Bab IV
MEYAKINI KITAB KITAB ALLAH
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan
(dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan
anak cucunya, dan kepada
apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan
kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka, dan kami
berserah diri kepada-Nya.”
(QS
2:136)
S
|
egala puja dan
puji bagi Allah yaitu Tuhan semesta alam, yang telah memberikan rahmat-Nya
tanpa batas, termasuk pula rahmat petunjuk-Nya, baik yang tersebar merata di
semesta alam, di dalam dada, dan melalui kitab-kitab suci-Nya, serta
yang sesekali datang sebagai rahmat petunjuk yang menjelaskan dan ditanamkan
ke dalam dada diri-diri kemanusiaan yang berserah diri (islam).
“Barangsiapa Allah kehendaki
memberikan petunjuk, niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri
(islam).
Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya
Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ”, (QS 6:125)
Tiada yang
lepas dari kehendak-Nya, sekalipun petunjuk-petunjuknya yang telah
tersebar di alam ini, bila tanpa dikehendakinya, maka tiada seorang atau
makhlukpun yang dapat menerimanya sebagai pengetahuan yang dipahami, apalagi
diterimanya sebagai logika yang masuk di akal-nya. Kehendak Allah-lah kepada
siapa Dia hendak memberikannya, dan kepada siapa Dia hendak menutupi dadanya
sekalipun matanya melihat dengan terang dan jelas.
Bahkan pada
Kitab Suci, yang berisi firman-firman Tuhan dengan kebenaran, yang diturunkan
melalui aparat-Nya yang benar dan suci (ruhul kudus) kepada orang yang benar
dan terpercaya (al amin), bila Dia belum berkehendak memberikan petunjuk-Nya,
maka siapapun yang membacanya takkan mendapatkan petunjuk. Malah pula bagi
mereka yang tertutup hatinya, justru kesesatan-lah yang mereka dapatkan,
bukannya petunjuk.
Berlindunglah kepada Allah,
saat hendak membuka dan membaca al Qur’an yang berisi firman-firmannya. Bila
hendak membaca al Qur’an saja harus berlindung kepada-Nya, tentu
apalagi bila hendak melakukan hal-hal lain yang lebih duniawi sifatnya.
Renungkanlah, semoga Allah membuka dada kita kepada pemahaman yang tidak
sia-sia belaka. Karena iblis juga dekat, berada dan bermain-main di sekitar
permukaan bagian luar kalbu kita. Berbisik dan menggoda dengan bujuk rayunya,
bahkan mengemas hasutannya agar terbayangkan indah dan mempesona khayalan nafs
(jiwa) setiap diri. Iblis tiada pernah akan rela membiarkan manusia menuju atau
bahkan dekat dengan Tuhannya.
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan
jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka
semuanya”. (QS 15:39)
“Wahai anak
cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan
sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat
keduanya. Sesungguhnya
dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin
bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
Kita adalah anak keturunan
Adam, yang menjadi sasaran serta tujuan dendam iblis. Tentang iblis sebenarnya
telah diulas pada uraian tentang keimanan kepada malaikat, dan di uraian ini
sedikit diulang untuk sekedar mengingatkan kembali bahayanya terjerumus pada
bujuk rayunya yang membawa pada kehinaan di akhirnya.
“dia menjawab (setan), karena
Engkau telah menghukumku tersesat, sungguh akan kutahan untuk
mereka (manusia) itu dari jalan-Mu yang lurus, kemudian akan
kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan
kanan mereka. Dan Engkau tidak akan
mendapati kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
Ingat, pada uraian keimanan kepada malaikat, bahwa iblis sebenarnya
‘dapat ditundukkan’ (sujud seperti yang dikehendaki Allah), karena sesungguhnya
Allah yang memerintahkan, akan tetapi, jangan pulalah jiwa menjadi
menyerupai-nya (iblis) yang congkak serta sombong dengan aku (ego)-nya, yang
tidak patuh kepada perintah Tuhannya. Dan dia (iblis) mengutus setan-setan
sebagai aparat-nya yang membisik-bisikkan segala bujuk rayu di dalam dada
setiap diri kemanusiaan.
“(Iblis) menjawab: demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka
semuanya, kecuali
hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka”. (QS 38:82-83)
Jadilah diri yang tunduk patuh atas setiap perintahnya, maka sang
iblispun akan kembali kepada wujud asalnya, yaitu sebagai wujud malaikat yang
tunduk patuh kepada Tuhannya, dan mau pula bersujud kepada diri kemanusiaan,
sebagai teman sejawat pembawa dan penyampai kehendak Tuhan yang berupa rahamat
bagi semesta alam. Jadilah sebenar-benarnya perwujudan Tuhan di alam yang raahmanur-rahiim
bagi sesama makhluk. Itulah makna iblis secara positifnya. Dan menjadi negatif
bila diri atau nafs kitapun cenderung kepada kenegatifan. Yaitu hawa
nafs kita yang sesungguhnya harus selalu ditempatkan dibawah lindungan dan
pemeliharaan cahaya-Nya.
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi
ilmu. Dan
tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim.” (QS 29:49)
Maka lindungilah pula ‘cahaya-cahaya’
yang datang membanjiri bumi, serta peliharalah sebagai teman sejawat
yang selalu menemani diri kita untuk keluar dari kesulitan menuju
kemudahan-Nya, keluar dari kegelapan menuju terang benderang-Nya, serta keluar
dari kebodohan menuju pengetahuan-Nya. Pahamilah, bila kita tak melindungi dan
memelihara mereka, maka mereka akan berubah menjadi musuh kita yang nyata.
Begitu pulalah makna bunyi ayat, “.....dan menolak kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat
terakhir.” (QS 13:22). Segala macam petunjuk yang datang
adalah merupakan kebaikan dan kebenaran, diri atau nafs-lah yang menjadikannya
apakah tetap dalam kebaikan dan kebenaran, kemudian mengembangkan lagi
menjadi lebih bermanfaat bagi ‘sesama’. Atau bahkan menjadikannya
sebagai keburukan dan kesalahan, yang sesungguhnya , kelak, akan kembali
kepada dirinya sebagai yang dituai.
Berbagai kitab yang nyata
ada dan terlihat, serta diturunkan oleh yang Maha Benar kepada rasul-rasulnya,
seperti kitab-kitab samawi, yaitu al Qur’an, Injil, Zabur, Taurat. Juga
kitab-kitab lainnya seperti Tripitaka, Wedha, dan lain sebagainya. Yang
kesemuanya adalah mengandung kebenaran dan kesucian, tidaklah akan menjadi
petunjuk kepada kebaikan, kebenaran, maupun kesucian apabila setiap diri tidak
pula menyiapkan diri dan jiwanya tetap dalam kebaikan, kebenaran, maupun
kesucian agar terjadi harmonisasi antara petunjuk dan yang
diberi petunjuk. Seperti baut dan mur-nya yang harus sesuai.
Kitab-kitab tersebut yang sebagai Kitab
Suci oleh pemeluk agama dari setiap diri kemanusiaan yang dianut dan diakuinya,
padahal merupakan petunjuk bagi seluruh diri kemanusiaan sebagai kitab yang
berisi kebenaran dan hikmah kebijaksanaan dari Tuhan yang Maha Esa
(Tunggal).
Kitab-kitab tersebut diturunkan pada saat atau masa, pada umat,
tempat atau geografis yang berbeda satu sama lainnya, maka bahasa yang
digunakan pada kitab-kitab tersebut pasti berbeda satu sama lainnya. Akan
tetapi makna kebaikan, kebenaran, dan kesucian yang universal mutlak ada,
dan diberitakan di dalamnya sebagai hikmah kebijaksanaan bagi setiap
kemanusiaan. Maka siasat iblispun menuju kepada diri-diri yang begitu
memegang teguh ego-nya ketimbang naluri ketuhanan-nya, seperti
tersebut diatas, apalagi bila diri-nya memegang kekuasaan yang besar, yaitu
seperti diterangkan dalam firmannya, ”......... aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi pandangan
mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS al Hijr 39), maka atas nama syi’ar, atas nama
kebenaran, atas nama agama, serta atas nama Tuhan, mereka berani menimbulkan
kerusakan dan pertumpahan darah yang mengorbankan banyak jiwa kemanusiaan.
”......... Mereka (para malaikat) berkata, apakah Engkau
hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana (muka
bumi) sedangkan kami bertasbih dan menyucikan nama-Mu?” (QS 2:30)
Kepada manusia yang telah mengenal jati
diri-nya, maka kitab-kitab tersebut, kesemuanya, dapat diterima sebagai
yang wajib diimani seperti perintah-Nya. Tetapi, kebanyakan diri
kemanusian, lebih mementingkan ego, serta eksklusifitas golongan-nya, ras-nya,
umat-nya, sehingga terbentuklah pemahaman turun temurun, bahwa kitabnya lah
yang paling benar dan yang paling suci dari kitab-kitab lainnya. Kemudian
menafikan kitab selain kitabnya. Kitabnya hanya untuk agamanya.
Jadilah agamanya adalah agama yang diciptakannya sendiri,
bukan lagi agama serta kitab Tuhan yang seharusnya untuk seluruh diri
kemanusiaan yang dapat diterima sebagai kebenaran dan kesucian. Sehingga tanpa
sadar, semakin tergelincir bersama kefanatikan-nya dengan menjadikan
agama-nya sebagai Tuhannya.
“Bacalah kitab (al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan
laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan
mungkar. Dan
dzikir
(mengingat) kepada Allah itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang
lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS 29:45)
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah
dengan ikhlas semata-mata
karena menjalankan agama, yaitu berlaku lurus, shalat (mengingat) Allah yang tiada putus, dan mensucikan (apa-apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadanya), dan
yang demikian itulah agama yang benar (Diynul Qayyimaah)”. (QS 98:5)
Dan Allah sebagai Tuhan yang Maha Sempurna pun telah menyempurnakan
setiap diri kemanusiaan dengan telah memberikan kitab yang ditempatkan-Nya di
dalam dada di setiap diri kemanusiaan, sehingga setiap anugerah, perintah, atau
kehendak-Nya yang datang sebagai petunjuk, dan akan berharmonisasi
dengan kitab yang ada di dadanya, sehingga keluar dalam bentuk amal perbuatan
yang lurus, penuh dengan kebaikan, kebenaran, dan kesucian secara ikhlas. Juga
terhadap tanda-tanda yang tersebar di alam, yang merupakan ayat-ayatNya adalah
kitab yang akan berguna serta bermanfaat setelah berinteraksi dengan kitab yang
ada di dalam dadanya, sehingga keduanya merupakan petunjuk kebenaran dari Dia
Yang Maha Benar (Al Haqq).
Kitabul Ardhi
Setiap diri kemanusiaan bersama
tubuh atau jasad-nya, serta interaksinya kepada semesta alam yang tak terhitung
jumlah makhluk atau materi yang tersebar di dalamnya, yang telah ditanamkan
kepada seluruhnya tersebut berupa ketetapan (sunathullah) dan petunjuk sebagai
kehendak-Nya, Dia yang Maha Hidup dan Berkehendak.
Dan segala sesuatu yang berada
dan tersebar di alam raya adalah anugerah yang untuk diketahui, tetapi hanya
hak-Nya lah kepada siapa Dia berkehendak memberikan petunjuk-Nya.
Semesta alam raya ini merupakan kitab besar atau akbar, yang berisi
segala macam bentuk makhluk ciptaan,
maupun benda ataupun materi sebagai sebutan, baik wujud, dan sifat, serta
kehidupannya untuk dikenal dan diketahui serta dieksploitasi juga
dieksplorasi dalam arti positif bertanggung jawab demi kemaslahatan
bersama sebagai rahmat dari Allah kepada sesama di semesta alam.
Sungguh tak terhitung penemuan
tekhnologi mutakhir yang ‘dihasilkan’ dari kajian dan penelitian terhadap alam
sebagai petunjuk. Seperti pada sistem sonar kelelawar yang
mendapatkan pantulan dari suara yang dikeluarkannya sebagai petunjuk arah
terbangnya dikarenakan matanya yang lemah. Sistem ini kemudian dipakai sebagai
sistem sonar untuk tekhnologi radar, dan kapal selam yang bergerak di kedalaman
laut.
Banyak negara maju, terutama
negara-negara barat, yang berani melakukan riset-riset penelitian yang berbiaya
fantastis untuk mendapatkan data-data yang tersebar di alam sebagai kitab
yang nyata. Seperti riset ke angkasa luar yang sekali pejalanan pulang
perginya saja menghabiskan dana hingga milyaran dollar hanya untuk mendapatkan
data-data, belum sampai kepada penelitian di laboratoriumnya. Bahkan sejak
tahun 1970-an mereka telah membangun stasiun ruang angkasa hingga proyek perang
bintang (star wars), sebagai skenario di masa perang dingin antara
blok barat dan timur. Sekarang mereka lebih mengarahkan mencari planet lain
yang terdapat kehidupan seperti bumi, sebagai bumi cadangan bila bumi ini telah
habis mereka eksploitasi sehingga tidak layak lagi mereka huni. Serta
memindahkan mereka ke planet lain atau ‘bumi baru’ tersebut, yang
tentunya lebih utama mereka yang berduit. Bisnis baru kaum kapitalis. Sebuah
semangat gila dengan pemikiran gila!! Mustahil !!
Merekalah yang ternyata lebih
memahami makna kitab min indi’anfusihiim ini, kemudian melaksanakannya
sebagai suatu proyek pekerjaan besar yang melibatkan banyak pihak sehingga
negara bahkan menyokongnya. Kemudian merekalah pula yang jauh lebih agresif
dalam mengeksplorasi serta mengeksploitasi alam ini untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyatnya.
Akan tetapi bila alam ini dieksplorasi
serta dieksploitasi secara habis-habisan dan tak bertanggung jawab, maka
akibatnya adalah kembali kepadanya sebagai bencana yang besarnya pun sebanding
dengan kerusakan yang dibuat mereka.
Bencana-bencana yang akan dan
yang telah terjadi sebenarnya adalah usaha penstabilan kembali bumi dari
kerusakannya akibat ulah kemanusiaan yang tak bertanggung jawab. Oleh karena
itu sungguh berbahaya dengan adanya kebijakan investasi asing di bidang
pertambangan, perkebunan, dan hutan industri, serta investasi kelautan. Sebab
ini akan berdampak langsung dengan alam sebagai tempat tinggal pribumi yang
menanngung bencana akibat kerusakan alamnya. Seharusnya, investasi ini dikuasai
negara sebagai pengelolanya, sehingga pengawasannya jauh lebih dapat
dipertanggung jawabkan ketimbang diserahkan kepada investor asing yang lebih
mengedapankan laba perusahaannya ketimbang kelestarian lingkungan yang bukan
sebagai tempat tinggalnya menetap.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, ......”.
(QS 4:171)
Sehingga tidak ada bedanya pada
masa penjajahan dahulu dengan sekarang. Bila dahulu mereka mereka
mengeksplorasi kesuburan tanah nusantara serta mengeksploitasi tenaga bangsa
kita di perkebunan, kemudian membawa hasilnya ke negaranya sebagai kekayaan
mereka sehingga makmur hinngga kini, maka sekarang merekapun masih seperti itu,
kembali menjajah dengan kekuatan ekonomi mereka dengan tema globalisasi
perdagangan dan investasi padahal dibalik kedoknya adalah buruh murah dan laba besar, ditambah dengan warisan
bencana akibat kerusakan alam yang mereka tinggalkan setelah mengeruk
habis isi perut bumi kita.
Maka
bertanggung jawablah wahai pemegang dan penentu kebijakan,
sebagai khalifah dan wakil Tuhan di bumi. Jadilah perwujudan Tuhan di
muka bumi yang menjadi rahmat bagi sesama di semesta alam.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laot
disebabkan perbuatan tangan kemanusiaan. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS an 30:41)
Alam ini, selain sebagai tempat
hidup, juga merupakan ayat-ayat (tanda-tanda) petunjuk dari Allah, dimana
dengan petunjuk-Nya tersebut dapat membawa kita kepada kemudahan-kemudahan
dalam kehidupan, dan bukanlah malah mendapatkan kesulitan ataupun bencana di
kemudiannya. Bila petunjuk yang membawa kepada kemudahan tersebut tidak dapat
direalisasikan secara baik, justru timbul keserakahan setelah mendapatkan
petunjuk, maka bencanalah yang siap menunggu, atau diri-nya sendirilah yang membangun
neraka-nya pada hari kemudian-nya.
Maka kita
kembali sekilas kebelakang, pada uraian keimanan kepada malaikat dan rasul yang
ternyata adalah meliputi diri setiap kemanusiaan ini, yang sesungguhnya untuk
disadari dengan memperbesar perannya pada diri kita agar terjaga dari hawa-hawa
nafs pada keserakahan, ketamakan, dan kesombongan agar tidak terperosok kepada
bencana di hari kemudiannya. Dengan membaca tanda-tanda alam sebagai
petunjuk yang mengarahkan kepada kebaikan dan kemaslahatan bersama sebagai
rahmat Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang.
Begitupun pada setiap diri
kemanusiaan, ada kitab yang telah ditanamkan di dalam dada, dan di
dalamnya telah tertulis segala sesuatunya sebagai naluri
ketuhanan. Dan akan dibenarkan kelak ketika diri mendapatkan petunjuk dari-Nya
satu per satu sebagai ketetapan yang nyata. Maka beruntunglah jiwa yang telah
dibukakan dadanya untuk menerima petunjuk-Nya, kemudian mengakui kebenarannya
dan mengeluarkannya sebagai amal perbuatan yang bermanfaat bagi sesama sebagai
rahmat dari Allaahu rahmaanur-rahiim.
Sebagai contoh, segala sesuatu
yang tidak disadari sebelumnya, seperti pekerjaan organ-organ tubuh yang
dikiranya bekerja dengan sendirinya,
yaitu pada jantung yang memompa darah, paru-paru yang mengatur suplay oksigen,
usus yang mencerna makanan, dan lain sebagainya yang bukanlah kita yang
menetapkannya untuk bekerja seperti itu, ternyata adalah ketetapan yang telah tertulis
di dalam dada dan dikerjakan oleh para aparat-Nya, kemudian setelah datang ilmu
sebagai petunjuk, maka kita mengakui kebenarannya. Dan bagi orang-orang yang
bersyukur, mereka akan menghargai peran dari kerja aparat-aparat Allah tersebut
pada organ jasadnya yang menghasilkan energi baru, yaitu amal perbuatan,
apakah itu gerak ucap, gerak tekad atau niat, maupun gerak amal perbuatan yang
tidak diridhai-Nya.
Disinilah tahap jiwa berusaha
mengenali jati dirinya, bila telah menyadari, bahwa ternyata bukan dirinyalah
yang membutuhkan energi dan bukan pula yang menghasilkan energi untuk amal
perbuatan yang ternyata pula sempat diakui sebagai amal perbuatannya sendiri.
Itulah memahami makna laa hawla wa laa quwwataa illa billaahi, bahwa
tiada kekuatan selain kekuatan Allah.
Gerak langkah, gerak melihat,
gerak mendengar, dan gerak lain-lainnya sampai kepada gerak pikir, atau bahkan
gerak refleks yang tidak disadarinya, adalah membutuhkan energi. Diri
hanya tau lapar dan haus, maka makan-minumlah sebagai obatnya, sementara
menyadari bahwa dengan makan-minum maka dia akan mendapatkan energi adalah hal
kemudiannya, apalagi menyadari sampai kepada bagaimana proses makanannya dapat
dirubah menjadi energi dan menyadari pula peran siapakah sesungguhnya yang
mengubah makanan hingga menghasilkan energi, tentu tidaklah diperdulikannya.
Mungkin karena kesibukannya yang hanyut akan kebutuhan dunianya sehingga tak
ada waktu untuk memikirkan dan menyadari hal-hal tersebut.
Bila kita melangkah lebih jauh
kepada ilmu biologi molekuler, akan semakin terungkap maksud “kitab yang telah ditanamkan di dalam dada”
pada setiap diri kemanusiaan. Yaitu
bagaimana DNA-RNA dan kromosom sebagai penentu sifat bawaan diri setiap
kemanusiaan (kitab yang terjaga).
Atau pada jaringan permukaan kulit di jari tangan sebagai sidik jari dan
lapisan optik kornea mata sebagai identitas diri setiap kemanusiaan yang
berbeda satu sama lainnya.
Sifat
bawaan itulah yang akan sangat besar mempengaruhi pola hidup setiap diri.
Bagi yang bersifat pemarah, dan pola hidupnya pun tidak menyesuaikan sifatnya
tersebut, maka penyakitnya pun dapat diketahui, seperti darah tinggi atau
stroke. Dan pada yang bersifat serakah atau rakus, juga pola hidupnya yang
tidak disesuaikan akan menyebabkan penyakit gula atau diabetes. Apalagi bila
pola hidupnya malah menjerumuskannya, sampai kapan kematiannya pun dapat
ditebak atau diketahui. Itulah makna bahwa segala sesuatunya telah tertulis,
ada pada dirinya sendiri.
“Sesungguhnya dahulu mereka tidak
pernah mengharapkan perhitungan, dan mereka benar-benar mendustakan ayat-ayat Kami. Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu Kitab”. (QS 78:27-29)
pada tubuh atau jasad setiap
diri kemanusiaan yang terdiri dari milyaran sel yang hidup dan sibuk bekerja
setiap saatnya oleh cahaya hidup para aparat (malaikat). Pada uraian
sebelumnya, yang menyebutkan para malaikat adalah juga merupakan energi
bagi setiap gerak tubuh atau jasad baik yang disadari maupun yang tidak
disadari, dan energi tersebut tidaklah habis atau musnah,
melainkan berubah bentuk (ber-reinkarnasi pula) serta meninggalkan
catatan-catatan sejarah kerjanya sebagai pertanggung jawaban kepada yang
memberikan perintah kepadanya, yaitu Dia yang Maha Tunggal. Juga ternyata,
catatan-catatan tersebut merupakan sebagai catatan amal diri kemanusiaannya
yang pula akan dipertanggung jawabkan pada hari penghakimannya kelak.
Semesta alam beserta
keseluruhan isinya, termasuk diri kemanausiaan, selain sebagai kitab besar yang
menyimpan segala petunjuk dan ketetapan dari setiap kehendak-Nya, ternyata
merupakan pula sebagai ‘hard disk’ atau rekaman besar, kitab yang berisi
catatan amal seluruh makhluk-Nya. Sebagai kitab yang terjaga.
Kitab Tandzilal Adzizir-rahiim
“Dia menurunkan al Kitab
kepadamu dengan sebenarnya, membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya, juga menurunkan Taurat dan
Injil,
sebelum-(nya), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan al Furqan.” (QS 3:3-4)
“... sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamu pun telah
didustakan,
mereka membawa mu’jizat-mu’jizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang benar.” (QS 3:184)
Ada
pula kitab-kitab yang diturunkan langsung oleh Allah kepada orang-orang
pilihan-Nya melalui ruhul kudus (jibril), yang dikenal dengan sebutan Kitab
Samawi. Secara jelas Allah menyebutkan nama 4 kitab suci-Nya, yaitu Al Qur’an,
Injil, Zabur dan Taurat. Serta Dia menurunkan Al Furqan (Pembeda), yaitu Dia
yang memberikan pemahaman untuk membedakan antara yang benar (haqq) dan
yang salah (bathil).
“.........Bagi setiap masa ada Kitab (tertentu).” (QS 13:38)
Seperti diantaranya adalah, kitab al Qur’an, diturunkan kepada
nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur selama 23 tahun semenjak kenabian
beliau di usianya ke 40 tahun. Kitab ini pula yang di dalamnya membenarkan
kitab-kitab yang datang sebelumnya, bahkan pula menceritakan kehidupan para
nabi penerima kitab-kitab tersebut beserta umatnya, dan sebagai pelajaran
bagi umat kemudian.
Yang unik pada al Qur’an adalah sebagai kitab yang diturunkan kepada
seluruh umat kemanusiaan, tidak terbatas hanya kaum muslimin, atau hanya untuk
bangsa Arab saja, atau khusus bagi anak keturunan Ismail saja. Lain halnya
dengan kitab-kitab sebelumnya yang lebih bersifat lokal atau eksklusif. Hal ini
dijelaskan di dalam kitab-kitab tersebut. Sekalipun demikian, sekali lagi, al
Qur’an membenarkan dan mengakui kitab-kitab tersebut datang dan diturunkan oleh
Allah pada masa-masa sebelum al Qur’an. Sehingga kaum muslimin pun sebagai yang
harus percaya kepada kitab-kitab tersebut sebagai bentuk keimanannya.
Bila dikaji
lebih dalam, maka dapat disimpulkan setiap kitab yang diturunkan adalah selain
merupakan usaha perbaikan umat, juga sebagai penyempurna dan mengakui kitab
sebelumnya yang berisi ajaran sebagai agama atau petunjuk jalan hidup menuju
keselamatan di dunia dan di akhirat. Beriman kepada kitab-kitab Allah adalah wajib
hukumnya, dengan makna bahwa Allah menurunkan seluruh kitab tersebut pada
masa, kaum, tempat, serta bahasa yang saling berbeda, dengan maksud dan
kehendak yang sama atau satu tujuan, yaitu memberikan petunjuk keselamatan
kepada setiap diri kemanusiaan.
Berarti, segala ajaran-ajaran
atau agama-agama yang ada sekarang ini, adalah hanya anggapan atau buatan
dari ego sektoral masing-masing diri kemanusiaan saja. Karena
sesungguhnya, yang ditetapkan dan dikehendaki, serta akhirnya diturunkan Allah
adalah satu kesatuan ajaran (Ajaran Tunggal), sekalipun berbeda
waktu, tempat, umat, dan bahasa, akan tetapi, ternyata, merupakan ajaran atau
agama yang berkesinambungan, tidak terpisahkan.
“Dan kalau
Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu umat saja, tetapi Dia memasukkan orang-orang
yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang zhalim tidak ada seorang
pelindung
pun dan tidak pula seorang penolong.” (QS 42:8)
Bila kenyataannya terpisah-pisah,
seperti ada jurang yang amat dalam disetiap antaranya, seperti kenyataannya
saat ini, tentu hal tersebut dikarenakan ego sektoral masing-masing diri
kemanusiaan yang lebih menginginkan adanya perbedaan. Renungkanlah ayat di
bawah ini.
“......... Seandaianya Allah tidak menolak
(keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang lain, tentu
telah dirobohkan biara-biara nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti
akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha
Kuat, Maha
Perkasa”.
(QS 22:40)
Dan al Qur’an sebagai kitab yang terakhir,
diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah yang menjadi sumber pijakan setiap
uraian dan ulasan kita semenjak awal hingga akhir dalam buku ini, karena
ke–universalannya, al Qur’an selain merangkum kitab-kitab yang datang
sebelumnya, juga layak sebagai sumber karena selain berisi problematika di masa
lalu, masa sekarang, juga sebagai petunjuk keselamatan untuk masa yang akan
datang.
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi
menjadi pena, dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) setelah (keringnya), niscaya tidak akan habis-habisnya
(dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS 31:27)
Petunjuk
keselamatan dalam arti luas, yang berarti pula mengandung petunjuk ilmu dan
pengetahuan baik yang telah diketahui maupun yang belum diketahui, serta yang
telah ditemukan maupun yang belum ditemukan. Dan takkan pernah habis digali
untuk diambil hikmah-nya, sekalipun telah berulang-ulang kali sejak 1500
tahun yang lalu. Tidak ada kitab yang begitu lengkap menyajikan petunjuk ilmu,
berita hari kemudian (akhirat), sejarah masa lalu, hukum-hukum keadilan,
perniagaan, sosial kemasyarakatan, dan lain sebagainya.
“Al Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, yaitu bagi siapa
diantara kamu yang
mau menempuh jalan yang lurus.” (QS 81:27-28)
Belum lagi
hukum-hukum bagi keadilan dan kebijaksanaan yang tak lekang oleh zaman.
Sekalipun ada yang terlihat kejam, seperti hukum potong tangan, mata dibalas
mata (qishas), dan lain-lainnya, tetapi itulah keadilan, dan kebijaksanaannya
adalah apabila si-korban hendak memaafkan. Dan Allah memuliakannya
dengan membalas berupa rahmat yang luas bagi mereka yang mau memaafkan.
Selanjutnya, kandungan al
Qur’an yang di dalamnya berisi firman-firman Tuhan yang menyeluruh atas segala
sesuatu, adalah kitab panduan bagi setiap diri kemanusiaan yang menginginkan
keselamatan hidup di dunia maupun kelak di akhirat. Inilah kitab yang nyatanya
penuh dengan hikmah kebijaksanaan. Kandungannya meliputi 30 juz,
dengan juz pertama sebagai intisari keseluruhan kitab, dan 29 juz sebagai
penjelasannya.
A.
Kitab-Kitab sebelum Al Qur’an
Di dalam kisah-kisah yang
disebutkan dalam Al Qur’an, Taurat diturunkan Allah kepada nabi Musa AS,
sehingga berdasarkan urutan masa-masa kenabian, maka Taurat adalah sebagai kitab
suci yang pertama diturunkan sebagai petunjuk bagi kehidupan kemanusiaan.
1.
Taurat
Jauh
kebelakang, pada masa nabi Musa As, yaitu kitab Taurat sebagai ajaran
hidup dan dengan perjanjian keras dari Tuhannya kepada bani Israil yang telah
dibebaskan oleh Musa As dari perbudakan Fir’aun di bumi Mesir sejak
kematian nabi Yusuf As telah lama berlalu. Pada masa keemasan Yusuf As, wilayah
kediaman bani Israil (saat itu masih sebuah keluarga besar nabi Yaqub As, ayah
Yusuf) sedang dilanda kekeringan hebat menyebabkan bencana kelaparan, saat
itulah Yusuf As memboyong ayah serta keluarga besarnya ke Mesir karena
mendapatkan jaminan Raja Mesir saat itu (al Qur’an Surat Yusuf).
Akan tetapi,
setelah kematian Yusuf, dan terjadi kemudian adalah, pergantian dinasti tampuk
pemerintahan kerajaan Mesir, berubah pula kebijakan rajanya, yang sebelumnya bani
Isra’il sebagai warga kelas dua dengan kehidupan yang makmur, kemudian
berubah 180 derajat menjadi warga budak, karena dianggap sebagai bagian
dari rezim pemerintahan sebelumnya. Selama ratusan tahun kemudian, bani Isra’il
yang telah berkali-kali lipat jumlah populasinya, sampai kepada masa nabi Musa
As yang dalam pelariannya di negri Madyan mendapatkan perintah dari Tuhan agar mengeluarkan
bani Isra’il dari penderitaan di bumi Mesir, itulah sebagai wahyu pertama
kepadanya.
Kemudian
akibat keingkaran-keingkaran sebagian umatnya maka mereka terkatung-katung di
luar wilayah Palestina (QS 5:22-26), bahkan sampai lama setelah kematian nabi
Musa As. Dan sungguh sejarah kehidupan mereka, yaitu keingkaran-keingkaran
kepada Tuhannya yang tak berhenti hanya sampai di situ, telah membentuk watak
tabiat mereka yang amat menentukan kehidupan keagamaan mereka. Seharusnya agama
yang membentuk watak tabiat mereka, tetapi apa yang mereka alami adalah
sebaliknya. Justru watak tabiat mereka yang telah membentuk agama mereka.
Hal ini
disebabkan oleh 2 hal yang menjadi obsesi perjuangan mereka semenjak exodus
dari bumi Mesir oleh Musa, yaitu firman Tuhan yang menyebutkan, bahwa mereka
adalah umat (bangsa) yang terpilih
dan Palestina sebagai tanah yang
dijanjikan kepada mereka.
Begitulah
akhirnya mereka pun terseret kepada pengubahan kitab-kitab untuk keperluan
mendukung kedua obsesi yang menjadi tujuan utama kehidupan bangsa mereka yang
merasa tak pernah memiliki tanah air. Sejarah kehidupan mereka hingga
terbentuknya pola kehidupan keagamaan mereka, akan diulas mendetail pada Bagian
3 Kembali kepada Agama Allah, kemudian.
Bani Isra’il tidak hanya memakai
Taurat sebagai kitab sucinya, masih banyak lagi sumber-sumber lainnya
yang lebih mirip dengan ide-ide pemikiran, dan mereka wajibkan kepada kaumnya
untuk mensucikannya. Diantaranya adalah Talmud (riwayat-riwayat atau
mitos) dan Protokol-Protokol Pendeta Zionis (ini yang paling belakangan
datang, sekitar pada masa akhir abad ke 19). Kelak kita akan mengurai dan
mengulasnya dalam bab kehidupan keagamaan mereka.
Taurat pun mereka masukkan pula
kedalamnya kitab Zabur dari masa nabi Daud. Tidak hanya itu, Misal-Misal dari
nabi Sulaiman dan kisah Ayub pun masuk
kedalamnya. Padahal masa nabi-nabi tersebut adalah setelah masa kenabian Musa.
Tetapi hal itu adalah wajar, karena mereka adalah nabi-nabi bani Isra’il juga, sehingga
kitabnya pun sebagai yang harus diimani pula. Namun ketika masa nabi Isa,
mengapa Injil tak mereka masukkan sebagai kitab yang mereka imani pula?
Sehingga terbukalah, bahwa mereka hanya mau menerima yang sesuai dengan
keinginan dan cita-cita, serta obsesi mereka.
Taurat atau Perjanjian Lama
(The Old Testament) adalah nama ilmiah bagi sifir-sifir Yahudi, dan tidak lain
Taurat itu adalah hanya merupakan bagian dari Perjanjian Lama saja. Hanya
karena Musa yang mereka lebihkan dari nabi-nabi lainnya, selain pula Daud
sebagai yang pernah berhasil mencetuskan obsesi mereka membentuk negara di
tanah Palestina. Dan Taurat dalam pengertiannya sebagai syariat ajaran-ajaran
bagi bani Isra’il yang lebih terutama bagi agama Yahudi, atau sebagai wasiat
petuah-petuah Musa dari Tuhannya bagi kehidupan bani Isra’il.
Perjanjian
Lama dipandang suci oleh agama Yahudi dan oleh agama Masehi (Nasrani), akan
tetapi sifir-sifir di dalamnya tak semuanya sama. Sebagian pendeta atau rahib
ada yang menambah-nambahkan sifir-sifirnya, dan sebagian lagi ada yang menolaknya.
Demikian dibawah ini rincian sifir-sifir di dalam Perjanjian Lama atau yang
umat Yahudi anggap sebagai Taurat ;
a.
Bagian Pertama, Taurat sebagai
sifir-sifir Musa, yaitu :
Sifir Takwin atau Kejadian (Genesis), Sifir Khuruj, Sifir
Lawiyyun (Pendeta-Pendeta), Sifir Ada (Bilangan), dan Sifir Tatsniah
(Pengecualian).
b.
Bagian Kedua, sebagai sifir nabi-nabi
:
·
Sifir nabi-nabi terdahulu,
Sifir Yasyu’ (Yusya’ bin Nun), Sifir Qudlah, Sifir Samuel I
dan II, serta Sifir al Muluk I dan II.
·
Sifir nabi-nabi yang terkemudian,
Sifir Asya’ya, Sifir Irmiya, Sifir Hazkiyal, Sifir Husya’, Sifir
Yuil, Sifir Amos, Sifir Ubadya, Sifir Yunan (Yunus), Sifir Mikha, Sifir Nahum,
Sifir Habakkuk, Sifir Hajjal, Sifir Zakaria, dan Sifir Malakha
c.
Bagian Ketiga, sebagai al Kitabat :
·
Kitab-Kitab Besar,
Sifir
al Mazamir (Mazmur atau Zabur), Sifir Misal-Misal (al Amtsal, dari nabi
Sulaiman), dan Sifir Ayub.
·
Kitab-Kitab Majalah,
Sifir Lagu-Lagu, Sifir Ra’uts (Ruth), Sifir Rintihan (dari
Irmiya), Sifir al Jami’ah, dan Sifir Astir.
·
Kitab-Kitab lainnya,
Sifir Daniel, Sufur Azra, Sifir
Nahmiya, Sifir Berita Hari-Hari I, dan Sifir Berita Hari-Hari II.
Sifir-sifir inilah kesemuanya
yang juga dipakai sebagai kitab oleh umat Yahudi dan juga umat Nasrani hanya
ada sebagian yang ditambahkan sifir-sifirnya ada pula sebagian yang ditolaknya.
Umat Samiri tidak mau menerima dan tidak menganggap sebagai kitab suci
sifir-sifir lainnya, kecuali hanya lima sifir Musa saja.
2.
Zabur (Mazmur atau Mazamir)
Kemudian,
adalah kitab Zabur, yang diturunkan kepada nabi Daud As, juga fokus
kepada umat atau bani Israil. Kitab ini diyakini bani Isra’il sebagai bagian
dari sifir sifir Taurat atau Perjanjian Lama, yang mengandung sekumpulan
lagu-lagu yang diiringi seruling, itulah sebabnya kitab ini dinamakan Mazamir.
Dan banyak dinyanyikan dalam upacara-upacara keagamaan dan pada saat perayaan
hari-hari keagaaman bani Isra’il. Kebanyakan lagu-lagunya berasal dari masa
Daud (sekitar 73 lagu), dan lagu-lagu dari masa Sulaiman dan Asaf, serta
sebagian lagi dari masa nabi Musa yang jauh ke belakang.
Pada masa
Daud inilah, akhirnya anak keturunan Yaqub (Israil) yang terkatung-katung di
luar wilayah Palestina setelah kematian nabi Musa As, dapat dipersatukan
olehnya dan dapat memasuki serta
menduduki Palestina sebagai wilayah pembentukan negara atau kerajaannya,
sebagai “tanah yang dijanjikan”
Tuhan kepada Musa As (QS 5:21).
Pada kitab
inilah bani Isra’il mengagung-agungkan dan menyanjung dengan puji-pujian kepada
Tuhan dan Daud, dan bagi masa keemasan mereka yang telah memiliki kedaulatan sebagai
bangsa yang telah memiliki tanah air-nya.
3.
Injil
Kitab
Injil, adalah kitab sebelum al Qur’an, yang diturunkan kepada nabi Isa al
Masih As, tujuan diturunkannya kitab dan nabi ini sebagai menyempurnakan serta
memperbaiki kembali kaum atau bani Israil (keturunan Yaqub), yang pada
masa-masa kemudian menjadi umat yang besar dan tersebar sebagai umat Nasrani,
tidak lagi hanya kepada keturunan (bani) Isra’il saja, malah anak keturunan
Isra’il tetap pada agama atau ajaran sebelumnya (agama Yahudi), dan membiarkan
ajaran (agama) ini dianut oleh bangsa-bangsa lain.
Selain umat Yahudi yang memakai sifir-sifir di dalam Taurat
atau Perjanjian Lama (seperti yang telah diurai sebelumnya), juga dipakai oleh
umat Nasrani (Protestan), selain tambahan Perjanjian Baru yang mengandung 4
Injil (Markus, Matius, Lukas, dan Yahya) juga Surat-Surat Paulus dan Wahyu dalam
kitab suci mereka. Dan ada beberapa sifir tambahan bagi umat Nasrani
(Katholik), yaitu :
Sifir Tuwiya, Sifir Yahudit, Sifir
al Hikmah (Kebijaksanaan), Sifir Yasu’ bin Sirakh, Sifir Barukh, Sifir Makkabi
I dan Sifir Makkabi II.
Kita tak akan menilai kebenaran
dan kesucian kitab-kitab mereka dari perubahan, tambahan ataupun pengurangan pada
ulasan kitab pada bab ini, juga nanti akan terungkap dengan sendirinya setelah
kita mengulas sejarah kehidupan keagamaan bani Isra’il pada bab-bab berikutnya.
Cukuplah pada saat ini, dua firman Allah di dalam Al Qur’an di bawah ini
sebagai pijakan berpikir kita.
“..... Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari
tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang telah
diperingatkan dengannya.....” (QS 5:13)
“Perumapmaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya
Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa
kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat
Allah itu.
Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim itu.” (QS 62:5)
B.
Al Qur’an
Al Qur’an ini berisi 30 (tiga
puluh) juz dan 114. Di dalamnya, lebih menitik beratkan kepada petunjuk tentang
keimanan sebagai dasar aqidah bagi pembentukan akhlak insan kemanusiaan
yang telah diberi kitab (ahli kitab), petunjuk hukum-hukum syariah, petunjuk
tentang alam dan penciptaan segala sesuatu, petunjuk tentang hubungan sosial
kemasyarakatan dan toleransi antar umat beragama.
Juga disertai
penggalan-penggalan kisah umat terdahulu sebagai contoh-contoh kasus yang
ternyata masih relevan di kehidupan saat ini, bahkan sepanjang masa. Yang
diharapkan adalah dapat memahami kisah-kisah tersebut dan mengambil kebaikan
dan keburukannya sebagai hikmah, sehingga menjadikannya sebagai dasar setiap
amal perbuatan yang keluar sebagai kebaikan dari setiap perintah-Nya dan
meninggalkan setiap keburukan yang merupakan larangan-Nya.
“Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (QS 75:19)
Juz
pertama ini berisi surah al Fatihah yang ketujuh ayatnya diturunkan di Mekkah,
dan sebagian surah al Baqarah yang paling banyak jumlah ayatnya dan sebagian
besar dari keseluruhan ayatnya diturunkan di Madinah. Di dalam juz ini,
penekanannya lebih kepada keimanan sebagai pondasi dasar kehidupan kemanusiaan,
disertai juga kisah-kisah masa lalu (nabi Musa bersama umatnya bani isra’il)
sebelum kenabian Muhammad SAW yang dapat dimbil sebagai pelajaran.
A. Al Fatihah
Ada
beberapa sebutan yang diberikan kepada surah ini, diantaranya adalah,
1.
Surathul Fatihah
Surah pertama al Qur’an ini berisi 7 (tujuh) ayat sebagai surah pembuka
dan inti sari kitab Al Qur’an yang terdiri dari 30 Juz dan 114 Surah. Surah ini
juga merupakan surah yang dipakai dalam shalat dan diulang-ulang membacanya di
setiap raka’atnya.
Di dalam
Surah ini disebutkan, bahwa, dengan menyebut nama Tuhan, yaitu Allah yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang. Kemudian segala puja-pujian kepada-Nya sebagai
pencipta dan pemilik semesta alam, termasuk diri ini yang dimiliki dan
dikuasai-Nya. Serta dalam lindungan pemeliharaan Dia sebagai Maha Pemurah dan
Penyayang. Kekuasaan-Nya pun meliputi hari-hari agama, yaitu selain hari-hari
di dunia maka juga termasuk dengan hari-hari di hari kemudian, sebagai balasan
dari kehidupan sebelumnya. Keikhlasan segala ibadah atau amal perbuatan
ditujukan hanya kepada-Nya, dan hanya kepada-Nya berharap pertolongan, yaitu
berupa rahmat petunjuk kepada jalan yang lurus menuju kepadaNya, yaitu jalan
orang-orang terdahulu yang telah diberi nikmat, dan bukan jalan orang-orang
yang dimurkai dan sesat yang menyiksa dirinya sendiri.
2.
Ummul Kitab
Ummul Kitab atau induk dari
kitab al Qur’an sebagai inti dari intisari keseluruhan firman-Nya, yang bila ditafsirkan amat begitu
luas dan akbarnya yang takkan dapat terhitung. Andaikan seluruh pohon di
daratan sebagai bahan baku pembuat pena dan seluruh air di lautan menjadi
tintanya, maka tak kan habis tertulis kalimat (firman) Tuhan,
sekalipun ditambah lagi sebanyak itu pula. Dapat pula bermakna sebagai miniatur
keseluruhan isi kitab yang terangkum dalam tujuh ayat pada surah ini. Miniatur
yang merangkum isi keseluruhan al Qur’an, yaitu dengan Allah sebagai Maha
Pemurah dan Penyayang (Rahmaanur-rahiiym), Allah yang menciptakan,
memiliki, dan menguasai, serta memelihara semesta alam dan
isi, berikut apa-apa yang berada diantara keduanya (Rabbul ‘aalamiiyn).
Juga
Allah yang menguasai hari-hari agama atau hari kemudian (Maalikiyaw
mid-diiyn) dengan keadilan dan kebijaksanaan-Nya. Maka Dia-pun menyempurnakan
kehendak dan ketetapan-Nya dengan petunjuk, berupa jalan yang lurus
(Diynul qayyimah atau sirathal mustaqiiym) untuk mencapai keselamatan hidup
baik di dunia dan akhirat, dalam bentuk nikmat-Nya, dan bukan jalan
orang-orang yang dimurkai Allah, juga bukan jalan orang-orang yang berlaku
zhalim dan ingkar kepada-Nya.
3.
Ayatul Mukammah
Adalah sebagai ayat-ayat
pembuka keseluruhan isi kitab, serta merupakan makna akhir dari kesimpulan
penafsiran keseluruhan isi kitab. Keutamaannya adalah menyebut nama Tuhan, yakni Allah
sebagai yang Maha Pemurah dan Penyayang, puji-pujian kepadaNya
sebagai pencipta, pemilik, serta pemelihara semesta alam
beserta isinya, juga penguasa pada hari-hari ‘agama’ (dibahas
panjang lebar di keimanan kepada hari akhir), keikhlasan ibadah atau
amal perbuatan, Petunjuk kepada nikmat-Nya dan menghindari kemurkaan-Nya dengan
tidak berbuat zhalim (menyiksa) yang ternyata perbuatan itu akan kembali
kepada dirinya sendiri.
“Barangsiapa yang Allah kehendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri
(islam),.....” (QS 6:125)
Tidak
hanya sekedar sebagai ayat-ayat yang membuka keseluruhan kitab Al Qur’an, akan
tetapi juga merupakan pembuka dada setiap diri pembacanya untuk menerima
kebenaran dari Tuhannya.
4.
Kitab Baqa
Ada dua pengertian makna Kitab
Baqa ini. Yang pertama, adalah kitab (tujuh ayat al Fatihah) yang abadi
dari semenjak adanya hingga akhir jaman, sebagai yang dipakai secara terus
menerus tiada pernah berhenti di alam ini. Di dalam shalat saja, di suatu zona
waktu (berdasarkan gerak matahari) tertentu yang berbeda dengan zona lainnya
telah dikumandangkan ketujuh ayat ini di dalam raka’at shalatnya, kemudian pada
daerah didekatnya dengan zona waktu yang berikutnya, masuk waktu shalat yang
juga mengumandangkan ketujuh ayat ini pula, begitu seterusnya hingga kembali
kepada zona waktunya lagi setelah satu hari. Begitu setiap harinya, sehingga
bumi ini dipenuhi jejak-jejak kumandang ketujuh ayat ini, dan menembus
lapisan atmosfeer ke luar angkasa menuju langit, sehingga semesta alam ini
menjadi hard disk penyimpan jejak kumandang ketujuh ayat ini.
Yang
kedua, adalah makna kitab diri-diri setiap kemanusiaan yang telah dianugerahkan
Tuhannya, yang juga sebagai bawaan kepada menentukan hari kemudian-nya,
kelak.
“Tidaklah suatu bencanapun yang
menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis
dalam kitab (lauh mahfuzh) sebelum Kami menciptakan. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS 57:22)
Dengan kitab inilah setiap diri
kemanusiaan telah ditentukan sifat atau karakternya, yang dalam ilmu biologi
dalam rantai DNA-RNA yang didalamnya terdapat kromosom sebagai pembawa sifat
(karakter) diri-nya. Sifat atau karakter inilah sebagai penentu kehidupan-nya
di kemudian hari. Dan inipun sebagai yang abadi sesuai kemakhlukan-nya,
sekalipun dia mengalami kematian, kebangkitan, dan hidup kembali di kehidupan
yang baru, maka tetap membawa sifat bawaan tersebut sebagai cetak biru karakter
diri-nya.
Hubungannya dengan ketujuh ayat
surah al Fatihah sebagai kitab baqa adalah kepada makna-makna yang terkandung
di setiap ayatnya, yang merangkum hidup dan kehidupan setiap diri
kemanusiaan ke arah satu tujuan sejati, yaitu nikmat-Nya.
Sekalipun setiap diri memiliki
sifat dan karakter yang saling berbeda satu sama lainnya, maka juga akan
mempengaruhi pola hidup dalam kehidupannya, sehingga jelas akan mempengaruhi
pula nikmat yang akan diterimanya. Dengan demikian, diperlukan petunjuk dan
pertolongan Dia sebagai yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, serta yang
menguasai semesta alam sebagai tempat hidup dan kehidupannya. Dimana di alam
ini, segala sesuatu berpasang-pasangan, maka segala sesuatu akan ditemuinya
dalam bentuk kebaikan dan keburukan, sehingga diperlukan petunjuk
kepada kebaikan (nikmat-Nya) agar tidak tersesat kepada keburukan.
Belum
lagi di setiap mengawali atau mengakhiri doa-doa, yang juga sering menggunakan
ketujuh ayat ini, sebagai pelengkap permohonannya kepada Tuhannya. Keabadiannya
di semesta alam ini membawa rahmat-Nya mengalir terus menggerakkan kehidupan
seluruh makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang takkan pernah berhenti hingga pada
masa yang telah ditetapkan-Nya. Akhir Zaman.
5.
Kitabul Insan
Sebagai kitab pegangan bagi
hidup kemanusiaan yang begitu rentan dari godaan bujuk rayu iblis yang
dapat menjerumuskannya kedalam kehinaan. Tujuh ayat di dalamnya hanya dapat
dipahami dengan uraian penjelasan dari keseluruhan ayat atau firman-Nya yang
berada pada surah-surah lainnya, disitulah segala sesuatu terpapar, sekalipun
masih memerlukan penafsiran yang atas petunjuk dan kehendak Dia pula.
Sekalipun secara ringkas dalam
surah Al Fatihah ini menerangkan kemanusiaan, seperti ayat yang menyebutkan
agar hanya kepada Allah saja tujuan peribadatan dan dalam meminta pertolongan,
serta agar ditunjuki jalan lurus untuk memperoleh keselamatan. Dan penjelasan
dari ayat-ayat tersebut berada pada surah-surah lainnya secara yang lebih luas
dan terperinci, seperti hukum-hukum, sosial kemasyarakatan, dan lainnya hingga
akhirat sebagai yang ghaib.
Kitab
yang berisi kebenaran sejati kepada setiap insan kemanusiaan,
yang diturunkan oleh yang Maha Benar, melalui ruhul kudus (ruh yang suci dari
kesalahan), diterima pula oleh rasul (Muhammad bin Abdullah) yang penuh dengan
kebenaraan dalam akhlaknya, dengan gelar al amiin. Untuk disampaikan
kepada seluruh insan kemanusiaan yang ternyata pula sebagai cikal bakal
(calon) rasul. Sehingga terjadi kesinambungan penyampaian kebenaran sejati
yang tiada putus-putusnya sepanjang masa kehidupan insan kemanusiaan.
6.
Kitabul Mats-tsaniiy
Adalah sebagai 7 (tujuh) ayat
yang diulang-ulang, dalam shalat wajib lima waktunya setiap harinya. Dalam
setiap pembuka doa-doa yang dipanjatkan atau dimohonkan kepada-Nya, karena
sebagai inti dari intisari kitab yang mengandung makna yang luas, meliputi
keseluruhan petunjuk Dia yang Maha Rahman dan Rahim kepada insan kemanusiaan.
Sering
digunakan secara berulang-berulang dalam setiap harinya, karena ketujuh ayat
ini sangat begitu dihargai dan ditinggikan, bahkan dianggap sakral
sebagai pembuka dan penutup pada setiap permohonan doa-doa oleh sebagian besar
umat muslim.
7.
Kitabum-munir
Adalah
Kitab yang Terang dan Nyata, yaitu yang menerangi jiwa dengan kebenaran
sejati setiap insan kemanusiaan, kemudian diharapkan dapat membuka dadanya
agar segala petunjuk, yang merupakan hikmah, dapat masuk dan mengeluarkannya
kembali kepada bentuk amal perbuatan yang menerangi pula apa-apa yang berada di
sekelilingnya.
“......
lalu
diantara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada
pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu
adalah karunia yang besar”, (QS 35:32)
Terang
dan nyata kebenaran ketujuh ayat ini adalah setelah dada dapat terbuka, hatinya
melihat, dan akalnya berpikir bahwa segala apa yang telah diterimanya melalui
petunjuk Tuhannya adalah seperti yang telah dijelaskan di dalam kitab ini.
Sehingga kebenarannya dapat diterima indera-indera jasad dan diterima hatinya.
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca
suatu ayat dari Al Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput
dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah di bumi ataupun di langit. Tidak
ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(QS 10:61)
Maka
hatinya tak dapat mengingkari segala nikmat kebenaran firman-Nya di ketujuh
ayat al Fatihah ini yang terpapar dan tersebar di semesta alam ini. Yang
sesungguhnya ternyata, kedua mata adalah mata milik-Nya, kedua telinga adalah
milik-Nya, dan berikut yang lain-lainnya adalah dianugerahkan kepadanya adalah
milik-Nya, yang dirasakan oleh diri (nafs)-nya hanya nikmat. Yang kelak,
segala anugerah tersebut, akan diminta pertanggung jawabannya, apakah
pengelolaannya digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Baik buruk-nya pasti
akan kembali kepada jiwa yang kelak akan merasakannya kembali sebagai buah
dari yang ditanam sebelumnya.
B. Tiga Ayat yang Utama
Utamanya ketiga ayat utama ini adalah kalimat yang bermakna
perwujudan kemuliaan sifat Tuhan, yakni Allah yang sebagai pelindung karena
Dia-lah Yang Maha Melindungi, pemelihara karena Dia-lah Yang Maha Pemurah dan
Penyayang, dan sebagai tujuan setiap puja dan pujian karena Dia-lah Yang Maha
Sempurna yang mencipta segala sesuatu (termasuk rasa apapun, juga rasa kagum)
dengan amat sempurna, tanpa ada kecacatan ataupun kekurangan pada setiap bagian
dari ciptan-Nya, yang merupakan perwujudan dari setiap kehendak-Nya di semesta
alam ini. Sehingga hanya kepada-Nya lah yang pantas segala puja dan puji di
tujukan.
·
Ta’awudz
Ta’awudz
ini sebenarnya bukanlah termasuk salah satu ayat yang terdapat di dalam
surathul Fatihah, melainkan di dalam (QS 16:98). Akan tetapi sebuah perintah.
Perintah-Nya agar memohon perlindungan Tuhan setiap sebelum membaca ayat-ayat
al Qur’an. Jadi, ta’awudz ini adalah memohon perlindungan dalam setiap
mengawali membaca ayat-ayat al Qur’an, agar terlindung dari kesesatan dalam
memahami makna-maknanya, sehingga terhindar dari kesalahan ataupun penyesatan
yang dilakukan oleh iblis.
“Apabila
kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan
yang terkutuk.” (QS 16:98)
Bila dalam ibadah atau perbuatan
hendak membaca al Qur’an. Yang sekalipun ayat-ayat tersebut adalah petunjuk
dari-Nya, dan yang jelas-jelas adalah
Kitab Suci yang disucikan oleh-Nya saja, maka kita diingatkan untuk selalu berlindung dahulu
kepada-Nya, tentu apalagi bila hendak mengawali setiap amal perbuatan yang
lainnya. Maka sucikanlah setiap amal perbuatan tersebut dengan berlindung
dahulu kepada Dia yang memiliki hari kemudian.
Kembali
kepada yang telah diurai sebelumnya, yaitu bagaimana dendam yang abadi
dari iblis kepada kemanusiaan yang dijelaskan pula di ayat berikut ini,
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa
indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya”. (QS 15:39)
“...kemudian
akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur”. (QS 7:16-17)
Sebab
itulah bahayanya kesesatan yang dibisikkan iblis, sekalipun amal perbuatan kita
adalah menuju kepada kebaikan, maka tetap tak lepas dari bahaya bujuk rayu
penyesatannya. Kitab-Nya memanglah suci, akan tetapi yang sampai kepada kita,
pembacanya, adalah pemahaman, yang dapat saja tersentuh atau terkontaminasi
oleh kekotoran yang menyesatkan, sehingga yang keluar sebagai amal perbuatan
pun berupa kekotoran atau keburukan. Itulah yang sesungguhnya diharapkan untuk
dihindari.
· Bismillaahir-rahmaanir-rahiiymi
“Dengan menyebut nama Tuhan, yaitu Allah, sebagai yang
Maha Pemurah dan Penyayang.”
Dengan pula menyebut nama Dia
yang Maha Pemurah dan Penyayang, selain memohon perlindungan-Nya, sebelum
melakukan setiap amal perbuatan sebagai perwujudan mengakui bahwa segala
sesuatu, termasuk pada amal perbuatan, adalah karena dan kepada-Nya
ditujukan, serta merupakan kehendak-Nya yang suci dari segala hasrat, hawa,
serta keinginan yang dapat menyesatkan diri (jiwa)-nya. Tidak hanya dengan
menyebut nama Dia, melainkan pula mengakui segala rahmat dan nikmat-Nya sebagai
wujud bersyukur, maka menghilangkan pengakuan (ego)-nya yang merasa karena
kekuatan diri-nya lah yang berbuat, dan tidak melupakan sesungguhnya kekuatan
untuk berbuat adalah karena kekuatan-Nya. Sehingga dia akan selalu berada dalam
kesadaran akan kemurahan dan kasih sayang Tuhan kepada diri-nya.
Kesadaran
itu pulalah yang membawa amal perbuatannya yang pemurah sebagai wujud rasa
ikhlasnya, dan amal perbuatan yang didasari kasih sayang sebagai wujud rasa
syukurnya. Adalah nama-nama atau sebutan-sebutan yang merupakan refleksi dari
sifat-sifatnya yang terangkum di dalam Asma al Husna (nama-nama terbaik-Nya),
sehingga menginspirasi (menggugah kesadaran)-nya, bahwa dirinya adalah sebagai
perwujudan Tuhan di bumi. Itulah kehendak Tuhan yang disadarinya.
· Alhamdulillaahi
rabbil ‘aalamiiyn
Segala puja dan puji hanya ditujukan karena dan kepada
Dia, yaitu Allah Tuhan
Semesta Alam,
Memuji Dia, yang hanya kepada-Nya segala pujian sesungguhnya dituju dan
kembali pulang kepada-Nya. Tiada sesuatupun yang merupakan makhluk yang
sesungguhnya tepat sebagai tempat tujuan pujian selain Dia. Karena segala
sesuatu pun adalah menerima rahmat dan kekuatan hanya dari-Nya.
Bukan karena
ego-Nya, maka Dia menyatakan hal itu di dalam firman-Nya tersebut, akan tetapi
karena hawa setiap diri kemanusiaan yang sangat mudah terjerumus
oleh godaan dan bujuk rayu iblis yang justru menyesatkan. Puji-pujian sungguh dapat
menggoda dan menjerumuskan jiwa kemanusiaan, yang memang telah memiliki pula
fitrah seperti itu, sebagai yang rapuh dan amat mudah terjerumus oleh
penyesatan iblis yang menjerumuskan. Karena sesungguhnya segala sesuatu adalah
kembali kepadanya sebagai tujuan dari segala tujuan.
“Wahai anak
cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia
(setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan
menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya
dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin
bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
C. 30
Juz
sebagai Penjelasan
Al Qur’an yang terdiri dari 30
(tiga puluh) juz, pada juz pertama sebagai intisari kitab, dan 29 (dua puluh
sembilan) juz sisanya merupakan uraian penjelasan juz pertama-nya secara lebih
luas dan mendetail berikut tambahan-tambahan kisah-kisah nabi yang lainnya.
Penjelasan secara meluas ini merupakan petunjuk keimanan yang mengarahkan
kepada keselamatan hidup setiap diri insan kemanusiaan sepanjang zaman.
Dan Al Qur’an secara keseluruhannya
juga disebut sebagai, kitab yang Terjaga, kitab Petunjuk (Hikmah
Kebijaksanaan), kitab Pembeda, kitab Perintah dan Larangan, kitab yang
Membenarkan Kitab Kitab Sebelumnya, dan kitab yang Memberitakan Kabar Gembira.
1. Kitab yang Terjaga
Sebagai kitab yang terjaga, al Qur’an yang
diturunkan secara berangsur-angsur, selain berisi perintah dan larangan,
cerita-cerita umat terdahulu, penciptaan alam, juga diturunkannya ayat-ayat yg
sebagai solusi problematika umat saat itu, sebagai bukti hubungan yang erat
antara Allah sebagai Tuhan yang Maha Tahu dengan Muhammad sebagai rasul-Nya
yang menerima wahyu sebagai petunjuk yang benar dari yang Maha Benar dan
diwahyukan kepada orang yang penuh kebenaran serta terpuji akhlaknya (al
amiin). Keterjagaan kitab-Nya ini dijamin oleh Allah melalui firman-Nya,
seperti yang dikutip di bawah ini,
“Bahkan
ialah al Qur’an yang mulia, yang
(tersimpan) dalam (tempat) yang terjaga (lauh mahfuz).” (QS 7:16-17)
Diturunkan
dengan menggunakan bahasa yang terdengar indah dan memukau melebihi karya
sastra yang belum pernah ada hingga saat ini yang dapat menyamainya. Bahkan
ditantang oleh Dia yang mewahyukannya bila ada yang hendak menyerupai
firman-firmannya, sekalipun hanya satu surah. Dan Allah menjamin terjaga
kebenaran serta keasliannya dari usaha-usaha kejahilan yang hendak menodainya
hingga akhir zaman. Dan telah terbukti dengan berbagai peristiwa yang berusaha menodai-nya
namun selalu saja gagal. Itulah jaminan dari Dia yang Maha Pemelihara.
“Dan jika kamu meragukan (al Qur”an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka
buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah,
jika kamu orang yang benar. Jika kamu tak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak
akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka
yang bahan bakarnya dari manusia dan batu yang disediakan bagi
orang-orang kafir.” (QS 2:23-24)
Ditambah lagi dengan jutaan orang yang hafal di setiap masa,
dan semakin bertambah banyak ke setiap masanya, karena budaya semenjak awal
turunnya wahyu yang dianjurkan untuk dihafal dan dibiasakan oleh nabi
Muhammad SAW. Maka jaminan dari Tuhan ini, menjaga keotentikan, kebenaran, dan
kesuciannya hingga akhir zaman sebagai kitab panduan insan kemanusiaan, dan tak
pernah lekang di setiap waktu baik dari sisi bahasa, sastra, ilmu dan
pengetahuan, serta seni keindahan kaligrafi serta keindahan bunyi bacaannya.
“Sebagaimana
(Kami telah memberi peringatan). Kami telah menurunkan (azab) kepada
orang-orang yang memilah-milah (kitab Allah).” (QS 3:3-4)
2.
Kitab Petunjuk (Hikmah Kebijaksanaan)
“Demi al
Qur’an yang penuh hikmah.” (QS 36:2)
Al Qur’an merupakan kitab yang
dalam arti luas, berisi petunjuk berupa hikmah kebijaksanaan yang dapat
membawa mereka menuju kepada keselamatan hidup di dunia maupun kelak di
akhirat. Terpapar beruraian sebagai petunjuk hidup, petunjuk ilmu dan
pengetahuan tentang alam, petunjuk ilmu sosial kemasyarakatan, petunjuk hukum,
petunjuk ketata negaraan, serta pula petunjuk kepada ilmu perdagangan. Kemudian
tidak lepas sebagai petunjuk kepada hari akhir atau hari kemudian, sebagai
suatu masa yang baik maupun buruknya adalah ditentukan oleh amal
perbuatan masa sekarang.
Di dalamnya banyak petunjuk
kepada berlaku adil serta bijaksana dalam setiap permasalahan, menyikapinya
dengan tidak berlebihan, terutama pada menuruti hawa nafs-nya. Dan akibat tidak
berlaku adil adalah kecelakan sebagai yang kembali kepada diri-nya.
Memperjuangkan yang haqq dari kebathilan atau kezaliman, serta kemudian,
setelah terselamatkan, kembali untuk menyelamatkan kezaliman itu sendiri, agar
keluar dari kezalimannya. Demikianlah makna rahmat bagi semesta alam. Karena di
alam, segala sesuatu selalu berpasangan.
Kitab yang menjunjung hukum
bagi keadilan dan kebijaksanaan yang tak lekang oleh zaman. Sekalipun ada yang
terlihat kejam, seperti hukum potong tangan, mata dibalas mata
(qishas), dan lain-lainnya, tetapi itulah keadilan, dan kebijaksanaannya adalah
apabila si-korban hendak memaafkannya. Dan Allah memuliakannya dengan membalas
berupa rahmat yang luas bagi mereka yang mau memaafkan.
Sebagai
kitab petunjuk, di dalamnya banyak ayat-ayat yang tersurat gamblang dan jelas
sebagai petunjuk yang pasti, dan banyak pula yang tersirat atau memerlukan
penafsiran sehingga mengandung makna yang luas yang tiada akan pernah habis
untuk disimpulkan penafsirannya. Sebagai petunjuk, yaitu dari hal-hal yang
masih belum diketahui (gaib). Hanya dengan kehendak Allah-lah maka
petunjuk-petunjuk tersebut akan terbuka sebagai hikmah pengetahuan yang nyata
menjelaskan (QS 2:105).
“Dan kunci-kunci segala yang gaib (belum diketahui) ada pada-Nya, tidak ada
yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut.
Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada
sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau
yang kering, yang tidak tertulis di dalam kitab yang nyata.” (QS 6:59)
3.
Kitab Pembeda
Adalah kitab yang menjelaskan
perbedaan segala sesuatu, baik yang nyata kelihatan dan yang nyata tidak
kelihatan, membedakan secara jelas sebagai pasangan segala sesuatu yang
selalu hadir dan mempengaruhi setiap diri kemanusiaan. Membedakan antara yang
terang dengan yang gelap, yang baik dengan yang buruk, serta jalan lurus dengan
jalan yang menyesatkan. Karena segala sesuatu Allah ciptakan secara
berpasang-pasangan.
Dibedakan bukan untuk ditolak,
melainkan untuk diketahui dan dapat menerima baik-buruknya, sebagai fitrah
hidup setiap diri kemanusiaan, yaitu menerima. Segala sesuatu yang ada
pada diri-nya adalah karena dapat menerima (hidup), dan adalah karunia
Tuhan-nya. Baik itu kekayaan harta benda, anak-istri, jabatan atau kedudukan,
sekalipun kemiskinan dan kemelaratan serta kesengsaraan, semuanya adalah karena
menerima. Adakah yang tidak diterimanya? Bahkan hidup dan matinya.
Tidaklah
ada kekuatan dari sesuatu atau siapapun yang dapat menolak kekuatan dan
kehendak Allah. Jika Dia telah menetapkan, sekalipun jiwanya menolak, tetapi
tetap harus diterimanya sebagai keterpaksaan, akibatnya bathinnya menjadi
resah, jiwanya gelisah, dan apapun geraknya menjadi serba salah.
Padahal, siapapun mengetahui dengan benar dan sadar diakuinya, keikhlasan
adalah kuncinya. Dan kita akan mengurainya pada bab tersendiri, di belakang.
“Maka
hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan (agama), sesuai fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah)
itu. Tidak
ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”, (QS 30:30)
Allah
menciptakan segala sesuatu saling berpasang-pasangan. Dan dirinya sendiri-lah
yang mengklasifikasikan segala sesuatu tersebut sebagai baik maupun buruk
bagi dirinya. Apakah itu kebaikan dan keburukan, benar dan salah, siang dan
malam, anugerah dan bencana, rahmat dan azab, surga dan neraka, maupun yang
lain-lainnya sebagai pembanding sebelum memutuskan setiap amal perbuatan.
Padahal segala sesuatunya tersebut pasti hadir secara beriringan
pada kehidupan, sebagai ketetapan yang merupakan fitrah setiap makhluk
ciptaan dari Allah. Seperti menerima sakit setelah sekian lama hidup sehat,
atau pada umumnya profesi pedagang yang tidak dapat menerima bila
mengalami kerugian.
4.
Kitab Perintah dan Larangan
Sebagai petunjuk kepada hikmah
yang merupakan kebijaksanaan Dia yang Maha Adil, dan demi keselamatan hidup,
maka tentunya petunjuk-petunjuk tersebut ibarat rambu-rambu yang berupa
perintah dan larangan yang berkesan ‘keras’dan ‘tegas’, namun demikian banyak
pula diri kemanusiaan yang membandel melanggarnya, yang padahal perintah
dan larangan tersebut justru ternyata adalah demi kebaikan dan keselamatan
mereka pula. Itulah luar biasanya iblis dalam usaha penyesatannya (QS al Hijr 39).
Inilah
kitab yang patut sebagai dasar pijakan atau sumber dari segala sumber hukum
dalam kehidupan sebagai pribadi, keluarga, lingkungan, hingga kepada kehidupan
berbangsa dan bernegara, agar tidak terjerumus pada usaha penyesatan iblis.
Seperti yang diperingatkan Allah di dalam firman-Nya,
“Wahai anak
cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia
(setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat
keduanya. Sesungguhnya
dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak dapat
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin
bagi orang-orang yang tidak beriman”. (QS 7:27)
5.
Kitab yang Membenarkan Kitab Sebelumnya
“Dan apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu kitab yang benar, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sungguh, Allah
benar-benar Maha Mengetahui, Maha Melihat hamba-hambanya”, (QS 35:31)
Al Qur’an, selain adalah kitab yang
membenarkan kitab-kitab yang telah datang sebelumnya, juga merupakan kitab yang
dibenarkan pula akan kedatangannya oleh kitab-kitab tersebut.
“Dan
sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar (disebut) dalam
kitab-kitab orang yang dahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama bani Isra’il mengetahuinya.” (QS 26:196-197)
Berbagai kitab yang nyata ada dan terlihat, serta diturunkan oleh
yang Maha Benar kepada rasul-rasulnya, seperti kitab-kitab samawi lainnya,
yaitu Injil, Zabur, Taurat, juga kitab-kitab lainnya seperti Tripitaka, Wedha,
dan lain sebagainya. Yang kesemuanya adalah mengandung kebenaran dan kesucian,
merupakan kehendak Tuhan yang turun sebagai petunjuk kepada insan-insan
kemanusiaan yang terpilih menjadi rasul (utusan)-Nya untuk disampaikan kepada
masing-masing umat atau kaumnya.
Kehendak Dia-lah menurunkan kitab-kitab tersebut kepada siapa, dan
kapan, serta tempat atau wilayah diturunkannya. Yang jelas, bahasa kitabnya
memakai bahasa kaumnya, dan situasi atau suasana kehidupan yang telah rusak
parah akan menjadi sebab diturunkannya sebagai peringatan dan usaha perbaikan
kearah kehidupan yang dikehendaki Tuhannya.
Kitab-kitab
tersebut yang sebagai Kitab Suci oleh pemeluk agama dari setiap diri
kemanusiaan yang dianut dan diakuinya, padahal merupakan petunjuk bagi seluruh
diri kemanusiaan sebagai kitab yang berisi kebenaran dan hikmah
kebijaksanaan dari Tuhan yang Maha Esa (Tunggal). Kitab-kitab tersebut
diturunkan pada saat atau masa, pada umat, tempat atau geografis yang berbeda
satu sama lainnya, maka bahasa yang digunakan pada kitab-kitab tersebut pasti
berbeda satu sama lainnya. Akan tetapi makna kebaikan, kebenaran, dan kesucian
yang universal mutlak ada dan diberitakan di dalamnya sebagai hikmah
kebijaksanaan bagi setiap kemanusiaan.
“......... Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya
kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, ......” (QS 5:48)
Dan
tidaklah pantas, bagi insan kemanusiaan malah terjerumus pada perbedaan-perbedaan
tersebut yang merupakan ketetapan Allah (sunathullah), Tuhan semuanya.
Berbantah-bantahan, saling mengejek, atau bahkan saling menghina dan menghujat
hingga malah saling menumpahkan darah, yang itu semuanya merupakan perbuatan
perwujudan kehendak iblis yang menginginkan setiap insan kemanusiaan terjerumus
pada kesesatan.
6.
Kitab yang Memberitakan Kabar Gembira
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kitab kepada
hamba-Nya
dan Dia tidak menjadikannya bengkok, sebagai petunjuk yang lurus, untuk memperingatkan
akan siksa yang amat pedih dari sisi-Nya dan
memberitakan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan
bahwa mereka akan mendapatkan balasan yang baik.” (QS 18:1-2)
Sebagai petunjuk
yang lurus, al Qur’an mengandung kebenaran sejati dari Dia yang Maha
Benar, selain memperingatkan kepada setiap diri kemanusiaan akan amal perbuatan
yang berlawanan dengan apa-apa yang telah ditunjuki Dia, dan akibat-akibat yang
akan dituainya kelak, sebagai yang akan menyiksa dirinya sendiri. Begitupun
kepada amal perbuatan yang searah dan sesuai dengan kebenaran sejati tersebut,
maka akibat-akibatnya pun akan dituainya sebagai kebaikan pula yang kembali
kepada dirinya, sebagai berita gembira yang datang terlebih
dahulu sebagai firman-Nya di dalam al Qur’an.
Sesungguhnya,
bukanlah Dia yang menghukum, akan tetapi segala pengakuan-nya sendirilah
yang menghukum dirinya sendiri. Disebabkan setiap amal perbuatannya adalah
perwujudan dari setiap pengakuan yang menyesatkan jiwanya karena
mengaku-ngaku ‘aku’-nyalah yang berperan, sehingga diri atau jiwa-nya
pulalah yang harus mempertanggung jawabkannnya.
“Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada
Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah
sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik”.
(QS 9:24)
Diri yang ber-Kekitaban (Ahli Kitab)
“Dan apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu kitab yang benar,
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha
Mengetahui, Maha
Melihat hamba-hambanya”, (QS 35:31)
“Kemudian
kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu
diantara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang
pertengahan, dan ada
pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah
karunia yang besar.” (QS 35:32)
Kebanyakan
kita kaum muslimin beranggapan, bahwa ahli kitab dipersepsikan kepada
mereka kaum Yahudi dan Nasrani. Padahal dari segi bahasa, ahli kitab
bermakna kepada mereka atau siapa saja yang telah menerima kitab dari Allah. Adalah
mereka, insan kemanusiaan, yang telah diberi kitab dan petunjuk dari Tuhannya,
yang seharusnya terefleksikan pada kesempurnaan akhlak sebagai perwujudan keimanan-nya
yang keluar membentuk pola kehidupannya yang terpuji. Begitulah sebutan ahli
kitab, yang bermakna sebagai yang
pantas menyandang sebutan ahli, yaitu sebagai pewaris haqq yang seharusnya
mengelola dengan baik dan sempurna dari segala yang diberikan atau yang
dianugerahkan kepadanya, yaitu berupa kitab sebagai petunjuk kepada hikmah.
“Dan sungguh telah Kami anugerahkan Kitab (Taurat)
kepada Musa,
maka janganlah
engkau ragu-ragu menerimanya dan Kami jadikan kitab itu petunjuk bagi bani Isra’il.” (QS 4:171)
Tidak sedikit pula mereka yang
berpaling setelah mendapatkan petunjuk, akibat terjerumus dan terlenanya jiwa
pada hawa kehidupan dunia yang menggoda dan terlihat indah. Bahkan dengan
kekejiannya, iblis mengemas kesesatan tersebut dengan sedemikian rupa
agar terlihat sebagai suatu “kebaikan” yang indah bagi pandangan mereka (QS al Hijr 39).
Kebanyakan
kita, umat muslim, menerjemahkan ahli kitab kepada mereka umat Nasrani
dan Yahudi, tidak termasuk diri-nya. Padahal diri-nya pun sebagai yang menerima
kitab. Dan tuduhan kepada mereka, sebagai yang merubah kitab. Sekalipun
disebutkan di dalam firman-Nya di dalam al Qur’an, tidaklah pantas kita sebagai
kemanusiaan ikut menuduh. Karena akan semakin memperlebar jurang perbedaan yang
dapat mengarah kepada pertikaian. Cukuplah dengan saling berbuat kebaikan dan
saling menghargai sebagai makhluk Allah. Dan cukuplah memahami makna ayat
tersebut sebagai ancaman larangan dari Tuhan kepada mereka, siapapun yang
mencoba-coba hendak mengubah isi kitab-Nya, yang merupakan firman yang mutlak
kebenaran-Nya.
“Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu
......” (QS 4:171)
Jika demikian apakah atau
dimanakah batas-nya itu? Maka kembalikanlah kesadaran jiwa dengan mengakui
segala sesuatunya sebagai rahmat karunia dari Dia dan bersyukur, Allah ar
Rahman yang Maha Pemurah. Dan hindari segala macam pengakuan bahwa hanya
dirinyalah yang memiliki apa-apa yang telah dianugerahkan (yang
sebenarnya hanyalah titipan atau amanah) kepadanya, apapun itu. Intinya adalah,
hanya Dia-lah pemilik segala sesuatu, tanpa terkecuali. Ternyata
bukanlah anugerah dalam arti, hibah kepemilikan yang diberikan
kepadanya, melainkan hanyalah titipan atau amanah yang wajib
dikelola dengan baik dan benar, apapun itu, istri dan anak-anak, harta benda,
rumah tingggal, kendaraan, dan ladang pekerjaan, serta seluruhnya yang
merupakan apa-apa yang diterimanya, sekalipun petunjuk atau hikmah.
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang di dalam) dada dan petunjuk serta
rahmat bagi
orang-orang yang beriman.” (QS 10:57)
Jangan biarkan jiwa kita
terperosok kepada tipu daya iblis, yang dengan berbagai cara menginginkan
setiap jiwa kemanusiaan ikut menemaninya di neraka. Tipu dayanya dapat berupa
membakar gairah semangat, sekalipun itu membawa-bawa nama agama dan Tuhannya.
Seperti semangat mati syahid di jalan Allah melalui jihad, padahal ternyata
dibelokkan dengan malah merusak dan menumpahkan darah melalui jalan terorisme.
Atau pada hal-hal sederhana, berusaha menghambat atau menghalangi umat lain
dalam kebebasan beribadahnya. Apalagi sampai merusak rumah ibadah mereka.
Sesungguhnya, bila demikian, maka perbuatan itu menzhalimi diri kita
sendiri.
“.........
Seandaianya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian kaum kepada sebagian yang
lain, tentu
telah dirobohkan biara-biara nasrani, gerja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi (sinagoga), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti
akan menolong orang yang menolong-Nya. Sungguh, Allah Maha
Kuat, Maha
Perkasa”.
(QS 22:40)
Menghalangi mereka (umat lain)
beribadah kepada Tuhannya, yang ternyata merupakan Tuhan kita sendiri. Dan
merusak rumah ibadah mereka, yang merupakan rumah Tuhan kita sendiri.
Sadarilah, bagaimana perbedaan pada masa, tempat atau wilayah, umat, bahasa
atau sebutan-sebutan, kala ajaran atau agama diturunkan Allah, adalah suatu
yang lumrah. Dan hal tersebut juga merupakan kehendak Allah. Bagaimana bila
Allah membiarkan setiap diri kemanusiaan, dalam naungan umat, serta atas nama
agama, saling balas membuat kerusakan dan menumpahkan darah?
Dan Allah “me-monumen-kan”
wilayah atau negri Palestina selama ribuan tahun sebagai contoh buruk
pergolakan perebutan ‘ego’ umat agama-agama samawi, sejak setelah
kematian nabi Musa As. Semua mengaku atas nama keturunan Ibrahim, atas nama
agama dan atas nama Tuhannya. Semua mengaku Ibrahim sebagai
bapaknya, padahal semua memang keturunan Ibrahim, bangsa arab berbapak Ismail
yang adalah anak Ibrahim dari Siti Hajjar (istri kedua), dan bangsa israel
berbapak Yaqub (Israel) yang adalah cucu Ibrahim dari anaknya Ishak dari Siti
Sarah (istri pertama). Sekalipun semuanya merasa “benar” menurut anggapan
mereka, tetapi mereka semuanya salah menurut Allah dikarenakan ego-nya
yang menyesatkannya kedalam bentuk perbuatan saling merusak dan saling
menumpahkan darah. Maka yang puas adalah iblis. Dan dia-pun telah lama
meninggalkan wilayah tersebut, mencari wilayah-wilayah lain demi kesibukannya
untuk menghasut dan menjerumuskan diri-diri kemanusiaan lainnya. Telah
sampaikah iblis di wilayah atau negri kita, disini dan saat ini? Bagaimana
dengan yang pernah terjadi di Aceh, Sampit, Poso, Ambon, Sampang, dan sekarang
yang mengkhawatirkan adalah Papua.
Adalah Allah, Dia-lah Tuhan
yang Mutlak di semesta alam ini, baik sebagai Tuhan umat muslim, nasrani,
yahudi (bani israil), budha, hindu, khong hu chu, shinto, maupun umat-umat
lainnya, yang ternyata bukanlah merupakan umat agama. Agama atau ajaran
tetaplah satu, yaitu Agama Allah (diynul qayyimah, QS 98:5). Sementara yang
kita sadari, adalah hanya pada kesamaan inti ajarannya, akan tetapi
tetap merasa dan menganggap hanya ajaran atau agama milik kitalah yang
benar, sementara yang lain adalah dalam kesesatan. Padahal rasa
seperti itulah yang justru dapat menyesatkan diri kita, seperti layaknya
tersesatnya iblis dengan kesombongannya saat diperintah Tuhannya untuk
sujud (tunduk) kepada Adam (QS 2:34).
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa
indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka
semuanya”. (QS 15:39)
Memang secara nyata, al Qur’an
sebagai penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya, akan tetapi, juga membenarkan
keberadaan kitab-kitab sebelumnya, maka tidaklah layak hal itu malah
menjerumuskan diri kita kepada kesombongan seperti sombongnya iblis. Resapi dan
akuilah, bila kita melihat seseorang yang jauh lebih hebat, pintar, dan cerdas
daripada kita, tetapi bersikap angkuh dan sombong. Maka hilanglah segala kelebihannya
tersebut di mata kita, seakan-akan menginginkan dia tidak ada. Berhati-hatilah
dan selalu waspada pula terhadap segala sesuatu yang berlebihan dalam
menghadapi atau menjalankannya. Karena sesungguhnya, segala sesuatu tersebut
adalah merupakan anugerah Dia Tuhan yang Maha Pemurah kepada dirinya, sekalipun
itu anugerah berupa petunjuk atau hikmah.
Wahai Ahli Kitab ! Janganlah kamu melampaui batas
dalam agamamu,
Bab V
MEYAKINI HARI AKHIR
(HARI KEMUDIAN)
“Atau apakah manusia
akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah
kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.”
(QS 53:24-25)
A
|
llahu maalikiyaw mid-diiyn, Dia,
Allah Pemilik dan Penguasa ‘hari-hari agama’, adalah merupakan pijakan
uraian mengenai rukun iman yang ke lima ini. Literatur umum, menafsirkan ‘yaw mid-diiyn’ sebagai hari
pembalasan, akhirat, serta surga dan neraka. Dalam terjemahannya yang jelas,
maksudnya lebih menekankan peran agama sebagai ‘diyn’, yaitu petunjuk
ajaran atau aturan hidup menuju keselamatan. Makna
luasnya adalah kehidupan yang diisi hari-hari yang tidak pernah lepas dari aturan
hidup sebagai petunjuk dari Allahu rahmanur-rahiiym
dan Allahu raabal ‘aalamiiyn,
sebagai Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan Tuhan semesta
(seluruh) alam. Apakah itu kehidupan di dunia ataupun di akhirat, maupun
diantara keduanya seperti hidup menanti di alam kubur.
Bila kita fokus kepada ‘hari-hari
agama’, maka itu jelas mengarahkan makna kepada, bahwa kehidupan ini dan
kehidupan nanti akan selalu dibawah naungan Dia yang maha menunjuki,
merahmati dan menguasai-nya. Sehingga tidak tepatlah, anggapan
sebelumnya, di alam akhirat setelah kematian,
bahwa telah terputus-nya segala amalan. Sebagaimana
kita diajarkan untuk selalu mendoakan orangtua, para salihin, muslimin
dan dan muslimat, serta bershalawat kepada nabi Muhammad SAW. Karena
ternyata secara tegas disebutkan agama masih tetap berperan, sekalipun
pada kehidupan di hari kemudian.
“ya Tuhan
Kami, dan
masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga
‘Adn yang
telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara
bapak-bapak mereka, dan
istri-istri mereka, dan
keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana, dan
peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau
pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau
anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Pada
ayat diatas dijelaskan, bahwa para penghuni surga pun masih memerlukan
keselamatan dari kejahatan yang ada pada hari itu. Karena ketetapan
Allah adalah mutlak untuk di segala ruang (alam) dan waktu
(yang lalu, sekarang, maupun kemudian). Dan Allah pun menegaskan, bahwa alam
surga dan neraka pun adalah berada di alam dunia ini, dan sedang
berlangsung sekarang ini.
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam
surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki
(yang lain), sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS 11:108)
Dengan
demikian, apakah sekarang ini, kita sedang berhadapan dengan orang-orang yang
sedang mengalami surga dan neraka-nya? Berarti, diri kita ini pun
sedang mengalaminya? Hal ini akan semakin jelas, setelah kita masuk pada uraian
tentang kematian dan kebangkitan. Bersabarlah dalam memahami makna-makna
yang terkandung dalam Al Qur’an, dan mohonlah perlindungan-Nya, agar kita tidak
mudah tersesat.
“Apabila
kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari (penyesatan) syaitan yang
terkutuk.” (QS 16:98)
“..... dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan
katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS 20:114)
Pada hari akhir, kata ‘akhir’
adalah lawan kata ‘awal’, bermakna ujung dari sesuatu, yang lebih
menekankan waktu atau saat kejadian berujung. Hari Akhir dapat berarti, akhir
dari suatu urusan dalam kehidupan dunia, dan dapat pula merupakan berakhirnya
hidup di dunia (kematian), serta bermakna yang jauh lebih luas lagi, yaitu akhirnya
dunia atau semesta (kiamat). Akan tetapi hari akhir hanyalah masa
transisi atau peralihan atau pula penantian, yang berisi masa
pengadilan atau penilaian, perhitungan, maupun hisab, untuk menentukan kemana
kemudian kehidupan selanjutnya tertuju, yaitu hari kemudian.
Seperti adanya esok
setelah hari ini, adanya nanti setelah sekarang, dan
adanya memetik setelah menanam. Seperti pula, naik atau tidak
naik kelas, lulus atau tidak lulus sekolah, dan naik
atau turun jabatan, yang membuat seseorang melanjutkan kehidupan pada
suasana baru sebagai alam lain-nya,
yang tentunya amat dipengaruhi oleh kehidupan sebelumnya.
Akan tetapi tetap dalam suasana yang sama, yaitu dalam suasana berlatih
(belajar) untuk menuju suatu kesempurnaan, serta kesucian jiwa (diri)-nya agar
dapat kembali pulang kepada-Nya. Ilayhi
raji’un. Hanya diri-diri yang telah bersih dari kontaminasi kekotoran
yang dapat kembali kepada-Nya, yaitu jiwa-jiwa yang tak lagi membawa keinginan
dan kebutuhan, apalagi jiwa yang tersesat. Itulah tauhid murni.
Pada suatu urusan, masih
didunia, malu dan terpojok ataupun rasa sakit sebagai balasan langsung adalah
sebagai neraka dunia-nya (neraka wayl), dan rasa puas dan nikmat sebagai
surga dunia-nya (surga firdaus). Dan di akhirat (setelah
kematian), semua rasa yang sangat tidak enak dan sangat menyakitkan terwujud
sebagai neraka akhiratnya (neraka safiil), serta semua rasa kenikmatan terwujud
sebagai surga akhiratnya (surga adniin). Serta di tempat tunggal-Nya,
yaitu di kalbu yang paling dalam, yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu
baik di dunia maupun nanti di akhirat, hati yang sempit terhimpit akibat rasa
bersalah, apapun menjadi serba salah, adalah nerakanya (neraka jahanam), serta
damai dan tentram serta sejahtera sebagai surganya (surga na’im).
Dari
ketiga uraian tersebut, adalah rasa yang merupakan unsur dominan
sebagai objek yang menerima balasan dari setiap amal perbuatan sebelumnya.
Sementara wujud diri dan alam sebagai tempat diri berada,
tidaklah menjadi hal penting, sekalipun suasana tempat ikut mempengaruhi, akan
tetapi tetap rasa-lah sebagai yang merasakan nikmat atau tidaknya. Dalam
kehidupan sekarang pun rasa-lah yang dicari dan dihindari. Yaitu rasa
nikmat sebagai yang dicari, dan rasa tidak nikmat sebagai yang dihindari.
Berapapun harga kenikmatan itu akan dibayar untuk mendapatkannya, begitupun
sebaliknya, berapapun harga yang dikeluarkan akan dibayar untuk menghindari
ketidak nikmatan.
Kematian
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (QS 67:2)
Kematian
adalah hari akhir-nya kehidupan di dunia bagi diri kemanusiaan. Dalam
kehidupannya selama di dunia, yang dalam satu harinya, disibukkan oleh
kegiatannya dari pagi hingga sore, dan setelah lelahnya, dia merasakan kantuk
yang luar biasa saat malam tiba, kemudian tertidur untuk beristirahat.
Nah, begitu pulalah kehidupan dan kematian. Mati dan hidup adalah proses
tidur dan bangun yang dalam skala panjang waktunya. Kematian
merupakan pula hari akhir
kehidupan, dimana terpisahnya antara ruh, jiwa, serta jasad (tubuh)
untuk beristirahat, dan menunggu dibangunkan (dibangkitkan) lagi.
Masing-masing berada pada alam yang berbeda atau terpisah, tetapi dalam satu
sebutan tempat tunggal, yaitu alam penantian (barzakh), tempatnya
di alam kita ini juga.
Kematian pun
merupakan akhir satu fase kehidupan yang diisi dengan beristirahat atau menanti
di alam kubur untuk dibangkitkan melanjutkan kehidupan selanjutnya, untuk mengalami
balasan sebagai tuai-an amal perbuatan kehidupan sebelumnya. Seperti
kita bangun dari tidur dan melanjutkan atau mempertanggung jawabkan kembali
kesibukan yang kita perbuat kemarin yang belum selesai. Bila pertanggung
jawaban yang belum terselesaikan adalah hal yang besar, mungkin akan terbawa
sebagai mimpi yang menyusahkan di dalam tidurnya semalam, maka seperti itu
pulalah azab kubur.
Jiwa akan disimpan oleh Allah
di tempat tunggal Dia yang Maha Tunggal, dan kelak akan ditiupkan-Nya
saat dibangkitkannya kembali bersama jasad-nya. Karena jiwa manusia adalah ‘bagian’
dari Ruh Allah yang dianugerahkan pada kehidupan
sebelumnya, maka harus kembali lagi kepada-Nya.
“......
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Ku-sempurnakan
kejadiannya dan Ku-tiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka
hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS 38:71-72)
Setelah
kematian, maka kehidupan selanjutnya adalah penantian di alam kubur (barzhak),
yaitu menunggu untuk dibangkitkannya kembali bersama jasad dan ruh-Nya.
Lamanya penantian adalah relatif waktunya. Tentunya, bagi jiwa yang tersesat,
adalah biasa baginya tidak pernah bersabar di kehidupan sebelumnya, maka
pada masa penantian inipun akan terasa lama sekali dan amat menyiksa bagi
jiwa-jiwa seperti ini dalam menunggu.
Sedangkan jiwa, ada dua
kemungkinan kemana dia bertempat tinggal. Yang pertama, adalah bagi jiwa-jiwa
yang di kehidupan di dunianya telah bersama Tuhan-nya, yaitu bagi jiwa-jiwa
yang damai, tenang tentram dan terkendali (mutma’innah), maka dia akan
mengikuti karena telah terbiasa manunggal, mengikuti bersama ruh-nya menuju
tempat tunggal Dia yang Maha Tunggal.
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang
belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahanlah
jiwa
(orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang
lain
sampai waktu yang ditentukannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
kekuasaan
Allah bagi kaum yang berpikir.” (QS 39:42)
Yang berikutnya adalah, bagi jiwa-jiwa yang tersesat kala di kehidupan
dunianya, terpukau dan hanyut oleh kemegahan serta kemewahan dunia, maka
setelah kematiannya pun, setelah terpisah dengan ruh dan jasad, tinggallah jiwa
tertambat di alam dunia meratapi jasadnya yang lama kelamaan hancur, kemudian
tersesat bergentayangan di tempat-tempat dahulu disenangi dan sering
disinggahinya. Dia tersesat, dan tersiksa oleh rasa ketertarikan pada kemegahan
dan kemewahan kehidupan dunia yang tak dapat dinikmatinya lagi namun tetap
menggodanya. Dia lebih memilih begitu, sekalipun sudah tak bersama jasadnya
lagi, karena tak rela meninggalkannya,
terus tersiksa menunggu hingga waktu dibangkitkannya sebagai jiwa yang
merana, untuk mengalami pembalasan pula di kehidupan selanjutnya.
Kematian, seharusnya adalah kesempurnaan. Karena itu di
kehidupannya kemanusiaan selalu mencari jalan untuk mendapatkan
kesempurnaan-kesempurnaan dalam segala hal. Dan dalam meniti jalan-jalan
tersebut, tentu tidaklah mudah, selalu ada halangan ataupun godaan bujuk rayu
dari hawa nafsu (iblis)-nya sendiri yang hendak menyesatkannya. Akan tetapi,
setiap diri selalu hendak mencapai kesempurnaan dalam tujuan hidupnya,
sekalipun harus mengalami berkali-kali jatuh dan bangun. Sekalipun harus
mengalami hidup dan mati, serta dibangkitkan beberapa kali, namun dengan itulah
jiwanya menjadi kuat, dan semakin dirinya mendekati pada kesempurnaan, maka
segera pula hendak meraih kesempurnaan berikutnya yang lebih sempurna lagi dari
sebelumnya. Begitu seterusnya hingga dirinya akhirnya menemukan kesempurnaan
sejati, yaitu kesempurnaan jiwanya untuk dapat kembali pulang kepada Dia Yang
Maha Tunggal.
Tidaklah
sempurna uraian ini bila tidak mengulas pula kebangkitan sebagai awal kehidupan
selanjutnya di hari kemudian. Banyak ayat al Qur’an yang berisi keterangan
tentang kebangkitan, mengasumsikan seolah-olah bahwa sesungguhnya Allah
meragukan keyakinan manusia akan kejadian kebangkitan diri-nya. Atau
sekedar memperingatkan kepada manusia yang meragukan kekuasaan Allah dalam hal
membangkitkan mereka. Karena begitu banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang
kebangkitan yang menggunakan perumpamaan kejadian-kejadian di alam, sehingga
menafsirkan bahwa Allah meragukan keyakinan diri-diri kemanusiaan terhadap
adanya kebangkitan.
Padahal sesungguhnya,
kebangkitan adalah hal yang mutlak harus terjadi setelah hari perhitungan atau
penghakiman, yaitu untuk menjalani kembali kehidupan yang berisi balasan atas
setiap amal perbuatan di kehidupan sebelumnya. Sekalipun dunia ini belumlah
kiamat. Dan itu merupakan ketetapan-Nya, sunathullah yang pasti terjadi pada
setiap makhluk ciptaan-Nya. Tidak hanya pada diri kemanusiaan saja, melainkan
seluruh alam raya ini berikut isinya. Seluruhnya mengalami peluruhan, kematian,
kemudian terurai dan dibangkitkan kembali dengan wujud baru
sebagai siklus gerak kehidupan dalam sistem semesta untuk mencapai kesempurnaan.
Siklus Kebangkitan
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal
kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya
lah kamu dikembalikan”. (QS 2:28)
Itulah ayat yang menegaskan kejadian kebangkitan yang
berulang-ulang yang merupakan siklus mati-hidup, seperti siklus
tidur-bangun tetapi dalam skala panjang waktunya, atau pada siklus
proses terjadinya hujan sebagai air yang menguap naik-turun kembali
kebumi, atau pada makhluk-makhluk Allah lainnya. Sampai pada akhirnya kepada-Nya
lah kemudian diri-diri (jiwa) dikembalikan sebagai yang telah murni, suci dan
bersih.
“Dan apakah
mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian
mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS 29:19)
Jadi, ini adalah siklus perubahan bentuk atau wujud karena terurai
kembali sebab dari yang telah ditetapkan oleh kehendak-Nya atau lebih dikenal
dengan sebutan sunathullah. Termasuk siklus perubahan bentuk pada jasad
dan wajah dari waktu ke waktu yang semakin keriput dan rambut yang memutih,
sekalipun tanpa menghilangkan atau merubah identitasnya. Dan dengan siklus
kematian dan dibangkitkan sebagai tujuan penyucian jiwa agar bisa
kembali berpulang dalam kesucian kepada-Nya sebagai Yang Tunggal. Suci
dari segala macam pengakuan (ego)-nya yang mengotori jiwa-nya, sehingga
menghambat jiwa-nya untuk dapat kembali kepada Yang Tunggal, karena harus
mengalami dibangkitkan atau dihidupkan kembali untuk membersihkan kekotoran
yang masih melekat di kehidupan sebelumnya.
“Dia
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang
hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur).” (QS 30:19)
Bila
kebangkitan adalah hal yang harus dan pasti terjadi setelah hari perhitungan
atau penghakiman, yaitu untuk menjalani kembali kehidupan yang berisi balasan
atas setiap amal perbuatan di kehidupan sebelumnya, maka berarti, kehidupan
sekarang ini adalah merupakan balasan dari amal perbuatan pada kehidupan
kita sebelumnya.
Kemudian timbul pertanyaan,
sungguhkah kehidupan sekarang ini, di dunia ini, adalah kehidupan akhirat yang
merupakan pembalasan dari kehidupan dunia sebelumnya? Jadi, telah berapa
kalikah masing-masing kita mengalami kebangkitan?
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kami-lah
kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Mungkin pertanyaan ini akan menjadi polemik, dikarenakan pemahaman
sebelumnya, yang pada umumnya tidaklah demikian. Melainkan dikarenakan
pemahaman sebelumnya yang secara umum mempercayai, bahwa kebangkitan tersebut
di alam akhirat setelah alam dunia ini hancur atau kiamat. Dan menganggap tabu
kebangkitan yang berulang-ulang, seperti reinkarnasi-nya ajaran umat
lainnya. Apakah menjadikan penting dan merasa harus berbeda? Ataukah
hanya sekedar agar tak dianggap mengikuti ajaran umat lain? Dan apakah dengan
begiitu kita mau menutup mata terhadap kebenaran-Nya? Janganlah kita
menjadi terjerumus kepada taqlid yang pada akhirnya kufur
terhadap kebenaran yang seharusnya kita terima sebagai perwujudan ikhlasnya
rasa berserah diri (islam) kita
terhadap apa-apa yang turun dari-Nya sebagai kebenaran yang hakiki.
Kembali lagi di sini, pengakuan (ego) yang merasa harus berbeda,
atau merasa tidak mau disamakan dengan umat lainnya. Perasaan congkak inilah yang sesunguhnya akan
dapat menjerumuskan jiwa kita. Bukanlah hal yang sulit bagi Allah, bila Dia
kuasa membangkitkan, mengapa hanya sekali saja? Sedangkan ayat diatas tersebut
tegas menyatakan kebangkitan yang berulang-ulang. Jiwa akan terus menanggung
beban pensucian-nya selama kekotoran atau dosa masih melekat. Apakah kita mau memakan
makanan yang akan masuk ke dalam tubuh kita yang ada penyakit, ada kotoran, dan
najis yang melekat padanya? Tentu kita akan sabar menunggu dengan mencuci dan
memasaknya terlebih dahulu. Hanya pada
jiwa yang telah suci dari kekotoran sesungguhnya yang dapat pulang kembali
bersama ruh-Nya kepada Dia Yang Maha Tunggal, ila’ihi raji’un.
Betapa
banyak ayat-ayat mengenai kebangkitan yang Allah gambarkan dengan mengambil
kejadian-kejadian di alam ini sebagai contoh yang nyata. Dan sesungguhnya Allah
menciptakan satu alam ini untuk semua alam, baik yang dimaksudkan dengan alam
dunia maupun alam kubur dan juga alam akhirat. Karena jelas,
bahwa alam kubur, dimana terpisahnya ruh dan jiwa dengan jasad yang dikuburpun
memakai alam ini pula, sedangkan jiwa dan ruh yang merupakan gaib atau bathin
tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Buktinya, banyak jiwa-jiwa penasaran
(tersesat) sebagai energi yang masih dapat ditemui di alam ini juga,
memakai alam ini pula. Dan setelah dibangkitkan, apakah perlu Allah menciptakan
alam lain sebagai tempat pembalasan? Apakah untuk alam pembalasan tidak dapat
memakai alam ini pula? Dia-lah Allahu
rabbul ‘aalamiyn.
Bila surga dan nerakanya
seperti yang dibayangkan pada umumnya, mungkin saja. Akan tetapi bila telah
memahami surga dan neraka adalah rasa bathin, maka tidak diperlukan lagi
alam yang seperti dibayangkan pada umumnya. Cukup di alam ini. Toh, begitu
banyak contoh mereka yang mengalami surga dan nerakanya masih di alam ini juga
tanpa harus menunggu kematian, sebagai balasan langsungnya akibat amal
perbuatan sebelumnya. Bahkan diri kita sendiri pun pasti pernah mengalaminya.
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada
putus-putusnya.” (QS 11:108)
Ayat tersebut jelas menjelaskan neraka dan surga sebagai hari
pembalasan yang termasuk di dalam alam akhirat
adalah berada di alam ini pula, yang kekal selama masih adanya langit
dan bumi. Jadi cukuplah alam ini pula sebagai tempat pembalasan bagi
jiwa-jiwa untuk merasakan surga dan neraka-nya, akibat amal perbuatan di
kehidupan sebelumnya. Maka, penafsiran dari ketiga ayat di atas lebih mengarah
kepada pengertian bahwa alam ini adalah tempat bagi kehidupan dunia maupun sekaligus
sebagai tempat bagi kehidupan akhirat.
Yang jelas kehidupan sekarang ini
adalah merupakan lanjutan kehidupan sebelumnya, serta amat sangat
mempengaruhi pada kehidupan selanjutnya. Hari ini adalah karena hari
kemarin, dan hari ini menjadi penentu hari esok. Begitu seterusnya baik dilihat
ke belakang maupun dilihat ke depan, sampai pada akhirnya, kembali pulang
kepada Tuhannya.
Dan kematian pun, sebagai akhir hidup,
terus belanjut mengalami suatu fase penantian untuk dibangkitkan kembali
menjalani kehidupan selanjutnya dengan membawa beban dosa atau nikmat
pahala sebagai akibat bawaan perbuatan sebelum kematiannya. Dan itu terus
berulang sebagai siklus hidup-mati (kebangkitan) sebagai pembersihan (suci)
jiwa untuk mencapai kesempurnaan sejati, sebagai syarat mutlak agar dapat kembali pulang
kepada Dia Yang Maha Suci lagi Maha Tunggal.
Alam semesta (langit dan bumi)
inipun mengalami kematian sebagai hari akhirnya, yaitu kiamat.
Kemudian dibangkitkan (dibangun) lagi sebagai kejadian yang
berulang-ulang. Seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya di bawah ini.
“(Ingatlah)
pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang
pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan
melaksanakannya.” (QS 21:104)
Kemudian ditegaskan lagi oleh
ayat diatas, bahwa kiamat, kejadian akhir dunia atau semesta alam,
ternyata juga merupakan fase peralihan menuju pembentukan kembali
awal semesta alam yang baru. Begitu seterusnya sebagai siklus semesta
yang amat panjang dan tak terukur waktunya. Janji Allah adalah ketetapan mutlak,
yang pasti akan terjadi. Tidak ada perubahan pada ketetapan Allah.
Akan
lebih melengkapi ulasan tentang hari akhir ini bila didukung pula kejadian
awalnya, sehingga akan membawa kita kepada pemahaman tentang proses
siklus semesta yang dimaksud di atas.
“Dan apakah
orang-orang yang kafir (tertutup hati dan akalnya) tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami
pisahkan antara keduanya.......” (QS 21:30)
Suatu keadaan “awal” diterangkan Allah
dengan istilah suatu yang padu, dimana ini mengandung makna bahwa satu
obyek yang dapat dipecah, dibelah, atau dipreteli hingga terpisah menjadi
minimal dua bagian. Kata padu pun dalam ayat ini mengandung makna pula,
sebagai suatu keadaan berkumpul menjadi satu (singularitas) dari sebelumnya
yang terpisah atau berjarak. Karena Allah tidak memakai kata “awalnya” atau
“dimulai” melainkan kata dahulunya. Sedang kata dahulunya lebih menunjukkan kepada suatu masa atau waktu sebelumnya,
yang tidak hanya mengandung makna waktu awal dari segala sesuatu, maupun
dimulainya segala sesuatu. Atau pula dapat bermakna, telah mengalami beberapa
kali awal dan berapa kali akhir. Sehingga lebihlah tepat adalah
suatu keadaan atau kondisi masa-masa awal penciptaan alam
semesta, yaitu dengan memisahkan langit dan bumi. Yang bermakna unsur-unsur
pembentuk langit dan bumi telah ada sebelum dipisahkan.
Setelah dipisahkannya langit dan bumi, kemudian diluaskanlah
langit, dalam bahasa astrofisika, alam semesta yang terus mengalami mengembang
atau memuai volume ruangnya. Sehingga kemudian dengan ketetapan-Nya,
terciptalah bintang-bintang serta gugusan-gugusan yang mengelompokkannya.
“Dan langit
itu Kami bangun dengan kekuasaan, dan sungguh Kami
benar-benar meluaskannya.” (QS 51:47)
“Kemudian
Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih
berupa asap, lalu Dia
berkata kepadanya dan kepada bumi, datanglah kamu berdua dengan sukahati ataupun
terpaksa. Kemudian keduanya menjawab, kami datang dengan sukahati. Maka Dia
menjadikannya tujuh langit dalam dua hari (masa) dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang
terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan
sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS 41:11-12)
“Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan
bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang
memandangnya.” (QS 15:16)
Alam semesta yang sebelumnya adalah
suatu yang padu, kemudian dipisahkan oleh-Nya langit dan bumi, dan
mengembangkan langit menjadi jauh lebih luas hingga terciptanya bintang-bintang
(jumlahnya hingga milyaran). Hingga pada suatu waktu tertentu yang telah
ditetapkan-Nya, Allah mengembalikan prosesnya seperti menggulung
lembaran kertas, mempersatukan
kembali (singularitas) langit dan bumi sehingga meleburlah milyaran bintang
yang berada di langit, sebagai alam semesta yang menyusut. Begitulah proses
kelahiran dan kematian alam semesta sebagai suatu siklus penciptaan yang akan
diulangi-Nya kembali.
Tempatnya tetap satu, semesta alam ini, akan tetapi hidup-mati dan
kebangkitan yang berulang-ulang sebagai siklus, sampai pada suatu waktu akhir,
yang hanya Dia yang tahu kapan waktunya, yaitu hari akhir bagi alam semesta
(kiamat kubra). Dimana segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi, serta
yang berada diantara keduanya, kembali menyatu menjadi sebagai suatu yang padu
kembali seperti diterangkan pada ayat QS 21:30 dan prosesnya seperti
diterangkan pada ayat QS 21:104, manunggal kembali kepada Tuhannya, ila’ihi
raji’un. Dan pada ayat itu pula diterangkan, sebagai yang akan diulangi-Nya
kembali, sebagai siklus besar penciptaan alam semesta.
“......... Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang
pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan
melaksanakannya.” (QS 21:104)
Bila dalam masa kehidupan alam
dunia, dari lahir hingga kematiannya, proses tidur dan bangun kita tak
terhitung jumlahnya, maka jangan heran atau bingung, bila pda proses kematian
dan dibangkitkan pun akan terjadi berulang kali karena amat panjangnya waktu
berakhirnya alam semesta ini.
Dan
sepanjang sejarah kehidupan manusia, telah diberitakan turun temurun akan kejadian
akhir itu sebagai suatu yang harus diyakini, dengan segala macam
‘mitos-mitos’ yang mengerikan dan menyenangkan untuk hari
kemudiannya, sebagai wujud balasan atas kehidupan sebelumnya. Maka
jelaslah hal tersebut ikut mempengaruhi pemahaman tentang surga dan neraka.
Sehingga penggambarannya memiliki banyak ragam, tetapi tetap memiliki makna
yang sama, yaitu agar setiap diri dapat mencapai akhlak yang baik dan terpuji
dengan mengingat adanya balasan di hari kemudian. Itu karena petunjuk
dari Allah juga kepada orang-orang terdahulu, hanya mungkin lebih bervariasi
akibat penyampaian dari mulut ke mulut yang telah berlangsung lama, dari masa
ke masa.
Surga dan Neraka
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka
(tempatnya) di dalam surga, mereka
kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki
(yang lain), sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS 11:108)
Pemahaman sebelumnya, bahwa
surga dan neraka adalah alam baru atau tempat baru setelah hari
kiamat, dimana alam tempat pembalasan terhadap amal perbuatan semasa hidup
di dunia sebelumnya, adalah pemahaman yang mengkungkung manusia pada
keterbatasan harapan yang lebih memberatkannya kepada keputus asaan. Tiada
bersemangat lagi menebarkan kebaikan yang merupakan rahmat dari Allah yang
sesungguhnya harus ditebarkan merata kepada sesama makhluk Allah, apapun itu.
Balasan
yang terbawa pada kehidupan selanjutnya tersebut, seperti uraian sebelumnya,
berupa suasana rasa nikmat atau rasa sengsara yang menempel
terus mengikutinya sebagai ketetapan dari-Nya. Tidak peduli apakah terlihat
bagi orang lainnya mengalami hidup mewah dan megah, akan tetapi rasa bathin-nyalah
yang dirasakan jiwanya, dan hanya dirinya sendirilah yang merasakannya,
bukanlah orang lain. Sedangkan kemewahan serta kemegahan kehidupannya pun
sebenarnya adalah balasan pula yang dibawa dari kehidupan sebelumnya, dan
begitu pula pada kesengsaraannya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan
seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan
barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat
(balasan)-nya.” (QS 99:7-8)
Segala sesuatu, sekecil apapun
akan dibalas Tuhannya dengan adil dan bijaksana. Itulah makna neraka dan
surganya yang merupakan suasana rasa bathin. Sedangkan suasana tempat
atau alam tidaklah penting, dengan segala kemewahan ataupun serba
keterbatasan, tetaplah rasa bathin yang merasakan. Sekalipun segala
kemewahan merupakan balasan pula, tidak menjamin bathinnya telah terbebas dari
rasa kesulitan, kekurangan, kesengsaraan, maupun dosa. Karena mereka
melanjutkan kehidupan tersebut masih dalam suasana pembersihan atau penyucian jiwa. Selama masih mengalami kehidupan di alam
ini, apakah itu alam kubur dan alam akhirat sebagai pembalasan, jelas merupakan
masih mengalami suasana pembersihan dari segala kekotoran dan dosa-dosa yang
ada dan melekat dari amal perbuatan sebelumnya.
“ya Tuhan
Kami, dan
masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga
‘Adn yang
telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara
bapak-bapak mereka, dan
istri-istri mereka, dan
keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana, dan
peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau
pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau
anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Ayat di atas pun menjelaskan,
bahwa di surga pun tak lepas dari ancaman kejahatan, dan makin menjelaskan
pentingnya peran agama untuk mengatur kehidupan di alam tersebut. Itulah makna
Allah sebagai penguasa hari-hari yang dinaungi agama (aturan hidup) dan
rahmat-Nya. Karena kuasa-Nya pun meliputi segala sesuatu, termasuk semesta alam
ini sebagai wadah kehidupan makhluk-Nya yang didalamnya pun terdapat alam
pembalasan (surga dan neraka).
Selama
jiwa masih dilekati oleh kekotoran sekecil apapun, maka tetaplah dia harus
melanjutkan kehidupannya untuk disucikan. Maka dia mengalami neraka sekaligus
surganya dalam kehidupannya di hari kemudian. Itulah balasan dari yang
Maha Adil lagi Bijaksana. Yang tidak dirugikan sekecil apapun kerugian tersebut
dari seseorang, apakah itu amal perbuatan baiknya maupun amal perbuatan
buruknya. Jadi surga dan neraka merupakan keaadaan atau suasana
jiwa yang sedang mengalami hari-hari pembalasan dari amal perbuatan di
kehidupan sebelumnya. Dan perlu diingat, pembalasan itu masih pula membawa
kepada pembalasan pada kehidupan selanjutnya lagi, bila jiwa masih juga dalam
kesesatannya.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di
dunia ini, niscaya di
akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan
(yang benar).” (QS 17:72)
Begitulah kehidupan ini, hidup
dan mati kemudian dibangkitkan untuk mengalami pembalasannya sebagai yang
berulang-ulang selama masih adanya langit dan bumi, sebagai pula penyucian
jiwanya agar dapat kembali pulang kepada-Nya. Yaitu pada berakhirnya
semesta alam ini (kiamat qubra), dimana segala sesuatu, tak terkecuali
mengalami peluruhan dan kembali kepada asalnya Yang Maha Tunggal. ‘ilayhi
raji’un.
Akan tetapi, bagi yang telah
sadar diri atau jiwanya, dan yang berusaha memurnikan amal perbuatannya, serta
pula tetap menjaga kesadarannya pada dirinya yang sesungguhnya adalah kefanaan,
hampa, kosong, dan dirinya bukanlah siapa-siapa bila tanpa gerak para
penyampai, yaitu aparat Allah atau malaikat-Nya, maka tiada lagi dia
berharap kelak mendapatkan surga dan tiada pula resah terhadap ketakutannya
akan mendapatkan neraka. Mereka merasa hanya menjalankankan apa adanya sesuai
dengan perintah dari dalam kalbunya yang paling dalam, yang tanpa beban, serta
penuh kedamaian dan ketentraman yang sejati.
Entah
bagaimana kesalah pahaman akibat kerancuan makna ini akan berlanjut sampai
kapan, sehingga menyimpangkan makna dan pengertian yang seharusnya telah
berkembang sejauh-jauhnya menuju kepada hikmah yang haq (sejati), akibat
kerancuan makna yang berlarut-larut. Kerancuan tersebutlah yang menjadi
penyumbat aliran pengembangan pikir para pencari yang takut kepada cap
sesat bila hendak melancarkan alirannya kembali normal, maka yang
ada, tetap yang terjadi adalah kebuntuan.
Nikmat Sejati
Inilah yang sebenarnya patut
menjadi arah tujuan dari segala tujuan. Kejaran bagi orang-orang yang hendak
merasakan nikmat yang sesungguhnya. Seperti yang selalu diminta dalam setiap
membaca suratul Fatihah, yang paling tidak dalam setiap shalat-nya. Adalah,
.... tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, dan bukan jalan mereka yang ingkar lagi berbuat
kerusakan.
Tidak ada nilai yang pantas
untuk dapat mencapai sebutan harga nikmat yang dimaksud. Sementara
segala sesuatu selain itu adalah fana, hampa, dan kosong. Akan tetapi,
jangan pula terkecoh dari setiap keinginan, sekalipun itu adalah kebaikan.
Kemurnian Diri dari segala macam keinginanlah yang sesungguhnya menjadikan
seseorang sempurna, karena hanya diri atau jiwa yang murni atau bersih dari keinginan
dan peng-aku-an (ego) yang dapat menuju kepada-Nya yang Maha
Tunggal. Yang berada dan sebagai penguasa arsy atau taman nikmat
sejati.
Kita tidak akan pernah dapat
merasakan nikmat sejati bila belum dapat mengenal diri kita sendiri yang akan
mengarahkan pemahaman tentang realitas sejati (diulas kemudian
secara ringkas pada Bagian-4 Lahir & Bathin). Pemahaman ini
tidak mudah didapatkan, akan melalui proses yang panjang juga melelahkan,
kecuali bila Allah menghendaki lain. Semoga kita akan dimudahkan untuk dapat
menerima hikmah ini sebagai karunia yang besar dari-Nya.
Segala macam nikmat adalah rasa, yang
sesungguhnya ada dan bertempat di dalam hati atau kalbu. Hanya kalbulah yang
dapat mengetahui kehadiran rasa, baik itu berupa kenikmatan ataupun
sebaliknya. Akan tetapi, lebih jauh lagi ke dalam, pada kalbu yang paling
dalam, maka tidak segala sesuatu pun dapat masuk, kecuali bila dengan kehendak
Dia yang Maha Tunggal yang bersemayam di situ. Sehingga, kenikmatan sejati
tersebut hanya bisa diraih bila telah dapat menghilangkan segala macam keinginan,
maka diri menjadi jiwa yang murni dari pengakuan (ego).
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa
indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS al 15:39)
“....... kemudian
akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS 7:16-17)
“...... pasti aku akan
menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.” (QS 38:82-83)
Bahayanya pengakuan,
yang merupakan salah satu sasaran serangan iblis, salah satunya adalah kuatnya rasa
memiliki apa-apa yang telah dianugerahi Allah kepadanya. Seperti, anak dan
istri, harta benda berupa perhiasan,rumah tinggal, dan kendaraaan, juga ladang
pekerjaan ataupun perniagaan, bahkan pengakuan kepemilikan tubuh atau
jasadnya (lihat kembali uraian Malaikat Min
‘Indillahi).
Terjerumusnya
diri kepada segala macam pengakuan tersebut, bahkan yang berada di jasadnya,
seperti penglihatan dengan mata-ku, pendengaran dengan telinga-ku,
kata-kata yang keluar dari mulut-ku, dan lain sebagainya, sungguh dapat
menjerumuskan dirinya kepada perbuatan syirik. Akibatnya seperti, “coba kalau
aku tidak melihat ...”, atau “coba kalau aku tidak dengar ...”, dan “kan aku
sudah bilang ...”. Seolah-olah tiada peran Tuhan, dan yang ada hanya peran
diri-nya saja.
“Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih
kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
fasik”. (QS
9:24)
Bila
semua itu lebih dicintai daripada mencintai Allah, jelaslah itu adalah perbuatan
syirik. Dosa besar yang tak terampuni, bila tak segera bertobat. Maka
jelaslah, bahwa iblis telah menyeret kebanyakan setiap diri kemanusiaan
sebegitu jauhnya dari jalan Tuhannya, kemudian menjerumuskan mereka ke dalam
neraka. Sungguh tidak disadari, ternyata diri ini begitu gampangnya terhanyut
oleh pengakuan-pengakuan seperti itu, dan bila salah satu saja dari semua yang
dimilikinya diambil atau hilang, maka goncanglah jiwa-nya, seakan-akan tidak
terima. Itulah pengakuan yang ternyata sangat menjerumuskan.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
“....... pasti aku
akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara
mereka”. (QS 38:82-83)
Keikhlasan pada setiap
amal perbuatan yang disertai dengan melepaskan segala macam rasa keinginan atau
harapan, dan menyerahkannya hanya kepada kehendak Dia, adalah cara terbaik
menjaga kemurnian jiwa dari bisikan dan godaan iblis. Sehingga tanpa terasa dan
mengharap, sesungguhnya kita sedang menuju Nikmat Sejati yang diridhai
dan diberkati oleh Dia sebagai ar Rahman.
Maka sejatinya Nikmat Sejati adalah terbebas dari rasa
keinginan, harapan, maupun cita-cita sekalipun nikmat sejati
tersebut adalah terlihat dan terasa sebagai kebaikan. Nikmat Sejati yang sejati
adalah ketenangan dan ketentraman bathin yang membawa jiwa dapat terkendali bahkan
tanpa terganggu lagi oleh iming-iming nikmat sejati itu sendiri, kebaikan,
ataupun surga. Jiwa-nya tidak lagi disibukkan oleh keinginan yang justru dapat
meresahkannya sendiri.
Bab VI
MEYAKINI
KADAR BAIK dan BURUK
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di
antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang
beriman (dengan yang kafir).......” (QS 3:140)
M
|
engimani Kebaikan dan Keburukan adalah syarat mutlak bagi
orang-orang yang beriman, dan pada pelaksanaan kehidupannya, bukan hanya
sekedar beriman dan mempercayainya saja, melainkan dapat menerima-nya
dengan tulus murni (ikhlas) sebagai bagian dari kehidupannya. Keimanan ini
adalah keimanan dengan berprasangka baik kepada Allah, yang sesungguhnya hanya
memberi nikmat dari rahmat kebaikan sebagai rahmat tunggal-Nya. Bukanlah rahmat
yang buruk, kemanusiaanlah yang menilainya menjadi berpasangan. Bila tak sesuai
atau berlawanan dengan keinginan dan harapannya, maka disebutlah sebagai keburukan.
Kadar baik
dan buruk adalah merupakan suatu ketetapan Allah (sunathullah), yang
memang selalu ada dan selalu menyertai setiap segala sesuatu yang merupakan
ciptaan atau makhluk Allah. Kadar baik dan buruk, juga adalah merupakan bagian
dari ketetapan Allah (sunathullah) yang terkandung dalam qudrat dan iradat-Nya
kepada segala sesuatu makhluk ciptaan-Nya. Seperti siang dan malam, terang dan
gelap, serta cahaya dan bayang-bayang. Dan segala sesuatu (ciptaan-Nya)
tersebut tidak dapat menolaknya.
Menerima dan
kemudian menjalaninya adalah mutlak bagi makhluk, dan dengan memanfaatkannya
sebagai sesuatu yang berguna adalah wujud syukur atas segala rahmat-Nya
tersebut. Sehingga membawanya kepada kesadaran, bahwa tiada yang buruk dari
setiap ketetapan Allah. Malah membawanya kepada rasa bersyukur karena telah
menerima hikmah-Nya, karena segala sesuatu yang diterimanya tersebut hanyalah rasa.
Yang sesungguhnya pun adalah fana, sementara, hanya sekejapan mata, dan
kemudian menjadi yang terlupakan karena telah ada lagi kesibukan lain yang
perlu diurus dan harus pula segera diselesaikan.
Begitulah hidup. Sungguh
hanyalah kesia-siaan, bila membawa terus menerus rasa tersebut, apakah itu
kebaikan maupun keburukan, selain menjadikan beban, juga dapat menjadikan
penyakit pada hati serta penyakit pada fisik. Masih banyak urusan atau
pekerjaan lain yang harus diselesaikan, janganlah terpaku hanya kepada yang
justru sia-sia pada akhirnya.
“Maka
apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya
kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Baik dan buruk, serta segala
sesuatu bersama pasangannya adalah karena di alam, sedangkan hal tersebut,
sebenarnya adalah suatu yang mutlak ada sebagai ketetapan (sunathullah) yang
tunggal, tidak berpasangan apalagi saling berlawanan. Hanya karena di alam,
makhluk menganggap dan melihatnya seperti itu. Karena di alam, maka segala keterbatasan
menjadi ada, itupun adalah ketetapan-Nya.
Pasangan Segala Sesuatu
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).” (QS
51:49)
Lihat, dan pikirkanlah segala
sesuatu di alam ini, makhluk hidup ataupun tanaman, bermacam benda, rasa yang
berupa keadaan atau suasana, serta kejadian apapun, sesungguhnya semua itu
berpasangan. Membuktikan bahwa segala sesuatu selain Dia adalah makhluk
ciptaan-Nya. Juga, segala sesuatu tersebut saling berinteraksi atau
berketerkaitan satu sama lainnya menciptakan sistem semesta yang saling terkait
dan menguntungkan, simbiosis mutualisme, yang telah ditetapkan oleh-Nya
(sunathullah).
Sejauh mata memandang, dan
sedalam-dalamnya berfikir, jika pada akhirnya dapat menemukan sesuatu yang
tunggal, maka Dia-lah Allah. Yang patut disembah dan dipuja, karena oleh
Dia-lah maka segala sesuatu yang terlihat, banyak, akbar, serta sempurna,
menjadi ada dan nyata. Akan tetapi takkan mungkin Dia dapat dilihat dan
ditemukan layaknya melihat dan menemukan sesuatu benda. Mustahil kemungkinan yang
dicipta dapat melihat dan menemukan Sang Pencipta-nya. Hanya dengan hati
yang bersih dari pengakuan (ego) maka keberadaan dan kuasa-Nya dapat
dirasakan dalam bentuk rahmat-Nya yang tiada habis-habisnya terasa, apalagi
terhitung.
Berpasang-pasangan adalah sifat
makhluk sebagai ketetapan mutlak-Nya, juga sebagai perwujudan Akbarnya
Dia di semesta alam beserta isi atau makhluk ciptaan-Nya yang begitu luasnya
tak terukur dan tak terbilang.
Selain wujud nyata yang
terlihat seperti makhluk, baik yang terlihat ataupun yang tak terlihat, dan
benda tak hidup (anggapan sementara secara umum), baik yang nyata dan tak
nyata, semuanya memiliki pasangannya. Begitu pula kepada rasa dan sifat yang
dialami makhluk atau benda tersebut memiliki pasangannya pula. Sebagai
makhluk, maka menilai semua pasangan yang dirasakan atau dialami bathinnya
terangkum sebagai kebaikan atau keburukan. Bila kebaikan, maka
diterimanya bahkan diharapkannya. Dan bila keburukan, maka ditolak atau
dihindarinya.
Padahal keduanya, yaitu
kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang pasti dan harus dialami sebagai
ketetapan mutlak kehidupan dari yang memiliki sejatinya kehidupan yang mutlak,
yaitu Dia. Dan bagi makhluk yang sebagai penerima, yang dapat
atau harus menerima. Dan segala sesuatu yang diterimanya sebenarnya adalah
rahmat Allahu Rahmaanur-rahiiym. Bagaimana mungkin Dia yang Maha Pemurah lagi
Penyayang memberikan keburukan? Carilah hikmahnya, maka kelak diri akan
bersyukur sekalipun yang sebelumnya dianggap sebagai keburukan, kemudian
ternyata membawa manfaat yang merupakan kebaikan.
“Karena sesungguhnya
di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Keburukan, adalah ibarat bungkus
yang menyelimuti kebaikan (rahmat Allah) yang berada didalamnya. Hanya karena
berada di dalam sebagai yang tak terlihat (masih ghaib), maka diperlukan usaha
mebuka bungkus yang menyelimutinya tersebut. Begitulah hati kita memahami
segala sesuatu yang datang kepada diri kita, apakah sebagai yang kita nilai
kebaikan atau keburukan pada awalnya, yang kelak akan diketahui hikmahnya
bahwa, sesungguhnya Allah hanya memberi kebaikan, yaitu rahmat-Nya.
Hanya dengan hati yang bersih dari kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego),
maka cahaya Allah dapat menerangi, bahwa yang datang dan diterimanya adalah
rahmat Allah, yang seluruhnya adalah kebaikan.
Layaknya malam yang berganti
fajar, dan terang kemudian datang menyambutnya. Atau kelelahan sehingga merasa
harus beristirahat, dan segar kembali setelah bangunnya. Atau juga kebelet,
hingga harus terbirit-birit lari kebelakang untuk (maaf) buang air, dan
setelahnya akan merasa lega. Adakah pada semua itu merupakan keburukan?
Seperti itu pula-lah hati kita seharusnya membuka kesadarannya untuk
mendapatkan hikmah terhadap apa-apa yang datang dan dinilainya sebagai
keburukan, yang ternyata adalah kebaikan.
Ada sedikit contoh sebagai
hikmah, sodorkanlah segala macam makanan yang enak dan nikmat kepada orang yang
sedang sakit gigi sebagai suatu kebaikan. Tentu dia akan menolaknya
sebagai suatu keburukan yang harus dihindarinya. Maka hikmahnya adalah,
kenikmatan apapun yang merupakan kebaikan yang diberikan akan menjadi keburukan
bagi bathin yang sedang kacau. Apapun menjadi serba buruk, hanya obat
kacaunya yang dia butuhkan. Bathinlah yang menentukan kebaikan ataupun
keburukan yang diterimanya. Dan bila diterima salah satunya, maka pasti pula
akan menerima pasangannya kelak kemudian. Karena segala sesuatu akan datang
hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya.
“Tiap-tiap yang
berjiwa akan merasakan mati. Kami akan
menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Kita telah dapat menerima lapar setelah
kenyang, menerima malam setelah siang, bahkan, maaf, menerima ‘buang air’
setelah masuknya makanan dan minuman. Menerima itu sebagai ketetapan yang harus
diterima, akan tetapi cobalah pikirkan dan renungkan bila datang pula ketetapan
lain dari-Nya. Seperti, saat lapar tetapi tidak ada makanan atau uang untuk
membelinya, kelaparan yang terjadi. Atau, saat tiba malam datang tetapi pas
terkena giliran pemadaman listrik, merana yang terjadi. Serta, susah ‘buang
air’ setelah banyak makanan yang masuk.
“Maka
apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya
kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Padahal, sekalipun
ketetapan-Nya, ternyata diri kita sendirilah yang menyebabkan itu semua
terjadi. Segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah
ketetapan-Nya. Layaknya siang dan malam, pagi dan sore, serta fajar dan petang.
Cahaya dan bayang-bayang, panjang dan pendek, serta lurus dan bengkok. Begitu
pula bahagia dan sedih, mudah dan sukar, serta nikmat dan sengsara. Segala
sesuatunya tersebut dinilai sebagai kebaikan dan keburukan oleh
makhluk. Ketetapan yang mutlak diterima makhluk, sedangkan baik-buruknya adalah
penilaiannya sendiri yang justru yang dapat menjerumuskannya.
Dikatakan menjerumuskan, bila
diri terhanyut dan terlena oleh kebaikan, atau menolak keburukan
yang datang yang ternyata akibat dari
perbuatannya. Lupa bersyukur bila menerima kebaikan karena hanyut dan terlena
pada kenikmatannya, dan akan menyebabkan datangnya pasangannya (keburukan) yang
semakin besar keburukannya akibat sebelumnya diri yang hanyut dan terlena.
Keburukan yang pasti datang setelah kebaikan, adalah mutlak, akan tetapi hanyut
dan terlena rupanya ikut menambahkan akibat-akibat baru yang semakin
memperburuk keadaan dirinya. Bila tidak diputus ‘rantai’ hanyut dan terlenanya,
maka akan terus berlanjutlah keburukan-keburukan yang akan timbul.
Seperti efek domino.
Sekalipun hadir sesekali kebaikan sebagai rahmat-Nya, tapi terasa tak mencukupi
untuk menutupi keburukan akibat hanyut dan terlena pada masa sebelum-belumnya,
sebagai akibat yang satu per satu yang harus dituai, kelak sebagai hari
kemudian-nya. Diperlukan sikap tegas dan mental yang kuat untuk beralih,
setelah menyadari, dan mulai mengambil jalan lurus-Nya (taubatan nassuha).
Begitupun
sebaliknya, kebaikan yang pasti datang setelah keburukan. Keduanya adalah
sebagai yang pasti datang dan harus diterima diri-diri kemanusiaan sebagai
rahmat-Nya. Sekalipun sekaliber nabi, tetap harus menerima keduanya. Hanya
mereka yang mulia dan berakhlak terpuji sajalah yang dapat rela dan ikhlas menerima
keburukan seperti menerima kebaikan, dan menganggap keduanya adalah rahmat dari
Tuhannya.
Sabar, Bersyukur & Hidup Menerima
“Dan,
orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang
Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak
kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir”. (QS 13:22)
Kesabaran adalah suatu upaya yang
mengorientasikan kebenaran dalam amal perbuatan agar tidak menimbulkan
kekecewaan atau penyesalan (bagi dirinya maupun pihak lain) dibelakang hari.
Kesuksesan adalah buah dari amal perbuatan yang diiringi kesabaran.
Seperti yang sebelumnya telah diulas dalam uraian-uraian sebelumnya, wajah
Tuhan yang dicari tersebut, ternyata dapat dicari pada perwujudan-Nya
yang berupa semesta alam berikut isinya. Kesabaran mencari-Nya ternyata malah
membawanya kepada memahami diri-nya sendiri, yang justru hanyalah kefanaan
tanpa arti bila tanpa para aparat Allah. Kesabarannya itu pulalah yang
membawanya kepada lebih menghargai kehidupan baik bagi diri-nya sendiri maupun
kepada sesamanya serta makhluk-makhluk Allah lainnya. Sebagi wujud rasa
bersyukurnya atas rahmat petunjuk-Nya yang membawanya kepada keselamatan hidup.
Kesabaran juga dapat menolak kejahatan
seperti diterangkan ayat diatas. Dikarenakan kesabaran adalah salah satu upaya
amal perbuatan yang baik, maka kebaikan itulah yang dapat menolak kejahatan
untuk tidak jadi datang kepadanya.
Lihat dan perhatikanlah, manusia yang selalu menjaga amal
perbuatannya tetap dalam kebaikan, tidak membuang sampah sembarangan, hutan
dijaga kelestariannya, tidak membangun pemukiman pada daerah resapan air
(mengurug rawa), menjaga lingkungan tetap asri dengan tidak asal menebang pohon
disekitar lingkungannya, menjaga hubungan baik dengan sesama, yang kesemuanya
itu pun akhirnya akan kembali kepada manusia. Ia akan merasakan nyaman dan
tentram tinggal disitu, bersih dan sehat, tidak kebanjiran dikala musim hujan,
tidak kegerahan disaat musim panas, tetangga sekitar pun baik dan ramah. Inilah
salah satu contoh menolak kejahatan dengan kebaikan. Yaitu kesabaran
dalam kebaikan yang hasilnya kembali kepadanya berupa nikmat yang sungguh untuk
dapat disyukurinya. Atau dalam makna lain dari ayat tersebut adalah, mencegah
kejahatan atau keburukan agar tidak datang, yaitu dengan mendahului perbuatan
kebaikan.
“Karena
sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Begitulah pasangan segala sesuatu tersebut sebagai yang akan datang
secara bergantian. Dengan demikian, kesulitan yang sedang melanda
dirinya, dihadapi dengan kesabaran sebagai wujud keberserah dirian
(islam) kepada Tuhannya. Dan mereka yang telah berserah diri (islam) tentunya
meyakini kemudahan yang akan datang dari Tuhannya dengan bersyukur.
Bila sabar dan bersyukur adalah dua hal
yang merupakan pasangan, maka sabar-nya adalah merupakan tindakan atau
upaya pertahanan terhadap keburukan yang menimpa dirinya. Sedangkan rasa bersyukur-nya
adalah wujud puja-puji kepada yang memberi kekuatan (yaitu Allah) untuk dapat
melewati keburukan, dan kemudian sebagai menerima lagi kebaikan setelah
keburukan itu berlalu.
Akan tetapi, ternyata, kesabaran bukan
saja hanya pada keburukan yang diterima, melainkan pula pada kebaikan
sebagai anugerah dari-Nya. Karena anugerah kebaikan yang datang dan diterima,
bila tidak disertai pengelolaan yang baik dalam kelurusan-Nya, pada akhirnya
akan membawa bencana keburukan. Segala sesuatu datang dan hadir pasti bersama
pasangannya.
Dan pada
orang-orang yang telah memahami makna kadar baik dan buruk sebagai sesuatu yang
alami (sunathullah), yaitu menghadapi keburukan seperti melalui malam sebagai
sesuatu yang memang pasti dihadapi. Seperti pula, maaf, harus ‘buang air’ bila
tak mau dihinggapi penyakit. Maka diri ini telah menerima hidup sebagai
makhluk Allah, bahwa dia adalah hanya wadah kosong yang telah siap diisi
oleh kehendak-Nya.
Adalah sifat
makhluk, menerima segala sesuatunya, baik itu wujudnya yang merupakan
perwujudan-Nya, hidupnya adalah hidup-Nya, penglihatannya juga merupakan
penglihatan-Nya, bahkan pendengarannya adalah karena karunia dari-Nya. Dan
kepada hal yang lebih kita ketahui dan sadari bahwa bukanlah diri kita yang
memerintahkan, seperti kepada bertumbuh panjangnya kuku-kuku pada jari-jemari
dan bertumbuh panjangnya rambut. Dan juga, perintah kepada jantung untuk
memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan untuk menyebarkan saripati
makanan, serta memberi perintah kepada paru-paru untuk memisahkan oksigen dari
gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan untuk mengubah suplay makanan
tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan.
Belum lagi mengenai kehidupan milyaran sel-sel tubuh yang hidup dan mati kemudian
berkembang biak pula pada setiap jaringan pembentuk organ tubuh, yang
menciptakan sistem kehidupan di dalam alam tubuh atau jasad diri kita, yang
pula kita tidak menyadarinya.
Tiada
sedikitpun peran serta diri kita terhadap semua hal tersebut. Diri hanya ikut
menyaksikan dan merasakan, dan bukanlah operator-nya. Lantas mengapa ada
dosa dan menanggung dosa?
Karena di
alam maka keterbatasan menjadi ada, serta mengurungnya dalam kesempitan
pandangan atau pemahaman, dan segala sesuatu ciptaan-Nya menjadi
berpasang-pasangan, termasuk keinginan diri. Bila keinginan diri lebih
cenderung kepada menyaksikan dan merasakan keburukan, maka dosalah yang
dihadapinya. Dan iblispun dengan siasatnya dapat ikut berperan, mengemas
keburukan agar dipandang indah sebagai kebaikan oleh diri supaya tersesat.
Itulah tipu daya iblis. Pada diri seperti ini, malaikat telah berubah menjadi
iblis yang membangkang perintah Tuhannya, dan tidak mau tunduk (sujud) kepada
keturunan Adam (lihat dan pahami kembali uraian keimanan kepada malaikat).
Pada diri,
menerima keburukan untuk mengetahui kebaikan, yang sesungguhnya adalah tujuan
utama sebenarnya. Maka, menerima dosa untuk segera mengejar pahala kebaikan
yang masih banyak tersebar menunggu untuk diraih, merupakan yang perlu disadarinya.
Adalah hal yang tak wajar bila menyeimbangkan keburukan dengan kebaikan.
Minimalkanlah keburukan sekecil mungkin, dan maksimalkan sebesar-besarnya
kebaikan.
Itulah
manajemen hidup pada umumnya. Seperti pedagang yang tak ingin merugi
terus-menerus atau bahkan seimbang, pas-pasan, yang berarti tiada keuntungan.
Seperti seorang supir yang meminimalkan terjadinya kecelakaan dengan memeriksa
terlebih dahulu kendaraannya, seperti oli, aki, rem, dan lampu-lampu sebelum
bekerja mengendarainya.
Segala
sesuatu selalu bergerak menuju kepada kesempurnaan, yaitu kebaikan. Itulah yang
sesungguhnya hidup menerima. Menerima ketetapan dan kehendak-Nya, yaitu
mencapai kesempurnaan sebagai khalifah di muka bumi yang saling berbagi rahmat
kepada sesama (sebagai makhluk) semesta alam.
Hanya Tuhan yang Maha Esa atau
Allah yang Maha Tunggal yang hidup, dan selainnya, segala sesuatu termasuk diri
kemanusiaan, yang merupakan ciptaan-Nya, yang dapat hidup karena menerima
kehidupan dari Dia yang juga Maha Hidup. Dan dengan kehidupan
tersebutlah, maka menyebabkan segala sesuatu menjadi memiliki arti atau nilai.
Insan kemanusiaan yang menerima anugerah seluruh ke-20 (dua puluh) sifat
Allah, dari wujud sampai mutakalimaan, adalah merupakan fitrah-nya
sebagai ketetapan-Nya yang takkan pernah berubah.
“Maka
hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan, sesuai fitrah
Allah disebabkan Dia
telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada
ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)
Bila pada hidup-nya
saja, diri kemanusiaan hanya menerima, maka tentu apapun itu yang berada di dalam
kehidupan-nya juga seharusnya dapat diterima, sekalipun adalah sebuah
keburukan. Sehingga hanya yang tidak tahu diri-lah sesungguhnya yang tidak
dapat atau tidak mau menerima apa-apa yang diberikan kepadanya,
termasuk keburukan.
Kenalilah
diri sendiri, yaitu dengan berusaha mengenal Tuhan-nya. Atau kenalilah
Tuhan-nya, yaitu dengan berusaha mengenali diri-nya sendiri. Keduanya
adalah cara untuk dapat menerima segala sesuatu, baik itu anugerah dan bencana,
kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan, kemudahan dan kesulitan,
kelebihan dan kekurangan, kekayaan dan kemiskinan, dan segala sesuatu yang
lainnya yang merupakan isi dalam hidup yang pula diterima dari Tuhannya.
Sehingga mencapai puncak kesadaran, bahwa sesungguhnya diri-nya lah yang tidak
ada (gaib). Wujud-nya adalah karena diwujudkan, hidup-nya adalah karena
dihidupkan, kekuatan-nya adalah karena diberikan kekuatan, bahkan nafas-nya pun
karena diberikan, kematian-nya pun adalah karena diberikan oleh Dia
sesungguhnya Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Tiada yang luput dari
kuasa-Nya.
Maka keikhlasan
adalah mutlak wajar sebagai perwujudan rasa menerima-nya sebagai sebuah
kemurnian ibadah (amal perbuatan)-nya sebagai insan kemanusiaan yang ada dan
bernilai hanya karena dan kehendak Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang. Dia-lah
Allah yang memiliki dan menguasai segala sesuatu yang berada di langit dan di
bumi serta yang berada diantara keduanya. Tidaklah segala sesuatu tersebut yang
terlepas dari pengawasan dan pemeliharaan-Nya.
Orang yang memiliki kelapangan dada untuk berserah diri
(islam) tentu seharusnya memiliki pula kesabaran. Sebab, mereka yang
melapangkan dadanya akan lebih membuka hatinya terhadap masuknya limpahan
cahaya petunjuk dari Tuhannya.
“Barangsiapa
Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri
(islam).
Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya
Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ” (QS 6:125)
Siapapun diri itu, yang telah mencapai
kesabaran, memiliki kelapangan dada untuk keberserahan diri (islam)-nya
kepada Yang Maha Kuasa. Apapun alasan penolakan terhadap ini, sesungguhnya dia
telah memiliki iman dan keyakinan-nya, hanya tinggal tahapan pencapaian
kebenarannya untuk mendapatkan yang haqq yang, mungkin saja, belum tercapai.
Bahkan diri-diri yang merasa telah mencapai kebenaran pun, sesungguhnya
belumlah mencapai kebenaran yang haqq, hanya sedang mengarah kesana. Maka,
adalah naif, bila kita telah berani menetapkan bahwa dia belum islam (berserah
diri). Jadi, hanya tingkatan keikhlasannya-lah yang membedakan kedudukan
seseorang di mata Tuhannya, bukan di mata manusia.
Kesabaran-lah yang sesungguhnya
dapat menerima secara ikhlas bahwa diri sedang mengalami kesulitan, sedang
mengalami kebangkrutan, sedang mengalami fitnah, sedang mengalami musibah. Yang
kesemuanya hanyalah keadaan yang sementara sifatnya, tidak kekal dan abadi,
serta akan berakhir. Seperti terangnya siang yang diakhiri oleh senja, kemudian
datangnya malam yang gelap. Begitulah kehidupan yang di dalamnya begitu beragam
pasangan segala sesuatu yang mengisinya, sehingga terasalah nikmatnya.
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di
antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang
beriman (dengan yang kafir).......” (QS 3:140)
Bayangkanlah
bila hidup ini monoton, kita hanya menerima kemudahan atau kebahagiaan saja,
apakah akan terasa nikmatnya? Bagaimana bisa kita merasa bahagia bila tak
pernah mengalami kesedihan? Dan bagaimana bisa kita merasa adanya kemudahan
bila tak pernah mengalami kesulitan? Adakah di alam ini yang kita temui tak
bersama pasangannya? Bila kesadarannya telah melampaui ini, maka kesabaran-nya
telah melebur kepada rasa syukur-nya, sehingga yang tinggal hanya puja-pujian
kepada Tuhannya.
Dengan melakoni hidup menerima adalah bentuk usaha
menghilangkan pengakuan (ego) yang membelenggunya, kemudian melangkah
kepada mengakui segala keagungan dan kemurahan Tuhannya atas apa-apa
yang telah diterimanya sebagai anugerah yang dititipkan atau diamanahkan
kepadanya yang kelak perlu dipertanggung jawabkan sebagai amal perbuatan untuk
bekalnya di hari kemudian.
Bab VII
DIRI yang ber-KEIMANAN
(MUKMIN)
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang diturunkan
(dianugerahkan) kepada kami, dan kepada apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan
anak cucunya, dan kepada
apa-apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan
kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun
diantara mereka, dan kami berserah diri (isalam) kepada-Nya.”
(QS 2:136)
B
|
er-keimanan mengandung makna luas,
tidak hanya selain sebagai yang percaya kepada yang diimani, yaitu Allah
yang Tunggal sebagai sumber dan pencipta segala sesuatu, termasuk
malaikat-malaikat yang sebagai aparat-Nya, rasul-rasul sebagai utusan-Nya,
kitab-kitab sebagai petunjuk-Nya, dan hari akhir serta kadar baik dan buruk
sebagai dua hal yang akan datang menemui untuk dihadapi dan diterima. Tidak
hanya sekedar dipercaya, melainkan pula harus selalu menyertai niat, pikir,
ucap, serta gerak dalam setiap amal perbuatan insan kemanusiaan, agar mencapai keselamatan
pada saat menemui dua hal yang pasti akan hadir datang menemuinya, yaitu hari
akhir dan kadar baik-buruk.
Hari akhir tidak hanya dipandang
sebagai akhir atau kematian, dan kemudian tidak ada lagi kehidupan, melainkan berlanjut
dengan hari kemudian dimana segala amal perbuatan sebelumnya akan
dipertanggung jawabkan berikut dengan balasan sebagai buah hasil menanam
di masa kehidupan sebelumnya. Keadilan-Nya ada dalam naungan ketetapan-Nya,
sunathullah. Kekuasaan-Nya yang Maha bijaksana berada dalam kemurahan
dan kasih sayang-Nya, rahmaanur-rahiiym. Tentu itu di
alam, sehingga akbar, maka tak terhitung ketetapan-Nya,
kemurahan-Nya, dan kasih sayang-Nya.
Kokohnya keimanan akan
memantapkan setiap niat serta langkahnya kepada tujuannya. Menjaga dari
kesalahan, perbuatan buruk, dan tersesatnya jiwa, maka kemudian Tuhannya akan
selalu menunjukinya kepada keselamatan yang berupa nikmat-nikmat yang akan
selalu menyertai dirinya, baik itu nikmat-nikmat kehidupan di dunia maupun nikmat-nikmat
kehidupan di akhirat.
Dan yang perlu digaris bawahi,
adalah dua tanda insan kemanusiaan yang telah kokoh keimanannya, yaitu, yang
pertama, telah mengenal diri maka secara otomatis pula telah yakin
dan mengenal Tuhan-nya beserta aparat-aparat, yaitu malaikat dan
kerasulannya, yang sebelumnya gaib tidak diketahui secara nyata, kitab-kitab,
hari kemudian, serta kadar baik-buruknya. Dan yang kedua, adalah telah
hilangnya pengakuan dan secara otomatis menjadi mengakui.
Keduanya ini berkaitan sangat erat dalam perbaikan jiwa yang pada akhirnya
menciptakan akhlak yang terpuji yang keluar dari perwujudan Yang Maha Terpuji
(muhammad).
Segala amal perbuatan (ibadah),
di dalamnya berupa niat, pikir, ucap, dengar, serta gerak-gerak lain sebagai
gerak yang disadari. Didasari dan serta disertai oleh Tuhannya, beserta aparat
dan rasul-Nya, juga hari akhir dan kadar baik-buruk, sebagai yang manunggal
dengan keimanan-nya, tentu akan menjaga diri (nafs)-nya dalam ketenangan yang
dapat terkendali dan tidak tersesat, serta menciptakan hidup kehidupan yang
sehat, bahkan menuju pada keselamatan kehidupan di dunia dan di akhirat,
sebagai jalan lurus-Nya karena telah kokohnya keimanan.
Keimanan yang telah kokoh
adalah juga merupakan pondasi yang mendasari jiwa setiap insan kemanusiaan
dalam mengarungi hidup kehidupan ini dengan kemuliaan akhlak-nya menuju
kepada keselamatan yang sejati. Yaitu selamat di dunia dan di akhirat. Dengan
kokohnya keimanan pula, maka pintu-pintu yang sebelumnya tertutup, kini akan
terbuka satu per satu sebagai rahmat petunjuk dari Tuhannya. Pintu-pintu
apa sajakah itu?
Kelak,
dengan izin serta kehendak Allah, akan terbuka sebagai pemahaman yang merupakan
anugerah rahmat petunjuk dari-Nya melalui uraian-uraian selanjutnya.
Hilangnya Pengakuan (Ego)
Pengakuan, maksudnya yaitu, mengaku-ngaku apapun yang
sesungguhnya adalah bukan miliknya, sekalipun yang telah dianugerahkan
kepadanya. Anugerah itu hanya merupakan titipan atau amanah
yang masih perlu dipertanggung jawabkan pengelolaannya, kelak. Pengakuan, yaitu
aku (ego) yang menjadi lebih dominan daripada Aku (Allah) sebagai
Tuhan pemilik dan penguasa apa-apa yang berada di langit dan di bumi serta yang
berada diantara keduanya (Allahu rabbul
‘aalamiiyn).
Iman, dengan
iman-lah setiap jiwa menjadi memiliki kekuatan-kekuatannya untuk mencapai
apa-apa yang ditujunya akan diraih sesuai niat diawalnya. Iman itu pulalah yang
menemani dan menjaganya dari setiap godaan atau bujukan yang dapat
menyesatkannya dan menyebabkan tidak sampai kepada tujuannya.
Dengan imannya, dirinya
berharap mendapatkan perlindungan dari Tuhannya agar terlepas atau terhindar
dari kesulitan dalam setiap amal perbuatan yang sesungguhnya pula selalu
dibayang-bayangi oleh bujuk rayu dan godaan yang dapat menjerumuskan. Jadi, dalam amal perbuatan yang terpuji
sekalipun, diperingatkan kepada dirinya untuk berlindung kepada Tuhannya dahulu
agar tidak tersesat. Karena kesesatan yang dikemas iblis dengan
keindahan penampakan yang dibayangkan diri (nafs)-nya, akan membawanya
terjerumus.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh
alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama-tama berserah diri”. (QS 6:162-163)
Ibadah shalat,
sebagai ibadah yang lima kali dalam sehari, dimana harus suci jasad, pakaian,
dan tempat-nya, yaitu selain suci dari najis kekotoran yang lahir (nyata
terlihat), maka harus pula suci dari najis kekotoran yang bathin,
yaitu pengakuan yang mengaku-ngaku
sebagai pemilik jasad, pakaian, dan tempat. Itulah syarat sah-nya
shalat.
Jasadnya
yang diakui adalah sebagai milik-nya, pakaian pun diakui sebagai milik-nya
yang telah dibeli dengan usahanya, serta tempat atau rumah pun diakui sebagai milik-nya
yang dibeli dari hasil menabungnya selama bertahun-tahun. Sekalipun dia
menyadari bahwa semua itu dia dapatkan dari rizki yang dianugerahkan Allah
kepadanya, tetapi diakui kepemilikannya olehnya, sehingga apabila satu saja
diantaranya hilang darinya maka diri atau jiwanya tidak dapat mengikhlaskannya.
Dan tidaklah sah shalatnya bila unsur pengakuan tersebut menajiskan jasad,
pakaian, dan tempat dalam shalatnya. Padahal, semua anugerah
kepadanya itu merupakan titipan atau amanah yang harus
dipertanggung jawabkannya kelak di hari akhir.
Itulah bahayanya pengakuan
(ego) terhadap apa-apa yang sesungguhnya hanyalah titipan atau amanah yang
dianugerahkan kepadanya untuk dikelola dengan baik dan benar, serta tidak untuk
diakui kepemilikannya. Bahkan kepada jasad, jiwa, serta ruh yang ternyata milik
Allah, tidak untuk diakui sebagai miliknya sendiri. Apalagi kepada harta benda,
perhiasan, kendaraan,anak-istri, ladang pekerjaan, perniagaan, kekuasaan, dan
lain sebagainya yang dianugerahkan kepadanya.
“......
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka
hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS 38:71-72)
Tersesatnya
jiwa pada setiap pengakuan tersebut diatas, akan menjadi nyata kelak, saat maut
memisahkan antara jiwa-nya dan ruh-Nya dari jasad-nya. Jasad-nya
terkubur dan hancur terurai kembali kepada asalnya yang dari tanah, dan ruh-Nya
akan kembali pulang kepada Dia sebagai pemilik asal-nya, sedangkan bagi jiwa,
yang sebelumnya tersesat, maka dia tersesat pula akibat masih penasarannya
terhadap penyesatan iblis yang ternyata telah menipunya, tidak mau dan tidak
rela meninggalkan apa-apa yang diakui sebagai miliknya, menjadi jiwa penasaran,
gentayangan di tempat-tempat yang dahulu diakui sebagai miliknya. Di rumah
tinggal-nya, di mobil atau kendaraan-nya, di tempat-nya bekerja, di
pakaian-nya, atau mungkin pula di tempat-tempat yang dulu sering disinggahinya.
Dalam
kisahnya, Adam As, yang telah dianugerahi kekuasaan atau kekhalifahan
bahkan hingga kepada seluruh keturunannya. Dimana anugerah tersebut adalah
sebagai kadar baik, akan tetapi tetap pula dibayangi dengan kelalaian
berupa pengakuan yang juga merupakan keangkuhan sehingga lalai dari
peringatan Tuhannya agar tidak mendekati pohon terlarang, yang menjerumuskannya
keluar dari surga sebagai kadar buruk-nya. Dan Allah pun Maha Adil, maka
diberikan-Nya kunci tobat sebagai pembersih-nya. Dibalik
kesalahan ada kebenaran.
Bagaimana
tahu kebenaran, bila tidak pernah bertemu kesalahan. Itulah
pelajaran bagi orang-orang sesudahnya, termasuk kita keturunannya. Kepada
anak-anak, remaja, maupun yang muda, adalah kebaikan bila diri-nya
mengalami kesalahan sebagai pembelajaran di kehidupan masa yang akan
datang yang lebih bertanggung jawab. Akan menjadi lain halnya, bagi mereka yang
telah dikaruniai anugerah beserta pertanggung jawabannya sebagai amanah, tetapi
masih saja lalai seperti di masa kanak-kanaknya. Kelalaian yang terus terbawa
hingga masa tuanya sebagai sifat bawaan.
Manusia yang hanyut terbawa larut pada kehidupan dunia ini, adalah
seperti anak-anak yang gemar bermain dan asyik dalam permainannya sehingga lupa
akan kewajibannya seperti yang diinginkan orang tuanya untuk belajar
atau mengerjakan PR sekolahnya, demi kehidupannya kelak di masa depan. Ia tak
menyadari, keasyikannya dalam permainannya, telah menyia-nyiakan waktu
belajarnya. Permainannya telah membuat lupa diri akan kewajiban-kewajibannya
yang lebih utama daripada sebuah kesenangan palsu yang telah membuang waktunya.
Di masa kanak-kanak ia telah menyia-nyiakan waktu, dan saat dewasapun ia dapat
terlena oleh kehidupan dunia yang menghanyutkan. Inilah yang membuat manusia
sungguh dalam kerugian.
“Demi masa (waktu). Sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk
kebenaran
dan saling menasehati untuk kesabaran.” (QS 103:1-3)
Kebaikan dan
keburukan adalah pasangan yang harus diterima bagi mereka sebagai pertanggung
jawaban, dan sebagai hasil yang dituai dari apa yang ditananm sebelumnya, serta
bagi mereka yang hendak mengkokohkan keimanan-nya kembali, demi suatu tujuan
dari apa-apa yang telah diyakininya. Toh, sekuat apapun diri-nya, takkan dapat
menolak hal tersebut yang sudah merupakan kodrat atau kehendak Dia sebagai Yang
Maha Pencipta dan Maha Pemelihara. Segala sesuatu, tiada yang lepas dari kuasa
dan pemeliharaan-Nya, sekecil dan sebesar apapun itu.
Bukan Dia
tidak mengetahui akan terjadi kelalaian pada diri Adam, dan bukan pula Dia
kejam mengeluarkan Adam dari surga, akan tetapi memang adalah
ketetapan-Nya. Bahwa seperti itulah fitrah kemanusiaan, dibayangi kelalaian,
dan merupakan ketetapan-Nya jugalah kehidupan kemanusiaan adalah di bumi
sebagai sarana perwujudan segala sifat-Nya di alam.
Bagi
jiwa-jiwa yang tenang terkendali manunggal bersama kehendak Tuhannya, yaitu
yang tidak tersesat, maka dia akan manunggal pula dengan ruh-Nya untuk
kembali pulang kepada Dia yang sebagai pemilik asalnya di tempat tunggal-Nya.
Jiwa seperti inilah yang mengakui bahwa Dia-lah sesungguhnya pemilik segala
sesuatu, termasuk apa-apa yang dianugerahkan kepadanya yang sesungguhnya
hanyalah titipan atau amanah dari-Nya untuk dikelolanya dengan baik dan benar
sesuai dengan kehendak-Nya.
Berbahagialah dia yang telah
berada dalam istana sadar yang dipenuhi cahaya petunjuk yang
menghindarkan jiwanya dari pengakuan (kesombongan ego) yang merupakan
penyesatan bujuk rayu iblis. Kesadaran yang dilandasi oleh keimanan yang
semakin kokoh menguatkan jiwanya, membentengi dada-nya melalui aparat-aparat
sebagai yang diutus-Nya untuk selalu berada disekitar dan menjaga dada
kemanusiaan dari bisikan, godaan, serta bujuk rayu iblis dengan berbagai macam
tipuan yang menggoda dan menjerumuskan keimanan setiap diri kemanusiaan kepada
kesesatan.
Hidup dengan Sehat yang Abadi
Menjaga, memelihara, serta
selalu mengokohkan keimanannya agar tidak terjerumus kepada kehidupan yang sia-sia,
dengan menjalani hidup dengan sehat yang dianugerahkan kepadanya sebagai
titipan yang merupakan amanah yang kelak harus dipertanggung jawabkannya.
Renungkanlah, bila pola hidup
sesat akibat jiwa yang tersesat, tentu akan membuat rusak pula jasad ini.
Akibatnya, jelas akan mengganggu kesehatan-nya sendiri. Kesehatan adalah
anugerahnya yang sungguh mahal dan bernilai tinggi, akan tetapi tidak terasa
bila jasad ini sedang sehat.
Maka, rasakanlah ketika jasad
ini sedang merasakan sakit, segala kenikmatan yang dirasakannya ketika sehat,
tidak akan terasa nikmat. Segala petunjuk yang datang, tidak akan
menjadi hikmah yang berguna, karena pikirannya sibuk dengan rasa
sakitnya. Dan waktu telah terbuang selama sakitnya, begitupula biaya
yang terbuang untuk berobat.
Keinginan dan kebutuhan akan
materi dunia telah menyesatkan kebanyakan insan kemanusiaan dari menjaga
kemurnian atau keikhlasan dalam setiap amal perbuatan yang
seharusnya didasari keimanan yang murni terhadap Tuhan-nya, tidak
disadari peran malaikat-Nya, peran rasul-Nya, dan tidak ingat
petunjuk di kitab-Nya, serta tidak memandang jauh ke depan yaitu kepada hari
akhir dan kadar baik-buruk. Sehingga amal perbuatannya hanya demi
memenuhi kesenangannya belaka, tidak lagi perduli pada keselamatan di hari
kemudian yang ditentukan oleh amal perbuatan saat ini.
Itulah
pola kehidupan kebanyakan insan kemanusiaan saat-saat terakhir ini, petani
tidak mau kotor, pedagang ingin untung besar, karyawan ingin upah besar tanpa
perduli tanggung jawabnya pada perusahaannya, serta para pamong atau penguasa
berusaha menumpuk harta tidak perduli pada rakyat yang diwakilinya. Dari
struktur yang paling bawah hingga yang paling atas telah tidak lagi perduli
pada kemurnian pengabdian. Hidup adalah pengabdian. Dan sebaik-baiknya
pengabdian adalah yang murni ikhlasnya.
“.... sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada
sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
Bila
diselami secara mendalam, ternyata segala sesuatu ada pada rasa,
rasa-lah yang membuat segala sesuatu bernilai. Baik dan buruk, susah dan
senang, manis dan pahit, kaya dan miskin, semua rasa-lah yang mempengaruhi
nilainya. Dan semua rasa ada dan berdiam di hati atau kalbu. Begitu pula kejernihan
dan kebersihan hati yang akan sangat mempengaruhi penilaian rasa,
semakin jernih atau bersih hati dari kekotoran hawa nafs keburukan maka
penilaian terhadap rasa akan menjadi terang, menjadi jelas dalam
menyikapinya. Keburukan yang datang diterimanya dengan ikhlas, seperti menerima
datangnya malam setelah siang, karena bersama keburukan akan datang kebaikan
sebagai suatu pasangannya. Dibalik kesulitan ada kemudahan, seperti bayangan
yang selalu ada di belakang cahaya.
“sesungguhnya
bersama kesulitan ada kemudahan”. (QS 94:6)
Hati yang tenang dan mudah
dikendalikan akan pula mengendalikan dengan sehat kepada jiwa dan jasad (raga).
Dan sebaliknya, pada hati yang resah karena tersesat oleh kekotoran hawa nafs
keduniawian, maka akan menyesatkan jiwa dan merusak jasad dengan penyakit.
Adalah hati yang telah bersih dari pengakuan (kesombongan ego) akan membawa
jiwa kepada ketenangan dan ketentraman sebagai nafs al mutma’innah yang
terkendali.
Marilah kita, sebagai insan
kemanusiaan, kembali mengokohkan keimanan serta memperbaiki masing-masing jiwa
kita, yang dimulai dari diri sendiri. Dengan menyadari dan memahami betapa
pentingnya pengokohan keimanan ini pada masing-masing setiap insan kemanusiaan
demi keselamatan hidup di dunia dan kelak di hari kemudian. Sehingga, apabila
masing-masing diri telah berusaha memperkokoh keimanannya, maka telah pula
menciptakan kehidupan yang sehat secara bersama dan meluas hingga tercipta
pulalah hidup bernegara yang sehat, baik dari struktur yang
paling bawah sampai yang paling atas. Maka persoalan krisis moral kebangsaan
yang saat ini telah diambang titik nadir, akan sedikit demi sedikit mengalami
perbaikan dengan sendirinya, yang dimulai dari setiap individu warganegara.
Paling tidak, demi anak cucu keturunan kita sebagai generasi penerus di masa
kemudian.
Dengan begitu, kita secara
bersama-sama, telah ikut menekan ongkos hidup dan kehidupan menjadi murah
secara nasional, karena tertekannya angka korupsi, kolusi, nepotisme, pungli
(pungutan liar), maupun premanisme yang telah membantu melonjakkan biaya hidup
secara menyeluruh, dan menular hingga ke daerah-daerah terpencil.
Reformasi yang pernah terjadi
hanya menyentuh bidang politik yang ternyata malah memboroskan biaya, dan tidak
sanggup memperbaiki keadaan pola hidup bernegara bahkan tidak dirasakan
masyarakat kelas bawah. Bukan malah memperbaiki keadaan, justru keadaan semakin
parah. Korupsi semakin gila-gilaan, suap sana suap sini, saling sikut, bahkan
penegakan hukum dapat diperjual-belikan. Karena sesungguhnya, yang dibutuhkan
negri ini adalah reformasi moral individu per individu secara
menyeluruh pada setiap warganegara. Yaitu mereformasi moral pada setiap jiwa
(nafs) yang cenderung tersesat, yang menyebabkan jiwa masyarakat kita semakin
tersesat jauh kepada kehidupan materialistis duniawi.
Adalah hal yang membingungkan,
bagaimana biaya hidup kehidupan ini menjadi begitu mahal. Bisa saja ini dibolak-balik
mana yang lebih dahulu menyebabkan mahalnya biaya hidup kehidupan. Seperti,
untuk membeli bbm (bahan bakar minyak) yang semakin mahal, maka tukang ojek,
bis kota, dan angkutan umum lainnya pun ikut menaikkan tarifnya. Atau
harga-harga kebutuhan rumah tangga yang selalu naik. Maka masyarakat umum
kebanyakan pun terpaksa mencari tambahan untuk menutupi biaya tersebut.
Tergiringlah semua kepada hidup
kehidupan yang salah kaprah. Seperti oknum pegawai, pegawai negri
ataupun departemen-departemen, dan pegawai swasta yang mensahkan
pungutan-pungutan terselubung, sampai korupsi yang juga melibatkan para
petinggi negara dan para wakil rakyat, sehingga akhirnya meluas pula kepada
buruh swasta, pekerja profesional, pekerja mandiri, bahkan para pengangguran
yang bekerja serabutan, dan semakin diperparah dengan maraknya premanisme yang
semakin berkembang menjamur dan meresahkan serta membuat biaya kehidupan
menjadi tinggi semakin tak terjangkau, karena terus naik tak pernah terpuaskan.
Yang akhirnya balik kembali kepada diri masing-masing individu sebagai
keluhan-keluhan, yang sesungguhnya, ternyata diri-diri kita sendirilah yang
menyebabkan semua itu terjadi.
Padahal yang dikejar bukanlah uang-nya,
melainkan cukupnya kebutuhan, yang ternyata tiada pernah tercukupi.
Kebutuhannya terus berkembang tak pernah terpuaskan, selalu menginginkan lebih
dari sebelumnya. Inilah akar masalahnya. Itulah makanya perlu kembali setiap
individu menyadari pentingnya merevolusi jiwa-nya dengan kembali mengkokohkan
keimanan-nya.
Usaha untuk mengingatkan akan
bahayanya memuaskan kebutuhan dan keinginan pun bukanlah tak ada, malah selama
sebulan dalam setiap tahunnya, diri-diri kemanusiaan sebenarnya telah dilatih,
tetapi hasilnya seakan tak ada. Dengan berpuasa di bulan Ramadhan sebagai
kewajiban orang yang beriman, sebenarnya adalah sebuah usaha untuk melatih jiwa
agar dapat mengendalikan hawa nafsunya.
Tapi lihat dan sadarilah dengan
jujur, sesungguhnya sama sekali tak mempengaruhi kejiwaan kita dalam mengekang
hawa nafsu. Bukan hanya tidak menghasilkan seperti yang diinginkan dari setelah
sebulan selama latihan dan penggodokan tersebut, bahkan dalam sebulan itu malah
membuat gaya hidup berbelanja kita semakin berlebihan. Malah lebih besar dari
bulan-bulan lainnya. Bahkan tak jarang yang menghabiskan tabungan yang
dikumpulkan selama sebelas bulan bekerja, dihabiskan untuk keperluan satu bulan
itu. Ramadhan sebagai bulan puasa menjadi hilang maknanya, dan lebih
mengesankan sebagai bulan belanja umat muslim.
Apakah itu yang disebut dengan
suasana latihan? Apakah setelah Ramadhan, saat lebaran atau hari raya Idul
Fitri, kita pantas merayakan kemenangan? Kemenangan dari apa? Telah
dapat mengekang dan mengalahkan hawa nafsu?
Lihat pula, betapa keadaan dan
kondisi tersebut semakin lama semakin menjadi trend gaya hidup se-nasional,
malah. Acara-acara di teve pun menjadi 24 jam non stop menghadirkan suasana
perayaan, iklan-iklan produk berebut untuk sampai kepada pangsa terbesar yang
justru sedang dilatih mengendalikan hawa nafsunya, bahkan berani mengobral
hadiah-hadiah jutaan setiap harinya melalui kuis-kuisnya. Maka sadarilah, siapa
sesungguhnya yang menciptakan iblis penggoda yang telah membuat kita
terpeleset kepada kesesatan tersebut? Siapakah yang menyesatkan dan siapa yang
tersesatkan? Tentulah diri-diri kita sendiri-lah yang bertanggung jawab atas
semua itu.
Sungguh ironis, parahnya
keadaan ini telah seperti benang kusut yang sangat sulit untuk mengurai
dan memperbaikinya, selain mengembalikan kepada Tuhan yang Maha Tunggal dan
Maha Kuasa, serta mengembalikan kesadaran setiap individu untuk pula dapat
kembali memperbaiki kehidupan jiwa yang sehat, sebagai jiwa yang dapat menerima
secara aklamasi, serentak, dan ikhlas untuk bersama-sama memperbaiki hidup
kehidupan bersama yang sehat dan murah.
Menyadari
bahwa apa yang terjadi hari ini adalah akibat dari perbuatan hari-hari
sebelumnya, dan apa yang terjadi hari ini sungguh amat menentukan hari-hari
kemudiannya, maka seharusnya telah cukup sebagai modal untuk mengkokohkan
keimanan-nya kembali, demi memperbaiki keadaan ke depan sebagai yang kita
wariskan kepada segenap keturunan kita. Melupakan segala kekelaman sebelumnya
dan mengarahkan ke tujuan di depan yang lebih baik dan dapat dipertanggung
jawabkan, kelak.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan
seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan
barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan
melihat (balasan)-nya.” (QS 99:7-8)
Menikmati hidup yang sehat
dengan bersyukur, yaitu dengan menghargai nikmat hidup dan anugerah
sehat yang telah diberikan kepada-nya, adalah merupakan wujud pertanggung
jawabannya dengan amal perbuatan yang menjadi rahmat pula bagi sesama di
sekitarnya. Sebagai memurnikan tujuan amal perbuatannya, yaitu memulangkannya
kembali segala nikmat dan anugerah kepada Dia yang sesungguhnya adalah
pemilik segala sesuatu.
Hidup
dan kehidupan yang sehat akan mudah membawa setiap insan kemanusiaan untuk
menerima segala petunjuk dan hikmah kebijaksanaan yang mengarahkannya kepada
keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa
yang kuat. Dan tubuh yang sehat adalah karena pola hidup yang sehat.
Sementara pola hidup sehat ditentukan oleh jiwa yang sehat berdasarkan aturan
atau jalan hidup (agama) yang lurus, diynul
qayyimah. Saling berketerkaitan satu sama lainnya, tak perlu mencari
yang mana lebih dulu untuk memulainya. Mulai saja sekarang salah satunya,
ataupun sekaligus keduanya, karena keduanya sangat berkaitan dan menentukan
satu sama lainnya.