yang padahal sungguh akan kembali kepada diri-nya sebagai bencana atau musibah. Pada hal-hal perbuatan yang sepele, seperti malas membuang sampah pada tempatnya, semakin menjadikannya terbiasa tidak menjaga kebersihan, sehingga penyakit tentu akan mudah hinggap kepadanya. Jika dibiarkan terus menerus, ini akan menjadikan gaya hidup, bila sampai meluas akan membudaya.
Lihatlah sungai-sungai yang ada di kota Jakarta, sampai kepada pemerintah daerahnya pun tidak perduli memperbaiki keadaan ini, karena telah terbiasa kepada kemalasan dan ketidak disiplinan. Bukan hanya di darat dan di laut saja yang telah rusak, bahkan udara-nya pun telah tidak layak bagi kehidupan sehat. Maka mereka sendirilah yang akan merasakan akibat perbuatannya.
Dalam hal-hal sepele saja akibatnya sungguh memprihatinkan, apalagi pada hal pengelolaan seperti, limbah maupun polusi industri, kayu hutan, pertambangan, dan lain sebagainya yang melibatkan alam sebagai objek yang dieksplor-nya.
“Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu, dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS 55:7-9)
Menjaga keseimbangan alam adalah hal mutlak yang tak dapat dipungkiri siapapun, bahkan anak kecil pun telah banyak ditanamkan nilai-nilai pentingnya kelestarian alam, akan tetapi ada hal-hal yang tak dapat dihindari, seperti pertumbuhan populasi penduduk yang mau tak mau harus membuka lahan baru dan mengorbankan lahan-lahan hijau.
Juga pertumbuhan penduduk tersebut, telah ikut pula mengarahkan pertumbuhan ekonomi dan industri yang pada akhirnya memiliki dampak pada lingkungan yang menjadi korbannya lagi. Apalagi bila hal-hal tersebut tak didukung pula oleh aturan atau sistem pengelolaan yang baik dan bertanggung jawab, maka dampaknya akan jauh lebih parah.
Kita hidup di alam ini, dan hendak nyaman dan tentram serta damai tinggal di sini. Alam ini adalah rumah kita, bagaimana mungkin kita bisa tidur nyenyak bila tinggal dan tidur di dalam rumah yang telah rusak. Karena itu menjadi tanggung jawab kita semua memperbaiki kerusakan-kerusakannya agar menjadi layak sebagai tempat tinggal, kemudian merawatnya sebagai yang disebut dengan menjaga keseimbangannya, agar mendapatkan ketenangan, ketentraman dan kedamaian dalam kehidupannya.
Di dalam jiwa yang sehat, maka akan keluar amal perbuatan yang menyehatkan kehidupan yang juga merupakan rahmat bagi semesta alam. Bagaimana mungkin jiwa yang sehat mau mengotori atau merusak alam sebagai tempat hidupnya, seperti hendak mengotori atau merusak rumahnya sendiri sebagai tempat tinggal dan tidur-nya?
Jiwa yang sehat adalah jiwa yang menjaga amal perbuatannya tetap pada jalan lurus, tetap dalam keadaan ingat (sadar), dan tetap dalam keadan suci. Yaitu juga, tidak dalam keadaan mabuk kehidupan dunia yang menyesatkan dan menjerumuskan diri-nya sendiri, akibat pengakuan (ego)-nya yang tidak memperdulikan sekitarnya, sebagai sesama makhluk Allah. Dan itu akan kembali kepada dirinya sendiri, sebagai bencana atau musibah akibat kelalaian atau kesesatannya sendiri.
“.....sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  (QS 91:7-10)
Bukan akal tak berpikir dan bukan pula mata tak melihat, akan tetapi pandangan indah yang dibuat iblis yang menutupi mata dan hati-nya dari melihat dan berpikir yang baik, malah memperbesar pengakuan (ego) yang menyesatkan diri-nya dari menuju kepada keselamatan hidup dan kehidupannya. Dengan kembali mengokohkan keimanan (seperti yang telah diurai), maka akan mengahargai pula kehidupan makhluk-makhluk lain selain dirinya sebagai saling berbagi rahmat-Nya kepada sesama ciptaan-Nya, rahmatan lil ‘aalamiiyn.
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”
 (QS 2:152)





Bab XVI
MENSUCIKAN
(Wayutuzzakata)
“(yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya, Dan Dia lebih mengetahui (keaadaan)-mu ketika Dia menjadikanmu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui tentang orang-orang yang bertakwa.
(QS 53:32)
S
uci mengandung makna terhindar dari segala bentuk kekotoran. Dan sesungguhnya, rasa-lah yang menjadi penentunya, dilihat mata, didengar telinga, dicium baunya oleh hidung, dikecap oleh mulut, dan lain sebagainya oleh indera kemanusiaan-nya, sebagai yang harus disadari bahwa bukan dirinyalah sebagai pemiliknya. Rasa-lah yang menentukan suci tidaknya, kotor atau bersih, serta kelayakan bagi diri (jiwa)-nya. Sesuatu yang memaksa, dipaksakan dan terpaksa maka akan mempengaruhi rasa yang meresahkan bagi jiwanya sebagai dosa, dan menyiksa jasad-nya sendiri sebagai penyakit yang menggerogoti hidup-nya.
Kata ‘zakat’ disini, bukan hanya bermakna kepada mensucikan harta-benda saja, melainkan seluruh anugerah yang telah diberikan Allah kepada insan kemanusiaan dari kenajisan atau kekotoran, yang sesungguhnya adalah akibat pengakuan (ego) dari diri atau jiwa-nya. Kembali menyadari, bahwa diri kemanusiaan hanyalah menerima segala sesuatunya yang merupakan rahmat kebaikan dan kebenaran dari Allah Yang Maha Tunggal, tidak ada nilai-nilai keburukan dan kesalahan di setiap rahmat-Nya. Akan tetapi, karena di alam dan setelah diterima diri-diri, maka tak terlepas dari kontaminasi pengakuan (ego)-nya yang menjadikan terselipnya nilai-nilai keburukan dan kesalahan. Hal inilah yang menjadi perlu disucikan agar dapat kembali kepada yang memberi, Allah Yang Maha Suci sebagai tempat kembali tujuan akhir.
Kebanyakan kita telah salah memahami, bahwa mensucikan-nya hanya dengan membayar zakat-nya, dan zakat pun dimaknai dengan harta-benda. Padahal, inti maknanya adalah mensucikan, salah satunya adalah membayar sebagai cara bagi yang ‘terlambat’ mensucikan anugerah Tuhannya, sehingga kekotoran masuk mencemari anugerah tersebut.
Disucikan karena ada kekotoran, dan mensucikannya, ada yang membayar-nya dengan uang, zakat, fidiyah (memberi makan orang miskin), infak dan sedekah, ataupun puasa. Perhatikanlah ayat berikut ini, kemudian renungkanlah secara perlahan dan mendalam, sambil mengingat-ngingat kejadian yang pernah terjadi baik pada diri maupun yang pernah terjadi di sekitar kita.
“Tahukah kamu (perbuatan) yang mendustakan agama? Maka itulah yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya, dan enggan( memberikan) bantuan”. (QS 107:1-7)
Bila telah tidak mendustakan agama (QS 98:5), yaitu telah berada pada jalan lurus-Nya, ingat (sadar) kepada-Nya yang tiada putusnya, serta mensucikan semua anugerah yang diberikan Tuhannya, yaitu yang bila telah dengan ikhlas tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka masihkah perlu membayar untuk mensucikan-nya? Mensucikan (zakat)-nya hanya bagi mereka yang telah terlambat atau terlanjur mendustakan agama. Renungkanlah.
 Makna, mencegah adalah jauh lebih baik dari mengobati sangatlah pas atau sesuai kepada menjalankan agama dengan ikhlas lebih baik daripada timbulnya penyesalan di hari kemudian, yaitu membayar (mensucikan dengan zakat) harga yang belum tentu sesuai dengan nilai kerusakan akibat amal perbuatan yang mendustakan agama. Maka, hal itu tetap saja sebagai hutang yang kelak akan dihisab (diperhitungkan) pada hari akhir.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, menegakkan shalat (mengingat Allah yang tiada putus), dan  tunaikan zakat (mensucikan seluruh anugerah Tuhan yang telah diberikan kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Bila yang ditekankan membayar untuk mensucikan (zakat), maka asumsi yang timbul adalah, tidak mengapa beramal perbuatan yang mendustakan agama, toh dapat mensucikannya dengan membayar zakat-nya. Sedangkan asumsi kebanyakan orang adalah membayar zakat hanya untuk mensucikan harta-benda yang mungkin saja didapatnya terkontaminasi oleh kekotoran, tidak menyadari dengan cara bagaimana mensucikan amal perbuatan lainnya yang menyimpang dari agama. Atau berusaha sedapat mungkin melakukan segala amal perbuatan yang murni atau ikhlas tak dikotori oleh pengakuan (ego). Mungkin dengan sedekah atau amal-amal sedekah lainnya dapat mengurangi dosa-nya, padahal ternyata sumber sedekah atau amal-amal bantuan lainnya tersebut didapat dari perbuatan yang mendustakan agama. Maha Suci Dia sebagai tempat kembali segala sesuatu. Maka apakah dapat bersih, bila mencuci pakaian dengan air yang kotor?
Harta-benda, yang dipandang dan menjadi ukuran sebagai salah satu hasil atau wujud dari jerih payah usaha atau amal perbuatan setiap diri insan kemanusiaan. Akan tetapi yang perlu disucikan tidak hanya itu, melainkan pula tenaga atau kekuatan yang menggerakkan (daya)-nya, niat atau rencana yang masih bathin (karsa)-nya, kemudian upayanya yang menghasilkan (cipta)-nya. Yang sesungguhnya, kesemuanya tersebut, adalah anugerah dari Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang. Tiada sesuatu pun yang lepas dari kuasa dan kehendak-Nya. Apapun bentuknya, apabila masih melekat kekotoran pada jiwa, maka tetaplah dipertanggung jawabkan sebagai beban pada kehidupan di hari kemudian-nya kelak, sekalipun telah membayar zakat-nya. Dia-lah Yang Maha Adil.
“Katakanlah: Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya. Dan adalah manusia itu sangat kikir.”  (QS 17:100)
Daya
“..... Laa quwwata illaa billah (tiada kekuatan kecuali atas kehendak Allah).” (QS 18:39)
Daya atau kekuatan yang merupakan energi sebagai sesuatu yang menggerakkan. Akan tetapi tetap, sesungguhnya, kehendak Dia-lah yang memerintahkan kepada daya (energi) tersebut untuk menggerakkan segala sesuatu di dalam jasad diri segala sesuatu ciptaan-Nya, termasuk pula diri kemanusiaan.
Di dalam ulasan pada bab Iman kepada Para Malaikat, telah diterangkan bahwa energi-energi tersebut itulah sesunggunya aparat Allah (para malaikat-Nya). Sedikit kita ulas kembali, bahwa ketetapan-Nya, kehendak-Nya, serta perintah-Nya adalah sebagai yang disebut Nur Allah. Aparat-Nya, yaitu para malaikat adalah sebagai Nur Cahya. Sedangkan setiap diri insan kemanusiaan yang telah bermanusiawi adalah sebagai yang disebut Nur Muhammad (wujud dari perwujudan Yang Maha Terpuji).
Limpahan cahaya yang membanjiri bumi sebagai sumber energi bagi hidup dan kehidupan seluruh makhluk-Nya, baik siang maupun malam. Energi-energi tersebut tidaklah musnah atau mati, hanya berubah bentuk, yang pada awalnya energi cahaya, berubah-ubah seperti menjadi energi panas, energi listrik, energi gerak, energi bunyi, dan lain sebagainya. Disitulah para malaikat berperan atas ketetapan, kehendak, dan perintah-Nya. Energi-energi tersebutlah yang menggerakkan hidup dan kehidupan segala sesuatunya, seperti gerak rotasi dan revolusi bumi yang menjadikan malam dan siang serta musim-musim, gerak angin, gerak awan, gerak proses terjadinya hujan. Kemudian kepada gerak kesuburan tanah di bumi, gerak tumbuhnya tanam-tanaman. Kemudian pula pada gerak proses siklus rantai makanan pada makhluk-makhluk-Nya. Itulah rahmat dari Dia Yang Maha Pemurah. “maka nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang dapat kamu dustakan?”
Bahkan kepada para aparat (malaikat) yang bertugas di wilayah jasad atau tubuh setiap diri kemanusiaan, energi-energi (para malaikat) tersebut berperan menggerakkan seluruh gerak hidup dari milyaran sel, jaringan, serta organ tubuh-nya. Seperti gerak bernafas, gerak gerak jantung yang berdetak memompa, gerak aliran darah, gerak berpikir, gerak mencerna makanan, serta gerak-gerak lainnya yang tak disadari dan bukan pula diri-nya yang memerintahkan, melainkan ternyata Dia-lah yang memerintahkan. Dan yang diperintah pun bukanlah diri-nya, melainkan para aparat (malaikat)-Nya sebagai energi penggerak apa-apa yang sebagai bagian atau yang hidup di dalam jasad-nya. Itulah mengapa diri menjadi tidak menyadari gerak-gerak tersebut, karena bukan diri-lah yang memerintahkan apalagi berkuasa untuk menggerakkan. Hanya diri yang masih penuh akan pengakuan (ego)-lah yang merasa memerintah dan berkuasa.
“Dan bahwasanya Dia-lah yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya Dia-lah yang mematikan dan menghidupkan.”  (QS 53:43-44)
Kemudian pada gerak pendengaran, gerak penglihatan, gerak pengucapan, gerak berpikir, gerak tangan dan langkahnya, serta gerak-gerak sadar lainnya adalah merupakan gerak para malaikat yang diperintah oleh Dia dalam ketetapan, kehendak, dan perintah-Nya.  Daya-daya inilah yang dapat mewujudkan bentuk-bentuk amal perbuatan selain amal perbuatan kebaikan bagi diri dan sesama-nya.  Yang sesungguhnya, selain itu merupakan pengabdian kepada Tuhannya, juga merupakan wujud pengabdian-nya kepada setiap diri kemanusiaan (wujud dari perwujudan Yang Maha Terpuji). Seperti yang dimaksud oleh ayat di bawah ini,
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka merekapun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang kafir”. (QS 2:34)
Mereka (para malaikat) yang menolak tunduk pada perintah-Nya, disebut iblis. Renungkanlah, pada diri kemanusiaan, yang jiwanya tak mau tunduk patuh kepada Tuhannya, maka dia atau diri-nya sendiri-lah yang telah mengubah aparat (para malaikat) Tuhannya menjadi iblis yang membangkang, dan menyombongkan diri yang mewujud sebagai bentuk pengakuan (ego) pada diri kemanusiaan-nya.
Betapa berbahayanya hal ini, bila para malaikat-Nya pun membangkang dari tugasnya menggerakkan dan malah mengaktifkan yang “sesat”, menjadi iblis (virus, istilah ilmiahnya) atau penyakit yang menyebabkan sakit, dan terganggunya hidup dan kehidupan dirinya sendiri. Juga tak lagi membawa petunjuk Tuhannya, malah menyesatkan penglihatan hati dan akalnya dari kebenaran.
“..... maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari pembalasan.” (QS 38: 26)
Bentuk pengakuan (ego), yaitu yang menyombongkan diri adalah sebagai penyebab utama terjerumusnya diri kemanusiaan, sehingga perlu disucikan dengan meluruskan dan selalu sadar (ingat) kembali kepada Tuhannya, yang “tiada daya (kekuatan) selain daya (kekuatan) yang diberikan-Nya”. Menyadari (ingat) dan mengakui (melepaskan ego-nya) bahwa diri-nya hanyalah menerima daya (kekuatan) dari-Nya.
Cipta
“Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”  (QS 9:105)
Cipta adalah hasil atau wujud dari daya (kekuatan) dan kreasi imajinasi pikir (karsa) yang merupakan anugerah Tuhan kepada setiap diri insan kemanusiaan, dan bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya sesama makhluk Tuhan. Dia-lah Maha Pencipta (Khaliq), insan kemanusiaan hanya menerima anugerah kekuatan untuk dapat mencipta.
Awalnya adalah kehendak-Nya, kemudian Dia memerintahkan daya atau kekuatan (energi) untuk menggerakkan imajinasi pikir dan bersama gerak kreasi yang kreatif, baik keinginan mencipta suatu yang baru, maupun merekayasa hasil ciptaan yang telah ada. Janganlah pula lupa, mengingat Dia yang tiada putusnya sebagai kesadaran, menjaga kelurusan, dan menjaga pula kesucian segala daya dan kreasi imajinasi pikir (karsa) dari terkontaminasi kekotoran pengakuan (ego) yang sesat dan menyesatkan, yang dapat pula mengotori hasil ciptanya.
Hasil cipta-nya ada yang berwujud baik bagi kebaikan dan baik bagi keburukan, ini jelas universal yaitu dapat diterima atau bermanfaat bagi semua. Dan ada pula yang buruk bagi kebaikan dan buruk bagi keburukan, sedangkan ini merupakan hasil cipta negatif atau buruk yang dapat diterima atau ‘bermanfaat’ (padahal sesungguhnya merupakan penyesatan) bagi mereka yang buruk saja, tiada bermanfaat dan tidak dapat diterima oleh kebaikan, sebagai hasil cipta yang terkontaminasi oleh pengakuan (ego) yang sesat dan menyesatkan.
Allah sebagai Khaliq (Maha Pencipta) semesta alam dan segala sesuatu di dalamnya. Maka adalah karena anugerah-Nya, yaitu dengan bantuan para aparat (malaikat) Allah yang bekerja atas perintah dan kehendak-Nya, maka insan kemanusiaan diberi kekuatan mencipta. Dan jangan dilupakan, setiap anugerah-Nya yang diberikan kepada diri kemanusiaan adalah merupakan sebagai titipan (amanah), yang kelak akan diminta pertanggung jawaban atas pengelolaannya.
Selalu dalam keadaan sadar (ingat) yang tiada putusnya adalah hal utama yang dapat menjaga kelurusan dan kesucian setiap amal perbuatan setiap diri insan kemanusiaan. Bila amal perbuatan baik menghasilkan pahala kebaikan selama hasil cipta tersebut dipakai dan dimanfaatkan orang lain, maka bagaimana dengan amal perbuatan buruk sebagai hasil ciptanya? Tentu segala keburukan akan menunjuk pula kepada diri-nya, selama amal perbuatan buruk itu dimanfaatkan orang lain. Apalagi bila banyak yang menggunakannya. Bagaimana mensucikannya? Tentu tidaklah cukup hanya dengan membayar zakat-nya.
Banyak penemuan teknologi yang berguna bagi hampir sepanjang sejarah kemanusiaan, teknologi lampu listrik, mesin cetak, mesin tenun, dan lain sebagainya yang sangat bermanfaat pada kehidupan sampai sekarang, dan nama baik mereka pun hidup sepanjang hasil ciptanya tersebut digunakan atau dimanfaatkan orang. Dan orang-orang suci yang membawa ajaran kebaikan yang dilekatkan sebagai ajaran agama dari Tuhan, nama mereka pun masih sering disebut-sebut hingga kini. Apa yang mereka perbuat tentunya mengeluarkan energi, dan energi kebaikan yang keluar tersebut hidup serta bermanfaat bagi kehidupan kemanusiaan sampai akhir zaman.
“... Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dai apa yang mereka kumpulkan.”  (QS 43:32)
Tentu, begitupun sebaliknya, amal perbuatan yang merusak atau membuat kerusakan, seperti Fir’aun dengan menuhankan diri-nya, Qarun sebagai lambang ketamakan pada harta benda (harta karun), Yahudi dengan pembangkangannya, Hitler dan Jengis Khan dengan ambisi kebangsaan dan genosida-nya (pemusnahan etnis). Nama mereka akan terus melekat pada keburukan.
Karsa
Karsa adalah gerak imajinasi pikir dan gerak kreasi yang menuntut kekreatifan secara maksimal untuk mendapatkan hasil yang maksimal pula. Rasa ‘menuntut’ inilah yang kelak dapat menjerumuskannya, sehingga sangat perlu disucikan kembali dengan selalau dalam keadaan sadar (ingat) dan meluruskan kembali yang melenceng dari jalan agama, maka akan melenyapkan segala macam pengakuan (ego) yang sebelumnya mengotori alam khayal-nya dalam berkreasi.
Disinilah peran diri (jiwa) sangat mempengaruhi penilaian selanjutnya kepada penilaian akhir, sebagai kebaikan atau sebagai keburukan. Karena, disinilah peran diri (jiwa) yang dapat terjerumus kepada merubah para malaikat-Nya menjadi iblis pembangkang yang seharusnya mengabdi. Sejak itu pulalah iblis mulai dengan peran bujuk rayu godaannya semakin menyesatkan jiwa-nya.
Ini adalah alam khayal yang bathin, dimana segala sesuatu amal perbuatan diniatkan dan dirancang di dalam pikir-nya, dimana masuk pula rasa-rasa yang dapat mendominasi mempengaruhi jiwa akan timbulnya keinginan-keinginan sampingan, seperti untung-rugi, keserakahan atau ketamakan, kepentingan, yang kesemuanya adalah merupakan pengaruh dari pengakuan (ego)-nya.
Bagi orang-orang yang telah beriman, maka terjadilah perang di dalam dada-nya antara malaikat dan iblis, sebagai pembawa kebaikan dan pembawa keburukan. Dan bagi mereka yang telah beriman dan beragama, serta tak menuruti hawa nafsunya, maka iblis telah kalah satu langkah.
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.”  (QS 38:82-83)
Serta bagi mereka yang telah murni (ikhlas) dalam keimanan dan agamanya, maka iblis telah menyerah kalah. Kekuatan mereka adalah pada kemurnian-nya, sebagai kekuatan yang dahsyat. Kekuatan yang dapat menundukkan dan mengembalikan wujud iblis kepada wujud semulanya, yaitu wujud malaikat (aparat)-Nya, mengembalikan tugasnya sebagai yang menjaga, membantu, dan menyampaikan rahmat. Itulah sesungguhnya makna diri kemanusiaan sebagai yang memuliakan Tuhannya.
Anugerah kreativitas yang diberikan Tuhannya adalah anugerah yang luar biasa bagi kehidupan insan kemanusiaan yang bervariasi, tiada pernah monoton dan membosankan, selalu saja ada inovasi-inovasi  kreatif yang membuat hidup kehidupan ini semakin semarak. Begitulah kesempurnaan manusia ciptaan Tuhan, yang bukan tidak mungkin pula, dengan kesempurnaan tersebut, malah menjadikan diri-nya terjerumus pada lupa daratan dan sombong.
 Kehidupan kemanusiaan yang begitu aktif dan dinamis, bagai berada dalam suatu permainan, dan sungguh membuat terlena para pelaku di dalamnya. Bahkan amat menggoda untuk tetap dapat merasakan kehidupan dunia ini selama-lamanya, tak ingin cepat meninggalkannya, serta takut mati. Lebih seperti anak-anak yang sedang asyik dengan permainannya, tak mau terganggu sedetikpun.
Telah tak terhitung segala sesuatu hasil karya yang terwujud dari alam khayal diri-diri kemanusiaan. Dan seluruhnya, kebanyakan besar sekali manfaatnya yang memberi kemudahan dalam kehidupan. Begitulah ajaibnya imajinasi jiwa kemanusiaan, maka Maha Sempurna-lah Dia yang telah mencipta manusia bersama kehidupannya.
Di dalam alam khayal yang bathin ini pula, sesungguhnya banyak masuk petunjuk-Nya, yaitu berupa ide-ide kreatif, ilham yang bersih, dan pembeda antara manfaat dan mudharat. Dan menegaskan kembali lebih kepada keinginan untuk mempermudah hidup dan kehidupan menuju keselamatan dan kesejahteraan, yang sesungguhnya juga merupakan rahmat Tuhan yang direncanakan hendak diberikan kepada sesama makhluk Allah, sebagai rahmatan lil ‘aalamiiyn.
Yang sesungguhnya dari mulai kekuatan diri-nya adalah karena kekuatan-Nya, imajinasi kreatif-nya adalah karena petunjuk-Nya, dan hasil daya olah cipta-nya murni hanya dipersembahkan demi kemaslahatan bersama, yaitu kepada sesama makhluk Tuhan. Lurus, selalu ingat, dan suci, itulah sesungguhnya sebagai agama yang benar (diynul qayyimah) dari Tuhannya.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang selalu mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (sambil berkata), ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”
(QS 3:190-191)

Bab XVII
MURNI (Ikhlas) dalam BERAGAMA
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama, yitu berlaku lurus, menegakkan shalat (mengingat Allah yang tiada putus), dan  menunaikan zakat (mensucikan apa-apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah).
(QS 98:5)
S
ekarang, telah jelas dan nyata manfaat keikhlasan dalam menjalankan agama, yang sebenarnya justru kembali kepada diri sendiri sebagai kebaikan, keselamatan, ketenangan, dan ketentraman yang sejati. Tiadanya keikhlasan dalam beragama, yaitu dalam setiap gerak amal perbuatan-nya sungguh akan menyesatkan. Sesat karena timbulnya rasa takut dan meresahkan diri atau jiwa-nya, dan dapat membelokkan arah  tujuan yang sedari awalnya benar dan mulia kepada kesalahan dan kehinaan. .
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.”  (QS 38:82-83)
Bila direnungkan, sesungguhnya, keikhlasan adalah mutlak perlu dalam setiap amal perbuatan. Pada penjelasan ayat di atas, yang menerangkan sumpah iblis yang akan menyesatkan setiap diri insan kemanusiaan, kecuali mereka yang ikhlas, tentu penafsirannya pun termasuk adalah, penyesatan yang dilakukan-nya adalah kepada mereka yang ‘tidak memiliki keikhlasan’ dalam setiap amal perbuatan. Tidak memiliki keikhlasan dapat pula diartikan tidak menyadari akan pentingnya nilai keikhlasan.
Mereka ini, jelas masih diliputi oleh pengakuan (ego) yang kuat membelenggunya, tanpa pernah bisa lepas darinya bila tidak adanya keterpaksaan yang memaksanya hingga tidak dapat berkutik. Contohnya, kepada atasan-nya atau bos-nya, yang jelas langsung berhadapan dengannya, maka dia tak dapat berkutik. Maka setelah tidak bersama bos-nya lagi, dia tidak lagi dalam kepatuhan dan kesetiaan. Apalagi bila semakin dilunturkan oleh kebutuhan dan keinginan dari hawa nafs (jiwa)-nya.
Pengakuan (ego)-nya akan dapat mempengaruhi lebih jauh lagi kepada kepentingan dirinya sendiri, dan kemudian menyebar pada ketamakan atau keserakahan, untung-rugi, ambisi jabatan atau kekuasaan, dan lain sebagainya yang merupakan ambisi pengakuan (ego)-nya.
Segala sesuatu, telah kita ketahui, memiliki pasangan atau lawannya, termasuk nurani ketuhanan di dalam dadanya, maka akibat pengakuan (ego)-nya akan pula menyebabkan hadir pula musuhnya tersebut. Semakin kuat ambisi ego-nya, maka semakin kuat pula penentangan terhadap nurani-nya tersebut. Maka penyesatan iblis pun semakin menguatkan ambisi diri (ego)-nya untuk dapat memenangkan pertarungan ini, bahkan dengan cara-cara tak terpuji pula.
Sungguh besar bahayanya akibat pengakuan (ego) dari setiap diri insan kemanusiaan, hal ini amat mempengaruhi semua aspek kehidupan. Persaingan tidak sehat dan saling merusak, bahkan kepada saling menumpahkan darah adalah akibat terparahnya. Kepentingan diri dan golongan, sebuah bara kecil, perlahan tapi pasti akan merambat dan membesar membakar aspek-aspek kehidupan sosial kemasyarakatan, perdagangan dan ekonomi, politik, kebangsaan, hingga kepada kehidupan umat beragama.
Pada awalnya, memang hanya demi memenuhi keinginan dan kebutuhan dirinya sendiri saja, akan tetapi lama kelamaan, setelah memiliki istri, bertambahlah kebutuhannya. Kemudian kebutuhannya akan terus bertambah kepada anak dan cucu, belum lagi bila di perjalanannya ada godaan-godaan lain. Seperti godaan wanita, teman atau kroni, ambisi kekuasaan, dan lain-lainnya. Maka dirinya telah masuk kedalam lingkaran setan, yang bagai berada dalam labirin yang akan menyulitkan dirinya sendiri untuk mengurai jalan kembali kepada jalan lurus-Nya, karena telah jauh tersesat.
“.... Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.”  (QS 21:35)
Tidak hanya pada merasakan kenikmatan hidup yang selalu terpenuhi, bahkan berlebihan dan bergelimang kemewahan saja yang dapat menghanyutkan jiwa pada kesesatan, akan tetapi kesulitan akan kebutuhan yang tak kunjung tercukupi dan bahkan menyengsarakan pun sebagai yang dapat menjerumuskan jiwa kepada kesesatan dari berserah diri secara ikhlas kepada-Nya. Keduanya adalah disebabkan tak pernah terpenuhinya kepuasan. Jiwanya selalu merasa haus pada dunia.
Tidak hanya berhenti di situ, demi memenuhi kepuasan, bathin yang telah terikat kepada kehidupan akhirat pun dapat tergoda. Ya, mereka yang jiwa-jiwanya hendak menuju kepada kebersihan pun tak luput dari usaha penyesatan iblis yang seakan tak pernah berhenti pada tujuannya, yaitu sebagai yang hendak menyesatkan jiwa-jiwa dari tujuan kepada Tuhannya. Sekalipun kepada jiwa-jiwa terbaik yang hendak mencapai kesempurnaannya.
“.... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.”  (QS 38:26)
Bukanlah hal yang mustahil, diri-diri yang telah berusaha  hendak mencapai kesempurnaannya pun dapat tergoda dan tertipu kedalam kesesatan. Banyak pula kasus ulama atau pendeta, atau mereka yang telah dianggap suci malah mengalami terperosok kedalam bujuk rayu hawa nafsu dan pengakuan (ego)-nya.
Bila dikembalikan kedalam, ternyata segala sesuatu ada pada rasa, rasa-lah yang membuat segala sesuatu bernilai. Baik dan buruk, susah dan senang, manis dan pahit, kaya dan miskin, semuanya rasa-lah yang mempengaruhi nilainya. Dan semua rasa ada dan berdiam di hati atau kalbu. Sebab itulah kepekaan rasa pun menjadi hal yang penting untuk dapat menggugah kesadaran jiwa, agar selalu melunturkan kekotoran-kekotoran yang telah melekat di hatinya.
Begitu pula kejernihan dan kebersihan hati yang akan sangat mempengaruhi penilaian rasa, semakin jernih atau bersih hati dari kekotoran hawa nafs keburukan maka penilaian terhadap rasa akan menjadi terang, menjadi jelas dalam menyikapinya. Keburukan yang datang diterimanya dengan ikhlas, seperti menerima datangnya malam setelah siang, karena bersama keburukan akan datang kebaikan sebagai suatu pasangannya. Dibalik kesulitan ada kemudahan, seperti bayangan yang selalu ada di belakang cahaya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat (balasan)-nya.”   (QS 99:7-8)
Selama jiwa masih dilekati oleh kekotoran sekecil apapun, maka tetaplah dia harus melanjutkan kehidupan-nya untuk disucikan melalui proses kebangkitan. Maka dia mengalami neraka sekaligus surganya dalam kehidupannya di hari kemudian. Jadi begitulah, kehidupan dan kematian melalui proses siklus kebangkitan adalah sebagai proses pensucian jiwa yang masih saja terus dilekati kekotoran dosa. Itulah sebagai yang telah ditetapkan dalam kehendak-Nya (sunathullah) dari Yang Maha Adil lagi Bijaksana. Yang tidak dirugikan sekecil apapun kerugian tersebut dari seseorang, apakah itu amal perbuatan baiknya maupun amal perbuatan buruknya.
Sebaliknya, bagi jiwa yang telah sadar diri atau jiwa-nya, dan yang berusaha memurnikan amal perbuatannya, serta pula tetap menjaga kesadarannya pada dirinya yang sesungguhnya adalah kefanaan, hampa, kosong, dan bukanlah siapa-siapa bila tanpa gerak para penyampai, yaitu aparat Allah atau malaikat-Nya, maka tiada lagi dia berharap kelak mendapatkan surga dan tiada pula resah terhadap ketakutannya akan mendapatkan neraka. Mereka merasa hanya menjalankankan apa adanya sesuai dengan perintah dari dalam kalbunya yang paling dalam, yang tanpa beban, serta penuh kedamaian dan ketentraman yang sejati.
Hati yang tenang dan mudah dikendalikan akan pula mengendalikan dengan sehat kepada jiwa dan jasad (raga). Dan sebaliknya, pada hati yang resah karena tersesat oleh kekotoran hawa nafs keduniawian, maka akan menyesatkan jiwa dan merusak jasad-nya dengan penyakit. Adalah hati yang telah bersih dari pengakuan (kesombongan ego) akan membawa jiwa kepada ketenangan dan ketentraman sebagai nafs al mutma’innah yang terkendali.
Jadilah diri yang tunduk patuh atas setiap perintah dan larangan-Nya, atau berserah diri (islam) dengan ikhlas atas setiap amal perbuatan,  maka sang iblis pun menyerah, dan akan kembali kepada wujud asalnya, yaitu sebagai wujud malaikat yang tunduk patuh kepada Tuhannya, dan mau pula bersujud kepada diri kemanusiaan, sebagai teman sejawat penjaga, pembawa dan penyampai kehendak Tuhan. Jadilah diri-nya sebagai sebenar-benarnya perwujudan Tuhan di alam yang saling menebarkan rahmat dan kasih-sayang bagi sesama makhluk. Itulah makna iblis secara positifnya.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS 12:53)
Dan menjadi negatif bila diri atau nafs kitapun cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa nafs kita yang sesungguhnya harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan pemeliharaan cahaya-Nya. Dengan demikian, keikhlasan akan membawanya kepada jalan (agama) yang lurus, yang mengarahkan kepada seluruh arah tujuan kehidupan sesungguhnya yang haqq, kebenaran dan keselamatan.
Melunturkan sedikit demi sedikit pengakuan (ego) melalui cara pengenalan terhadap diri-nya sendiri dan mengenal para aparat (malaikat)-Nya, para rasul-Nya, segenap kitab-Nya, hari akhir-Nya, serta kadar baik dan buruk-Nya. Mengenal seluruhnya tersebut adalah pula merupakan mengakui keberadaan dan kuasa Allah yang sesungguhnya menggerakkan dan memerintahkan atas segala sesuatu. Kehendak-Nya meliputi segala sesuatu tersebut.
Menyadari, betapa sebenarnya diri-nya adalah perwujudan Yang Maha Terpuji di alam yang saling menebarkan rahmat kepada sesama makhluk-Nya, adalah usaha memposisikan dirinya untuk siap menerima petunjuk-petunjuk-Nya. Memposisikan diri dengan membersihkan hati dari kekotoran hawa nafsu yang membawa kepada amal perbuatan yang selain merugikan orang lain, juga justru merugikan dirinya sendiri.
Keimanan yang kokoh akan mengkokohkan pula lurus-nya amal perbuatan, menegakkan shalat dan selalu menjaga kesadaran (ingat) kepada-Nya, serta mensucikan (zakat) kemuliaan rahmat anugerah-Nya. Dan secara bertahap, akan pula menyadari keutamaan berserah diri (islam) secara ikhlas.
“Barangsiapa Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri (islam). Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ”
(QS 6:125)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar