KEMBALI PULANG
(Serie Perjalanan Jiwa menuju Tuhannya) Hakikat lahir & bathin dalam ketajaman pandangan mata hati...... Terbukanya segala yang sebelumnya masih ghaib, dan merombak cara pandang lama yang ternyata telah membiaskan makna keimanan.
Minggu, 09 Juni 2013
Selasa, 04 Juni 2013
KEMBALI PULANG: MEYAKINI HARI AKHIR
KEMBALI PULANG: MEYAKINI HARI AKHIR: Bab V MEYAKINI HARI AKHIR (HARI KEMUDIAN) “Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya ? (Tidak) maka han...
Bab VI - MEYAKINI NASIB (TAKDIR) BAIK & BURUK
Bab VI
MEYAKINI
KADAR BAIK dan BURUK
“Dan
masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di
antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang
beriman (dengan yang kafir).......”
(QS 3:140)
M
|
engimani Kebaikan dan Keburukan adalah syarat mutlak bagi
orang-orang yang beriman, dan pada pelaksanaan kehidupannya, bukan hanya
sekedar beriman dan mempercayainya saja, melainkan dapat menerima-nya
dengan tulus murni (ikhlas) sebagai bagian dari kehidupannya. Keimanan ini
adalah keimanan dengan berprasangka baik kepada Allah, yang sesungguhnya hanya
memberi nikmat dari rahmat kebaikan sebagai rahmat tunggal-Nya. Bukanlah rahmat
yang buruk, kemanusiaanlah yang menilainya menjadi berpasangan. Bila tak sesuai
atau berlawanan dengan keinginan dan harapannya, maka disebutlah sebagai keburukan.
Kadar baik
dan buruk adalah merupakan suatu ketetapan Allah (sunathullah), yang
memang selalu ada dan selalu menyertai setiap segala sesuatu yang merupakan
ciptaan atau makhluk Allah. Kadar baik dan buruk, juga adalah merupakan bagian
dari ketetapan Allah (sunathullah) yang terkandung dalam qudrat dan iradat-Nya
kepada segala sesuatu makhluk ciptaan-Nya. Seperti siang dan malam, terang dan
gelap, serta cahaya dan bayang-bayang. Dan segala sesuatu (ciptaan-Nya)
tersebut tidak dapat menolaknya.
Menerima dan
kemudian menjalaninya adalah mutlak bagi makhluk, dan dengan memanfaatkannya
sebagai sesuatu yang berguna adalah wujud syukur atas segala rahmat-Nya
tersebut. Sehingga membawanya kepada kesadaran, bahwa tiada yang buruk dari
setiap ketetapan Allah. Malah membawanya kepada rasa bersyukur karena telah
menerima hikmah-Nya, karena segala sesuatu yang diterimanya tersebut hanyalah rasa.
Yang sesungguhnya pun adalah fana, sementara, hanya sekejapan mata, dan
kemudian menjadi yang terlupakan karena telah ada lagi kesibukan lain yang
perlu diurus dan harus pula segera diselesaikan.
Begitulah hidup. Sungguh
hanyalah kesia-siaan, bila membawa terus menerus rasa tersebut, apakah itu
kebaikan maupun keburukan, selain menjadikan beban, juga dapat menjadikan
penyakit pada hati serta penyakit pada fisik. Masih banyak urusan atau pekerjaan
lain yang harus diselesaikan, janganlah terpaku hanya kepada yang justru
sia-sia pada akhirnya.
“Maka
apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya
kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Baik dan buruk, serta segala
sesuatu bersama pasangannya adalah karena di alam, sedangkan hal tersebut,
sebenarnya adalah suatu yang mutlak ada sebagai ketetapan (sunathullah) yang
tunggal, tidak berpasangan apalagi saling berlawanan. Hanya karena di alam,
makhluk menganggap dan melihatnya seperti itu. Karena di alam, maka segala keterbatasan
menjadi ada, itupun adalah ketetapan-Nya.
Pasangan Segala Sesuatu
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).” (QS
51:49)
Lihat, dan pikirkanlah segala
sesuatu di alam ini, makhluk hidup ataupun tanaman, bermacam benda, rasa yang
berupa keadaan atau suasana, serta kejadian apapun, sesungguhnya semua itu berpasangan.
Membuktikan bahwa segala sesuatu selain Dia adalah makhluk ciptaan-Nya. Juga,
segala sesuatu tersebut saling berinteraksi atau berketerkaitan satu sama
lainnya menciptakan sistem semesta yang saling terkait dan menguntungkan,
simbiosis mutualisme, yang telah ditetapkan oleh-Nya (sunathullah).
Sejauh mata memandang, dan
sedalam-dalamnya berfikir, jika pada akhirnya dapat menemukan sesuatu yang
tunggal, maka Dia-lah Allah. Yang patut disembah dan dipuja, karena oleh
Dia-lah maka segala sesuatu yang terlihat, banyak, akbar, serta sempurna,
menjadi ada dan nyata. Akan tetapi takkan mungkin Dia dapat dilihat dan
ditemukan layaknya melihat dan menemukan sesuatu benda. Mustahil kemungkinan yang
dicipta dapat melihat dan menemukan Sang Pencipta-nya. Hanya dengan hati
yang bersih dari pengakuan (ego) maka keberadaan dan kuasa-Nya dapat
dirasakan dalam bentuk rahmat-Nya yang tiada habis-habisnya terasa, apalagi
terhitung.
Berpasang-pasangan adalah sifat
makhluk sebagai ketetapan mutlak-Nya, juga sebagai perwujudan Akbarnya
Dia di semesta alam beserta isi atau makhluk ciptaan-Nya yang begitu luasnya
tak terukur dan tak terbilang.
Selain wujud nyata yang
terlihat seperti makhluk, baik yang terlihat ataupun yang tak terlihat, dan
benda tak hidup (anggapan sementara secara umum), baik yang nyata dan tak
nyata, semuanya memiliki pasangannya. Begitu pula kepada rasa dan sifat yang
dialami makhluk atau benda tersebut memiliki pasangannya pula. Sebagai
makhluk, maka menilai semua pasangan yang dirasakan atau dialami bathinnya
terangkum sebagai kebaikan atau keburukan. Bila kebaikan, maka
diterimanya bahkan diharapkannya. Dan bila keburukan, maka ditolak atau
dihindarinya.
Padahal keduanya, yaitu
kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang pasti dan harus dialami sebagai
ketetapan mutlak kehidupan dari yang memiliki sejatinya kehidupan yang mutlak,
yaitu Dia. Dan bagi makhluk yang sebagai penerima, yang dapat
atau harus menerima. Dan segala sesuatu yang diterimanya sebenarnya adalah
rahmat Allahu Rahmaanur-rahiiym. Bagaimana mungkin Dia yang Maha Pemurah lagi
Penyayang memberikan keburukan? Carilah hikmahnya, maka kelak diri akan
bersyukur sekalipun yang sebelumnya dianggap sebagai keburukan, kemudian
ternyata membawa manfaat yang merupakan kebaikan.
“Karena
sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Keburukan, adalah ibarat bungkus
yang menyelimuti kebaikan (rahmat Allah) yang berada didalamnya. Hanya karena
berada di dalam sebagai yang tak terlihat (masih ghaib), maka diperlukan usaha
mebuka bungkus yang menyelimutinya tersebut. Begitulah hati kita memahami
segala sesuatu yang datang kepada diri kita, apakah sebagai yang kita nilai
kebaikan atau keburukan pada awalnya, yang kelak akan diketahui hikmahnya
bahwa, sesungguhnya Allah hanya memberi kebaikan, yaitu rahmat-Nya.
Hanya dengan hati yang bersih dari kekotoran hawa nafsu dan pengakuan (ego),
maka cahaya Allah dapat menerangi, bahwa yang datang dan diterimanya adalah
rahmat Allah, yang seluruhnya adalah kebaikan.
Layaknya malam yang berganti
fajar, dan terang kemudian datang menyambutnya. Atau kelelahan sehingga merasa
harus beristirahat, dan segar kembali setelah bangunnya. Atau juga kebelet,
hingga harus terbirit-birit lari kebelakang untuk (maaf) buang air, dan
setelahnya akan merasa lega. Adakah pada semua itu merupakan keburukan?
Seperti itu pula-lah hati kita seharusnya membuka kesadarannya untuk
mendapatkan hikmah terhadap apa-apa yang datang dan dinilainya sebagai
keburukan, yang ternyata adalah kebaikan.
Ada sedikit contoh sebagai
hikmah, sodorkanlah segala macam makanan yang enak dan nikmat kepada orang yang
sedang sakit gigi sebagai suatu kebaikan. Tentu dia akan menolaknya
sebagai suatu keburukan yang harus dihindarinya. Maka hikmahnya adalah,
kenikmatan apapun yang merupakan kebaikan yang diberikan akan menjadi keburukan
bagi bathin yang sedang kacau. Apapun menjadi serba buruk, hanya obat
kacaunya yang dia butuhkan. Bathinlah yang menentukan kebaikan ataupun
keburukan yang diterimanya. Dan bila diterima salah satunya, maka pasti pula
akan menerima pasangannya kelak kemudian. Karena segala sesuatu akan datang
hadir bersama pasangannya. Itulah ketetapan-Nya.
“Tiap-tiap yang
berjiwa akan merasakan mati. Kami akan
menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Kita telah dapat menerima lapar setelah
kenyang, menerima malam setelah siang, bahkan, maaf, menerima ‘buang air’
setelah masuknya makanan dan minuman. Menerima itu sebagai ketetapan yang harus
diterima, akan tetapi cobalah pikirkan dan renungkan bila datang pula ketetapan
lain dari-Nya. Seperti, saat lapar tetapi tidak ada makanan atau uang untuk
membelinya, kelaparan yang terjadi. Atau, saat tiba malam datang tetapi pas
terkena giliran pemadaman listrik, merana yang terjadi. Serta, susah ‘buang
air’ setelah banyak makanan yang masuk.
“Maka
apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lainnya, dan hanya
kepada Tuhanmu-lah kamu berharap.” (QS 94:7-8)
Padahal, sekalipun
ketetapan-Nya, ternyata diri kita sendirilah yang menyebabkan itu semua
terjadi. Segala sesuatu akan datang hadir bersama pasangannya. Itulah
ketetapan-Nya. Layaknya siang dan malam, pagi dan sore, serta fajar dan petang.
Cahaya dan bayang-bayang, panjang dan pendek, serta lurus dan bengkok. Begitu
pula bahagia dan sedih, mudah dan sukar, serta nikmat dan sengsara. Segala
sesuatunya tersebut dinilai sebagai kebaikan dan keburukan oleh
makhluk. Ketetapan yang mutlak diterima makhluk, sedangkan baik-buruknya adalah
penilaiannya sendiri yang justru yang dapat menjerumuskannya.
Dikatakan menjerumuskan, bila
diri terhanyut dan terlena oleh kebaikan, atau menolak keburukan
yang datang yang ternyata akibat dari
perbuatannya. Lupa bersyukur bila menerima kebaikan karena hanyut dan terlena
pada kenikmatannya, dan akan menyebabkan datangnya pasangannya (keburukan) yang
semakin besar keburukannya akibat sebelumnya diri yang hanyut dan terlena.
Keburukan yang pasti datang setelah kebaikan, adalah mutlak, akan tetapi hanyut
dan terlena rupanya ikut menambahkan akibat-akibat baru yang semakin
memperburuk keadaan dirinya. Bila tidak diputus ‘rantai’ hanyut dan terlenanya,
maka akan terus berlanjutlah keburukan-keburukan yang akan timbul.
Seperti efek domino.
Sekalipun hadir sesekali kebaikan sebagai rahmat-Nya, tapi terasa tak mencukupi
untuk menutupi keburukan akibat hanyut dan terlena pada masa sebelum-belumnya,
sebagai akibat yang satu per satu yang harus dituai, kelak sebagai hari
kemudian-nya. Diperlukan sikap tegas dan mental yang kuat untuk beralih,
setelah menyadari, dan mulai mengambil jalan lurus-Nya (taubatan nassuha).
Begitupun
sebaliknya, kebaikan yang pasti datang setelah keburukan. Keduanya adalah
sebagai yang pasti datang dan harus diterima diri-diri kemanusiaan sebagai
rahmat-Nya. Sekalipun sekaliber nabi, tetap harus menerima keduanya. Hanya
mereka yang mulia dan berakhlak terpuji sajalah yang dapat rela dan ikhlas
menerima keburukan seperti menerima kebaikan, dan menganggap keduanya adalah
rahmat dari Tuhannya.
Sabar, Bersyukur & Hidup Menerima
“Dan,
orang-orang yang sabar dalam mencari wajah Tuhan mereka, menegakkan shalat, menafkahkan sebagian rezeki yang
Kami berikan kepada mereka dengan sembunyi atau terang-terangan, dan menolak
kejahatan dengan kebaikan, maka mereka itulah orang yang dapat mencapai tempat terakhir”. (QS 13:22)
Kesabaran adalah suatu upaya yang
mengorientasikan kebenaran dalam amal perbuatan agar tidak menimbulkan
kekecewaan atau penyesalan (bagi dirinya maupun pihak lain) dibelakang hari.
Kesuksesan adalah buah dari amal perbuatan yang diiringi kesabaran.
Seperti yang sebelumnya telah diulas dalam uraian-uraian sebelumnya, wajah
Tuhan yang dicari tersebut, ternyata dapat dicari pada perwujudan-Nya
yang berupa semesta alam berikut isinya. Kesabaran mencari-Nya ternyata malah
membawanya kepada memahami diri-nya sendiri, yang justru hanyalah kefanaan
tanpa arti bila tanpa para aparat Allah. Kesabarannya itu pulalah yang
membawanya kepada lebih menghargai kehidupan baik bagi diri-nya sendiri maupun
kepada sesamanya serta makhluk-makhluk Allah lainnya. Sebagi wujud rasa
bersyukurnya atas rahmat petunjuk-Nya yang membawanya kepada keselamatan hidup.
Kesabaran juga dapat menolak kejahatan
seperti diterangkan ayat diatas. Dikarenakan kesabaran adalah salah satu upaya
amal perbuatan yang baik, maka kebaikan itulah yang dapat menolak kejahatan
untuk tidak jadi datang kepadanya.
Lihat dan perhatikanlah, manusia yang selalu menjaga amal
perbuatannya tetap dalam kebaikan, tidak membuang sampah sembarangan, hutan
dijaga kelestariannya, tidak membangun pemukiman pada daerah resapan air
(mengurug rawa), menjaga lingkungan tetap asri dengan tidak asal menebang pohon
disekitar lingkungannya, menjaga hubungan baik dengan sesama, yang kesemuanya
itu pun akhirnya akan kembali kepada manusia. Ia akan merasakan nyaman dan
tentram tinggal disitu, bersih dan sehat, tidak kebanjiran dikala musim hujan,
tidak kegerahan disaat musim panas, tetangga sekitar pun baik dan ramah. Inilah
salah satu contoh menolak kejahatan dengan kebaikan. Yaitu kesabaran
dalam kebaikan yang hasilnya kembali kepadanya berupa nikmat yang sungguh untuk
dapat disyukurinya. Atau dalam makna lain dari ayat tersebut adalah, mencegah
kejahatan atau keburukan agar tidak datang, yaitu dengan mendahului perbuatan
kebaikan.
“Karena
sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan itu ada kemudahan.” (QS 94:5-6)
Begitulah pasangan segala sesuatu tersebut sebagai yang akan datang
secara bergantian. Dengan demikian, kesulitan yang sedang melanda
dirinya, dihadapi dengan kesabaran sebagai wujud keberserah dirian
(islam) kepada Tuhannya. Dan mereka yang telah berserah diri (islam) tentunya
meyakini kemudahan yang akan datang dari Tuhannya dengan bersyukur.
Bila sabar dan bersyukur adalah dua hal
yang merupakan pasangan, maka sabar-nya adalah merupakan tindakan atau
upaya pertahanan terhadap keburukan yang menimpa dirinya. Sedangkan rasa bersyukur-nya
adalah wujud puja-puji kepada yang memberi kekuatan (yaitu Allah) untuk dapat
melewati keburukan, dan kemudian sebagai menerima lagi kebaikan setelah
keburukan itu berlalu.
Akan tetapi, ternyata, kesabaran bukan
saja hanya pada keburukan yang diterima, melainkan pula pada kebaikan
sebagai anugerah dari-Nya. Karena anugerah kebaikan yang datang dan diterima,
bila tidak disertai pengelolaan yang baik dalam kelurusan-Nya, pada akhirnya
akan membawa bencana keburukan. Segala sesuatu datang dan hadir pasti bersama
pasangannya.
Dan pada
orang-orang yang telah memahami makna kadar baik dan buruk sebagai sesuatu yang
alami (sunathullah), yaitu menghadapi keburukan seperti melalui malam sebagai
sesuatu yang memang pasti dihadapi. Seperti pula, maaf, harus ‘buang air’ bila
tak mau dihinggapi penyakit. Maka diri ini telah menerima hidup sebagai
makhluk Allah, bahwa dia adalah hanya wadah kosong yang telah siap diisi
oleh kehendak-Nya.
Adalah sifat
makhluk, menerima segala sesuatunya, baik itu wujudnya yang merupakan
perwujudan-Nya, hidupnya adalah hidup-Nya, penglihatannya juga merupakan
penglihatan-Nya, bahkan pendengarannya adalah karena karunia dari-Nya. Dan
kepada hal yang lebih kita ketahui dan sadari bahwa bukanlah diri kita yang
memerintahkan, seperti kepada bertumbuh panjangnya kuku-kuku pada jari-jemari
dan bertumbuh panjangnya rambut. Dan juga, perintah kepada jantung untuk
memompa darah dan mengalirinya keseluruh jaringan untuk menyebarkan saripati
makanan, serta memberi perintah kepada paru-paru untuk memisahkan oksigen dari
gas-gas lainnya yang ikut masuk - yang diperlukan untuk mengubah suplay makanan
tersebut menjadi energi bagi tubuh dalam proses pembakaran saripati makanan.
Belum lagi mengenai kehidupan milyaran sel-sel tubuh yang hidup dan mati
kemudian berkembang biak pula pada setiap jaringan pembentuk organ tubuh, yang
menciptakan sistem kehidupan di dalam alam tubuh atau jasad diri kita, yang
pula kita tidak menyadarinya.
Tiada
sedikitpun peran serta diri kita terhadap semua hal tersebut. Diri hanya ikut
menyaksikan dan merasakan, dan bukanlah operator-nya. Lantas mengapa ada
dosa dan menanggung dosa?
Karena di
alam maka keterbatasan menjadi ada, serta mengurungnya dalam kesempitan
pandangan atau pemahaman, dan segala sesuatu ciptaan-Nya menjadi
berpasang-pasangan, termasuk keinginan diri. Bila keinginan diri lebih
cenderung kepada menyaksikan dan merasakan keburukan, maka dosalah yang
dihadapinya. Dan iblispun dengan siasatnya dapat ikut berperan, mengemas
keburukan agar dipandang indah sebagai kebaikan oleh diri supaya tersesat.
Itulah tipu daya iblis. Pada diri seperti ini, malaikat telah berubah menjadi
iblis yang membangkang perintah Tuhannya, dan tidak mau tunduk (sujud) kepada
keturunan Adam (lihat dan pahami kembali uraian keimanan kepada malaikat).
Pada diri,
menerima keburukan untuk mengetahui kebaikan, yang sesungguhnya adalah tujuan
utama sebenarnya. Maka, menerima dosa untuk segera mengejar pahala kebaikan
yang masih banyak tersebar menunggu untuk diraih, merupakan yang perlu
disadarinya. Adalah hal yang tak wajar bila menyeimbangkan keburukan dengan
kebaikan. Minimalkanlah keburukan sekecil mungkin, dan maksimalkan
sebesar-besarnya kebaikan.
Itulah
manajemen hidup pada umumnya. Seperti pedagang yang tak ingin merugi
terus-menerus atau bahkan seimbang, pas-pasan, yang berarti tiada keuntungan.
Seperti seorang supir yang meminimalkan terjadinya kecelakaan dengan memeriksa
terlebih dahulu kendaraannya, seperti oli, aki, rem, dan lampu-lampu sebelum
bekerja mengendarainya.
Segala
sesuatu selalu bergerak menuju kepada kesempurnaan, yaitu kebaikan. Itulah yang
sesungguhnya hidup menerima. Menerima ketetapan dan kehendak-Nya, yaitu
mencapai kesempurnaan sebagai khalifah di muka bumi yang saling berbagi rahmat
kepada sesama (sebagai makhluk) semesta alam.
Hanya Tuhan yang Maha Esa atau
Allah yang Maha Tunggal yang hidup, dan selainnya, segala sesuatu termasuk diri
kemanusiaan, yang merupakan ciptaan-Nya, yang dapat hidup karena menerima
kehidupan dari Dia yang juga Maha Hidup. Dan dengan kehidupan
tersebutlah, maka menyebabkan segala sesuatu menjadi memiliki arti atau nilai.
Insan kemanusiaan yang menerima anugerah seluruh ke-20 (dua puluh) sifat
Allah, dari wujud sampai mutakalimaan, adalah merupakan fitrah-nya
sebagai ketetapan-Nya yang takkan pernah berubah.
“Maka
hadapkan wajahmu dengan lurus kepada jalan, sesuai fitrah
Allah disebabkan Dia
telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada
ciptaan Allah. (Itulah) jalan yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS 30:30)
Bila pada hidup-nya
saja, diri kemanusiaan hanya menerima, maka tentu apapun itu yang berada di dalam
kehidupan-nya juga seharusnya dapat diterima, sekalipun adalah sebuah
keburukan. Sehingga hanya yang tidak tahu diri-lah sesungguhnya yang tidak
dapat atau tidak mau menerima apa-apa yang diberikan kepadanya,
termasuk keburukan.
Kenalilah
diri sendiri, yaitu dengan berusaha mengenal Tuhan-nya. Atau kenalilah
Tuhan-nya, yaitu dengan berusaha mengenali diri-nya sendiri. Keduanya
adalah cara untuk dapat menerima segala sesuatu, baik itu anugerah dan bencana,
kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesedihan, kemudahan dan kesulitan,
kelebihan dan kekurangan, kekayaan dan kemiskinan, dan segala sesuatu yang
lainnya yang merupakan isi dalam hidup yang pula diterima dari Tuhannya.
Sehingga mencapai puncak kesadaran, bahwa sesungguhnya diri-nya lah yang tidak
ada (gaib). Wujud-nya adalah karena diwujudkan, hidup-nya adalah karena
dihidupkan, kekuatan-nya adalah karena diberikan kekuatan, bahkan nafas-nya pun
karena diberikan, kematian-nya pun adalah karena diberikan oleh Dia
sesungguhnya Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Tiada yang luput dari
kuasa-Nya.
Maka keikhlasan
adalah mutlak wajar sebagai perwujudan rasa menerima-nya sebagai sebuah
kemurnian ibadah (amal perbuatan)-nya sebagai insan kemanusiaan yang ada dan
bernilai hanya karena dan kehendak Dia yang Maha Pemurah dan Penyayang. Dia-lah
Allah yang memiliki dan menguasai segala sesuatu yang berada di langit dan di
bumi serta yang berada diantara keduanya. Tidaklah segala sesuatu tersebut yang
terlepas dari pengawasan dan pemeliharaan-Nya.
Orang yang memiliki kelapangan dada untuk berserah diri
(islam) tentu seharusnya memiliki pula kesabaran. Sebab, mereka yang
melapangkan dadanya akan lebih membuka hatinya terhadap masuknya limpahan
cahaya petunjuk dari Tuhannya.
“Barangsiapa
Allah kehendaki memberikan petunjuk, niscaya
Dia melapangkan dadanya untuk berserah diri
(islam).
Dan barangsiapa dikehendaki Allah sesat, niscaya
Allah jadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit..... ” (QS 6:125)
Siapapun diri itu, yang telah mencapai
kesabaran, memiliki kelapangan dada untuk keberserahan diri (islam)-nya
kepada Yang Maha Kuasa. Apapun alasan penolakan terhadap ini, sesungguhnya dia
telah memiliki iman dan keyakinan-nya, hanya tinggal tahapan pencapaian
kebenarannya untuk mendapatkan yang haqq yang, mungkin saja, belum tercapai.
Bahkan diri-diri yang merasa telah mencapai kebenaran pun, sesungguhnya
belumlah mencapai kebenaran yang haqq, hanya sedang mengarah kesana. Maka,
adalah naif, bila kita telah berani menetapkan bahwa dia belum islam (berserah
diri). Jadi, hanya tingkatan keikhlasannya-lah yang membedakan kedudukan
seseorang di mata Tuhannya, bukan di mata manusia.
Kesabaran-lah yang sesungguhnya
dapat menerima secara ikhlas bahwa diri sedang mengalami kesulitan, sedang
mengalami kebangkrutan, sedang mengalami fitnah, sedang mengalami musibah. Yang
kesemuanya hanyalah keadaan yang sementara sifatnya, tidak kekal dan abadi,
serta akan berakhir. Seperti terangnya siang yang diakhiri oleh senja, kemudian
datangnya malam yang gelap. Begitulah kehidupan yang di dalamnya begitu beragam
pasangan segala sesuatu yang mengisinya, sehingga terasalah nikmatnya.
“Dan masa (kebaikan dan keburukan) itu, Kami pergilirkan di
antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang
beriman (dengan yang kafir).......” (QS 3:140)
Bayangkanlah
bila hidup ini monoton, kita hanya menerima kemudahan atau kebahagiaan saja,
apakah akan terasa nikmatnya? Bagaimana bisa kita merasa bahagia bila tak
pernah mengalami kesedihan? Dan bagaimana bisa kita merasa adanya kemudahan
bila tak pernah mengalami kesulitan? Adakah di alam ini yang kita temui tak
bersama pasangannya? Bila kesadarannya telah melampaui ini, maka kesabaran-nya
telah melebur kepada rasa syukur-nya, sehingga yang tinggal hanya puja-pujian
kepada Tuhannya.
Dengan melakoni hidup menerima adalah bentuk usaha
menghilangkan pengakuan (ego) yang membelenggunya, kemudian melangkah
kepada mengakui segala keagungan dan kemurahan Tuhannya atas apa-apa
yang telah diterimanya sebagai anugerah yang dititipkan atau diamanahkan
kepadanya yang kelak perlu dipertanggung jawabkan sebagai amal perbuatan untuk
bekalnya di hari kemudian.
Lokasi:
Jakarta, Indonesia
Kamis, 30 Mei 2013
KEMBALI PULANG: MEYAKINI HARI AKHIR
KEMBALI PULANG: MEYAKINI HARI AKHIR: Bab V MEYAKINI HARI AKHIR (HARI KEMUDIAN) “Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya ? (Tidak) maka han...
MEYAKINI HARI AKHIR
Bab V
MEYAKINI HARI AKHIR
(HARI KEMUDIAN)
“Atau apakah manusia
akan mendapat segala yang dicita-citakannya? (Tidak) maka hanya bagi Allah
kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.”
(QS 53:24-25)
A
|
llahu maalikiyaw mid-diiyn, Dia,
Allah Pemilik dan Penguasa ‘hari-hari agama’, adalah merupakan pijakan
uraian mengenai rukun iman yang ke lima ini. Literatur umum, menafsirkan ‘yaw mid-diiyn’ sebagai hari
pembalasan, akhirat, serta surga dan neraka. Dalam terjemahannya yang jelas,
maksudnya lebih menekankan peran agama sebagai ‘diyn’, yaitu petunjuk
ajaran atau aturan hidup menuju keselamatan. Makna
luasnya adalah kehidupan yang diisi hari-hari yang tidak pernah lepas dari aturan
hidup sebagai petunjuk dari Allahu rahmanur-rahiiym
dan Allahu raabal ‘aalamiiyn, sebagai
Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan Tuhan semesta (seluruh) alam.
Apakah itu kehidupan di dunia ataupun di akhirat, maupun diantara keduanya
seperti hidup menanti di alam kubur.
Bila kita fokus kepada ‘hari-hari
agama’, maka itu jelas mengarahkan makna kepada, bahwa kehidupan ini dan
kehidupan nanti akan selalu dibawah naungan Dia yang maha menunjuki,
merahmati dan menguasai-nya. Sehingga tidak tepatlah, anggapan
sebelumnya, di alam akhirat setelah kematian,
bahwa telah terputus-nya segala amalan. Sebagaimana
kita diajarkan untuk selalu mendoakan orangtua, para salihin, muslimin
dan dan muslimat, serta bershalawat kepada nabi Muhammad SAW. Karena
ternyata secara tegas disebutkan agama masih tetap berperan, sekalipun
pada kehidupan di hari kemudian.
“ya Tuhan
Kami, dan
masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga
‘Adn yang
telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara
bapak-bapak mereka, dan
istri-istri mereka, dan
keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana, dan
peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau
pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau
anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Pada
ayat diatas dijelaskan, bahwa para penghuni surga pun masih memerlukan
keselamatan dari kejahatan yang ada pada hari itu. Karena ketetapan
Allah adalah mutlak untuk di segala ruang (alam) dan waktu
(yang lalu, sekarang, maupun kemudian). Dan Allah pun menegaskan, bahwa alam
surga dan neraka pun adalah berada di alam dunia ini, dan sedang
berlangsung sekarang ini.
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam
surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki
(yang lain), sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS 11:108)
Dengan
demikian, apakah sekarang ini, kita sedang berhadapan dengan orang-orang yang
sedang mengalami surga dan neraka-nya? Berarti, diri kita ini pun
sedang mengalaminya? Hal ini akan semakin jelas, setelah kita masuk pada uraian
tentang kematian dan kebangkitan. Bersabarlah dalam memahami
makna-makna yang terkandung dalam Al Qur’an, dan mohonlah perlindungan-Nya,
agar kita tidak mudah tersesat.
“Apabila
kamu membaca Al Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari (penyesatan) syaitan yang
terkutuk.” (QS 16:98)
“..... dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan
katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (QS 20:114)
Pada hari akhir, kata ‘akhir’
adalah lawan kata ‘awal’, bermakna ujung dari sesuatu, yang lebih
menekankan waktu atau saat kejadian berujung. Hari Akhir dapat berarti, akhir
dari suatu urusan dalam kehidupan dunia, dan dapat pula merupakan berakhirnya
hidup di dunia (kematian), serta bermakna yang jauh lebih luas lagi, yaitu akhirnya
dunia atau semesta (kiamat). Akan tetapi hari akhir hanyalah masa
transisi atau peralihan atau pula penantian, yang berisi masa
pengadilan atau penilaian, perhitungan, maupun hisab, untuk menentukan kemana
kemudian kehidupan selanjutnya tertuju, yaitu hari kemudian.
Seperti adanya esok
setelah hari ini, adanya nanti setelah sekarang, dan
adanya memetik setelah menanam. Seperti pula, naik atau tidak
naik kelas, lulus atau tidak lulus sekolah, dan naik
atau turun jabatan, yang membuat seseorang melanjutkan kehidupan pada
suasana baru sebagai alam lain-nya,
yang tentunya amat dipengaruhi oleh kehidupan sebelumnya. Akan
tetapi tetap dalam suasana yang sama, yaitu dalam suasana berlatih (belajar)
untuk menuju suatu kesempurnaan, serta kesucian jiwa (diri)-nya agar dapat
kembali pulang kepada-Nya. Ilayhi
raji’un. Hanya diri-diri yang telah bersih dari kontaminasi kekotoran
yang dapat kembali kepada-Nya, yaitu jiwa-jiwa yang tak lagi membawa keinginan
dan kebutuhan, apalagi jiwa yang tersesat. Itulah tauhid murni.
Pada suatu urusan, masih
didunia, malu dan terpojok ataupun rasa sakit sebagai balasan langsung adalah
sebagai neraka dunia-nya (neraka wayl), dan rasa puas dan nikmat sebagai
surga dunia-nya (surga firdaus). Dan di akhirat (setelah
kematian), semua rasa yang sangat tidak enak dan sangat menyakitkan terwujud
sebagai neraka akhiratnya (neraka safiil), serta semua rasa kenikmatan terwujud
sebagai surga akhiratnya (surga adniin). Serta di tempat tunggal-Nya,
yaitu di kalbu yang paling dalam, yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu
baik di dunia maupun nanti di akhirat, hati yang sempit terhimpit akibat rasa
bersalah, apapun menjadi serba salah, adalah nerakanya (neraka jahanam), serta
damai dan tentram serta sejahtera sebagai surganya (surga na’im).
Dari
ketiga uraian tersebut, adalah rasa yang merupakan unsur dominan
sebagai objek yang menerima balasan dari setiap amal perbuatan sebelumnya.
Sementara wujud diri dan alam sebagai tempat diri berada,
tidaklah menjadi hal penting, sekalipun suasana tempat ikut mempengaruhi, akan
tetapi tetap rasa-lah sebagai yang merasakan nikmat atau tidaknya. Dalam
kehidupan sekarang pun rasa-lah yang dicari dan dihindari. Yaitu rasa
nikmat sebagai yang dicari, dan rasa tidak nikmat sebagai yang dihindari.
Berapapun harga kenikmatan itu akan dibayar untuk mendapatkannya, begitupun
sebaliknya, berapapun harga yang dikeluarkan akan dibayar untuk menghindari
ketidak nikmatan.
Kematian
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (QS 67:2)
Kematian
adalah hari akhir-nya kehidupan di dunia bagi diri kemanusiaan. Dalam
kehidupannya selama di dunia, yang dalam satu harinya, disibukkan oleh
kegiatannya dari pagi hingga sore, dan setelah lelahnya, dia merasakan kantuk
yang luar biasa saat malam tiba, kemudian tertidur untuk beristirahat.
Nah, begitu pulalah kehidupan dan kematian. Mati dan hidup adalah proses
tidur dan bangun yang dalam skala panjang waktunya. Kematian
merupakan pula hari akhir
kehidupan, dimana terpisahnya antara ruh, jiwa, serta jasad (tubuh)
untuk beristirahat, dan menunggu dibangunkan (dibangkitkan) lagi.
Masing-masing berada pada alam yang berbeda atau terpisah, tetapi dalam satu
sebutan tempat tunggal, yaitu alam penantian (barzakh), tempatnya
di alam kita ini juga.
Kematian pun
merupakan akhir satu fase kehidupan yang diisi dengan beristirahat atau menanti
di alam kubur untuk dibangkitkan melanjutkan kehidupan selanjutnya, untuk
mengalami balasan sebagai tuai-an amal perbuatan kehidupan sebelumnya.
Seperti kita bangun dari tidur dan melanjutkan atau mempertanggung jawabkan
kembali kesibukan yang kita perbuat kemarin yang belum selesai. Bila
pertanggung jawaban yang belum terselesaikan adalah hal yang besar, mungkin
akan terbawa sebagai mimpi yang menyusahkan di dalam tidurnya semalam, maka
seperti itu pulalah azab kubur.
Jiwa akan disimpan oleh Allah
di tempat tunggal Dia yang Maha Tunggal, dan kelak akan ditiupkan-Nya
saat dibangkitkannya kembali bersama jasad-nya. Karena jiwa manusia adalah ‘bagian’
dari Ruh Allah yang dianugerahkan pada kehidupan
sebelumnya, maka harus kembali lagi kepada-Nya.
“......
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Ku-sempurnakan
kejadiannya dan Ku-tiupkan kepadanya Ruh-Ku, maka
hendaklah kamu (malaikat) tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (QS 38:71-72)
Setelah
kematian, maka kehidupan selanjutnya adalah penantian di alam kubur (barzhak),
yaitu menunggu untuk dibangkitkannya kembali bersama jasad dan ruh-Nya.
Lamanya penantian adalah relatif waktunya. Tentunya, bagi jiwa yang tersesat,
adalah biasa baginya tidak pernah bersabar di kehidupan sebelumnya, maka
pada masa penantian inipun akan terasa lama sekali dan amat menyiksa bagi
jiwa-jiwa seperti ini dalam menunggu.
Sedangkan jiwa, ada dua
kemungkinan kemana dia bertempat tinggal. Yang pertama, adalah bagi jiwa-jiwa
yang di kehidupan di dunianya telah bersama Tuhan-nya, yaitu bagi jiwa-jiwa
yang damai, tenang tentram dan terkendali (mutma’innah), maka dia akan
mengikuti karena telah terbiasa manunggal, mengikuti bersama ruh-nya menuju
tempat tunggal Dia yang Maha Tunggal.
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang
belum mati di waktu tidurnya, maka Dia tahanlah
jiwa
(orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang
lain
sampai waktu yang ditentukannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
kekuasaan
Allah bagi kaum yang berpikir.” (QS 39:42)
Yang berikutnya adalah, bagi jiwa-jiwa yang tersesat kala di kehidupan
dunianya, terpukau dan hanyut oleh kemegahan serta kemewahan dunia, maka
setelah kematiannya pun, setelah terpisah dengan ruh dan jasad, tinggallah jiwa
tertambat di alam dunia meratapi jasadnya yang lama kelamaan hancur, kemudian
tersesat bergentayangan di tempat-tempat dahulu disenangi dan sering
disinggahinya. Dia tersesat, dan tersiksa oleh rasa ketertarikan pada kemegahan
dan kemewahan kehidupan dunia yang tak dapat dinikmatinya lagi namun tetap
menggodanya. Dia lebih memilih begitu, sekalipun sudah tak bersama jasadnya
lagi, karena tak rela meninggalkannya,
terus tersiksa menunggu hingga waktu dibangkitkannya sebagai jiwa yang
merana, untuk mengalami pembalasan pula di kehidupan selanjutnya.
Kematian, seharusnya adalah kesempurnaan. Karena itu di
kehidupannya kemanusiaan selalu mencari jalan untuk mendapatkan kesempurnaan-kesempurnaan
dalam segala hal. Dan dalam meniti jalan-jalan tersebut, tentu tidaklah mudah,
selalu ada halangan ataupun godaan bujuk rayu dari hawa nafsu (iblis)-nya
sendiri yang hendak menyesatkannya. Akan tetapi, setiap diri selalu hendak
mencapai kesempurnaan dalam tujuan hidupnya, sekalipun harus mengalami
berkali-kali jatuh dan bangun. Sekalipun harus mengalami hidup dan mati, serta
dibangkitkan beberapa kali, namun dengan itulah jiwanya menjadi kuat, dan
semakin dirinya mendekati pada kesempurnaan, maka segera pula hendak meraih
kesempurnaan berikutnya yang lebih sempurna lagi dari sebelumnya. Begitu
seterusnya hingga dirinya akhirnya menemukan kesempurnaan sejati, yaitu
kesempurnaan jiwanya untuk dapat kembali pulang kepada Dia Yang Maha Tunggal.
Tidaklah
sempurna uraian ini bila tidak mengulas pula kebangkitan sebagai awal kehidupan
selanjutnya di hari kemudian. Banyak ayat al Qur’an yang berisi
keterangan tentang kebangkitan, mengasumsikan seolah-olah bahwa sesungguhnya
Allah meragukan keyakinan manusia akan kejadian kebangkitan diri-nya.
Atau sekedar memperingatkan kepada manusia yang meragukan kekuasaan Allah dalam
hal membangkitkan mereka. Karena begitu banyak ayat-ayat yang menjelaskan
tentang kebangkitan yang menggunakan perumpamaan kejadian-kejadian di alam,
sehingga menafsirkan bahwa Allah meragukan keyakinan diri-diri kemanusiaan
terhadap adanya kebangkitan.
Padahal sesungguhnya,
kebangkitan adalah hal yang mutlak harus terjadi setelah hari perhitungan atau
penghakiman, yaitu untuk menjalani kembali kehidupan yang berisi balasan atas
setiap amal perbuatan di kehidupan sebelumnya. Sekalipun dunia ini belumlah
kiamat. Dan itu merupakan ketetapan-Nya, sunathullah yang pasti terjadi pada
setiap makhluk ciptaan-Nya. Tidak hanya pada diri kemanusiaan saja, melainkan
seluruh alam raya ini berikut isinya. Seluruhnya mengalami peluruhan, kematian,
kemudian terurai dan dibangkitkan kembali dengan wujud baru
sebagai siklus gerak kehidupan dalam sistem semesta untuk mencapai kesempurnaan.
Siklus Kebangkitan
“Bagaimana
kamu ingkar kepada Allah, padahal
kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nya
lah kamu dikembalikan”. (QS 2:28)
Itulah ayat yang menegaskan kejadian kebangkitan yang
berulang-ulang yang merupakan siklus mati-hidup, seperti siklus
tidur-bangun tetapi dalam skala panjang waktunya, atau pada siklus
proses terjadinya hujan sebagai air yang menguap naik-turun kembali
kebumi, atau pada makhluk-makhluk Allah lainnya. Sampai pada akhirnya kepada-Nya
lah kemudian diri-diri (jiwa) dikembalikan sebagai yang telah murni, suci dan
bersih.
“Dan apakah
mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya, kemudian
mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS 29:19)
Jadi, ini adalah siklus perubahan bentuk atau wujud karena terurai
kembali sebab dari yang telah ditetapkan oleh kehendak-Nya atau lebih dikenal
dengan sebutan sunathullah. Termasuk siklus perubahan bentuk pada jasad
dan wajah dari waktu ke waktu yang semakin keriput dan rambut yang memutih,
sekalipun tanpa menghilangkan atau merubah identitasnya. Dan dengan siklus
kematian dan dibangkitkan sebagai tujuan penyucian jiwa agar bisa
kembali berpulang dalam kesucian kepada-Nya sebagai Yang Tunggal. Suci
dari segala macam pengakuan (ego)-nya yang mengotori jiwa-nya, sehingga
menghambat jiwa-nya untuk dapat kembali kepada Yang Tunggal, karena harus
mengalami dibangkitkan atau dihidupkan kembali untuk membersihkan kekotoran
yang masih melekat di kehidupan sebelumnya.
“Dia
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang
hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur).” (QS 30:19)
Bila
kebangkitan adalah hal yang harus dan pasti terjadi setelah hari perhitungan
atau penghakiman, yaitu untuk menjalani kembali kehidupan yang berisi balasan
atas setiap amal perbuatan di kehidupan sebelumnya, maka berarti, kehidupan
sekarang ini adalah merupakan balasan dari amal perbuatan pada kehidupan
kita sebelumnya.
Kemudian timbul pertanyaan,
sungguhkah kehidupan sekarang ini, di dunia ini, adalah kehidupan akhirat yang
merupakan pembalasan dari kehidupan dunia sebelumnya? Jadi, telah berapa
kalikah masing-masing kita mengalami kebangkitan?
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kami-lah
kamu dikembalikan.” (QS 21:35)
Mungkin pertanyaan ini akan menjadi polemik, dikarenakan pemahaman
sebelumnya, yang pada umumnya tidaklah demikian. Melainkan dikarenakan
pemahaman sebelumnya yang secara umum mempercayai, bahwa kebangkitan tersebut
di alam akhirat setelah alam dunia ini hancur atau kiamat. Dan menganggap tabu
kebangkitan yang berulang-ulang, seperti reinkarnasi-nya ajaran umat
lainnya. Apakah menjadikan penting dan merasa harus berbeda? Ataukah
hanya sekedar agar tak dianggap mengikuti ajaran umat lain? Dan apakah dengan
begiitu kita mau menutup mata terhadap kebenaran-Nya? Janganlah kita
menjadi terjerumus kepada taqlid yang pada akhirnya kufur
terhadap kebenaran yang seharusnya kita terima sebagai perwujudan ikhlasnya
rasa berserah diri (islam) kita
terhadap apa-apa yang turun dari-Nya sebagai kebenaran yang hakiki.
Kembali lagi di sini, pengakuan (ego) yang merasa harus berbeda,
atau merasa tidak mau disamakan dengan umat lainnya. Perasaan congkak inilah yang sesunguhnya akan
dapat menjerumuskan jiwa kita. Bukanlah hal yang sulit bagi Allah, bila Dia
kuasa membangkitkan, mengapa hanya sekali saja? Sedangkan ayat diatas tersebut
tegas menyatakan kebangkitan yang berulang-ulang. Jiwa akan terus menanggung
beban pensucian-nya selama kekotoran atau dosa masih melekat. Apakah kita mau
memakan makanan yang akan masuk ke dalam tubuh kita yang ada penyakit, ada
kotoran, dan najis yang melekat padanya? Tentu kita akan sabar menunggu dengan
mencuci dan memasaknya terlebih dahulu.
Hanya pada jiwa yang telah suci dari kekotoran sesungguhnya yang dapat
pulang kembali bersama ruh-Nya kepada Dia Yang Maha Tunggal, ila’ihi
raji’un.
Betapa
banyak ayat-ayat mengenai kebangkitan yang Allah gambarkan dengan mengambil
kejadian-kejadian di alam ini sebagai contoh yang nyata. Dan sesungguhnya Allah
menciptakan satu alam ini untuk semua alam, baik yang dimaksudkan dengan alam
dunia maupun alam kubur dan juga alam akhirat. Karena jelas,
bahwa alam kubur, dimana terpisahnya ruh dan jiwa dengan jasad yang dikuburpun
memakai alam ini pula, sedangkan jiwa dan ruh yang merupakan gaib atau bathin
tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Buktinya, banyak jiwa-jiwa penasaran
(tersesat) sebagai energi yang masih dapat ditemui di alam ini juga,
memakai alam ini pula. Dan setelah dibangkitkan, apakah perlu Allah menciptakan
alam lain sebagai tempat pembalasan? Apakah untuk alam pembalasan tidak dapat
memakai alam ini pula? Dia-lah Allahu
rabbul ‘aalamiyn.
Bila surga dan nerakanya
seperti yang dibayangkan pada umumnya, mungkin saja. Akan tetapi bila telah
memahami surga dan neraka adalah rasa bathin, maka tidak diperlukan lagi
alam yang seperti dibayangkan pada umumnya. Cukup di alam ini. Toh, begitu
banyak contoh mereka yang mengalami surga dan nerakanya masih di alam ini juga
tanpa harus menunggu kematian, sebagai balasan langsungnya akibat amal
perbuatan sebelumnya. Bahkan diri kita sendiri pun pasti pernah mengalaminya.
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka (tempatnya) di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada
putus-putusnya.” (QS 11:108)
Ayat tersebut jelas menjelaskan neraka dan surga sebagai hari
pembalasan yang termasuk di dalam alam akhirat
adalah berada di alam ini pula, yang kekal selama masih adanya langit
dan bumi. Jadi cukuplah alam ini pula sebagai tempat pembalasan bagi
jiwa-jiwa untuk merasakan surga dan neraka-nya, akibat amal perbuatan di
kehidupan sebelumnya. Maka, penafsiran dari ketiga ayat di atas lebih mengarah
kepada pengertian bahwa alam ini adalah tempat bagi kehidupan dunia maupun sekaligus
sebagai tempat bagi kehidupan akhirat.
Yang jelas kehidupan sekarang ini
adalah merupakan lanjutan kehidupan sebelumnya, serta amat sangat
mempengaruhi pada kehidupan selanjutnya. Hari ini adalah karena hari
kemarin, dan hari ini menjadi penentu hari esok. Begitu seterusnya baik dilihat
ke belakang maupun dilihat ke depan, sampai pada akhirnya, kembali pulang
kepada Tuhannya.
Dan kematian pun, sebagai akhir hidup,
terus belanjut mengalami suatu fase penantian untuk dibangkitkan kembali
menjalani kehidupan selanjutnya dengan membawa beban dosa atau nikmat
pahala sebagai akibat bawaan perbuatan sebelum kematiannya. Dan itu terus
berulang sebagai siklus hidup-mati (kebangkitan) sebagai pembersihan (suci)
jiwa untuk mencapai kesempurnaan sejati, sebagai syarat mutlak agar dapat kembali pulang
kepada Dia Yang Maha Suci lagi Maha Tunggal.
Alam semesta (langit dan bumi)
inipun mengalami kematian sebagai hari akhirnya, yaitu kiamat.
Kemudian dibangkitkan (dibangun) lagi sebagai kejadian yang
berulang-ulang. Seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya di bawah ini.
“(Ingatlah)
pada hari langit Kami gulung seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang
pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan
melaksanakannya.” (QS 21:104)
Kemudian ditegaskan lagi oleh
ayat diatas, bahwa kiamat, kejadian akhir dunia atau semesta alam,
ternyata juga merupakan fase peralihan menuju pembentukan kembali
awal semesta alam yang baru. Begitu seterusnya sebagai siklus semesta
yang amat panjang dan tak terukur waktunya. Janji Allah adalah ketetapan
mutlak, yang pasti akan terjadi. Tidak ada perubahan pada ketetapan Allah.
Akan
lebih melengkapi ulasan tentang hari akhir ini bila didukung pula kejadian
awalnya, sehingga akan membawa kita kepada pemahaman tentang proses
siklus semesta yang dimaksud di atas.
“Dan apakah
orang-orang yang kafir (tertutup hati dan akalnya) tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu dahulunya adalah suatu yang padu, kemudian Kami
pisahkan antara keduanya.......” (QS 21:30)
Suatu keadaan “awal” diterangkan Allah
dengan istilah suatu yang padu, dimana ini mengandung makna bahwa satu
obyek yang dapat dipecah, dibelah, atau dipreteli hingga terpisah menjadi
minimal dua bagian. Kata padu pun dalam ayat ini mengandung makna pula,
sebagai suatu keadaan berkumpul menjadi satu (singularitas) dari sebelumnya
yang terpisah atau berjarak. Karena Allah tidak memakai kata “awalnya” atau
“dimulai” melainkan kata dahulunya. Sedang kata dahulunya lebih menunjukkan kepada suatu masa atau waktu sebelumnya,
yang tidak hanya mengandung makna waktu awal dari segala sesuatu, maupun
dimulainya segala sesuatu. Atau pula dapat bermakna, telah mengalami beberapa
kali awal dan berapa kali akhir. Sehingga lebihlah tepat adalah
suatu keadaan atau kondisi masa-masa awal penciptaan alam
semesta, yaitu dengan memisahkan langit dan bumi. Yang bermakna unsur-unsur
pembentuk langit dan bumi telah ada sebelum dipisahkan.
Setelah dipisahkannya langit dan bumi, kemudian diluaskanlah
langit, dalam bahasa astrofisika, alam semesta yang terus mengalami mengembang
atau memuai volume ruangnya. Sehingga kemudian dengan ketetapan-Nya,
terciptalah bintang-bintang serta gugusan-gugusan yang mengelompokkannya.
“Dan langit
itu Kami bangun dengan kekuasaan, dan sungguh Kami
benar-benar meluaskannya.” (QS 51:47)
“Kemudian
Dia menuju kepada penciptaan langit, dan langit itu masih
berupa asap, lalu Dia
berkata kepadanya dan kepada bumi, datanglah kamu berdua dengan sukahati ataupun
terpaksa. Kemudian keduanya menjawab, kami datang dengan sukahati. Maka Dia
menjadikannya tujuh langit dalam dua hari (masa) dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang
terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan
sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS 41:11-12)
“Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan
bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang
memandangnya.” (QS 15:16)
Alam semesta yang sebelumnya adalah
suatu yang padu, kemudian dipisahkan oleh-Nya langit dan bumi, dan
mengembangkan langit menjadi jauh lebih luas hingga terciptanya bintang-bintang
(jumlahnya hingga milyaran). Hingga pada suatu waktu tertentu yang telah
ditetapkan-Nya, Allah mengembalikan prosesnya seperti menggulung
lembaran kertas, mempersatukan
kembali (singularitas) langit dan bumi sehingga meleburlah milyaran bintang
yang berada di langit, sebagai alam semesta yang menyusut. Begitulah proses
kelahiran dan kematian alam semesta sebagai suatu siklus penciptaan yang akan
diulangi-Nya kembali.
Tempatnya tetap satu, semesta alam ini, akan tetapi hidup-mati dan
kebangkitan yang berulang-ulang sebagai siklus, sampai pada suatu waktu akhir,
yang hanya Dia yang tahu kapan waktunya, yaitu hari akhir bagi alam semesta
(kiamat kubra). Dimana segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi, serta
yang berada diantara keduanya, kembali menyatu menjadi sebagai suatu yang padu
kembali seperti diterangkan pada ayat QS 21:30 dan prosesnya seperti
diterangkan pada ayat QS 21:104, manunggal kembali kepada Tuhannya, ila’ihi
raji’un. Dan pada ayat itu pula diterangkan, sebagai yang akan diulangi-Nya
kembali, sebagai siklus besar penciptaan alam semesta.
“......... Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya kembali. Janji yang
pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan
melaksanakannya.” (QS 21:104)
Bila dalam masa kehidupan alam
dunia, dari lahir hingga kematiannya, proses tidur dan bangun kita tak
terhitung jumlahnya, maka jangan heran atau bingung, bila pda proses kematian
dan dibangkitkan pun akan terjadi berulang kali karena amat panjangnya waktu
berakhirnya alam semesta ini.
Dan
sepanjang sejarah kehidupan manusia, telah diberitakan turun temurun akan kejadian
akhir itu sebagai suatu yang harus diyakini, dengan segala macam
‘mitos-mitos’ yang mengerikan dan menyenangkan untuk hari
kemudiannya, sebagai wujud balasan atas kehidupan sebelumnya. Maka
jelaslah hal tersebut ikut mempengaruhi pemahaman tentang surga dan neraka.
Sehingga penggambarannya memiliki banyak ragam, tetapi tetap memiliki makna
yang sama, yaitu agar setiap diri dapat mencapai akhlak yang baik dan terpuji
dengan mengingat adanya balasan di hari kemudian. Itu karena petunjuk
dari Allah juga kepada orang-orang terdahulu, hanya mungkin lebih bervariasi
akibat penyampaian dari mulut ke mulut yang telah berlangsung lama, dari masa
ke masa.
Surga dan Neraka
“Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka menarik dan mengeluarkan nafas (dengan
merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehndaki
(yang lain).......” (QS 11:106-107)
“Dan adapun
orang-orang yang berbahagia, maka
(tempatnya) di dalam surga, mereka
kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu mengehendaki
(yang lain), sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS 11:108)
Pemahaman sebelumnya, bahwa
surga dan neraka adalah alam baru atau tempat baru setelah hari
kiamat, dimana alam tempat pembalasan terhadap amal perbuatan semasa hidup
di dunia sebelumnya, adalah pemahaman yang mengkungkung manusia pada
keterbatasan harapan yang lebih memberatkannya kepada keputus asaan. Tiada
bersemangat lagi menebarkan kebaikan yang merupakan rahmat dari Allah yang
sesungguhnya harus ditebarkan merata kepada sesama makhluk Allah, apapun itu.
Balasan
yang terbawa pada kehidupan selanjutnya tersebut, seperti uraian sebelumnya,
berupa suasana rasa nikmat atau rasa sengsara yang menempel
terus mengikutinya sebagai ketetapan dari-Nya. Tidak peduli apakah terlihat
bagi orang lainnya mengalami hidup mewah dan megah, akan tetapi rasa bathin-nyalah
yang dirasakan jiwanya, dan hanya dirinya sendirilah yang merasakannya,
bukanlah orang lain. Sedangkan kemewahan serta kemegahan kehidupannya pun
sebenarnya adalah balasan pula yang dibawa dari kehidupan sebelumnya, dan
begitu pula pada kesengsaraannya.
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan
seberat zarrah (atom), niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan
barangsiapa melakukan pula kejahatan seberat zarrah (atom), niascaya dia akan melihat
(balasan)-nya.” (QS 99:7-8)
Segala sesuatu, sekecil apapun
akan dibalas Tuhannya dengan adil dan bijaksana. Itulah makna neraka dan
surganya yang merupakan suasana rasa bathin. Sedangkan suasana tempat
atau alam tidaklah penting, dengan segala kemewahan ataupun serba
keterbatasan, tetaplah rasa bathin yang merasakan. Sekalipun segala
kemewahan merupakan balasan pula, tidak menjamin bathinnya telah terbebas dari
rasa kesulitan, kekurangan, kesengsaraan, maupun dosa. Karena mereka
melanjutkan kehidupan tersebut masih dalam suasana pembersihan atau penyucian jiwa. Selama masih mengalami kehidupan di alam
ini, apakah itu alam kubur dan alam akhirat sebagai pembalasan, jelas merupakan
masih mengalami suasana pembersihan dari segala kekotoran dan dosa-dosa yang
ada dan melekat dari amal perbuatan sebelumnya.
“ya Tuhan
Kami, dan
masukkanlah mereka (orang-orang beriman) kedalam surga
‘Adn yang
telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh diantara
bapak-bapak mereka, dan
istri-istri mereka, dan
keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana, dan
peliharalah mereka dari kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau
pelihara dari kejahatan pada hari itu maka sesungguhnya telah Engkau
anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS 40:8-9)
Ayat di atas pun menjelaskan,
bahwa di surga pun tak lepas dari ancaman kejahatan, dan makin menjelaskan
pentingnya peran agama untuk mengatur kehidupan di alam tersebut. Itulah makna
Allah sebagai penguasa hari-hari yang dinaungi agama (aturan hidup) dan rahmat-Nya.
Karena kuasa-Nya pun meliputi segala sesuatu, termasuk semesta alam ini sebagai
wadah kehidupan makhluk-Nya yang didalamnya pun terdapat alam pembalasan
(surga dan neraka).
Selama
jiwa masih dilekati oleh kekotoran sekecil apapun, maka tetaplah dia harus
melanjutkan kehidupannya untuk disucikan. Maka dia mengalami neraka sekaligus
surganya dalam kehidupannya di hari kemudian. Itulah balasan dari yang
Maha Adil lagi Bijaksana. Yang tidak dirugikan sekecil apapun kerugian tersebut
dari seseorang, apakah itu amal perbuatan baiknya maupun amal perbuatan
buruknya. Jadi surga dan neraka merupakan keaadaan atau suasana
jiwa yang sedang mengalami hari-hari pembalasan dari amal perbuatan di
kehidupan sebelumnya. Dan perlu diingat, pembalasan itu masih pula membawa
kepada pembalasan pada kehidupan selanjutnya lagi, bila jiwa masih juga dalam
kesesatannya.
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di
dunia ini, niscaya di
akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan
(yang benar).” (QS 17:72)
Begitulah kehidupan ini, hidup
dan mati kemudian dibangkitkan untuk mengalami pembalasannya sebagai yang
berulang-ulang selama masih adanya langit dan bumi, sebagai pula penyucian
jiwanya agar dapat kembali pulang kepada-Nya. Yaitu pada berakhirnya
semesta alam ini (kiamat qubra), dimana segala sesuatu, tak terkecuali
mengalami peluruhan dan kembali kepada asalnya Yang Maha Tunggal. ‘ilayhi
raji’un.
Akan tetapi, bagi yang telah
sadar diri atau jiwanya, dan yang berusaha memurnikan amal perbuatannya, serta
pula tetap menjaga kesadarannya pada dirinya yang sesungguhnya adalah kefanaan,
hampa, kosong, dan dirinya bukanlah siapa-siapa bila tanpa gerak para
penyampai, yaitu aparat Allah atau malaikat-Nya, maka tiada lagi dia
berharap kelak mendapatkan surga dan tiada pula resah terhadap ketakutannya
akan mendapatkan neraka. Mereka merasa hanya menjalankankan apa adanya sesuai
dengan perintah dari dalam kalbunya yang paling dalam, yang tanpa beban, serta
penuh kedamaian dan ketentraman yang sejati.
Entah
bagaimana kesalah pahaman akibat kerancuan makna ini akan berlanjut sampai
kapan, sehingga menyimpangkan makna dan pengertian yang seharusnya telah
berkembang sejauh-jauhnya menuju kepada hikmah yang haq (sejati), akibat
kerancuan makna yang berlarut-larut. Kerancuan tersebutlah yang menjadi
penyumbat aliran pengembangan pikir para pencari yang takut kepada cap
sesat bila hendak melancarkan alirannya kembali normal, maka yang
ada, tetap yang terjadi adalah kebuntuan.
Nikmat Sejati
Inilah yang sebenarnya patut
menjadi arah tujuan dari segala tujuan. Kejaran bagi orang-orang yang hendak
merasakan nikmat yang sesungguhnya. Seperti yang selalu diminta dalam setiap
membaca suratul Fatihah, yang paling tidak dalam setiap shalat-nya. Adalah,
.... tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, dan bukan jalan mereka yang ingkar lagi berbuat
kerusakan.
Tidak ada nilai yang pantas
untuk dapat mencapai sebutan harga nikmat yang dimaksud. Sementara
segala sesuatu selain itu adalah fana, hampa, dan kosong. Akan tetapi,
jangan pula terkecoh dari setiap keinginan, sekalipun itu adalah kebaikan.
Kemurnian Diri dari segala macam keinginanlah yang sesungguhnya menjadikan
seseorang sempurna, karena hanya diri atau jiwa yang murni atau bersih dari keinginan
dan peng-aku-an (ego) yang dapat menuju kepada-Nya yang Maha
Tunggal. Yang berada dan sebagai penguasa arsy atau taman nikmat
sejati.
Kita tidak akan pernah dapat
merasakan nikmat sejati bila belum dapat mengenal diri kita sendiri yang akan
mengarahkan pemahaman tentang realitas sejati (diulas kemudian
secara ringkas pada Bagian-4 Lahir & Bathin). Pemahaman ini
tidak mudah didapatkan, akan melalui proses yang panjang juga melelahkan,
kecuali bila Allah menghendaki lain. Semoga kita akan dimudahkan untuk dapat
menerima hikmah ini sebagai karunia yang besar dari-Nya.
Segala macam nikmat adalah rasa, yang
sesungguhnya ada dan bertempat di dalam hati atau kalbu. Hanya kalbulah yang
dapat mengetahui kehadiran rasa, baik itu berupa kenikmatan ataupun
sebaliknya. Akan tetapi, lebih jauh lagi ke dalam, pada kalbu yang paling
dalam, maka tidak segala sesuatu pun dapat masuk, kecuali bila dengan kehendak
Dia yang Maha Tunggal yang bersemayam di situ. Sehingga, kenikmatan sejati
tersebut hanya bisa diraih bila telah dapat menghilangkan segala macam keinginan,
maka diri menjadi jiwa yang murni dari pengakuan (ego).
“Ia (iblis)
berkata: Tuhanku, oleh
karena Engkau telah menghukum aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa
indah bagi pandangan mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS al 15:39)
“....... kemudian
akan kuserang mereka dari muka, belakang, kiri dan kanan mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS 7:16-17)
“...... pasti aku akan
menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka.” (QS 38:82-83)
Bahayanya pengakuan,
yang merupakan salah satu sasaran serangan iblis, salah satunya adalah kuatnya rasa
memiliki apa-apa yang telah dianugerahi Allah kepadanya. Seperti, anak dan
istri, harta benda berupa perhiasan,rumah tinggal, dan kendaraaan, juga ladang
pekerjaan ataupun perniagaan, bahkan pengakuan kepemilikan tubuh atau
jasadnya (lihat kembali uraian Malaikat Min
‘Indillahi).
Terjerumusnya
diri kepada segala macam pengakuan tersebut, bahkan yang berada di jasadnya,
seperti penglihatan dengan mata-ku, pendengaran dengan telinga-ku,
kata-kata yang keluar dari mulut-ku, dan lain sebagainya, sungguh dapat
menjerumuskan dirinya kepada perbuatan syirik. Akibatnya seperti, “coba kalau
aku tidak melihat ...”, atau “coba kalau aku tidak dengar ...”, dan “kan aku
sudah bilang ...”. Seolah-olah tiada peran Tuhan, dan yang ada hanya peran
diri-nya saja.
“Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih
kamu cintai daripada Allah dan rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
fasik”. (QS
9:24)
Bila
semua itu lebih dicintai daripada mencintai Allah, jelaslah itu adalah
perbuatan syirik. Dosa besar yang tak terampuni, bila tak segera
bertobat. Maka jelaslah, bahwa iblis telah menyeret kebanyakan setiap diri
kemanusiaan sebegitu jauhnya dari jalan Tuhannya, kemudian menjerumuskan mereka
ke dalam neraka. Sungguh tidak disadari, ternyata diri ini begitu gampangnya
terhanyut oleh pengakuan-pengakuan seperti itu, dan bila salah satu saja dari
semua yang dimilikinya diambil atau hilang, maka goncanglah jiwa-nya,
seakan-akan tidak terima. Itulah pengakuan yang ternyata sangat
menjerumuskan.
“....sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk (karena) Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan demikianlah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.” (QS 6:162-163)
“....... pasti aku
akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara
mereka”. (QS 38:82-83)
Keikhlasan pada setiap
amal perbuatan yang disertai dengan melepaskan segala macam rasa keinginan atau
harapan, dan menyerahkannya hanya kepada kehendak Dia, adalah cara terbaik
menjaga kemurnian jiwa dari bisikan dan godaan iblis. Sehingga tanpa terasa dan
mengharap, sesungguhnya kita sedang menuju Nikmat Sejati yang diridhai
dan diberkati oleh Dia sebagai ar Rahman.
Maka sejatinya Nikmat Sejati adalah terbebas dari rasa
keinginan, harapan, maupun cita-cita sekalipun nikmat sejati
tersebut adalah terlihat dan terasa sebagai kebaikan. Nikmat Sejati yang sejati
adalah ketenangan dan ketentraman bathin yang membawa jiwa dapat terkendali
bahkan tanpa terganggu lagi oleh iming-iming nikmat sejati itu sendiri,
kebaikan, ataupun surga. Jiwa-nya tidak lagi disibukkan oleh keinginan yang
justru dapat meresahkannya sendiri.
Lokasi:
Jakarta, Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)